9. Percakapan Malam Hujan

Happy reading with nice song cover:
I'm In Love (Ra. D) - cover by Jungkook & Lady Jane 💕

9

Percakapan Malam Hujan

"Kamu seperti hujan, menenangkan, menghanyutkan dan membuat nyaman. Namun ada sisi lain dari hujan; kelam, menggelisahkan."

💦💦💦


Bandung, Januari 2014
.

"Huaaa! Kamu serius, Fat? Tuh kan! Aku udah curiga semenjak lihat kamu suka senyum-senyum sendiri kalo lagi pegang hp, biasanya kan gak gitu."

Fatimah jadi malu sendiri. "Emangnya aku suka gitu?"

"Iyaaa! Pasti gak sadar. Jahat banget deh baru ngasuh tahu sekarang!" Risa cemberut.

"Uhm, sorry...," cicit Fatimah merasa bersalah.

"Ck! Pantesan ceria terus tiap hari."

"Biasa aja," elak Fatimah.

"Terseraah!" Risa memutar bola mata. "Aku maafin kalau kamu nraktir aku!"

Fatimah berdesis. "Harus banget ya?"

"Iyalah! Kamu anggap aku apaa?"

Fatimah terkekeh. "Dasar lebay!"

Risa nyengir. "Terus, terus, kamu jawab apa?"

"Nggak jawab apa-apa."

"Yaaah!" Risa membuang napas berat. "Penonton kecewaaa...."

Fatimah hanya tersenyum kecil. "Aku rasa aku nggak perlu mengatakan apa-apa."

Risa berdecak keras. "Duh, ya! Harusnya kamu juga bilang dong kalau kamu juga punya rasa yang sama kayak dia!" tukasnya heboh.

"Untuk apa? Toh, aku sendiri nggak yakin dengan apa yang aku rasakan."

"Nggak yakin? Setelah semua ini?" Risa bertanya tak percaya.

Fatimah mendesah pelan. "Kalau pun iya, lalu? Setelah itu, apa?"

"Ya kalian jadian lah!"

"Tidak akan ada yang berubah dengan aku mengatakan perasaanku padanya. Nggak ada pacaran dalam kamus hidup aku, Risa."

Risa kembali berdecak sebal. "Itu kamu aja sering chattingan sama Kak Fathir, kan? Apa bedanya sama orang yang pacaran?"

Fatimah tertegun. Perkataan Risa menohoknya. Benar, ia dan Fathir sering sekali chattingan, lebih intens dari biasanya. Membahas hal penting dan tidak penting, saling mengingatkan, dan kadang Fathir memang memperlakukannya dengan spesial. Meski hanya sebatas itu, tapi hubungan mereka bisa dibilang tidak wajar. Lalu, apa bedanya ia dengan mereka? Bedanya hanya ia tidak menamai hubungan mereka dengan kata 'pacaran'.

Melihat Fatimah yang terdiam, Risa sadar ia telah salah bicara. "Uhm, sorry, aku nggak maksud...."

"Aku salah ya, Ris?"

"Ha? Ng-nggak, bukan gitu ...." Risa menghela napas. "Fat, perasaan itu butuh diungkapkan. Yang kamu lakukan cuma mewujudkan apa yang kamu rasa. Itu aja. Hati kamu perlu diisi oleh kabaikan orang lain."

"Tapi, Ris ... aku merasa berdosa. Bukankah itu namanya hawa nafsu? Yang seharusnya bisa aku tahan? Nggak seharusnya aku kayak gini, Ris...." Fatimah mengungkapkan kegelisahannya selama ini.

"Mungkin kamu memang benar, tapi coba kamu pikir, harus diapakan perasaan itu? Semua perasaan manusia itu butuh pelampiasan, kalau tidak, sakit jiwamu."

Obrolan bersama Risa siang tadi masih saja terngiang di benaknya. Ya, ia baru bercerita pada Risa beberapa minggu setelah pengakuan Fathir di depan perpustakaan waktu itu. Itu pun karena Risa yang sudah curiga dengan tingkah laku Fatimah yang tidak seperti biasanya.

Memang, banyak yang berubah dalam dirinya setelah mengenal pria itu. Terutama semenjak hari itu. Ia merasa hari-harinya lebih berwarna dan menyenangkan. Ada hal yang selalu ia tunggu, serta keinginan untuk melihat sosok yang telah merubahnya. Dan yang paling menakjubkan adalah ia tidak pernah bermimpi buruk lagi. Tidak lagi bermimpi tentang kejadian itu.

Ia sangat bersyukur, dan sebagai rasa terima kasihnya, ia selalu berusaha berbuat baik pada pria itu. Ia, sudah banyak berhutang budi padanya. Jadi, tidak salah kan jika ia menyukainya dengan perasaan lebih?

Tapi hubungan mereka tak lebih dari itu, mereka hanya interaksi lewat ponsel. Tidak pernah jalan berdua atau janji bertemu di suatu tempat. Mereka mengobrol beberapa kali jika keduanya ada di kampus.

Merasa lelah dan pusing, Fatimah menyudahi tugas yang sedang ia kerjakan lalu meraih ponsel. Seperti dugaannya, ada pesan dari pria itu. Sepertinya, selalu ada saja hal yang dibahas atau ditanyakan oleh Fathir setiap harinya.

"Gimana UAS nya?"

Pesan itu dikirim lima puluh menit yang lalu. Fatimah segera mengetik balasan.

"Lumayan ... cukup membuat otak aku bekerja terlalu keras, menghasilkan mata panda, dan mimpi buruk melihat tumpukan kertas tertawa mengejekku."

