4

"I have a thousand reasons to stuck with you. However, you have a thousand reasons to leave me."

🥀🥀🥀

Dengan terengah, Wulan mengabarkan kedatangan Askara kepada ketiga rekannya. Sama dengan Wulan. Ayu, Kiki juga Mia, mereka semua tidak percaya.

"Udah, ayo keluar kita temui dia!" ajak Wulan masih dengan wajah kaget.

Diantara mereka berempat hanya Ayu yang mengenakan jilbab. Karena saat itu dia tidak sedang berjilbab, maka Ayu meminta agar ketiganya lebih dulu menemui Askara.

"Mia ...."

"Ambilin jilbab?" potong perempuan bertubuh sedikit subur itu.

Dengan senyum, Ayu mengangguk.

"Ay, aku rasa nih ya. Kita nggak bakal diperlakukan spesial jika tidak ada kamu!" cetus Kiki setengah berbisik.

"Kita sedang mengabdi di sini, Ki. Bukan KKN! Jadi nggak ada urusannya soal perlakuan spesial!" balas Ayu seraya menerima jilbab dari Mia.

"Sstt! Buruan keluar! Eh, teh hangat buat Mas Aska udah?" Wulan menatap ketiganya. Merasa tidak ada satu pun yang membuat minuman, akhirnya mereka sama-sama tertawa.

"Ya udah, aku yang buatkan!" Ayu menuju kompor.

"Eh sebentar, Wulan! Kamu tadi bilang apa? Mas Aska? Sejak kapan kamu jadi adiknya?" seloroh Mia disambut tawa oleh yang lainnya.

Dengan percaya diri, Wulan mengatakan bahwa itu adalah permintaan Askara sendiri.

"Dia sendiri yang minta dipanggil Mas!"

Kali ini mereka semua mengarahkan pandangan ke Ayu yang baru saja selesai menyeduh teh.

"Ciee ... yang nyiapin teh buat calon suami, cieee ...." Berbarengan mereka menggoda Ayu.

"Sstt! Berisik! Ayo keluar!" Perempuan berjilbab putih itu melotot. Dengan tawa yang ditahan, mereka semua keluar menemui Askara.

Senyum manis Aska tercetak saat melihat empat mantan mahasiswinya keluar. Pria berkacamata itu terlihat mencuri pandang ke Ayu.

"Apa kabar Ayu?"

"Baik, Mas."

"Ehem, kenapa Ayu aja sih yang ditanya kabar?" sindir Mia seraya memutar bola matanya.

Askara tertawa kecil seraya berkata, "Karena tanpa ditanya, kamu sudah menjelaskan bahwa sedang baik-baik saja."

Sahutan Aska membuat semuanya tertawa. Pria yang tengah duduk di hadapan mereka itu memang terkenal suka bercanda dan ramah. Hal itu membuat para mahasiswanya nyaman untuk bertukar pikiran dengannya.

"Jadi gimana? Aku harap kalian suka dengan rumah ini, dan tentunya juga dengan desa ini."

"Suka banget, Mas! Meski kami belum kenal banyak orang, tapi warga di sini terlihat ramah," ujar Kiki.

"Syukurlah! Setelah ini, kalian aku ajak ke rumah kepala desa. Kalian bisa banyak mendapat informasi di sana."

Setelah berbincang-bincang cukup lama, akhirnya Aska meminta agar ia diizinkan untuk berbicara berdua saja dengan Ayu.

"Eit! Kalau ada anak manusia berbeda jenis berdua saja, maka yang ketiga adalah setan, Mas. Jadi ...."

"Oh iya, aku paham. Jadi ... siapa yang mau jadi setannya?" Aska berseloroh dan kembali mereka semua tertawa.

"Aku aja aja deh yang nemenin Ayu!" Wulan menawarkan diri. "Tapi aku bukan setannya ya, Mas!"

Askara tersenyum kemudian mengangguk. Sepeninggal Mia dan Kiki ruang tamu menjadi hening.

