15

Yudhis tersenyum tipis melihat Ayu yang baru saja keluar dari pelataran sekolah.

"Ay! Itu Mas Yudhis?" bisik Wulan seraya menyenggol lengan Ayu.

Atau mengikuti gerakan mata rekannya. Dia melihat Yudhis tengah tersenyum ke arahnya dengan tangan dilipat di dada.

"Ngapain dia ke sini? Kok dia bisa tahu kalau ...."

"Mana kutahu, Wulan!" Potong Ayu seraya merapikan jilbabnya.

"Sana temui pria aneh itu!" sindir Kiki seraya menarik lengan Wulan menjauh.

Ragu Ayu tersenyum lalu mendekat.

"Apa kabar, May? Aku lihat kamu benar-benar bahagia."

Ayu tersenyum tipis.

"Mas Yudhis kok tahu aku ...."

"Mama yang kasi alamat ini. Kebetulan aku pegang bengkel juga showroom di kota kabupaten, satu jam perjalanan dari desa ini."

Kembali dia tersenyum. Ada kekakuan yang Ayu rasakan saat bertemu kembali dengan pria di depannya. Meski hatinya tetap tak bisa mengelak dari sebar yang masih sama.

"Kenapa? Kamu nggak suka aku datang?"

"Bu ... kan, bukan itu, tapi aku kaget. Nggak nyangka."

Yudhis tersenyum.

"Mas Yudhis pasti belum makan siang, kan? Aku tahu bahwa penjual mie ayam yang enak di sini," tutur Ayu berusaha mencairkan suasana.

Pria bertubuh atletis itu menautkan alisnya kemudian mengangguk.

"Oke, kita ke sana sekarang?"

Ayu mengangguk kemudian mengikuti isyarat Yudhis untuk masuk ke mobil. Mereka berdua menikmati mie ayam dengan suasana yang lagi-lagi membuat Ayu harus berkeras membuat semuanya seperti biasa. Namun, tetap saja ada denar halus menyapa hatinya.

"Mas tinggal di ...."

"Ada, aku kontrak rumah di dekat showroom," potongnya seraya meneguk air putih di depannya.

"Papa Mama apa kabar?"

"Baik! Oh iya, mereka titip salam buatmu."

Ayu tersenyum.

"Kamu setelah ini biasanya ada kegiatan lagi?"

"Nggak, Mas. Sore baru kami ada ekstra kurikuler."

Yudhis mengangguk paham.

"Kalau gitu, aku bisa minta tolong dong?" tanyanya. "Kebetulan desa ini kan nggak jauh dari kota kabupaten tempat aku buka showroom. Nah, aku butuh bantuanmu untuk mencari furniture untuk rumah kontrakanku. Kamu bersedia?"

Ayu bergeming sejenak. Diabtak menyangka pria itu mengajaknya memilih perabot rumahnya.

"Kenapa harus aku?"

"Kenapa? Kamu keberatan?"

"Bukan itu ... eum ...."

"Oke nggak apa-apa kalau kamu keberatan. Sori, May. Aku pikir kita bisa seperti dulu lagi. Ternyata aku salah. Maaf," tuturnya kecewa.

Mendengar pernyataan Yudhis, Ayu merasakan hati pun kecewa. Dia pun sesungguhnya ingin keadaan kembali semula, tetapi entah kenapa dia merasa sulit untuk mengubahnya.

"Nggak gitu, Mas. Tapi ...."

"Nggak apa-apa, May."

"Oke, aku mau! Aku mau temani Mas Yudhis cari perabot untuk rumah kontrakan Mas!"

Mata Yudhis menyipit kemudian menatap Ayu meyakinkan pendengarannya.

"Serius kamu mau temani aku?"

Ayu mengangguk sambil tersenyum.

"Thanks, Mayra!"

**

Keduanya terlihat memasuki toko perlengkapan rumah. Cekatan Ayu memilih barang yang dibutuhkan oleh Yudhis. Sesekali mereka bertukar tawa dan sesekali pula tampak terlihat tengah berdiskusi serius.

"Mungkin untuk dapur, istrinya bisa ambil oven ini sekalian, Mas?" saran pramuniaga berkacamata itu ramah.

Ayu tertegun mendengar ucapan perempuan ber-make up tebal dengan seragam di depan mereka.

Pria itu mengatakan bahwa oven yang dia rekomendasikan adalah Iven keluaran terbaru dari salah satu merek terkenal.

"Atau kompor tanamnya? Kami bisa sekalian pasangkan," tuturnya kembali berpromosi.

"Eum ... kami hanya butuh kompor biasa aja. Sebab rumah masih kontrak," balas Yudhis  seraya tersenyum.

Pelayan itu mengangguk ramah, lalu menunjukkan salah satu kompor listrik. Seraya kembali berpromosi tentang kompor tersebut.

"Oke, saya ambil kompor listriknya!" Yudhis terlihat mulai gerah.

"Maaf, apa nggak sebaiknya kompor elpiji biasa aja, Mas? Listrik itu akan ...."

"Nggak apa-apa, May. Aku pikir lebih higienis kompor listrik. Selain nggak ribet, aku juga nggak bakal masak setiap hari, kan?"

Obrolan mereka berdua didengar oleh pelayan itu.

"Maaf, saya pikir Mas sama Mbak suami istri," tuturnya polos. "Berarti Mas sama Mbak pacaran ya?"

Ayu tersenyum getir kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain menghindari tatapan Yudhis. Tahu Ayu tak nyaman, segera Yudhis menyudahi obrolan itu dengan memutuskan untuk membeli kompor yang diinginkan.