"Hahahaa. Aku baru tahu kamu bisa selucu itu." Balasnya cepat, seperti biasa.

"Oh, aku juga baru tahu kalau hal itu lucu."

"Jadi, udah beres semua?"

"Belum, tinggal dua matkul lagi, sih."

"Berita yang cukup bagus. Bilang saja padaku kalau butuh refreshing."

"Aku memang butuh refreshing, sepertinya." Ya, ujian akhir semester benar-benar menguras tenaga dan pikirannya. Belum lagi ia harus mengejar deadline pekerjaannya sebagai editor.

"Begitu? Bagaimana jika kukirim hujan malam ini?"

"Huh? Memangnya bisa?"

"Tentu. Tunggu saja. Sebentar lagi dia datang."

Fatimah benar-benar menunggu. Lima belas detik kemudian. Gemericik hujan terdengar. Lalu mulai deras dan semakin deras. Fatimah tertawa. Kadang, Fathir memang bisa sekonyol itu.

"Dia sudah datang," Fatimah mengirim pesan.

"Nah, apa aku bilang!"

"Sedang di luar ya?" Ia tahu, Fathir tidak benar-benar menyuruh hujan datang.

"Waw! Kamu bisa melihatku dari sana? Hebat!"

Fatimah lagi-lagi terkekeh. "Tentu saja tidak. Kamu tahu akan turun hujan, berarti kamu sedang di luar. Dan sudah ada rintik yang mengenaimu."

"Ah, kamu memang selalu mempesona."

Fatimah bersemu membaca pesan itu. Beginikah orang yang sedang jatuh cinta? Merasa bahagia hanya karena hal kecil seperti itu?

"Hujannya bakal awet kayaknya." Fathir kembali mengirim pesan. Membuat Fatimah selalu menduga-duga jika Fathir seperti enggan mengakhiri chat mereka.

"Iya, sepertinya. Enak buat nemenin tidur. Apalagi kalau hujannya lembut kayak ini. Bikin nyaman."

"Kamu suka hujan ya?"

"Iya."

"Aku cemburu."

"Cemburu? Sama?"

"Hujan."

Fatimah menyunggingkan senyum kecil. Ada-ada saja, pikirnya. "Kenapa?" balasnya kemudian.

"Karena dia bisa menemanimu tidur dan membuatmu nyaman. Kamu juga menyukainya."

Fatimah kembali tersipu. Ada sesuatu yang bergejolak di perutnya. Sebaiknya ia tidak melanjutkan obrolan ini. Jadi ia hanya membalas. "Aku sudah ngantuk."

Balasan Fathir datang cukup lama setelahnya.

“Tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam.”

Semesta, ada apa dengan pria ini? Tak ada habis-habisnya dia membuatku jatuh dan mencinta.

“Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi."

Fatimah membalas dengan puisi serupa. Ya, yang Fathir kirim adalah kutipan dari puisi Percakapan Malam Hujan karya Sapardi; salah satu penyair kesukaannya.

"Kalau aku hujan. Berarti kamu suka padaku?"

"Tapi kamu bukan hujan."

"Jadi, kamu nggak suka?"

Fatimah terdiam. Kedua ibu jarinya menggantung di atas layar ponsel. Lalu menaruh ponsel tanpa membalas pesannya. Ia mendesah pelan.

Kamu seperti hujan, menenangkan, menghanyutkan dan membuat nyaman. Namun ada sisi lain dari hujan; kelam, menggelisahkan.

Benar, ia seperti hujan yang selalu membuatnya hanyut dan tergoda. Ia menenangkan, memberi kesan romantis. Membuatnya jatuh cinta. Namun ada perasaan lain yang mengganggu. Perasaan yang menggelisahkan, terkadang menakutkan.

Ia takut, jika perasaannya jatuh terlalu dalam. Dan itu hanya akan berakhir menyakiti dirinya sendiri. Ketakutan itu berada di pikirannya setiap hari.

Fatimah menutup mata, tidak lagi menghiraukan ponselnya. Ia fokus mendengarkan rinai hujan yang merdu. Suara rintik yang turun seperti melodi, membuat segalanya seperti andante. Itu adalah irama terbaik baginya.

Lalu ia bertanya-tanya, inikah yang orang-orang sebut cinta? Jika bukan, lalu apa? Bagaimana ia harus mendefinisikan rasa ini? Rasa yang menggelisahkan sekaligus menyenangkan.

Ia pikir, ia tidak akan pernah jatuh cinta. Namun ternyata, manusia memang selalu butuh cinta. Dan cinta itu hadir tanpa ia minta, menyusup dan tumbuh begitu saja dalam diri manusia. Tidak tahu waktu, tidak tahu tempat.

Fatimah kembali meraih ponsel dan mengetikkan sebuah balasan.

"Sore hari, di puncak gunung. Jauh di dalam dasar hatiku, kamu jatuh seperti gelombang yang kuat. Lalu kamu menjadi satu-satunya hal yang ada di pikiranku sepanjang hari. Meskipun aku takut, aku ingin percaya ... bahwa itu memang kamu."

Harapan-harapan itu pun tumbuh. Harapan yang mungkin akan membuat kita kecewa, tapi jika kita tak punya harapan, kita punya apa?

Dan biarlah semua berjalan sebagai mana mestinya.

***

TBC.

Hai, I'm back! Oke, part ini pendek ya? Hehe 😆 gak papa biar gak capek bacanya kkkk~

Kalau pendek aku jadi bia rajin up *bohong 😂

Selamat menikmati, kritik saran boleh 😊

Ditulis dalam keadaan hujan yang lembut 😥
Salam hangat,

Tinny Najmi 💕

Subang,
21 November 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top