10
Bergamis dusty pink dengan khimar serasi, Ayu terlihat memesona. Kesederhanaan perempuan itu sebenarnya telah banyak menyita perhatian Yudhis. Tidak pernah ada sapuan blush-on atau make up tebal di wajahnya. Hanya lipstik sewarna bibir yang tampak.
Sore itu dia dan Yudhis menghadiri pesta ulang tahun pernikahan mertuanya. Di mobil tampak Yudhis sudah menunggu. Setelah pintu rumah dikunci, Ayu bergegas menuju mobil yang telah siap berangkat.
"Sudah dikunci semua pintu?"
"Sudah, Mas."
"Nggak ada yang ketinggalan?"
Ayu menggeleng.
"Oke. Kita berangkat!"
Mobil meluncur meninggalkan kediaman mereka. Seperti yang sudah-sudah, jika keduanya berada di dalam mobil hanya keheningan yang tercipta. Tidak ada satu dari mereka yang mencoba memulai pembicaraan atau sekadar berbasa-basi.
"Kita mampir beli kado dulu di mall depan sana," tutur Yudhis tanpa menoleh.
"Iya, Mas."
"Kamu sudah punya gambaran mau kasi kado apa?" Kali ini Yudhis menatapnya sekilas.
"Tadinya aku mau kasi kue tart, tapi pasti di rumah sudah ada. Nggak tahu, Mas. Menurut, Mas?"
Yudhis mengangkat bahu.
"Kalau rangkaian bunga segar bagaimana, Mas?"
"Bagus juga! Aku tahu di mana tempat penjual bunga segar."
Mendadak ingatannya bermuara pada Prita. Perempuan itu sangat suka dengan bunga, terutama bunga lily. Mengingat itu, Yudhis menarik napas dalam-dalam.
Ayu dapat menangkap wajah muram pria itu. Dia paham pria di sampingnya itu tidak sengaja bernostalgia dengan masa lalunya. Karena beberapa kali dia pernah diajak ke toko bunga untuk memberi kejutan bagi Prita.
"Mas teringat Mbak Prita?" tanyanya lirih.
Yudhis bergeming, dia fokus mengemudi.
"Percayalah, Mas. Aku akan berusaha mencari tahu tentang Mbak Prita."
Mendengar perkataan Ayu, dia menoleh sejenak.
"Untuk apa?"
"Untuk menyatakan kalian berdua. Menyatukan cinta pada keadaan yang semestinya," paparnya tersenyum tipis.
Yudhis menggeleng kemudian menginjak menaikkan kecepatan kendaraannya.
"Kamu nggak perlu repot, Mayra. Aku pikir buat apa berharap pada sesuatu yang kita tidak yakin."
"Tidak yakin? Tapi Mas mencintainya, kan?"
Yudhis mengangkat bibirnya miring.
"Mungkin aku lebih tepatnya hanya ingin tahu kenapa dia pergi, cinta? Entahlah!"
Senyum kecil terbit di bibirnya.
"Aku sekarang hanya butuh sendiri dan melupakan. Itu saja!"
Kembali suasana hening di mobil hingga mereka tiba di toko bunga.
"Kamu pilihkan saja bunga dan rangkaian yang bagus untuk mama papa. Aku tunggu di mobil. Nggak apa-apa, kan?"
Senyum Ayu mengembang. Dia mengangguk kemudian keluar dari mobil.
**
Suasana meriah menyambut kedatangan mereka. Sudah ada beberapa rekan Pak Cokro dan Bu Mita di sana. Aroma daging barbeque menguat dari arah halaman belakang. Sementara canda tawa terdengar begitu hangat.
"Nah, pasangan pengantin baru udah datang ini!" seru Bu Mita menyambut keduanya. Perempuan paruh baya itu terlihat cantik di usianya yang telah berkepala lima.
"Bunganya cantik! Seperti kamu, Ayu!" tuturnya menerima rangkaian bunga dari Ayu.
