24
Ayu menarik napas panjang kemudian menggeleng.
"Nggak ada yang perlu diceritakan, Bulek."
"Kamu yakin?"
Hening.
"Bulek tahu siapa dan seperti apa kamu, Ayu. Bulek tahu ada yang kamu pikirkan. Cerita ke Bulek!"
"Ayu bingung, Bulek," tuturnya mengangkat wajah menatap Marni.
Perempuan memakai ciput berwarna merah itu tersenyum lalu duduk di kursi yang terpisah oleh meja kayu.
"Apa yang membuatmu bingung?"
"Seperti apa cinta Bulek ke Paklek?"
Mata Marni menyipit.
"Kamu kok nanya seperti itu, Nduk?"
Senyum simpul tercetak di bibir Ayu.
"Bulek dulu pernah cerita, kan? Kalau Bulek dijodohkan oleh Mbah?"
Marni mengangguk.
"Bulek juga pernah bilang kalau nggak mencintai Paklek?"
"Iya," jawabnya. "Ada apa to ini?"
"Bulek punya pria yang Bulek sukai sebelum akhirnya menerima Paklek, kan?"
Marni mengangguk. Pertanyaan Ayu semakin membuat Marni penasaran.
"Kamu ini sebenarnya mau cerita atau mau mewawancarai Bulek to, Nduk?"
Kali ini Ayu tertawa kecil, kemudian menyesap teh yang sudah hangat hingga tinggal separuh.
"Maafin Ayu, Bulek. Ayu cuma pengin tahu, seberapa lama Bulek bisa melupakan pria yang Bulek cintai sebelum akhirnya memutuskan untuk hidup berdua dengan Paklek Tono."
Senyum Marni melebar mendengar penjelasan keponakannya.
"Kamu ini sedang mencari pertimbangan atas alasan kamu?"
"Maksud Bulek?"
"Bulek tahu, kamu masih memikirkan Yudhis to?"
Wajah Ayu berubah tersipu ketika Marni menyebutkan nama itu.
"Bulek ini! Ayu tanya aja, malah mikirnya macam-macam," tandasnya.
Marni mengusap puncak kepala Ayu.
"Jangan begitu, Ayu. Bulek tahu kamu masih cinta sama dia, kan?"
"Ehm ... maaf, permisi."
Terdengar suara bariton dari arah pintu ruang tengah. Suara yang tidak asing di telinga Ayu dan Marni. Mereka berdua sontak menoleh ke arah yang sama.
Terlihat seorang pria jangkung berkaus hitam dan celana denim tengah berdiri dengan menenteng paper bag bertuliskan satu merek kue terkenal di kota itu. Di sebelahnya ada Fadil anak bungsu Marni tengah menikmati cokelat. Bocah kecil itu tersenyum memamerkan giginya yang terkena cokelat.
"Nak Yudhis?" Marni bangkit menyambut kedatangan pria beralis tebal itu. "Kok nggak kasi kabar kalau mau datang?"
Yudhis tersenyum tipis seraya memberikan bingkisan kepada Marni.
"Kabarnya Paklek ...."
"Alhamdulillah, Paklekmu sudah lebih baik. Ayo silakan duduk!"
Marni mengajak pria itu ke ruang tamu, sedangkan Ayu justru seperti terpaku di tempatnya sejak tahu siapa yang datang. Dia berpikir Yudhis pasti mendengar semua pembicaraan antara dia dan Marni.
"Ayu! Kenapa masih di situ? Buatin minuman untuk Yudhis!" titah Bulek melongokkan kepalanya seraya menyibak gorden.
"I ... ya, Bulek."
Perlahan dia menyiapkan minuman hangat untuk pria yang tengah bercengkerama dengan buleknya di ruang tamu.
Berusaha seolah tak terjadi apa-apa, Ayu keluar membawa nampan berisi dua minuman hangat.
"Diminum, Mas. Maaf cuma minuman aja," tuturnya seraya meletakkan cangkir di meja.
Yudhis mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Matanya memindai paras cantik Ayu sejenak. Ada senyum samar tercetak di bibirnya.
"Kamu mau ke mana, Ayu?" tanya Marni ketika Ayu hendak membalikkan badan.
"Eum ...."
"Duduk sini! Biar Bulek tengok Paklekmu sebentar. Mungkin dia mau ke kamar mandi."
"Sebentar ya, Nak Yudhis. Bulek mau lihat Paklek dulu. Sekalian kasi tahu kalau ada Nak Yudhis," imbuhnya seraya bangkit membiarkan Ayu mematung.
"Apa kabar, Mayra?"
"Baik, Mas. Mas gimana? Udah sehat?" jawab Ayu seraya duduk. Dia terlihat sedikit gugup, tetapi bisa mengendalikan dirinya.
Yudhis tersenyum kemudian mengangguk.
"Makasih kamu udah datang waktu itu. Meski ...."
"Nggak masalah kok, Mas," potongnya menunduk sambil memilin ujung khimar.
"Kemarin itu namanya ...."
"Anita. Dia asisten Mas Yudhis," tukasnya melebarkan bibir.
Yudhis mengangguk.
"Kenapa waktu itu kami langsung pulang, May?"
Masih dengan senyum Ayu berkata, "Mas sedang beristirahat, kan? Aku hanya nggak mau ganggu. Lagian sudah ada asisten Mas di sana. Jadi setelah tahu Mas udah lebih baik, saya pikir itu udah lebih dari cukup."
Pria bermata tajam itu terlihat kesulitan menyusun kata-kata. Semakin dia rasa Ayu mencoba menjauh, semakin kuat juga keinginannya untuk mendekat.
"Iya, tapi, kan ...."
"Tapi apa, Mas?"
