5

Hai, Teman-teman semua, ada beberapa teman yang meminta supaya saya menamatkan kisah² saya di WP. Karena saya hampir tidak pernah menamatkan cerita di WP.

Oh iya, satu lagi, ada beberapa yang kurang berkenan jika saya memindahkan kisah saya di aplikasi lain, maafkan. Jika teman-teman punya alasan kenapa kesal, maka saya pun punya alasan kenapa pindah. Dah gitu aja😁, lagian untuk pindah itu bukan cuma saya aja kok ya. Yuklah, biasakan bertutur yang baik. Karena itu adalah cermin diri.

Tanpa mengabaikan rasa hormat, saya ucapkan terima kasih atas sarannya. Jadi begini, saya akan coba memberi kisah tamat dengan versi berbeda ya. Jadi jika masih bikin penasarannya, teman-teman bisa beli ebook atau novelnya jika dinovelkan. Fyi, kisah ini adalah satu dari projek bareng dengan BukuBatik ya, jadi InsyaAllah ini kisah gak pindah ke apk lain.

Terima kasih atas kesetiaannya.

Selamat membaca 🙏

🍁🍁🍁

Mengabdi dan membagi ilmu di desa, jauh dari ingar bingar kota membuat Ayu bahagia. Dia merasa memiliki keluarga baru yang menyayanginya. Ada hal yang sama sekali tidak dia duga. Kepala desa yang ia datangi beberapa waktu lalu ternyata adalah ayah Askara.

Pria rendah hati itu sama sekali tidak pernah bercerita tentang kedua orang tuanya. Ia lebih suka berkisah soal keinginannya membangun sebuah sekolah yang bisa memajukan masyarakat desa. Dia juga memiliki angan-angan membangun desa tanpa meninggalkan kultur dan etika masyarakat desa.

Gayung bersambut, Ayu pun memiliki kepedulian soal pendidikan anak-anak yang orang tuanya tidak mampu untuk menyekolahkan putra-putri mereka.

Dia beruntung, memiliki orang tua asuh yang memberikan kebebasan ke mana ia hendak mengabdikan dan membagikan ilmunya. Kehadiran Aska yang ternyata sudah memiliki lembaga pendidikan di desanya menjadi perantara langkah untuk mewujudkan impian Ayu.

Sekali lagi, Ayudia dibuat kagum dengan kebersahajaan Askara. Pria itu bahkan sama sekali tidak pernah bercerita tentang kiprahnya di desa ini.

Siang itu ia masih duduk di kursi kelas tempatnya mengajar. Ingatannya melayang pada ucapan Askara saat mengenalkan dirinya ke Pak Hadi sang ayah.

"Kalau yang pakai jilbab ini ... insyaallah akan jadi masa depan Aska, Yah."

Ucapan Askara membuat wajahnya memanas, terlebih saat ketiga temannya menggoda dan saling menimpali dengan kata-kata yang ia tak mampu menyembunyikan rasa malu. Sementara Pak Hadi saat itu mengamini pernyataan Askara lalu berkata, "Bu, kita bakal punya mantu!"

Bu Hadi yang saat duduk di samping sang suami sontak mengusap bahu Ayu yang memang tengah bersalaman dengan ibunya.

"Ibu senang kalau kalian memiliki cita-cita yang sama," tuturnya lembut.

Bibir Ayu tertarik ke samping. Sejak pertemuan itu, ia merasa memiliki ayah dan ibu baru yang begitu sayang padanya.

"Belum pulang?" Suara seseorang dari pintu membuyarkan lamunannya. Senyum manis Aska menyapa Ayu tulus.

"Belum, Mas."

"Ngapain di sini? Ngelamun?"

Sambil merapikan jilbab, Ayu menggeleng.

"Ini juga udah mau pulang." Ia segera bangkit dan merapikan kertas-kertas di meja lalu memasukkannya ke dalam tas.

"Mau aku tunjukkan sesuatu?" tanya Aska.

"Tunjukkan apa?"

"Sebelum aku berangkat, aku ingin kamu melihatnya."

Ayu menatap Aska ingin tahu.

"Ikut aku!"

Tanpa menjawab, ia mengekori langkah pria beraroma mint itu. Pria yang bisa membuat ia merasa dilindungi. Pria penyabar yang bersedia menepi tatkala dirinya harus fokus pada kuliahnya.

Sekilas bayangan Yudhis melintas, hanya dalam hitungan hari pria itu akan menikahi Prita. Itu berarti, meski ia memiliki rasa berbeda pada Yudhis, dirinya harus melipat rapi perasaan itu. Ada Aska yang nyata yang bisa mengisi hatinya.

