21
"Siapa yang datang, Ay?" Wulan bertanya dari belakang.
"Mas Yudhis."
Mata temannya membulat mendengar jawaban Ayu.
"Ada aroma rindu sepertinya," ledek Wulan.
Ayu tak menanggapi, dia bergegas membukakan pintu.
"Mas Yudhis?" Ayu menatap heran pada pria di depannya.
"Hai Mayra."
"Hai, Mas. Eum ... tumben, ada apa?"
Pria beralis tebal itu tersenyum tipis kemudian menggeleng.
"Kebetulan habis nganterin karyawan yang rumah ibunya nggak jauh dari sini. Eum ... aku mengganggu?"
"Oh nggak. Silakan masuk, Mas "
Yudhis tersenyum seraya berkata, "Nggak, May. Makasih. Aku cuma mampir."
"Kalau gitu, Mas duduk dulu. Aku bikinin minum," tutur Ayu seraya memberi isyarat agar Yudhis duduk di teras.
"Nggak usah, May. Aku cuma mampir sebentar kok," tolaknya.
"Aku cuma mau memastikan kalau ...."
"Kalau apa, Mas?"
"Kalau kamu baik-baik aja."
Ayu tertegun mendengar penuturan pria berkemeja putih di depannya.
"Ya udah, aku balik. Take care, May."
Yudhis membalikkan tubuhnya melangkah menjauh meninggalkan Ayu yang masih mematung dengan beragam pertanyaan di kepalanya.
Sementara Yudhis di mobil mengusap wajahnya menyesali bibirnya yang terkunci untuk mengungkapkan kerinduannya pada perempuan itu.
Selepas kepergian Yudhis, teman-teman Ayu tak henti menggodanya. Mereka sepakat menyimpulkan bahwa Yudhis benar-benar merindukan Ayu.
"Ayu, seharusnya kamu pancing dia sampai ngaku," saran Mia.
"Tapi menurut aku nggak perlu, Mia. Biarkan dia ngaku sendiri tanpa harus dipancing!" Wulan menimpali.
"Ayu, kamu jujur deh ke kita gimana perasaanmu ke Yudhis?"
Ayu mengedikkan bahu lalu tersenyum.
"Apa perasaanku penting?"
"Iya dong!" jawab Kiki. "Ayu, kamu memang berhak bahagia dengan siapa pun, tapi aku melihat matamu nggak bohong soal perasaan ke Yudhis."
Ayu kembali tersenyum.
"Mungkin kalian benar, tapi sudah takut untuk berharap. Jadi ... bantu aku untuk melupakan!"
"Apa ini artinya kamu mencoba menerima dr. Daffa?" Kiki memindai wajah rekannya.
Ayu menggeleng.
"Aku hanya ingin melupakan, Kiki. Untuk menjalin hubungan ... aku belum memikirkan hal itu."
**
Siang sepulang mengajar, Ayu menerima telepon dari Daffa yang siang itu bari saja menyelesaikan urusannya. Pria berwajah ramah itu meminta Ayu untuk membagikan lokasi kediamannya.
Seperti biasanya, ketiga rekan Ayu ikut sibuk mempersiapkan kedatangan tamu.
"Ayu, aku boleh duduk nemenin kalian nanti, kan?" tanya Mia serius.
"Bolehlah! Lagian aku juga nggak enak kalau hanya berdua," jawabnya.
"Ayu."
"Iya, Wulan?"
"Aku harap ini bisa bikin kamu lupa pada Yudhistira, dan ...."
"Bisa bikin pria itu cemburu hingga akhirnya, dia ngaku kalau dia benar-benar cinta ke kamu, Ayu," potong Mia seraya meletakkan toples berisi kue kering di meja tamu.
Ayu tertawa kecil.
"Harusnya kalian nggak usah repot mikirin soal itu. Kalian tahu? Aku sudah cukup terhibur dengan adanya kalian di sini."
