22


Anita tersenyum mendekat lalu membukakan pagar untuk Ayu.

"Maaf cari siapa?" tanya Anita ramah.

"Mas Yudhis ...."

"Oh, ada. Dia lagi istirahat sih," potongnya.

Ayu mendadak merasa serba salah, tetapi dia harus melakukan apa yang dititahkan Mita mamanya.

"Kenalin saya Ayu," tuturnya mencoba memecah kebekuan.

"Oh, iya. Saya Anita. Asistennya Pak Yudhis," sambutnya seraya menyambut uluran tangan Ayu.

"Eum ... saya dengar Mas Yudhis sakit?"

"Iya, dia sedang istirahat barusan. Saya juga baru masak untuk makan siangnya."

Mendengar penuturan Anita, Ayu paham bahwa Yudhis sedang tidak bisa diganggu.

"Jadi sekarang Mas Yudhis sedang tidur atau?"

"Iya, Pak Yudhis sedang tidur. Ada baiknya dia nggak usah diganggu."

Ayu tersenyum tipis kemudian mengangguk. Dia kemudian menyerahkan paper bag berisi roti isi keju kesukaan Yudhis.

"Saya bisa minta tolong berikan ini ke Mas Yudhis?"

Anita menghela napas lega seraya mengangguk dia menerima apa yang dibawa Ayu.

"Iya, nanti saya akan berikan."

Ayu kembali tersenyum seraya mengangguk.

"Terima kasih, Anita. Kalau begitu ... saya balik dulu. Permisi."

Ayu membalikkan tubuhnya seraya mengucapkan salam.

Perempuan berjilbab lilac itu kembali menaiki motornya kembali pulang tanpa bertemu Yudhis.

**

Yudhis mengerutkan kening melihat roti keju kesukaannya ada di meja makan. Tak ada pesan di sana. Pria itu duduk sambil membolak-balik roti yang masih terbungkus itu, seperti sedang mencari petunjuk.

'Yang tahu kesukaanku hanya Mama, Prita dan Ayu ...." batinnya.

"Siapa yang kirim ini?" gumamnya dengan kening berkerut.

Saat Yudhis masih menerka-nerka pengirim roti itu, ponselnya bergetar. Ada pesan masuk di aplikasi hijau.

[Sudah baikan, Pak?]

[Maaf tadi ada perempuan bernama Ayu datang. Karena saya bilang Mas Yudhis sedang istirahat, dia menitipkan bungkusan pada saya. Saya letakkan di meja, Pak.]

Yudhis tak membalas. Dia meletakkan ponsel di meja dengan mengembuskan napas dalam-dalam.

"Ayu," gumamnya kemudian menyambar ponselnya kembali.

Pria itu terlihat mencoba menghubungi Ayu, tetapi sia-sia. Yang dihubungi sama sekali tidak mengangkat teleponnya.

Seperti orang yang sedang bersalah, dia lalu menghubungi Anita.

"Halo, Mas Yudhis."

"Kenapa tadi Ayu nggak kamu biarkan masuk?" Suara Yudhis terdengar kesal.

"Eum ... kan Mas Yudhis sedang istirahat? Lagian saya nggak pernah lihat perempuan itu. Dia juga nggak kasi tahu siapa. Jadi ...."

"Anita! Sejak kapan kamu jadi sok ngatur aku?"

"Maaf, Mas. Aku ...."

"Kamu tahu dia siapa?"

Anita bergeming. Ada banyak hal yang membuatnya kagum pada sosok Yudhis. Pria yang cenderung tak banyak bicara, tetapi memiliki rasa empati yang tinggi pada siapa pun termasuk padanya. Sudut hati Anita berharap Yudhis tak hanya memandang dirinya sebagai asisten, tetapi lebih dari itu.

"Kenapa kamu diam, Anita? Kamu tahu dia siapa?" tanya Yudhis masih dengan suara tinggi.

"Eum ... maaf, Mas. Saya nggak tahu." Anita menjawab lirih.

"Ck! Kalau nggak tahu nggak usah sok ngatur aku!"