Memijit pelipisnya Yudhis menjawab, "Tapi kan kamu udah jauh-jauh datang, Mayra."
Terlihat pria berkulit bersih itu frustrasi dengan kondisinya saat ini. Bahkan untuk sekadar mengungkapkan perasaan rindu Yudhis merasa kesulitan.
Dulu sebelum dia dan Ayu menjadi sebeku ini, dia tak sulit mengatakan perasaannya pada adik angkatnya itu. Bahkan seringkali Yudhis menggoda Mayra soal hal yang remeh. Mulai dari penampilan, hobi dan apa pun yang membuat mereka berdua terlihat akrab.
"Nggak jauh kok, Mas. Biasa aja. Lagian sambil jalan-jalan juga."
Senyum Yudhis terlihat datar mendengar jawaban Ayu.
"Kamu kapan balik?"
Mengedikkan bahu Ayu menggeleng. Melihat itu, Yudhis menyipitkan matanya.
"Kenapa jawabannya begitu? Kamu nggak tahu kapan kembali?"
"Ada alasan untuk itu, Mas."
"Alasan? Alasan apa?"
Ayu bergeming.
"Apa ada yang menyakitimu?"
Wajah Ayu terangkat, sekilas dia menatap Yudhis lalu kemudian menggeleng.
"Terus kenapa kamu ...."
"Nggak ada apa-apa kok, Mas."
"Ada apa, May? Bukannya kamu sudah menemukan duniamu di sana?"
"Iya. Aku bahagia. Aku nggak apa-apa kok."
Menarik napas Yudhis menyandarkan tubuhnya.
"Maaf, Mas. Aku ke dalam dulu ya. Mungkin Bulek butuh bantuan." Ayu bangkit lalu meninggalkan Yudhis tanpa menunggu jawaban.
**
Yudhis menghabiskan satu cangkir kopi pekat di depannya. Wajah pria itu seperti tengah memikirkan sesuatu.
"Masih soal Mayra?" Rico membuka pembicaraan.
"Aku nggak nyangka ternyata virus galau bisa juga menimpamu!" kelakarnya seraya terkekeh menatap Yudhis.
Mendengar candaan Rico, Fredi yang asyik merokok di kursi yang tak jauh dari mereka, ikut bergabung.
"Kalau galau semua pasti pernah, Ric. Cuma kalau galau sekaligus menyesal itu hanya dialami dia!" jelasnya sambil meletakkan laptop di depan Yudhis.
Pria berkaus putih itu hanya melirik kedua rekan yang tengah menertawakan dirinya.
"Kalian kira ini lucu?" gerutu Yudhis.
"Jangan tegang begitu. Coba kamu lihat siapa itu!" tutur Fredi dengan dagu mengarah ke laptop di depan Yudhis.
"Siapa?" tanyanya malas.
"Kamu lihat baik-baik, Bos!"
Mata Yudhis beralih ke layar tujuh belas inci di depannya. Seorang perempuan berlenggak lenggok tengah tersenyum di catwalk dengan pakaian musim panas.
"Semoga dengan datangnya rekaman itu kamu tercerahkan!" ujar Fredi lagi.
Yudhis memejamkan mata kemudian mendorong laptop milik rekannya itu menjauh.
"Untuk apa kamu tunjukkan ini?"
"Untuk menjelaskan bahwa dia sudah berada di puncak karir yang diam inginkan. Sekaligus menunjukkan kalau kamu bisa mencarinya sekarang."
Menarik napas dalam-dalam, Yudhis menggeleng.
"Aku nggak ada lagi pikiran ke sana, Fred," ucapnya menyandarkan tubuh di bahu kursi.
Mata Fredi menyipit mendengar penuturan Yudhis.
"Maksudnya?"
"Maksudnya ya sudah jelas. Aku sudah nggak ada hubungannya dengan dia."
"Bukannya dulu ...."
"Itu, kan dulu!"
"Sekarang?"
Merasa dipancing dengan pertanyaan Fredi, Yudhis membuang napas kasar.
"Aku rasa dia sudah menemukan hidupnya."
"Kamu nggak ingin bertanya kenapa ...."
Yudhis mengangkat tangannya memberi isyarat agar Fredi menghentikan ucapannya. Dia kemudian mengambil ponsel dari kantong celana lalu memberikan pada Fredi.
"Apaan?"
Dia kembali memberi isyarat supaya Fredi membaca pesan yang tertera di aplikasi chatting miliknya.
Rico yang sejak tadi fokus dengan game di ponselnya merasa berhak tahu. Dia mendekat ke Fredi.
"Dia chat kamu?" tanya Rico dengan mata memindai Yudhis.
Yudhis hanya memberi isyarat dengan dagu.
"Kamu belum balas?" tanyanya lagi.
"Apa nggak lebih baik kamu temui dia, Yudhis? Bukannya dulu kamu ingin sekali mendengar alasan dia meninggalkan ...."
"Mungkin iya. Aku akan menemui, tapi nggak sekarang!" Menarik napas Yudhis memotong ucapan Fredi.
"Kenapa nggak sekarang?" Rico ingin tahu.
"Ada sedikit masalah di kerjaan. Aku besok pagi harus balik ke sana."
"Masalah?"
"Ya biasalah, Fred! Ada mobil yang diklaim hasil curian dan dijual ke kami."
"Itu berat, Yud!"
"Aku tahu. Makanya jangan berpikir kalau aku diam itu karena mikirin soal asmara aja!" Kali ini senyum tercetak di bibir Yudhis.
"Tapi kalau Prita terus ngejar kamu ngajak ketemu gimana?"
"Iya. Kan aku udah bilang bakal temui, tapi nggak sekarang!"
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top