"Tapi kami ingin melihat Yudhis menyesal atas keputusannya sehingga pernikahan kalian dibatalkan. Kami ikut sakit hati, Ayu," timpal Kiki.
"Udah ah! Yang sudah biarkan lewat." Ayu merapikan jilbabnya.
"Ayu."
"Iya, Ki?"
"Kami tahu bagaimana selama ini kamu mencoba bersikap biasa, tapi aku tahu perasaan kamu hancur."
Ayu bergeming. Dia memang selama ini selalu berusaha menampakkan bahwa dirinya sudah bisa melupakan duka, tetapi teman-temannya tahu Ayu sering terisak di pertiaga malam.
"Kami ingin kamu bahagia, Ayu. Dengan siapa pun itu," sambung Kiki lagi.
Menarik napas dalam-dalam, Ayu mengangguk kemudian mengucapkan terima kasih kepada ketiga temannya.
Suara mobil berhenti di depan. Gegas Wulan mengintip dari jendela. Matanya berhenti pada sosok pria berkemeja biru muda dan celana formal melangkah mendekat.
"Ayu, itu dokter Daffa yang kamu ceritakan waktu itu?"
Ayu mendekati Wulan menatap dari jendela sosok yang tengah melangkah mendekat.
"Iya. Aku buka pintunya dulu."
"Assalamualaikum, Ayu."
"Waalaikum salam, Dokter Daffa."
Pria berkumis tipis itu tersenyum.
"Jadi ini rumah tinggal para guru yang banyak memberikan inspirasi di desa ini?"
Ayu tersenyum lalu mempersilakan masuk.
"Di luar aja," tolaknya sembari duduk di kursi rotan.
"Dokter mau minum apa?"
Menggeleng, Daffa berkata, "Nggak usah, udah kembung di puskesmas tadi. Kita ngobrol aja di sini."
Ayu duduk berseberangan dengan pria ramah itu. Mereka berdua terlibat pembicaraan ringan. Sesekali keduanya tertawa lepas, ketika berbicara soal rencana kedua orang tua mereka.
"Mama banya cerita soal kamu." Daffa menyadarkan tubuh ke punggung kursi.
"Cerita apa?"
"Apa aja. Aku yakin Tante Mita juga demikian. Iya, kan?"
Ayu tersenyum membenarkan.
"Biasalah, kalau lagi promosi memang yang diceritakan yang baik-baik. Saranku, jangan percaya semua cerita itu," sambungnya lagi.
Ayu tertawa kecil, dia gak menyangka Daffa memiliki kepribadian santai dan lucu.
"Apa pun yang dipikirkan Mama kita nggak perlu diseriusin. Meski nggak ada salahnya kalau kita berteman, bukan begitu, Bu Guru?"
"Iya, Pak Dokter," balas Ayu kali ini dengan tawa.
**
Yudhis menarik selimut, dua hari sudah dia tidak ke kantor. Kabar itu didengar oleh Mita sang mama.
"Mama ke sana kalau gitu. Atau kamu pulang aja deh, Yudhis!" tutur mamanya di telepon.
"Nggak, Ma. Yudhis nggak apa-apa kok. Cuma memang belakangan ini jarang bisa tidur nyenyak."
"Kenapa?"
Yudhis diam. Akhir-akhir ini dia memang tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya dipenuhi banyak andai dan sesal. Dia merasa semesta perlahan menghukumnya.
"Nggak apa-apa, Ma. Biasalah soal kerjaan," jawabnya asal.
"Makan kamu gimana?"
Yudhis diam. Soal makan dia tidak pernah bingung, karena Anita tidak pernah absen membawa makanan untuknya. Anita, perempuan itu memang tengah menunjukkan perhatiannya.
"Yudhis?"
"Eh iya, Ma. Soal makan Mama nggak perlu khawatir."
"Apa perlu Mama kabari Ayu supaya ...."
