Selamat Malam, Joon

Sthrynnara's present:
———————————
| Selamat Malam, Joon |
———————————

[ A Kim Namjoon's Fanfiction ]

°°°

Diiringi pekikan jangkrik yang menyulam harmoni serta angin dingin yang mendesau, satu helaan napas berhasil lolos dari mulutmu. Gas yang keluar bersamanya tampak di tengah-tengah udara, merangkak naik, kemudian hilang seiring detik mengejar menit. Kamu tersenyum setelahnya; hanya saja begitu tipis, jadi sulit kulihat.

Kala itu, kita tengah duduk di teras rumah. Rasanya seperti tindakan bunuh diri mengingat aku hanya memakai jaket tipis dan piyama panjang; kamu hanya memakai pakaian seadanya, sementara udaranya menusuk tulang. Tetapi, persetan saja. Ini memang kebiasaanku, juga kebiasaanmu; pelampiasan, lebih tepatnya.

“Pasti kamu kedinginan, ya, An?”

Atensiku yang semula bertumpu pada kerlap-kerlip cantik di langit sana sontak beralih. Oh, jantungku langsung berdegup abnormal begitu kudapati kamu tengah menatapku dengan kedua alis terangkat anggun. Kamu teduh, tahu.

“Um, ya ... begitulah.” Selagi mengendikkan bahu, aku menyahut. “Memangnya kamu ngga, Joon? Padahal kamu cuma pakai kaus panjang dan celana training, loh.”

Tiba-tiba, kamu terkekeh renyah. Lesung di kedua pipimu terlihat merekah. Dan panorama luar biasa indah itu sukses mengirimkan desiran aneh ke dalam aliran darah; getaran abstrak menyentuh relung; serta sengatan hangat pada saraf-sarafku yang nyaris beku.

Tapi, saat kamu menjawab, aku ’kan definisi dari dingin itu sendiri—keheranan sontak menginvasi pikiran. Alis bertaut tajam, mata memincing, kurasakan bulu roma mendadak meremang. Aneh, Joon. Terkadang gelagat dan ucapanmu itu membuat otak tumpulku harus bekerja mati-matian. Kau yang terlalu misterius atau aku yang terlalu bodoh, ya?

Sebab kalimat terakhirmu itu terdengar ambigu, maka tak kujawab. Lidahku terasa kelu dibuatmu, Joon. Begitu pun dengan otak yang entahlah sudah sekusut apa. Alhasil, kebungkaman sukses mengambil alih dalam sejemang waktu. Kekehanmu dan perbincangan kita menguap; terbang jauh menuju horizon gulita di atas sana.

Entah sejak kapan aku mengenalmu, Joon. Yang jelas, pertemuan pertama kita adalah saat aku menangis dengan surai sebahuku yang amburadul sambil menekuk lutut di pojok rumah, ajaibnya kamu datang mengulurkan tangan.

Apa kamu ingat, Joon, perubahan raut mukaku saat itu? Semula wajahku banjir, tetapi tatkala menerima uluran tanganmu, pipiku kering tiba-tiba seiring cengiran lebar yang mengembang. Aneh, ya, Joon?

“An, kamu masih sering menangis, tidak?” tanyamu memecah senyap; juga memecah fokusku. Suaramu hampir beradu dengan gemeresak dedaunan yang tertiup angin, tapi aku tetap mendengarnya secara jelas, jadi aku bergumam. Belum juga kumenimpali, kamu lebih dulu melanjutkan, “Kuharap tidak, ya. Dingin ini memang menusuk, sendirian juga sama menusuknya, tapi kuharap kamu kuat, An.”

“Sejak bertemu kamu, aku ngga menangis lagi, kok.” tukasku sembari mengibaskan tangan. Deretan gigi yang menguning ini kupamerkan, dan bagusnya senyum ini menular padamu. “Dingin atau ngga, sendirian atau ngga, aku pasti selalu kuat. Tidak akan menangis lagi. Jadi kamu ngga usah khawatir, Joon. Ya?”

Kamu mengangguk, kemudian tersenyum. Namun, sepasang mata cemerlangmu itu menumpahkan bulir-bulir air; lambat di awal dan deras di detik akhir. Lesung itu juga tidak terlukis kali ini. Jadi, ekspresi apa namanya saat kamu tersenyum tetapi kamu menangis?

Lagi-lagi, kamu membuatku mengernyit, Joon. Jahat sekali kamu sudah membuat kewarasanku berbelit-belit seperti ini. Jadi, sebagai balasan atas perilakumu yang aneh, aku tertawa terbahak-bahak kendati tak merasa lucu.

“Hahaha! Ekspresimu sulit kutebak, Joon! Unik sekali, tahu! Hahaha!”

Dan senyummu malah kian mengembang.

Udah, berhenti! Aku ngga kuat melihat wajahmu yang menggelikan begitu, Joon! Hahaha!”