"Melamun lagi kan?" sapaan pria berkumis tipis itu kembali membuatnya salah tingkah. Langkah mereka terhenti di depan sebuah rumah berarsitektur joglo dengan aneka tanaman menghiasi halamannya.

"Sudah sampai?" Ayu mencoba berkelit.

"Ada yang menggangu pikiranmu?" tanyanya tak menjawab pertanyaan perempuan itu.

"Nggak, Mas. Nggak ada."

"Lalu? Atau ... ah aku tahu! Kamu sedih bakal aku tinggal lama ke Australia?" selorohnya.

Ayu mengulas senyum, ia teringat pria di depannya itu sebentar lagi akan pergi untuk beberapa tahun.

"Mas Aska sok tahu!"

"Eh, apa yang akan Mas tunjukkan ke aku tadi?" tanyanya menatap pria itu.

Dengan senyum lebar, Aska mengeluarkan kotak kecil dari kantong kemejanya. Pelan ia membuka sambil berucap, "Aku harap kamulah yang akan menjadi masa depanku. Menikahlah denganku, Ayudia."

Kaki Ayu seolah terpaku sehingga ia merasa sulit bergerak. Lamaran tiba-tiba tanpa ia duga membuat dirinya benar-benar tak percaya. Terlebih lagi-lagi tanpa disangka, tiba-tiba muncul teman-temannya dan beberapa staf sekolah juga ikut muncul bersorak agar ia menerima lamaran Aska. Paras cantiknya merona malu, ia bahkan tidak sanggup menatap sekeliling.

"Mas Aska, aku yang selipkan ya. Kan kalian bukan mahram, nggak boleh pegang-pegang dulu!" seru Mia mendekat.

"Kamu terima pasti kan, Ay?" tanya Mia mengerling menggoda. "Kalau nggak diterima, cincinnya lumayan buat dijual lagi!" candanya konyol.

"Ayu? Kamu mau?" Wajah Aska menatap penuh harap. Berbeda saat ia mengajar di hadapan puluhan mahasiswa, pria itu begitu berwibawa dan bijaksana. Namun, saat berhadapan dengan situasi seperti saat ini, mendadak pria seperti kehilangan rasa percaya diri.

"Ayu!" bisik Mia seraya mencubit lengan Ayu.

"I ... iya!" sahutnya tergagap.

"Yeayyyy! Diterima, Teman-teman!" pekik Mia disambut tepukan riuh mengucap selamat.

Seperti yang diutarakan Mia, dialah yang menyematkan cincin itu ke jari Ayu. Sementara Aska menarik napas lega tanpa melepaskan tatapan mata ke arah Ayu.

🍁🍁🍁

Sebuah panggilan masuk membuat ponsel Ayu bergetar. Saat itu hari masih pagi. Semalam ia baru saja melepas keberangkatan Aska untuk mengurus persiapan dan langsung terbang melanjutkan pendidikan di Australia. Seperti yang diucapkan pria itu, ia mempercepat keberangkatan agar ia segera bisa memboyong Ayu menjadi pendamping hidupnya.

Udara pagi yang menusuk membuatnya enggan bangkit petiduran. Karena hari ini adalah hari besar, maka ia memanfaatkan untuk bermalas-malasan selain masih ingin mengenang momen perpisahan dengan pria yang memiliki senyum manis itu.

Pintu kamar Ayu dibuka, suara cempreng Mia membangunkan sembari protes karena suara ponsel Ayu membuatnya terganggu.

"Angkat kenapa sih, Ay! Kali penting," ungkap Mia seraya menyerahkan ponsel pada pemiliknya.

Malas Ayu membuka mata, tapi saat ia membaca identitas pemanggil, sontak perempuan itu seolah kehilangan rasa kantuknya.

"Bu Mita?" gumamnya heran menatap Mia sekilas.

Cepat ia menggeser layar ke atas.

"Halo, Ibu?"

Ekspresi Ayu sontak menegang saat mendengar suara isak dari seberang. Napasnya tak teratur, kedua netranya perlahan mengembun. Sementara Mia yang melihat hal itu mengernyitkan dahi menunggu penjelasan Ayu.

"Iya, Bu. Saya akan bersiap-siap untuk besok. Waalaikum salam," pungkasnya pelan mengakhiri percakapan.

Ayu tak bersuara, ia meletakkan ponsel di kasur dengan berurai air mata. Perempuan itu menarik selimutnya lalu membenamkan wajahnya ke bantal. Mia mendengar isakan dari sahabatnya itu. Ia merasa ada yang tidak beres telah terjadi pada Ayu.

