1

Ayu merapikan jilbabnya seusai melepas tassel. Hari ini tunai sudah janji untuk menjadi wisudawati terbaik di kampus. Menyelesaikan pendidikan tiga tahun, setahun lebih cepat dari kawan-kawannya yang lain adalah tekat Ayudia. Semenjak pendidikannya ditanggung oleh keluarga Cokro, ia seolah memiliki semangat hidup yang luar biasa untuk membuktikan kemampuannya.

Menjadi yatim piatu adalah garis nasib Ayu sejak kecil. Ia diasuh adik dari ibunya yang memiliki tingkat ekonomi tidak memungkinkan membiayai Ayu hingga perguruan tinggi. Pekerjaan sebagai tukang cuci dengan anak yang banyak, tentu membuat Ayu paham akan posisinya.

Namun, keadaan itu tak menyurutkan semangat perempuan berkulit bersih itu untuk mencari jalan keluar. Beberapa kali ia menggantikan buleknya mencuci di rumah keluarga Cokro, hingga akhirnya keluarga terpandang itu menyambut baik keinginan Ayu. Tentu saja setelah mengetahui latar belakangnya.

Ayu memilih pendidikan sebagai guru dengan alasan agar bisa berbagi ilmu dengan orang banyak. Hal itu diamini oleh Pak Cokro dan Bu Mita istrinya.

Sampai akhirnya ia bisa melewati semua itu dengan baik dan tidak mengecewakan.

Senyum Yudistira hangat menyambut Ayu. Pria jangkung itu bertepuk tangan menyambut Ayu.

"Selamat ya, Mai! Aku bangga punya adek sepertimu!" ungkapnya mengusap puncak kepala Ayu yang dibalut jilbab krem. Ada rasa bahagia menelusup dalam hati perempuan itu. Pria bernama Yudhistira itu adalah putra tunggal dari orang tua angkatnya.

Dia pria mandiri dan sangat perhatian dengannya. Meski terpandang dan kaya, ia tak pernah menganggap Ayu orang lain. Dia satu-satunya orang yang memanggilnya dengan panggilan Maira. Ketika ditanya alasan, Yudhis hanya berkata supaya dia menjadi orang paling beda yang kelak akan selalu ada di hati Ayu.

Semenjak semester akhir dan harus menyelesaikan skripsi, mau tidak mau Ayu tinggal di rumah Keluarga Cokro. Hampir setiap hari ia berangkat bersama dengan Yudhis.

Putra Pak Cokro itu bekerja sebagai announcer di sebuah stasiun radio terkenal di kotanya. Meski sebenarnya tanpa harus menjadi announcer, ia bisa menggantikan posisi sang papa mengurus bisnis travel dan bengkelnya. Namun, ia menolak dengan alasan ingin mandiri.

Perhatian Yudhistira rupanya sukses membuat Ayu menyimpan asa. Meski jauh di lubuk hati ia tidak yakin akan harapan itu. Maka walau sulit ia mencoba menyimpan jauh di lubuk hati.

Tak jarang sepulang kerja, Yudhis membantu Ayu mencari buku guna merampungkan skripsinya. Pun demikian dengan Ayu, ia sering memberi masukan untuk pria itu agar lebih bisa menghidupkan materi saat siaran.

Hari itu, selain orang tua angkatnya, Yudhis adalah orang yang juga ikut bahagia atas kelulusan dirinya. Ia bahkan rela izin tidak masuk kerja demi menghadiri wisuda Ayu.

"Ya sudah, kita rayakan hari bahagia Ayu! Kita makan yuk!" usul Yudhis menatap kedua orang tuanya.

Pak Cokro dan Bu Mita bertukar pandang lalu tersenyum ke arah Yudhis.

"Tenang, karena ini pesta dadakan, Yudhis yang traktir!" cetusnya. "Kamu mau makan di mana, Mai?"