"Gimana, semoga tempat ini seperti ekspektasimu, Ay."

"Iya, Mas. Makasih, ya." Ayu tersenyum.

"Eum ...." Tampak Aska ragu, ia menatap Wulan yang asyik dengan gadgetnya.

Merasa Aska tak nyaman, ia berkata, "Tenang, aku pakai ear phone, Mas!"

Bibir Aska melebar melihat reaksi Wulan. Pria itu kembali menatap Ayu. Ada perasaan yang lama ia harus kubur hingga menunggu saat Ayu selesai kuliah. Dia berharap kali ini Ayu membuka hati.

Aska punya banyak rencana untuk dia dan Ayu jika harapannya terwujud. Ia ingin meminang Ayu sebelum dirinya berangkat ke luar negeri. Menyelesaikan kuliah S2 dengan segera setelah itu melanjutkan hidupnya bersama perempuan yang ia cintai.

"Ayu, aku ingin bicara banyak soal hubungan yang terhenti waktu itu. Aku berniat datang ke keluargamu untuk menunjukkan bahwa aku bersungguh-sungguh," ungkapnya dengan tatapan hangat.

Ayu mulai bimbang, satu sisi dia merasa tersanjung dengan keseriusan pria baik di depannya, tetapi di sini lain ia meragu dengan perasaannya sendiri. Kebersamaan yang intens dengan Yudhis belakangan ini telah benar-benar mengikis rasa yang sebenarnya pelan-pelan mulai mengakar untuk Aska.

Perhatian dan semua hal yang ditunjukkan Yudhistira padanya berhasil membuat Ayu kembali berpikir untuk mengartikan kedekatan mereka. Mendadak ia merasa bersalah pada Aska, meski sebelumnya pria itu belum mengatakan dengan jelas tentang perasaannya karena paham seperti apa yang diinginkan Yudhistira.

"Aku rasa sudah tidak ada alasan lagi kakak angkatmu melarang aku dekat dan melamarmu, kan, Ay?"

Ayudia mengangguk sembari tersenyum.

Aska mengungkapkan bahwa keberangkatannya akan dipercepat.

"Dengan begitu aku bisa memangkas waktu untuk segera kembali. Saat aku kembali ... kamu adalah orang pertama yang kutemui," ucapnya masih dengan mata membidik Ayu.

Ayu membeku. Ada ketulusan mengalir dari kalimat yang meluncur dari bibir Aska. Bagaimana dia bisa menolak semua kebaikan dan ketulusan pria berkumis tipis itu? Apakah perasaannya benar-benar mencintai Aska atau hanya pelarian atas rasa yang berusaha ia lipat untuk Yudhistira?

Lagipula dia sepenuhnya sadar, berharap kepada Yudhis sama saja dengan mengharap hujan di musim kemarau. Kakak angkatnya itu akan segera merenda hati dengan Prita.

Mungkin kini saatnya dia kembali memperbaiki rasa yang mulai pupus dan kembali menguatkan hati untuk Aska.

Ingatannya berlabuh pada ucapan Bulek Warni, perempuan yang menyayanginya itu berulang kali menanyakan soal dirinya yang belum memiliki kekasih. Besar harapan Bulek adalah agar ia menikah dengan pria baik dan bertanggung jawab, dengan begitu ia sudah bisa bernapas lega, karena janjinya dengan sang kakak telah lunas.

"Ayu?"

"Iya, Mas?"

Aska menautkan kedua alisnya meminta jawaban. "Melamun?"

"Seperti yang aku bilang ... Mas bisa ke rumah Bulek untuk membicarakan hal ini."

"Baik! Akan aku lakukan," tuturnya dengan mata berbinar. "Sekarang ada baiknya kita bersiap-siap untuk ke rumah kepala desa!" titahnya.

