13
Haloo ... apa kabar semuanya. Semoga selalu sehat ya.
Semoga juga masih inget kisah ini. Maafkan aku bikin teman-teman menunggu lamooo 🙏
**
Mata Yudhis dan Ayu sekilas saling menatap. Ada luka tergambar di mata Ayu, pun demi yang terlihat di kelamnya manik Yudhis.
"Nggak ada apa-apa, Bulek, Paklek. Eum ... Ayu capek banget, boleh Ayu ke kamar dulu?"
Matanya menatap Bulek dan Pakleknya bergantian, lalu sekilas matanya menangkap netra Yudhis yang juga tengah menatapnya.
"Ya sudah kalau kamu mau istirahat duluan. Yudhis? Kamu mau ikut istirahat juga?" Paklek Tono memindai suami dari keponakannya itu.
"Nggak, Paklek. Nanti saja. Biar Ayu istirahat duluan."
Ayu tersenyum tipis kemudian bangkit meninggalkan mereka bertiga. Dia tak ingin berlama-lama duduk bersama dengan Yudhis. Ayu merasa mata tajam pria itu seperti hendak menelannya bulat-bulat.
Di kamar, dia merebahkan tubuh melepas penat, membiarkan pikirannya beristirahat. Perempuan berjilbab itu bahkan tak ingin memikirkan di mana Yudhis akan tidur malam ini.
Ayu terjaga saat alarmnya berbunyi. Seperti sadar akann sesuatu, dia gegas bangkit kemudian merapikan jilbab yang semalam tidak dia lepas. Matanya menatap Yudhis yang terlelap di kursi rotan yang ada di kamar itu. Terlihat wajahnya lelah.
Ayu menarik napas dalam-dalam. Tak ingin membangunkan, dia berjingkat pelan, membuka pintu lalu ke kamar mandi. Sepertiga malam adalah saat tepat untuk menyerahkan semua keluh pada Sang Pencipta.
Perempuan itu luruh dalam doa memohon agar diberikan jalan keluar dari masalah yang membelit. Sesekali dia tampak menyeka air mata yang mulai deras membasahi pipi. Tak sanggup Ayu menahan isak, sehingga membangunkan Yudhis.
"May? Kamu kenapa?" Yudhis bertanya seraya bangkit mendekat.
"Nggak apa-apa, Mas. Mas tidur di ranjang ya. Pasti nggak enak tidur di kursi dengan posisi seperti itu," tuturnya seraya mengusap pipi.
Yudhis menggeleng.
"Nggak apa-apa, May. Kamu kenapa nangis? Apa karena aku?" tanyanya ragu.
Ayu tersenyum tipis kemudian menggeleng.
"Karena aku, Mas. Aku menangisi diri sendiri."
Yudhis mengusap wajahnya, lalu duduk di samping Ayu.
"Aku ... aku tahu kamu kecewa, May. Aku tahu kamu marah padaku. Aku tahu itu. Maafkan aku ...."
Hening sesaat. Masing-masing dari mereka larut dalam pikiran. Ayu menginginkan semuanya segera disudahi meski dalam beberapa pekan belakangan ini cintanya yang pernah hidup untuk Yudhis kembali bersemi, sementara Yudhis merasakan bahwa dirinya telah begitu tidak adil pada perempuan itu. Perasaan tak ingin kehilangan perlahan merambati hatinya.
"May, aku ...."
"Kita bukan suami istri, Mas. Kita nggak bisa terus menerus berpura-pura seperti ini. Kumohon, sudahi saja semuanya. Nggak ada gunanya kita ...."
"Aku tahu. Aku akan bicara soal ini segera, tapi ...."
"Tapi?"
"Bukan untuk menyudahi, tapi untuk mengulang kembali."
Ayu tertegun mendengar ucapan pria itu.
"Maksudnya?"
"Aku akan menikahimu lagi!"
Kening Ayu menyipit kemudian menggeleng.
"Untuk apa? Untuk sebuah kata kasihan?" tanyanya. "Nggak, Mas! Aku nggak mau! Cukup selesaikan saja sandiwara ini dan kita jalan masing-masing!"
Yudhis merasa ada yang mengusik hatinya saat mendengar ketegasan Ayu berkata seperti itu. Perasaan yang dia miliki terhadap perempuan berhidung mancung di sampingnya benar-benar berbeda. Ada rasa ingin melindungi yang besar padanya.
"May ... menurutmu, cinta itu apa?"
Ayu menoleh sejenak kemudian tersenyum tipis. Dia merasa Yudhis sedikit aneh.
"Kenapa Mas tanya soal itu?"
"Jawab saja, menurutmu cinta itu apa?"
Menarik napas panjang kemudian Ayu menjawab, "Cinta itu ketulusan, keihklasan tanpa berharap balas. Cinta itu pengorbanan. Berani dan rela berkorban untuk kebahagiaan orang yang dicintai."
Yudhis mengangguk.
"Maafkan aku, Mayra. Aku janji akan selesaikan ini semua. Kamu akan segera bebas setelah ini."
Pria itu bangkit menuju pintu lalu menghilang. Ada beribu pertanyaan muncul di benaknya bersama dengan rasa yang mendadak pilu merayap di hati Mayra.
**
Tidak ada yang ingin bersedih di setiap episode hidupnya. Namun, tak ada pula kisah hidup yang selalu bahagia di sepanjang masanya. Di depan kedua orang tuanya, Yudhistira mengatakan hal yang sesungguhnya yang terjadi pada pernikahannya yang seumur jagung. Pria itu mengatakan dengan suara berat seperti memendam sesal yang mendalam.