"Eh, nggak usah, Ma. Yudhis nggak kenapa-kenapa kok."
Setelah meyakinkan mamanya bahwa dirinya baik-baik saja, pembicaraan mereka selesai.
Pria berpiyama cokelat itu meletakkan ponsel di sampingnya. Meski kepalanya terasa berputar, dia bangkit menuju dapur. Dia berpikir segelas kopi hitam mungkin bisa meredakan pusing kepalanya saat ini.
**
Mita gelisah mendengar penuturan Yudhis tentang keadaannya. Meski putranya itu sudah dewasa, tetapi tetap saja sebagai seorang ibu, dia tak bisa tinggal diam.
Terpikir olehnya untuk menghubungi Ayu, meski Yudhis menolak hal itu.
"Mas Yudhis sakit, Ma?"
"Iya, Ayu. Mama minta tolong kamu bisa jenguk Mas Yudhis, kan?"
"I ... ya, Ma. Bisa."
"Mama hanya ingin memastikan kondisinya, Ay. Tadi sih dia bilang baik-baik aja. Kamu tahu kan gimana Mas Yudhis? Dia lebih memilih diam dan nggak suka mengungkapkan perasaannya meski dalam kondisi apa pun."
"Iya, Ma. Ayu tahu itu. Nanti siang sepulang mengajar, Ayu ke tempat Mas Yudhis. Insyaallah."
"Makasih, Ayu. Andai ...."
"Andai apa, Ma?"
Mita diam.
"Nggak apa-apa, Sayang. Ya sudah, Mama tunggu kabar dari kamu ya."
"Iya, Ma."
Pembicaraan selesai. Ayu duduk di kursi kantor sekolah. Rasa khawatir akan kondisi Yudhis membuat memori saat bersama muncul kembali. Yudhis, pria berhidung mancung, dengan kulit bersih dan alis mata tebal itu belum bisa hilang dari nurani dan pikirannya.
[Apa kabar, Mas?]
Pesan dia kirim ke Yudhis melalui aplikasi hijau.
Tak ada jawaban, tak ada tanda bahwa pria itu sedang online.
Menarik napas dalam-dalam, Ayu kemudian berdiri lalu pergi meninggalkan ruangan itu.
**
Anita menyiapkan makan siang untuk Yudhis. Pria itu masih berada di kamarnya setelah pagi yang buruk. Secangkir kopi tidak menolongnya untuk lebih baik. Justru dia harus kembali terkapar di ranjang.
"Kamu nggak perlu sibuk ngurusin aku, Anita," ujar Yudhis ketika perempuan itu meletakkan makan siang di nakas.
"Aku nggak sibuk, Mas," balasnya. "Mas Yudhis bisa duduk? Mas harus makan."
Yudhis mengangguk.
"Nanti aja aku makan. Kamu lebih baik balik ke kantor."
"Tapi, Mas ...."
"Aku akan makan nanti. Sekarang mau istirahat dulu. Aku nggak apa-apa. Pergilah."
"Mas Yudhis yakin nggak apa-apa?"
Pria itu mengangguk.
"Oh iya, ini ada minuman hangat racikan aku untuk Mas Yudhis. Diminum ya."
Perempuan memakai setelan kantor berwarna merah sebatas lutut itu menunjukkan gelas isinya masih berasap.
Kembali dia mengangguk lalu mengucapkan terima kasih.
"Kalau begitu aku balik kantor dulu ya. Nanti malam aku masakin lagi."
Anita bangun kemudian melangkah keluar kamar. Yudhis tak merespon, dia memejamkan mata mencoba untuk tidur.
Saat berada di depan pintu rumah Yudhis, langkah Anita terhenti melihat perempuan berjilbab baru saja turun dari motor tepat di depan pagar.
Tak hanya Anita, perempuan berjilbab itu pun tampak mengurungkan niatnya untuk membuka pagar.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top