Ayu membalas dengan pelukan hangat dan ucapan selamat kepada sang mertua. Kemudian dia menyalami Pak Cokro. Hal yang sama dilakukan oleh Yudhis. Pria bertubuh atletis itu memeluk mamanya erat kemudian beralih ke sang papa.
"Meski pernikahan kalian baru seumur jagung, papa berharap di ulang tahun pernikahan tahun depan ... papa sudah jadi eyang kakung ya, Ayu, Yudhis!" tutur Pak Cokro menatap keduanya.
Mendengar perkataan sang mertua, Ayu menanggapi dengan senyum. Berbeda dengan Yudhis, pria itu berkata, "Emang harus ya, Pa?"
"Harus dong!" timpal mamanya. "Mama juga menginginkan hal yang sama."
Yudhis tersenyum datar lalu mengajak Ayu ke tempat lain.
"Biarkan mama sama papa menemui tamu-tamu mereka," tuturnya seraya memberi isyarat agar perempuan itu mengikutinya.
**
Ayu mengekori langkah Yudhis. Pria itu mengajaknya duduk di dalam rumah. Berbeda suasana dengan di halaman tadi, di ruang tengah ini terasa lebih sepi.
"Ada yang ingin aku sampaikan kepadamu, Mayra."
"Iya, Mas."
"Kamu jadi kembali ke desa itu?"
Ayu mengangguk.
"Kapan?"
"Insyaallah pekan depan."
Pria itu menyandarkan tubuhnya ke sofa.
"Begini, Mayra. Untuk sementara kita bersandiwara dulu bahwa semuanya baik-baik saja. Nanti biar aku yang bicara hal sesungguhnya ke mama juga papa. Aku harap kamu nggak keberatan," tuturnya serius.
"Nggak apa-apa, Mas. Lakukan saja apa yang Mas mau."
Keningnya berkerut mendengar jawaban Ayu.
"Maksudmu, Mayra? Apa yang aku mau?"
"Iya, Mas. Selama itu bisa membuatmu Mas nyaman dan bahagia, lakukan saja. Toh tidak ada bedanya dan tidak memberikan pengaruh apa pun padaku," tegas Ayu dengan bibir mengulas senyum.
Meski perempuan berjilbab di depannya itu mengatakan dengan senyuman, tetapi hal itu membuatnya sedikit tersindir.
"Kamu sedang menyindirku?"
"Nggak, Mas. Sekali lagi, lakukan saja apa yang Mas ingin lakukan. Aku hanya menunggu mereka tahu dan aku akan pergi."
"Mayra! Kamu bicara apa?" tanya Yudhis menatap tajam padanya.
"Mas, kita tidak lagi memiliki hubungan apa-apa. Aku hanya menunggu papa dan Mama tahu, setelah itu aku akan pergi. Itu yang sebenarnya, kan?"
Yudhis tak menjawab. Namun, rahang kokohnya terlihat mengeras.
"Aku tahu, Mas. Aku tidak pernah diinginkan. Aku juga tahu, bahwa aku hanya menjadi pelengkap dalam kebahagiaan keluarga Mas saat pernikahan itu. Dan aku juga paham, semuanya adalah sebuah kesalahan. Jika sekarang aku pasrah, apa itu salah?" paparnya.
Kali ini Ayu berani mengungkapkan semua perasaan yang selama ini dia pendam jauh di lubuk hati. Dia merasa telah menyakiti Askara, pria yang setia dan baik padanya, meski sempat ia menolak karena ada cintanya justru terpaut di hati Yudhistira.
"Maafkan aku, Mayra," tuturnya lirih.
"Nggak perlu, Mas. Toh akhirnya aku bisa ikhlas. Aku malah sangat berterima kasih karena Mas menalak aku malam itu. Itu artinya, aku nggak perlu dan tidak memiliki kewajiban sebagaimana seharusnya seorang istri."
"Mayra, maafkan aku. Aku benar-benar bingung saat itu. Aku berada di titik putus asa dan tidak bisa berpikir jernih," jelasnya.
"Aku tahu, Mas. Dan aku bisa memahami itu."