Obrolan diakhiri begitu saja oleh Yudhis. Pria itu menarik napas dalam-dalam kemudian menyungging senyum tipis seraya membuka bungkus roti keju kesukaannya.

**

Ayu tersenyum membaca pesan dari Daffa, hari  itu Daffa harus kembali ke kotanya karena tugas telah selesai.

[Kamu jaga diri baik-baik, Ayu.]

[Makasih, Dokter.]

Meletakkannya kembali ponsel ke meja, Ayu kembali fokus ke layar tujuh belas inci di depannya. Entah kenapa dia tiba-tiba merasa berdosa telah mengabaikan panggilan masuk dan pesan dari Yudhis.

Dia melakukan hal itu karena tak ingin terjadi lagi hal yang telah lalu. Perlahan Ayu mulai memahami bahwa memang pria itu bukan lagi cintanya. Yudhis telah bisa melupakannya Prita dan kini telah menemukan pengganti sebenarnya.

Mengingat itu, Ayu menghela napas dalam-dalam.

"Perasaan tadi senyum senang gitu, kenapa sekarang wajah kamu muram, Ay?" tanya Mia yang sejak tadi membaca dan duduk di sampingnya.

Ayu menoleh sekilas lalu tersenyum tipis.

"Nggak apa-apa, Mia."

"Bohong kalau nggak ada apa-apa, Ay! Jelas-jelas ekspresi wajah kami berubah gitu!"

Ayu mengabaikan ucapan temannya, dia hanya kembali menarik bibir sejenak.

"Kamu kepikiran Mas Yudhis?" tanya Mia ingin tahu.

"Nggak! Ngapain mikirin Mas Yudhis?" balasnya malas.

Mendengar jawaban Ayu, bibir Mia melebar. Dengan mata mengerling dia menggoda, "Yakin kamu nggak mikirin Mas Yudhis? Aku perhatikan sejak balik dari rumah dia, wajahmu kusut melulu. Coba cerita ke aku, ada apa!"

Ayu mematikan laptop kemudian menatap Mia. Menarik napas panjang dia kemudian menggeleng.

"Nggak ada apa-apa, Mia."

Mia menaikkan alisnya kemudian melihat ke arah ponsel yang bergetar.

"Kalau nggak ada apa-apa, kenapa panggilan dari dia kamu abaikan?"

Ayu terlihat sedikit terkejut karena Mia menyadari perbuatannya.

"Kamu marahan sama Mas Yudhis?"

Ayu bergeming, sementara ponselnya terus bergetar.

"Ayu! Kamu nggak kasihan sama Mas Yudhis? Sepertinya penting!"

Meraih ponsel, Ayu beranjak dari duduk lalu menjauh dari ruangan itu.

"Assalamualaikum, Mas."

"Waalaikum salam, Mayra. Kamu ke sini tadi? Kenapa nggak masuk? Kenapa kamu pergi begitu aja? Terus kenapa kamu nggak balas pesanku juga nggak angkat telepon?" Suara Yudhis di seberang dengan nada khawatir.

Sejenak dia diam.

"Mas sudah sehat?" tanyanya tanpa menjawab cecar pertanyaan Yudhis.

"Kamu belum jawab pertanyaanku, Mayra."

"Jawabanku nggak penting, Mas. Aku harus pastikan Mas nggak apa-apa. Biar Mama nggak khawatirkan," balasnya datar.

"Mama?"

"Iya, Mas. Mama yang kabari aku soal Mas."

Yudhis menarik napas dalam-dalam.

"Aku baik-baik aja, May. Makasih sudah datang."

"Sama-sama, Mas. Jaga diri baik-baik. Jangan sakit lagi."

Ayu lebih dulu mengakhiri obrolan mereka, kemudian melangkah menuju kamar.

**

Sementara di tempat berbeda, Mita tersenyum laga mendengar kabat bahwa putranya baik-baik saja. Meski sang putra barusan telepon dan mengatakan keberatan jika mamanya meminta bantuan pada Ayu.