Kemudian kini giliran tangismu yang kian menderas.

Oh, betapa anehnya kamu, Joon. Kuriositasku meledak-ledak karenamu. Namun, baru saja aku ingin mengeluarkan makian, Ibu datang menginterupsi dengan suara lembutnya yang menyuruhku untuk segera masuk ke dalam. Pertemuan dan konversasi kecil kita menemui ujung tak jelas, pada akhirnya. Menyisakan aku yang melangkah masuk tanpa gairah serta rasa heran yang bercokol di dalam kepala, dan kamu yang masih duduk di kursi kayu panjang itu sembari tersenyum sendu.

Setiap kali bertemu, ujungnya pasti seperti itu; berputar pada porosnya; selalu sama.

“Memangnya kamu tidak lelah, An?” Kamu bertanya di suatu malam; duduk di sampingku seperti biasa; hanya saja kedua manikmu memandang horizon, bukan aku.

“Lelah untuk apa?”

“Hidup seperti ini,” Menghela napas, kamu pun menoleh. “Duduk di balkon rumah setiap malam sambil menatap kosong, kemudian aku datang dan kau kembali berseri, kita berbincang sebentar, lalu Ibumu datang membawamu masuk ke dalam. Apa kamu tidak lelah hidup seperti itu, An?”

Aku menggeleng pelan. Dengan wajah polos, kujawab, “tidak” sambil tersenyum. Tetapi seolah tak bahagia, kau justru melayangkan tatapan miris. Tak ada senyum. Tak ada rintik tangis. Hanya raut muka lurus dan datar.

“K-kamu kenapa, Joon? Emang-nya ada yang salah denganku, ya?”

Kamu menggeleng.

Sebuah helaan napas berhasil lolos seiring bahuku melorot pasrah. Aku sudah muak. Rasanya bingung ini hampir meledak-ledak. Terlebih saat pipimu kembali menciptakan anak sungai yang memilukan.

Oh, Joon, bukankah kamu menyuruhku untuk tidak menangis? Lalu kenapa kamu sendiri malah menangis?

Tanganku bergerak perlahan; bermaksud menghapus rintik air mata yang melintas tak sopan di wajah cemerlangmu. Namun, tatkala jemariku nyaris meraih wajahmu, Ibu tiba-tiba datang lantas bersua lembut seperti biasa (yang pada artinya atensiku beralih padanya) dan pergerakkanku berhenti secara otomatis.

“An sayang, masuklah. Udara malam begitu dingin dan kesehatanmu malah kian memburuk. Ibu sangat khawatir.” Raut wajah ibu tampak lesu. “Juga ... jangan berbicara dengan sebuah foto lagi, ya, An? Ibu mohon.”

Aku menatap Ibu tak paham. Padahal ada kamu di sampingku, tapi kenapa Ibu berkata begitu? Mengernyit heran, alhasil aku menoleh, berharap kamu masih ada dan itu berarti Ibu sudah berkata sembarangan. Akan tetapi, air mukaku bak dijungkir balik dalam satu kedip. Aku mengulum senyum; meneguk ludah getir. Ibu tak berkata sembarangan, sebab memang tidak ada presensi dirimu di sampingku, Joon. Sungguh.

Yang ada hanya sebuah foto berukuran A3; menunjukkan seorang pemuda bersurai dark brown yang tengah tersenyum cerah, jemari membentuk huruf "V", juga lesung di kedua pipi yang menawan.

Wajahnya terlihat seperti kamu, Joon. Tapi aku tidak banyak bicara. Tanganku refleks menyambar foto itu sebelum Ibu benar-benar menutup pintu.

***

Di malam berikutnya, aku kembali menangis diam-diam di bawah sinar rembulan yang temaram. Kali ini dengan surai yang mencuat kemana-mana serta piyama kusut yang terpatri di tubuh; buruk sekali. Dan seperti biasa, kamu hadir sembari tersenyum hingga kedua lesung pipimu tercipta indah; sontak membuatku berseri juga.

“Padahal sudah kubilang untuk berhenti menangis. Tapi kenapa kamu tidak mendengarkanku, An?”

Dari raut wajahmu, kutebak kamu agak kecewa. Namun aku tak ayal menukas, “A-aku mendengarkanmu, kok. Aku hanya ... hanya ... suka menangis.”

Kamu berdecak, kemudian berkata, “Tangisan tidak layak untuk disukai, An.” Meraup oksigen sejenak, kamu lantas menambahkan, “Kumohon buka matamu dan sadari itu. Juga sadari semua hal yang harus kamu sadari, An. Lihat kondisimu. Kamu benar-benar kacau. Tidakkah kamu kasihan pada Ibumu?”

Sadari semua hal yang harus kamu sadari, katamu. Alih-alih marah atau heran seperti biasa, aku malah tersenyum saja. Aku sudah tak peduli dengan omonganmu, pula perangaimu. Sebab adanya presensimu di sampingku merupakan sumber bahagia yang mutlak; maka bagaimana pun kamu, tak akan kupermasalahkan.