Hening. Terdengar sayup-sayup di halaman belakang tawa riang rekan-rekan mama dan papanya.
"Sebaiknya kita keluar, khawatir nanti mama curiga dan mencari kita."
Ayu bangkit kemudian melangkah meninggalkan ruangan itu. Sementara Yudhis mengusap wajahnya, terlihat selaksa sesal di paras itu.
**
Sepanjang pesta Ayu dan Yudhis bersikap layaknya pasangan suami istri. Telaten Ayu meladeni sang suami. Mengambilkan makan, minum hingga mengambilkan hidangan pencuci mulut.
Semua itu tak luput dari perhatian Bu Mita. Perempuan yang melahirkan Yudhis itu bernapas lega melihat keduanya. Dia berpikir meski awalnya dia tahu bukan hal mudah bagi mereka, tetapi saat ini dia yakin baik Yudhis atau Ayu bisa mengarungi bahtera rumah tangga seperti yang diharapkan.
Sementara Yudhis sendiri merasa kikuk dengan semua perlakuan Ayu. Perasaan bersalah semakin menghantui dirinya. Perlakuannya yang tidak menyenangkan kepada Ayu selama ini membuat dia merasa berdosa.
"Ayu cukup! Sebaiknya kamu juga makan, aku lihat kamu belum makan apa pun," ucap Yudhis dengan tatapan khawatir.
"Aku belum lapar, Mas."
"Sejak tadi tidak makan dan kamu belum lapar?"
Ayu tersenyum tipis kemudian perhatiannya beralih pada telepon genggamnya yang berbunyi.
"Aku angkat telepon dulu."
Yudhis mengangguk.
**
Telepon dari teman-temannya membuat hati Ayu terobati. Meski selama ini dia menyembunyikan kisah pernikahannya yang rumit, tetapi rupanya ketiga rekannya mencium ketidakberesan.
"Kamu di mana, Ay?"
"Papa dan mama merayakan ulang tahun pernikahan, Ki."
"Ayu, semalam kita ngobrolin banyak soal dirimu!"
"Soal apa?"
"Entah kenapa kami merasa kamu nggak bahagia."
Ayu bergeming, dia menjauh masuk ke dalam rumah dan memastikan tidak ada seorang pun di sekelilingnya.
"Kalian ini! Jangan mikir gitu ah!"
"Ayolah, Ay! Kita bergaul denganmu lama. Kita tahu kapan kamu happy dan kapan kamu menutupinya." Kiki masih berusaha mengorek keterangan darinya.
Sementara di belakang Kiki terdengar suara teman-teman yang lain.
"Aku baik-baik aja, Ki. Kalian tunggu kedatanganku ya. Eh udahan dulu, nggak enak nih, pesta masih berlangsung. See you!" Ayu menutup percakapan itu dengan wajah murung.
"Ayu? Sayang? Kenapa kamu di situ? Ada apa, Nak?" Bu Mita menghampirinya dengan beragam pertanyaan.
"Nggak apa-apa, Ma. Ini Ayu baru terima telepon dari teman di desa," jawabnya tersenyum menyembunyikan rasa gugup.
Sejenak Bu Mita menatap ke dalam mata Ayu untuk meyakinkan menantunya itu baik-baik saja.
"Kamu beneran nggak apa-apa?"
Ayu menggeleng sambil tersenyum.
"Iya, Ma."
Namun, rupanya jawaban Ayu tidak bisa menenangkan hati sang mertua. Terlebih dia sangat jelas melihat wajah gundah istri dari anaknya itu.
"Sayang, kalau ada apa-apa, cerita ya. Jangan disembunyikan. Eum ... atau jangan-jangan Yudhis telah membuatmu sedih?"
**
Akhirnya, alhamdulilah ... bisa juga up kisah ini meski terseok.
Aku ucapkan terima kasih buat teman-teman yang setia menunggu kisah Ayu- Yudhis - Aska
Masih berpuasa, kan? Aku ucapkan selamat berpuasa untuk semua yang menjalankan.
Oh iya, colek jika typo ya. Terima kasih, salam hangat 🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top