"Ay, kamu kenapa? Cerita ke aku, Ay!" Perlahan ia mengguncang tubuh Ayu. Namun, Ayu tak menanggapi, ia masih terisak di balik selimut.

"Ayu, kenapa, Ay?"

Mia mencoba membujuk Ayu untuk bercerita, tapi lagi-lagi sia-sia. Hingga mentari beranjak naik, Ayu membisu.

Putus asa, Mia meninggalkan sahabatnya itu keluar. Teman-teman Ayu yang lain juga tengah menunggu penjelasan Mia, mereka berpikir bahwa Ayu sedang sakit.

"Jadi dia baik-baik saja?" tanya Kiki setelah Mia duduk bersama mereka di ruang makan.

"Dia baik-baik saja, tapi ... sepertinya telepon itu yang membuat dia sedih sampai sekarang."

"Kenapa dia, Mia?" Wulan penasaran.

"Kalau aku tahu, pasti kalian sudah aku kabari sebabnya! balas Mia, "dia diam dan terus menangis setiap kutanya."

Ruang makan hening, mereka masih menunggu dan berharap Ayu keluar kamar dan menceritakan kegundahannya.

"Ya udah, dia sejak tadi belum kemasukan makanan kan? Biar aku yang ajak dia makan!" Wulan mengambil piring kemudian mengisinya dengan nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi.

"Semoga dia mau bercerita setelah sarapan," harapnya seraya mengayun langkah menuju kamar Ayu.

🍁🍁

Mata sembab Ayu gak bisa disembunyikan. Perempuan itu sibuk memasukkan beberapa lembar baju ke tas cokelatnya. Sementara ketiga rekannya hanya duduk menatap iba.

Mereka tidak menyangka Ayu harus berhadapan dengan masalah pelik yang dia tidak bisa hindari. Menikah dengan Yudhis dengan segera adalah hal yang sama sekali tidak mereka kira, sementara cincin dari Aska masih melingkar di jari manis Ayu.

"Ayu, kenapa kamu nggak jelaskan kalau ...."

"Kamu tahu bagaimana posisiku kan, Kiki?" potongnya saat Kiki mencoba memberikan solusi.

"Iya, aku paham, tapi mereka nggak bisa semaunya minta supaya kamu mau menerima permintaan mereka dong, Ay!" timpal yang lainnya.

Sejatinya Ayu bisa saja mengutarakan keberatannya, tapi dia paham sepenuhnya bagaimana jika dirinya berada di posisi Bu Mita. Keluarga Pak Cokro sudah begitu baik padanya. Mereka telah memberikan fasilitas apa pun yang Ayu butuhkan, bahkan dirinya tidak merasa sebagai anak angkat keluarga itu.

Ayu mengerti, tentu mereka meminta hal ini dari pemikiran yang tidak sebentar. Sebab, pasti telah ada persetujuan Yudhistira di dalamnya. Jika pada akhirnya pria berkharisma itu menyerahkan keputusan pada kedua orang tuanya, itu berarti Yudhis telah benar-benar tidak memiliki jalan keluar apa pun.

"Jadi gimana, Ay? Kamu tetap mengikuti permintaan mereka?" Kiki menatapnya iba.

"Nggak ada pilihan lain, kecuali aku bisa menemukan Prita!"

"Lalu ... jika Prita tidak ditemukan, bagaimana? Lagian acara itu sudah di ambang pintu, Ay!'

Ayu menarik napas dalam-dalam kemudian perlahan melepaskan.

"Aku tahu, tapi aku bisa membicarakan hal ini ke Mas Yudhis!"

"Lalu bagaimana dengan Mas Aska? Apa dia akan kamu kabari soal ini?" Mia bertanya pelan.

Sejenak Ayu diam, lalu ia menggeleng seraya berkata, "Aku nggak tahu dan belum bisa bicara apa-apa soal ini ke dia."

"Tapi Ay! Kamu mencintainya kan?" Wulan menatap sahabatnya penuh tanya.

Ayudia tidak menjawab, ia kembali mengemas baju dan perlengkapan lainnya.

"Ayu! Kamu pamit apa nanti ke orang tua Mas Aska?"

"Ada keperluan yang harus diselesaikan," sahutnya tanpa menoleh.

"Tapi kamu kembali ke sini lagi kan, Ay?" tanya Kiki.

"Ini duniaku, Ki. Aku akan kembali ke sini! Karena ... adanya aku di pernikahan itu hanya untuk pelengkap. Selebihnya tidak ada!" paparnya menerawang.

🍁🍁🍁

Colek jika typo 😁🙈

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top