Yudhis bahkan tidak mengelak ketika tangan papanya harus mendarat di pipi yang membuat bibirnya luka.
"Papa tidak pernah mengajarimu menjadi pengecut, Yudhis! Kamu memang nggak pantas memiliki pendamping seperti Ayu!"
Yudhis bergeming, dia hanya menunduk membiarkan bibirnya berdarah. Melihat itu, Ayu segera mengambil tisu dan bermaksud memberikan kepada Yudhis.
"Nggak perlu, Ayu! Pria seperti dia nggak perlu kamu perhatikan!" cegah pria yang diliputi amarah itu.
"Tapi, Pa. Kasihan Mas Yudhis ...," tuturnya.
"Kamu dengar itu, Yudhis? Bahkan Ayu masih sangat peduli padamu setelah kami campakkan dia begitu saja sejak malam itu! Kamu memang pecundang!"
"Sabar, Pa." Bu Mita menengahi.
"Papa nggak menyangka, Ma. Anak kita jadi seperti ini!" sesalnya.
"Yudhis, perbuatan kamu memang bikin kami malu. Kamu sama sekali tidak menghargai Ayu. Apa yang kamu tunggu dari seorang Prita? Dia telah meninggalkanmu begitu saja dan kamu masih mengharapkan dia?" cecar Bu Mita.
"Maafkan, Yudhis, Ma. Pa, Yudhis tahu salah, karena itulah Yudhis mengatakan hari ini. Maafkan jika membuat Mama dan Papa kecewa."
Hening sejenak.
"Tapi Yudhis melakukan ini untuk Ayu. Yudhis nggak ingin membuat dia merasa terpaksa karena harus mengikuti kemauan Mama. Yudhis tahu sulit baginya untuk menolak, tetapi berat juga jika diterima," paparnya.
"Yudhis menghargai Ayu, Ma, Pa. Cobalah berdiri di posisi Yudhis. Atau setidaknya berdiri di posisi Ayu yang harus menerima kenyataan yang sesungguhnya dia tidak pernah impikan."
Kembali semuanya diam.
"Benar begitu, Ayu?" tanya Bu Mita menatap perempuan berjilbab hitam di depannya.
Ayu bergeming.
"Maafkan Mama jika membuatmu tersiksa, Ayu. Mama waktu itu hanya berpikir bagaimana bisa menyelamatkan keluarga, Mama sama sekali tidak memikirkan perasaanmu. Maafkan Mama."
Ayu menggeleng.
"Nggak, Ma. Mama nggak salah. Ayu mengerti dan memahami kondisi itu. Ini bukan kesalahan Mama juga Papa atau Mas Yudhis. Ini hanya keadaan yang memaksa kita untuk menjadikan kondisi seperti ini akhirnya," tutur Ayu.
Pak Cokro menarik napas dalam-dalam kemudian berkata, "Baiklah, kalau begitu kamu harus ajukan pembatalan pernikahan ke pengadilan agama, Yudhis! Pembatalan pernikahan yang menyatakan antara kamu dan Ayu tidak pernah menikah. Kalian belum melakukan hal yang seharusnya dilakukan antara suami istri, kan?"
Yudhis mengangguk.
"Sudahlah! Nggak ada yang perlu disesali. Kita harus bisa menyikapi ini dengan lebih bijak," sambung Pak Cokro. "Ayu, Papa minta maaf jika ternyata selama ini membuatmu serba salah dalam melangkah."
Ayu tersenyum tipis.
"Papa nggak salah. Saya berterima kasih kepada Papa juga Mama yang bisa menerima kondisi ini. Meski ...."
Ayu menggantung kalimatnya. Ada perasaan berbeda ketika dia bisa kembali akan merasakan kebebasan. Diakui atau tidak olehnya, rasa indah pada Yudhis telah kembali mekar. Namun, sebagai perempuan yang dianggap adik angkat, dia kembali harus meleburkan perasaan itu kembali.
Beberapa pekan bersama dalam kebisuan adalah hal pahit sekaligus manis yang hanya dia rasa dalam hati. Meski dia tahu tentu Yudhis sama sekali tidak pernah merasakan hal yang sama.
**
Ayu mengemas pakaiannya ke koper. Pagi itu seperti yang sudah dia niatkan sejak lama, dia kembali ke desa. Teman-temannya sudah menunggu tak sabar di sana. Mereka tentu saja ingin mengetahui kisah pernikahannya.
Setelah semuanya masuk koper, Ayu menarik napas dalam-dalam. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan. Meski sebentar, tetapi ada kisah yang terukir di sana. Kisah bagaimana dia selalu berusaha bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan Yudhis meski pria itu tak pernah menyentuh hidangannya.
Bibir Ayu tertarik kecil saat mengingat bagaimana dia berusaha memperbaiki hubungan baik dengan Yudhis. Namun, lagi-lagi pria bertubuh atletis itu membuat jarak mereka semakin jauh.
Ketukan di pintu membuat dia menoleh. Wajah tampan Yudhistira muncul dengan senyum yang telah lama hilang semenjak pernikahan pura-pura itu. Senyuman itu kembali menyapa Ayu.
"Sudah siap?" tanyanya.
Ayu menyipitkan matanya.
"Aku antar kamu ke desa. Kamu nggak perlu naik travel atau apa pun!" ungkapnya.
**
Naah ... cem mane nih, udah free si Ayu-nya. Trs apakah Yudhis beneran jatuh cinta atau justru Ayu yang kepikiran? Ikuti kelanjutannya 💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top