“Kamu harus hidup, An. Maksudku ... hidup yang benar-benar hidup.” Kamu berujar.

“Loh, aku ’kan emang masih hidup, Joon. Aku masih bernapas dengan baik. Hanya saja, kesehatanku mulai menurun. Tapi bukan berarti aku ngga hidup. Buktinya aku masih bisa bicara denganmu.” Entah apa yang kubicarakan, aku sendiri tak paham, tapi kamu tak ayal menanggapi dengan gelengan lemah.

“Hidup bukan sekadar tentang bernapas, An. Bukan pula tentang kehadiran secara kasat mata.” Kamu menghela napas, menutup mata, dan berkata lagi, “Hidup adalah tentang jiwamu yang terisi, pikiranmu yang bersih, senyum yang tulus, juga relung hati yang tenang. Jadi, buka matamu sekarang dan hidup-lah kembali, Anna.”

Setelahnya, hatiku mencelos. Kamu masih ada, tersenyum pula, tapi aku merasa amat kehilangan. Aku tidak menangis, tapi tatapanku mendadak sehampa udara.

“Kurasa sudah cukup. Semoga kamu paham, An.”

Kata-katamu terasa sangat membekukan; lebih dingin dari udara malam.

“Jangan lupa untuk hidup, ya, Anna. Dan ...,” Tiba-tiba, kamu mendaratkan satu kecupan di keningku, lantas melanjutkan, “...selamat malam.”

Berusaha mengumpulkan kesadaran, kutarik napas dalam, mataku mengerjap-kerjap. Aku baru saja ingin membalas, namun Ibuku datang di sekon berikutnya; menginterupsi seperti biasa; membuat atensiku beralih padanya. Raut mukanya begitu hancur. Ia melengkungkan kurva kecut, dan manik sayunya memuntahkan banyak rintik tangis.

“Ayo masuk, An,” titah Ibu, tetapi aku malah termangu.

“Anna, sudah cukup. Ibu sudah tidak tahan lagi.” Mendapatiku yang tak merespon, Ibu mengerang. Ia lantas memegang pundakku; kurasakan tangan rentanya itu gemetar. Ibu kian tersedu-sedu. “Kau tidak boleh hidup seperti ini. Jangan terlalu tergila-gila dengan idolamu. Dia bahkan berada sangat jauh darimu, Sayang. Dia pemuda yang dicintai seluruh orang di dunia. Kau tidak akan pernah bisa memilikinya. Kau harus sadar akan hal itu.”

Aku mengernyit. Omongan Ibu terdengar melantur. Aku sama sekali tidak menangkap apa maksudnya.

“Berhenti menangisi seseorang yang bahkan mustahil untuk kaugapai, Sayang. Berhenti berbicara dengan fotonya. Berhenti bertindak gila!”

Kemudian, aku menoleh padamu; berharap bahwa kamu masih ada dan itu berarti Ibu sudah berkata sembarangan. Akan tetapi, sepertinya takdir tengah mempermainkanku (atau justru sebenarnya aku yang mempermainkan takdir). Kamu sudah tidak bereksistensi. Entah kemana kamu pergi. Foto berukuran A3 itu yang kini mengambil alih tempat dudukmu tadi.

Ibu terus meracau, sementara aku merasakan berjuta kupu-kupu berterbangan di dalam perut seiring rasa panas yang menjalar ke pipiku, tatkala kuingat kembali adegan beberapa sekon lalu.

Kamu mencium keningku, berkata “selamat malam” lantas menghilang entah kemana sebelum sempat kubalas. Maka sekarang, di saat Ibu menangis, jangkrik menyulam harmoni, angin malam berdesau, aku bersuara lantang;

“Selamat malam juga, Kim Namjoon!”

***

F i n
Published; October 26th, 2018



Note!

Hallo! Kita ketemu lagi di ff (disebutnya drable, ficlet atau apa ya?) hehehe xD. Gatau kenapa akhir-akhir ini (tepatnya semenjak nulis ff Sepasang Netra yang Tenggelam) aku nyaman banget nulis ff pake POV dua. Dan hasilnya, lahirlah /? ff dengan sudut pandang orang kedua ini.

Oh, ya, fanfic yang satu ini kayak suatu simbol gitu, idenya pun tiba-tiba dateng aja waktu lagi bengong malem-malem abis pulang dari pengajian, hahahaha. Jadi kalau kalian ngerasa "ff ini apaan sih?" "dih gajelas banget si nara" mohon dimaklum, ya. Nulisnya aja nyaris seharian (itu merupakan pencapaian besar karena biasa aku nulis paling cepet satu minggu wkwkwwk).

Terakhir, semoga kalian menikmati fanfic yang satu ini dan mohon pendapat serta sarannya, ya! 💜

P.s Aku be like “hidup hyung line!”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top