***

Yudhistira merebahkan tubuhnya ke pembaringan. Semua persyaratan menikah sudah selesai, tinggal pelaksanaannya saja. Namun, siapa sangka dua hari lagi pesta berlangsung justru ia kehilangan Prita. Perempuan yang ia cintai itu menghilang bak ditelan bumi. Bahkan keluarganya pun tak diketahui rimbanya. Semua akses informasi Prita tak ada yang bisa digali keterangannya.

Lelah sudah ia berkeliling dan memutar otak untuk menemukan Prita. Tinggal Yudhis yang semakin putus asa. Sementara persiapan pesta sudah di depan mata. Kedua orang tuanya panik terlebih sang mama. Jika acara ini dibatalkan, tentu saja sama dengan menabur malu di mata rekan kerja dan kerabat. Namun, jika diteruskan tentu mempelai wanita harus segera ditemukan.

Ketukan pintu kamar membuat Yudhis bangkit.

"Masuk!"

Perlahan Bu Mita membuka pintu lalu menutup kembali. Ia mendekati sang putra yang tampak kusut.

"Bagaimana, Yudhis?"

Pria beralis tebal itu menggeleng. Jelas di wajahnya terlihat enggan berbicara.

"Mungkin teman-teman, Prita ada yang ...."

"Semua sudah Yudhis hubungi, Ma. Nggak ada satu pun dari mereka yang tahu ke mana dia."

Perempuan paruh baya itu menghela napas dalam-dalam. Ia bahkan hampir sama kusutnya dengan sang putra.

Sebelum ia berbicara dengan Yudhis, Bu Mita telah bertukar pikiran dengan suaminya. Mereka sepakat akan meminta kesediaan Ayu untuk menjadi mempelai wanita di acara pernikahan putra mereka. Meski keduanya tahu hal itu akan terasa tidak adil bagi Ayu. Baik Pak Cokro dan Bu Mita merasa tidak ada pilihan lain selain memohon pada Ayu.

Bulek Warni pun telah mereka hubungi, dan pihak keluarga Ayu juga merasa tidak keberatan asal Ayu bersedia. Sekarang tentu Bu Mita harus bicara dengan Yudhis, sebelum menghubungi Ayu.

"Yudhis, papa dan mama punya usul agar keluarga kita tidak terlalu malu di mata para kerabat." Suara Bu Mita terdengar berhati-hati.

"Usul apa, Ma?"

Mengatur napas, perempuan berusia sekitar lima puluhan itu menjelaskan keputusan ia dan sang suami.

"Ini juga demi papamu dan ...."

"Yudhis tahu, Ma! Yudhis minta maaf karena ini sama sekali tidak ada dalam pikiran Yudhis!" potongnya dengan rahang mengeras.

"Mama tahu, Yudhis. Mama juga ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi pada Prita, sebab ...."

"Jangan sebut namanya, Ma!"

"Yudhis, kita akan menemukan jawaban itu nanti. Jawaban kenapa ia pergi dan tak memberi kabar."

"Sudahlah, Ma. Apa yang sudah Mama susun itu jalankan saja."

"Jadi kamu setuju dengan usulan ini?"

"Yudhis nggak punya pilihan lain. Itu akan Yudhis pikir nanti."

"Maksudnya, Nak?"

"Mama nggak tahu apa yang ada di pikiran Maira jika dia tahu? Meskipun Yudhis tahu dia pasti akan setuju nanti, tapi kita nggak tahu bagaimana hatinya. Sudahlah! Mama boleh hubungi dia."

Tergambar di wajah Yudhis, ada kecewa dan marah menjadi satu. Ia hanya menunggu saat yang tepat untuk berterima kasih atau bahkan memberi jeda beberapa waktu untuk kembali memberi ruang bagi Ayu kembali bebas.

🍁🍁🍁

Alhamdulillah ... finally part 4 done. Semoga masih suka ya🥰 terima kasih aku ucapkan buat teman-teman yang selalu mendukung aku.

Semoga kita dan keluarga semua selalu sehat ya.

Salam hangat 🤗

Cilok aja kalau ada typo 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top