Saat Ayu hendak menyahut, seorang perempuan berambut cokelat hadir di tengah-tengah mereka. Ia disambut hangat oleh kedua orang tua angkat Ayu. Demikian pula dengan Yudhis.

"Maaf, Sayang. Aku harus membereskan beberapa pekerjaan aku dulu, jadi ...."

"It's oke, Prita!" Yudhistira menyentuh lembut pipi perempuan bernama Prita itu.

"Hai, Ayu! Congratulation ya. Yudhis bilang kamu mahasiswa terbaik dan cumlaude pula! Aku ikut senang!" Keduanya berpelukan hangat.

"Terima kasih, Prita!"

"Kamu cantik sekali!" ungkap perempuan itu menatap Ayu.

"Jelas dong! Adek siapa dulu! Iya kan, Mai?" Pria bermanik hitam itu menatapnya hangat yang mau tak mau membuat Ayu salah tingkah.

"Udah! Ayu emang cantik kok! Ehm ... jadi apa sudah ada pria beruntung yang berhasil merebut perhatian mahasiswi terbaik ini?" seloroh Bu Mita meraih bahu Ayu.

Dengan wajah masih malu-malu, ia menggeleng. Bibir Yudhis terlihat ikut tersenyum mendengar penuturan sang ibu.

"Sebaiknya jangan ada dulu deh, Ma!"

"Kenapa?" Prita dan Bu Mita bertanya bersamaan.

"Yudhis masih ingin dia jadi adik Yudhis! Nanti kalau udah ada cowoknya ... Yudhis nggak bisa godain dia lagi!"

Mendengar ucapan pria berkemeja putih itu semua tertawa. Hanya Ayu yang tersenyum, terlebih saat matanya tanpa sengaja bersirobok dengan manik mata milik Yudhistira. Mendadak hatinya berdesir tatkala sepersekian detik mereka saling menatap.

"Ayolah! Kamu bilang mau traktir kita, ke mana ini?" Pak Cokro bertanya.

"Terserah Mai mau makan di mana!" balas Yudhis seraya meraih bahu Prita.

Ayu tersenyum kemudian menggeleng dan mengucapkan terima kasih.

"Ayu ingin ke rumah Bulek. Mereka kemarin bilang tidak bisa ke sini karena tidak punya kendaraan. Ayu pikir, Ayu akan ke rumah Bulek saja, Mas."

Pak Cokro dan istrinya tersenyum kemudian mengangguk paham. Mereka menghargai keputusan anak angkatnya itu.

"Kalau memang itu keputusannya, kami ikut saja. Tapi jangan lupa kembali ke rumah, mungkin kita bikin pesta kecil sekaligus ...."

"Sekaligus apa, Pa?"

"Kita satukan saja acara pertunangan kalian dengan pesta kelulusan Ayu, bagaimana?" Pak Cokro menatap kedua sejoli yang terlihat serasi itu.

Prita dan Yudhis saling menatap.

"Ide bagus, Pa! Prita setuju aja," sahut perempuan bergaun selutut berwarna jingga itu dengan tersenyum.

"Ayu, kamu bisa undang keluarga Bulekmu, supaya pesta semakin meriah!" Bu Mita ikut bicara.

Perempuan berdagu belah itu itu mengangguk seraya tersenyum.

***

Rumah semi permanen itu terlihat semarak dengan kehadiran Ayu. Bulek Marni sengaja membuat nasi kuning untuk menyambutnya. Kelima anak Bulek semua berkumpul di rumah.

Yang paling besar kelas tiga SMA, hubungan Ayu dengan keluarga Bulek Marni sangat baik. Meski dia sudah menjadi bagian dari keluarga kaya, ia tak lupa dengan kebaikan adik ibunya itu. Seringkali uang jatah bulanannya, diberikan pada Bulek dan anak-anaknya.

