19


Makan malam berlangsung menyenangkan. Keluarga Fendy dan Lestari sangat hangat. Pun demikian dengan Daffa putra pertama mereka. Pria bergelar dokter itu sangat ramah dan bersahabat, sehingga Ayu bisa cepat beradaptasi.

"Jadi besok kamu berangkat ke desa itu?" tanya Daffa setelah menyelesaikan makan malamnya.

"Iya, Mas. Mama juga sudah lebih baik. Jadi saya bisa lega ninggalin Mama," balas Ayu dengan senyum.

"Kamu beruntung punya anak seperti Ayu, Mita. Dia begitu sayang padamu!" Lestari menatap sahabat lamanya.

"Kamu benar! Karena Ayu begitu baik, aku nggak rela aja dia jatuh ke tangan yang salah," balas Mita, "kamu tahu maksudku, kan, Tari?"

Lestari mengangguk seraya tersenyum. Pandangannya beralih ke Daffa sang putra.

"Daffa, Mama sudah sering tanya ke kamu, kan?"

"Soal apa, Ma?"

"Apa kamu sudah memiliki ...."

"Calon pendamping?" sambung pria berkulit putih itu dengan wajah jenaka.

Lestari tersenyum lebar kemudian mengangguk.

"Emang kenapa, Ma?"

"Mama rasa Ayu perempuan baik. Kalian bisa berkenalan lebih intens setelah ini."

Mendengar penuturan Lestari, Ayu menatap Mita dengan mata penuh tanya.

"Nggak perlu terburu-buru, kalian bisa saling bertukar pikiran atau bersahabat dulu deh. Iya kan, Pa?"

Cokro yang sejak tadi terlihat asyik bercengkerama dengan Fandy menoleh.

"Sebagai papanya Ayu, tentu saya ingin yang terbaik untuknya, tapi apa pun itu kembali kepada keputusan Ayu."

Ucapan Cokro diamini oleh semua yang hadir. Wajah Ayu terlihat cerah mendengar pernyataan itu. Baginya, butuh waktu yang tidak sedikit untuk memulihkan rasa perih yang pernah dia alami.

Selain itu keinginan untuk mengabdikan diri sebelum benar-benar menikah adalah cita-cita yang sangat ingin dia wujudkan.

"Oke, para Mama juga Papa. Daffa tahu ke mana obrolan ini bermuara," ujar pria berkemeja merah marun itu.

"Tanpa harus diatur, kalau memang ada kecocokan semua akan berlangsung sesuai harapan. Sekarang biarkan kami mewujudkan apa yang jadi keinginan kami dulu."

"Ayu, kamu setuju, kan?" Daffa menatap Ayu yang sejak tadi diam.

Perempuan berjilbab itu hanya mengangguk menanggapi.

"Nah itu Daffa sudah sangat bijaksana!" ungkap Cokro. "Kamu benar, Daffa! Meski sebenarnya kami berharap, tapi semua kita memang harus jalani sebagaimana mestinya."

Fandy terlihat mengangguk setuju, sementara kedua sahabat lama itu akhirnya sama-sama mengangguk.

**

Yudhis baru saja menyelesaikan makan paginya. Seperti rencana hari ini dia kembali ke kota tempatnya bekerja. Selama sarapan dia memilih membisu, sesekali saja dia menanggapi pertanyaan Cokro.

"Kamu jadi berangkat bareng Yudhis, Ayu?" tanya Mita.

Ayu menahan diri untuk menjawab ketika teringat ekspresi Yudhis kemarin yang menawarkan diri untuk membersamainya.

"Saya belum tahu, Ma. Kemarim Mas Yudhis ...."

"Kamu sudah selesai packing barang kamu?" Suara Yudhis menyela pembicaraan Ayu.

"Sudah, Mas."

"Kalau gitu masukkan bagasi. Kita berangkat jam sembilan!" titahnya seraya bangkit meninggalkan ruang makan.

Mita tersenyum menatap Ayu.

"Masih ada waktu satu jam. Kamu bisa mempersiapkan apa-apa yang mungkin dibutuhkan di sana," tuturnya seraya mengusap bahu Ayu.

**

Bergamis merah bata dengan khimar berwarna lebih muda, Ayu duduk di samping Yudhis yang berada di belakang kemudi.

"Hati-hati kalian. Kabari kami kalau sudah sampai ya," pesan Mita seraya melambaikan tangan.

Setelah mengucap salam, mobil meluncur menjauh meninggalkan kediaman keluarga Cokro.

Kembali kekakuan melanda keduanya. Tak seperti beberapa waktu yang lalu, saat Yudhis meminta Ayu untuk memilih perabot untuk rumah yang mau dia tinggali. Kali ini Ayu merasa Yudhis kembali membuat jarak.

"Nggak usah tegang gitu, biasa aja!" ujar Yudhis memecah keheningan.

Pria itu tahu Ayu sedang bermonolog. Berinteraksi dengan Ayu tidak sebentar membuat dia tahu kebiasaan perempuan bertubuh mungil di sampingnya itu. Terlebih Ayu yang dia tahu adalah perempuan yang suka menceritakan hal-hal yang menjadi keinginannya.

"Jadi semalam kamu ketemu sama dokter itu?" tanyanya seperti tengah menginterogasi.