"Sekarang tinggal bed cover sekalian."

"Mas nggak bawa dari rumah?"

Yudhis menggeleng.

"Aku ada. Mas nggak usah beli. Lagian Mas nggak seumur hidup kan tinggal di rumah itu?"

Yudhis terkekeh mendengar ucapan Ayu.

"Nggak dong! Tapi bisa jadi kalau aku ketemu jodoh di sini gimana?"

"Mas bisa cari rumah lain yang njuga disukai pasangan Mas. Simple kan?"

Yudhis mengangguk.

"Sekarang aku ajak kamu ke kontrakanku. Nggak apa-apa,kan?" tanyanya ragu.

Ayu tampak keberatan karena hari sudah menjelang sore.

"Oke, maaf. Aku antar kamu pulang. Aku lupa kamu masih ada kerjaan," ralat Yudhis seraya memberi isyarat agar Ayu ikut dengannya.

Sepanjang perjalanan biasanya saat mereka masih terikat dalam pernikahan, hampir tak ada pembicaraan. Namun, saat ini justru Yudhis yang lebih banyak membuka pembicaraan. Pria itu bertanya banyak soal kegiatan Ayu di desa itu.

"Itu sekolah milik ...."

"Mas Askara."

Alis Yudhis bertaut sambil menyetir dia menoleh sejenak.

"Askara? Sepertinya aku pernah dengar nama itu."

Ayu bergeming membiarkan Yudhis berpikir.

"Ah iya. Aku ingat! Dia dosen muda yang ...." Pria itu menggantung ucapannya.

"Di mana dia sekarang?" tanyanya dengan suara tegas.

"Kuliah lagi."

"Di mana?"

"Australia."

Wajah Yudhis tak terlihat cerah seperti tadi.

"Kapan dia kembali?"

"Sebentar lagi. Katanya dia ambil semester pendek."

"Kamu sering ngobrol?"

Ayu tersenyum tipis.

"Apa dia ... masih ... menyukaimu?" tanya Yudhis pelan.

Perempuan berjilbab itu tak menjawab. Dia justru memalingkan wajah bke luar jendela. Andai Yudhis tahu, Aska lah yang sebenarnya membalut kecewanya ketika sadar bahwa dia tidak mungkin bersanding dengan seorang Yudhistira. Dari Askara dia belajar banyak untuk bisa belajar mencintai. Dari Askara pula dia belajar bisa menerima kekalahan dengan sikap baik-baik saja.

"Mayra?"

"Aku nggak berhak menjawab pertanyaan itu, Mas. Lagipula Mas Aska akan melangsungkan pertunangannya."

Yudhis menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk. Tak ada lagi pembicaraan di antara mereka hingga mobil berhenti tepat di depan rumah tinggal Ayu dan rekan-rekannya.

"Thanks, Mayra. Eum ...."

"Bed cover! Tunggu, Mas!"

Yudhis mengangguk. Saat dia membuka sabuk pengaman, dia teringat kertas yang ada di atas bantal Ayu. Kertas itu ada di kantongnya.

Pria itu mengurungkan niatnya. Dia merogoh kantong bajunya mengeluarkan secarik kertas itu.

"Mas? Ini bed covernya."  Ayu tiba-tiba telah ada di jendela. Wajahnya tersenyum seraya menyodorkan bed cover kepada Yudhistira.

"Thanks, May. Eum ... kamu nggak merasa meninggalkan sesuatu di kamar rumah kita tempo hari?"

Ayu terkejut mendengar kata rumah kita yang baru saja diucapkan pria beralis tebal di depannya.

"Rumah Mas Yudhis maksudnya?"

Yudhis tersenyum.

"Itu juga rumahmu, Mayra."

Ayu menarik napas panjang kemudian menggeleng.

"Aku nggak meninggalkan apa pun di sana, Mas."

"Serius?"

Sejenak dia diam mencoba mengingat.

"Seingat aku ... nggak ada yang tertinggal di sana."

Yudhis mengangguk kemudian mengucapkan apa yang tertera di kertas itu tanpa membacanya. Manik hitamnya menelisik lekat ke dalam mata Ayudia membuat perempuan itu cepat memalingkan wajahnya.

"Kamu ingat tulisan itu?"

Sejenak Ayu berpikir, seolah teringat sesuatu, mata indahnya membulat.

"Itu ... itu cuma coretan biasa,"tuturnya menahan perasaan tak menentu.

Jujur dia menuangkan perasaannya pada sedikit tulisan itu. Perasaannya terhadap keangkuhan Yudhis yang sebenarnya dia memiliki perasaan yang dalam padanya.

"Coretan yang bagus! Aku nggak nyangka kamu puitis juga," ucapnya masih menatap Ayu.

"Oke, aku balik ya. Sampai ketemu lagi. Oh iya ... boleh aku tahu coretan itu untuk siapa?" tanyanya seraya menyalakan mobil.

Ayu membisu. Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan bahwa coretan itu memang dia buat untuk Yudhis?

Tak mendapat jawaban, pria itu tersenyum tipis.

"Oke, semoga pesan itu tersampaikan ya, May. Selamat sore. Assalamualaikum."

Ayu menjawab lirih dengan mata terus menatap mobil putih yang menjauh hingga tak lagi terlihat.

"Ay! Udah dong! Nggak usah terpesona gitu!" Wulan tiba-tiba sudah berada di sampingnya.

"Kamu ngagetin ih!"

"Yeee ... jangan bilang kamu sedang jatuh cinta untuk yang kedua kalinya ke Yudhistira, Ay!"





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top