"Jadi setelah ini kamu mau ke mana, Yu?" tanya Bulek sambil melahap roti isi cokelat yang sengaja dia beli untuk keluarga itu.

Ayu menggeleng. Ia mengatakan akan mencoba melamar pekerjaan dulu. Sebenarnya ada tawaran bagus dari kawan Pak Cokro. Ia ditawari untuk menjadi pengajar di sebuah sekolah elite di kawasan elite pula.

Namun, nuraninya menolak. Ada keinginan kuat darinya untuk mengajar di sekolah biasa dan berbaur dengan masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi sama sepertinya.

Bulek Marni meneguk air putih di depannya. Ia menatap kelima anaknya yang sedang menikmati nasi kuning buatannya.

"Dulu Bulek berpikir selepas kuliah kamu kerja dan segera menikah, Yu."

Ayu tersenyum simpul. Meski dulu dia memiliki pikiran yang sama, tapi kini tidak lagi. Ia ingin fokus berkarir sebelum memiliki pendamping. Kelak jika dia telah bersuami, Ayu berpikir tentu tidak bisa sebebas sebelumnya.

"Ayu ingin membantu adek-adek dulu, Bulek. Setelah adik-adik selesai, baru Ayu berpikir untuk menikah."

Mata Bulek Marni berkaca-kaca mendengar penuturan keponakannya.

"Adik-adik itu bukan tanggung jawabmu, Ayu. Itu tanggung jawab Paklek dan Bulek," tukasnya dengan suara bergetar.

Ayu tersenyum kemudian berkata, "Ayu berniat ingin meringankan, Bulek. Doakan semuanya lancar ya."

Perempuan berdaster ungu itu mengangguk mengusap bahu keponakannya.

"Lalu, apa kamu sudah memiliki pacar? Atau ...."

"Atau apa Bulek?"

Sambil tersenyum perempuan itu berkata, "Harapan Bulek kamu bisa diambil menantu oleh Pak Cokro."

Mendengar ucapan Bulek, mata Ayu membulat indah. Dengan wajah merona ia menggeleng.

"Bulek ini, jangan pernah punya pikiran seperti itu," ujarnya.

"Kenapa nggak boleh,Yu? Kalau Tuhan menghendaki mana ada yang bisa bilang tidak to?" cetus Bulek Marni kali ini dia menuangkan teh hangat untuk suaminya yang baru saja datang.

"Ngomongin apa?" Paklek Tono ikut bergabung.

Paklek Tono orang yang ulet, ia sehari-hari menjadi buruh angkut di pasar. Setiap pagi ia berangkat dan pulang siang hari saat pasar sudah tutup.

"Ini loh, aku kok pengin Ayu ini diambil mantu sama Bu Mita, Pak!"

Pria bertubuh legam itu tertawa kecil lalu mengaminkan ucapan istrinya.

"Ih, Bulek sama Paklek ini jangan bikin Ayu bermimpi!"

Ruangan sempit itu riuh dengan tawa setelah mendengar penuturan Ayu.

"Ayu, Paklek dan Bulekmu ingin yang terbaik buatmu."

"Ya tapi kan nggak gitu juga, Paklek," balasnya tersenyum tipis.

Tak dipungkiri ada harap meski kelak menguap, ada keinginan yang ia sendiri tahu tak akan pernah nyata. Diam-diam jatuh cinta dengan Yudhistira adalah kebahagiaan sekaligus kepedihan yang harus ia telan.

"Bulek, Paklek dan adik-adik diminta datang pekan depan ke rumah Pak Cokro. Mereka akan merayakan pesta pertunangan Mas Yudhis dan Mbak Prita. Datang semua ya? Mau kan?"

Paklek dan Bulek mengangguk bersamaan.

"Terima kasih, Bulek, Paklek."

***

Ayu memakai gamis berwarna broken white lengan panjang dengan aksen emas di ujung lengan. Jilbab sewarna menutup dada dengan make up tipis membuat dirinya terlihat anggun.