Ayu mengangguk.

"Lalu?" tanyanya lagi dengan mata melirik sekilas.

"Lalu apa?" Ayu balik bertanya.

Yudhis tersenyum tipis kemudian berkata, "Sori, aku lupa. Bukan kapasitasku bertanya soal itu."

Mobil berhenti ketika lampu merah menyala. Cuaca di luar mendung dan sedikit gerims.

"Namanya Daffa. Dia baik, kami banyak bercerita tentang kegiatan kami masing-masing," ungkap Ayu mencoba mencairkan suasana.

Yudhis tersenyum. Saat lampu berubah hijau, kembali mobil bergerak membelah jalanan.

"Syukurlah kalau dia baik. Setidaknya nggak seperti aku."

Ayu membeku mendengar balasan pria di sampingnya. Ada seperti sindiran dari ucapannya.

"Yang bilang Mas Yudhis nggak baik siapa?" Dia mencoba memberanikan diri bertanya.

Bibir Yudhis tertarik sedikit kemudian menoleh sekilas dan kembali fokus mengemudi.

"Aku yakin semua orang pasti berpikir seperti itu. Termasuk kamu dan tentu semua orang yang tahu cerita kita."

Ayu menarik napas dalam-dalam seraya merapikan khimarnya.

"Semua orang pernah ada di posisi salah, Mas. Yang sudah terjadi biar jadi catatan saja untuk pelajaran di kemudian hari," balas Ayu bijak.

"Kita hanya perlu melangkah ke depan dan meninggalkan masa lalu untuk sebuah pembelajaran. Itu aja!"

Mendengar penuturan Ayu, Yudhis tersenyum lebar kemudian berkata, "Baik, Bu Guru!"

Ayu tak bisa menyembunyikan senyum mendengar jawaban pria berambut tebal di sampingnya. Keduanya kemudian sama-sama tertawa lepas.

"Aku nggak nyangka kamu sebijak itu, May."

"Aku juga nggak nyangka Mas Yudhis bisa selucu itu," balasnya masih dengan tawa.

"Jadi apa kalian merasa cocok?" Kembali Yudhis bertanya ke topik awal.

Ayu menggeleng cepat.

"Semua butuh waktu. Saya hanya tidak ingin mengalami kesalahan yang ...."

"Oke aku paham. Nggak perlu dilanjutkan."

Merasa ucapannya membuat Yudhis tersindir, Ayu mengatupkan bibirnya kemudian membuang pandangan ke arah jendela.

Mobil terus meluncur sementara di luar gerimis berganti dengan hujan yang semakin deras. Yudhis memperlambat jalan mobilnya.

"Nggak apa-apa, kan kalau kamu sedikit terlambat sampai di sana?"

"Nggak apa-apa, Mas. Nggak perlu buru-buru, hujannya deras banget."

"Oke. Kamu tenang aja. Kalau letih, kamu bisa tidur. Nanti kalau sudah sampai, aku bangunkan."

Ayu menoleh seraya tersenyum. Bersamaan dengan petir dan kilat yang membuat suara menggelegar. Terkejut, dia memekik sambil menutup kedua telinganya dan mengucapkan kalimat istighfar.

Refleks Yudhis meraih bahu Ayu dan mendekap tubuh perempuan itu untuk menenangkan.

"Sstt ... udah jangan takut!" tuturnya.

Sadar ada di posisi yang tidak semestinya, Ayu cepat mengurai dekapan dan segera membuat jarak. Begitu juga dengan Yudhis pria itu segera menarik tangannya dan mengucapkan maaf.

"Sori, May. Aku nggak sengaja. Maaf," tuturnya lagi.

Seraya merapikan khimar, Ayu mengangguk.

"Maaf juga. Tapi tadi aku benar-benar kaget."

"Aku tahu."

Yudhis merasa debat jantungnya berpacu lebih kencang, berulang kali dia mengutuk perbuatannya barusan dan berusaha menenangkan debar yang lagi-lagi membuat dia berpikir tentang perasaannya.

Sementara Ayu tak kalah nervous, dia juga merasakan perasaan yang semakin dalam pada pria itu.

"Mas, nanti biar aku pulang sendiri aja. Mas nggak perlu antar sampai ke desa," pintanya mencoba menetralkan suasana.

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa, Mas. Aku cuma nggak mau Mas makin repot," jawabnya.

"Cuma ngantar kamu bilang aku repot?"

Ayu menarik napas panjang.

"Aku antar kamu sampai rumah. Cuaca sedang tidak menentu. Gimana kalau hujan ini sampai di sana juga? Kamu mau naik ojek motor hujan-hujanan gitu? Kalau kamu sakit gimana?"

Tak menjawab Ayu hamya menunduk membiarkan Yudhis meneruskan ucapannya.

"Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa, May. Setidaknya biarkan aku menjagamu meski aku dulu pernah jadi pria bodoh!"

Ayu menoleh mendengar penuturan Yudhis. Sementara pria itu masih menatap lurus di balik kemudi.

"Kenapa? Benar, kan? Aku memang pria bodoh yang terlalu banyak mimpi?" tanyanya masih menatap lurus.

"Mas?"

"Hmm."

"Bisa nggak kita nggak bicara masa lalu?"

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top