"Mama juga sih, mereka itu udah pada gede, Ma. Biarkan mereka menentukan ke mana mereka mau. Mama nggak lupa, kan kegagalan kita soal pernikahannya mereka?"

Mencebik Mita mengangguk.

"Nggak tahu kenapa ya, Pa. Mama merasa mereka itu memiliki keterikatan satu sama lain."

Cokro menatap istrinya sejenak kemudian kembali dengan majalahnya.

"Kan mulai lagi, kan? Sudahlah, Ma. Kemarin Mama kenalin Ayu sama Daffa, sekarang Mama malah mikir kalau ada keterikatan antara Yudhis dan Ayu," timpalnya.

Mita tersenyum tipis.

"Pa, aku mamanya. Aku tahu bagaimana Yudhis, Pa."

"Emang Yudhis bagaimana, Ma?" tanya Cokro kali ini meletakkan majalah bisnis ke meja lalu meraih cangkir berisi teh hangat.

"Dia itu memang sulit ditebak. Dia akan mencari celah untuk menunjukkan perasaannya, Pa."

Cokro menyesap minumannya kemudian kembali meletakkan di atas meja.

"Ma, saran Papa, berhenti berharap mereka kembali. Kesalahan yang lalu itu sudah cukup bikin kita berkaca."

Mita menghela napas panjang, kemudian mengangguk.

"Iya, Pa. Papa benar. Biarkan mereka masing-masing menemukan jodohnya."

"Nah itu yang Papa maksud, Ma."

**

Ayu memasukkan ponselnya ke dalam tas. Sudah tiga bulan dia tidak pulang dan menengok Bulek Marni. Barusan Hamdi putra pertama Bulek memberi kabar bahwa bapaknya sedang sakit. Menurut Hamdi, Paklek Tono sedang diopname.

"Aku harus pulang, Wulan. Paklek sakit dan sudah satu pekan di rumah sakit."

"Kapan kamu pulang?"

"Secepatnya. Bantu aku ngatur anak-anak ya, Lan."

Wulan mengangguk.

"Kamu tenang aja, aku sama teman-teman nanti akan atur itu semua."

Ayu menarik napas dalam-dalam. Ingatannya melayang ketika dirinya masih tinggal bersama keluarga Bulek. Mereka semua sangat hangat dan menyenangkan. Kesulitan sesulit apa pun mereka bisa pecahkan bersama. Kebersamaan keluarga itu membuat dirinya ingin kembali pada saat-saat itu.

Lamunan Ayu buyar ketika mendengar namanya dipanggil.

"Ada ... ada ...."

"Ada siapa, Ki?" tanyanya dengan kening berkerut menatap Kiki yang baru saja membukakan pintu.

"Ada tunangan Askara cari kamu, Ay!"

Mata Ayu menyipit mendengar ucapan rekannya.

"Ada perlu apa dia cari aku, Ki?"

Kiki menggeleng pelan seraya mendekat.

"Kamu temui buruan, Ay! Aku temani!"

Ayu bangkit dengan wajah penuh tanya menatap Kiki.

Di ruang tamu dia melihat perempuan berkacamata dengan rambut sebahu. Wajahnya tampak diselimuti kesedihan, terlebih ketika melihat Ayu.

"Kamu yang namanya Ayu?" tanyanya seraya bangkit dan mengulurkan tangan.

"Iya. Saya Ayu," jawabnya menyambut jabat erat dari perempuan itu.

"Saya ...."

"Mbak Marina. Saya tahu."

Marina tersenyum lalu mengangguk. Ayu kemudian mempersilakannya duduk.

"Maaf kalau kedatangan saya mengganggu."

"Nggak, Mbak. Eum ... ada apa ya, Mbak? Apa ada yang bisa saya bantu?" Ayu bertanya mencoba menuntaskan rasa penasaran yang sejak tadi bercokol di kepalanya.

Tampak Marina ragu. Dia berulang kali menatap Kiki yang menjadi orang ketiga di ruangan itu.

"Maaf sebelumnya. Apa saya bisa bicara berdua saja dengan Ayu?" tanyanya dengan menatap Ayu dan Kiki bergantian.

**





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top