Banyak kawan-kawannya diundang untuk memeriahkan acara. Sementara di sisi lain tampak Yudhistira gagah dengan kemeja biru gelap dan celana putih. Pria bertubuh jangkung itu sangat bahagia berdiri di samping perempuan semampai bergaun biru lembut selutut dengan potongan leher model sabrina. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai.

Semua yang hadir terlihat bahagia. Pesta pertunangan Yudhis dan kelulusan Ayu dirayakan di halaman belakang rumah keluarga Cokro.

"Ayu, selamat ya. Eh aku pikir kamu yang bakal jadi pendamping dia. Habis kalian itu cocok banget tahu!" Wulan setengah berbisik pada Ayu.

"Hush! Jangan bicara sembarangan ah!" Ia mengenggol lengan kawannya.

"Aku nggak bicara sembarangan, Ayu. Eh tapi ceweknya cantik banget ya, Yu!" Kembali Wulan berkomentar.

"Ya emang! Udah, jangan dibahas lagi ah. Yuk ke sana!" ajak Ayu menarik tangan Wulan ke meja prasmanan.

Sementara di tempat lain, Yudhis dan Prita seolah tak bisa dipisahkan. Mereka terlihat paling bahagia di antara semuanya. Sesekali mereka saling bertukar pandang lalu tersenyum menyapa para undangan.

"Maira mana, Ma?" tanya Yudhis saat sang mama mendekat.

"Ada, dia sedang berkumpul bersama teman-temannya. Kenapa?"

Yudhis menggeleng.

"Kita bertiga belum foto bareng! Iya kan, Prita?"

Perempuan di samping Yudhis itu mengangguk.

"Iya juga ya. Kita ajak foto yuk!" Prita menatap kekasihnya antusias.

"Nanti biar dipanggilkan," ujar Bu Mita.

"Nggak usah, Ma. Biar Yudhis yang panggil. Kamu tunggu di sini, Prita."

Pria bertubuh tegap itu melangkah mencari keberadaan adik angkatnya itu. Dari jauh ia melihat Ayu tengah bercanda dengan beberapa temannya. Ada rasa bahagia melihat perempuan itu bermandi senyum.

Dia tahu bagaimana kerja kerasnya Ayu untuk membuktikan kesungguhan dirinya. Seringkali Yudhis menasehati agar dia tidak berhubungan dengan pria dulu, jika ingin fokus menyelesaikan kuliahnya. Ayu pun mengikuti semua sarannya.

Yudhis mengakui bahwa Ayu memiliki bakat dan kecerdasan yang bisa diandalkan. Terbukti beberapa kali Ayu memberi saran agar menambah joke dan kuis kecil-kecilan dalam materi siarannya. Terbukti sarannya bisa menaikkan rating acara yang dia pegang.

"Mai! Ikut aku!" ajaknya meraih tangan Ayu.

"Ke mana, Mas?" tanyanya menatap Yudhis lalu berganti melayangkan pandang ke teman-temannya.

Pria bercambang tipis itu menebar senyum ke arah teman-teman Ayu, kemudian membidik perempuan bergaun broken white itu.

"Kita foto bareng! Aku nggak mau foto tanpa kamu!"

Sejenak Ayu bergeming, tak biasanya Yudhis menggenggam erat tangannya. Beberapa kawannya yang menyaksikan itu saling bertukar pandangan.

"Eum ... a ... ku ke sana dulu ya!" pamitnya menatap rekan-rekannya.

Prita, Yudhis dan Maira mereka bertiga berpose dengan senyum lebar menggambarkan perasaan masing-masing saat itu.

🍁🍁🍁

Kisah ini salah satu dari beberapa kisah dalam even nubar with BukuBatik ada banyak cerita menarik dari author kesayangan teman-teman di even #membatik. Kuy kepoin satu-satu dan masukkan ke reading list kalian.

Thank you 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top