3. Kenangan Buruk

3
Kenangan Buruk

"Lakukan apa yang kamu inginkan. Kalau kamu tidak tahu apa yang kamu inginkan, lakukan apa yang kamu bisa. Buat dirimu bahagia. Hanya diri kamu sendiri yang bisa melakukannya."

***

Bandung, Desember 2013

"Jangan ... tolong ...," lirih suara itu keluar dari bibir Fatimah yang sedang terlelap, diiringi napas yang tersengal-sengal. Kepalanya bergerak gelisah, keringat dingin sudah membanjiri pelipisnya. Kata-kata yang sama terus terulang, hingga ia membuka mata dengan napas terengah. Ia langsung bangun dan meringkuk di pojok kamar kostnya. Memeluk tubuhnya yang menggigil ketakutan, isakan tangis pun mulai lolos dari mulutnya.

Bayangan-bayangan masa lalu itu kembali hadir menghiasi tidurnya, menjelma menjadi mimpi buruk. Setiap kali mimpi itu datang, ia selalu merasa baru saja mengalami kejadian tersebut. Ia meremas dadanya yang terasa sesak tak tertahankan, lantas ia segera mencari obat yang dulu pernah diberikan oleh psikiaternya.  Padahal akhir-akhir ini ia sudah jarang bermimpi dan teringat kembali kejadian yang membuatnya sempat menjauhi dunia. Tapi tadi, mimpi itu kembali hadir. Mungkin karena ia terlalu stress dan banyak pikiran.

Setelah menyelesaikan naskah film semalam, ia tidak bisa tidur. Kembali mengalami insomnia. Pikirannya dipenuhi tentang perasaan asing yang ia rasakan pada pria itu. Hadirnya perasaan itu membuat ia berpikir jauh, bagaimana ia akan mencintai orang lain nanti, dan mungkin juga menikah. Sementara ketakutan itu belum sepenuhnya hilang. Mungkin karena itulah, saat tertidur ia kembali bermimpi buruk. Ketakutan itu kembali ia rasakan.

Setelah meminum obat dan sedikit tenang, ia melakukan relaksasi seperti pesan dokter Nurin─psikolog yang membantunya selama ini─jika terjadi re-experiencing atau mengalami mimpi buruk seperti ini. Lalu ia mencoba bernafas dengan perut secara perlahan-lahan.

"All will be fine, semuanya sudah berlalu. You'll be fine ... you can be though ... you can through it ...." Fatimah terus mengulang kata-kata itu dan memasukkan pikiran-pikiran positif.

Fatimah memejamkan mata, mengingat kembali percakapannya dengan Dokter Nurin. Bahwa kemungkinan re-experiencing bisa muncul lagi suatu waktu, meskipun sudah dalam masa penyembuhan. Penyebabnya banyak, bisa karena melihat kejadian yang sama, atau karena pikiran kita sendiri. Terlalu banyak pikiran dan stress juga bisa menjadi pemicu, hingga timbul kecemasan yang pada dasarnya disebabkan oleh hiperaktivitas dari amygdala[1].

"Bagaimana agar aku bisa melupakan masa lalu?" tanya Fatimah kala itu.

"Kamu tidak akan bisa melupakannya. Sebab, semua kenangan buruk itu tersimpan baik dalam amygdala, semakin bermakna suatu kejadian, maka amygdala akan semakin mudah menyimpan kenangan itu. Dan ketika kita mengalami gejala kecemasan atau mengalami anxiety[2], traumatik itu akan datang kembali disertai ingatan-ingatan akan trauma masa lalu, karena ingatan kita akan memproses kondisi tersebut."

"Lalu ... aku harus bagaimana?"

"Mengurangi kebermaknaannya, Persepsi kita terhadap kondisi tersebut bisa kita modifikasi. Salah satunya dengan mindfullnes, berusaha menerima dan ikhlas atas apa yang telah terjadi. Sehingga bisa kita mengurangi persepsi negatif dari peristiwa tersebut. Selanjutnya, perbanyaklah menambah hal-hal positif pada diri kita. Banyak meng-input hal positif dalam otak kita akan sangat membantu."

Fatimah membuka mata, selama ini ia sudah berupaya, ia tidak boleh kalah dan gagal hingga kembali terpuruk seperti dulu. Bagaimanapun dirinya sendirilah yang paling mempunyai tanggung jawab atas hidupnya. Jadi, ia tidak boleh menyerah.

Fatimah lalu melihat jam, pukul tiga seperempat pagi. Ia pun beranjak. Mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat tahajjud. Kegiatan yang tak pernah ia lewatkan setiap hari.

***

Fatimah berangkat ke kampus meski sebenarnya ia tak memiliki kelas di hari itu. Hanya saja, ia sudah berjanji untuk menyerahkan naskah film pada Aldo. Ia berjalan menuju mabes COPY─ruang latihan anggota COPY, tempat yang sudah ia sepakati untuk bertemu dengan Aldo.

Pikirannya tidak fokus, mimpi buruk yang kembali datang tadi malam rupanya masih meninggalkan jejak tak nyaman dam dirinya. Sedikitnya, ia kembali merasakan ketakutan saat harus berada di tempat keramaian. Fatimah memijit pelipis karena tiba-tiba merasa pening.

Buk!

Fatimah meringis saat seseorang tak sengaja menabrak bahu kanannya, membuat naskah yang ia pegang terjatuh.

"Maaf, Teh! Lagi buru-buru," ucap laki-laki yang baru saja menabraknyaㅡyang ia tak tahu siapa.

"Nggak papa," jawab Fatimah sekadarnya.

Laki-laki itu meminta maaf sekali lagi lau bergegas pergi setelah pamit pada Fatimah dengan terburu.

Fatimah tak terlalu menggubris, ia bermaksud mengambil naskah yang terjatuh namun seseorang mendahuluinya. Fatimah mendongak, lalu tertegun sesaat melihat orang yang kini ada di hadapannya sambil melihat-lihat naskah yang ia pegang. Fatimah mendesah dalam hati karena ia harus bertemu dengannya lagi.

"Hijrahku." Fathir membaca judul naskah tersebut dengan lancangnya.

Fatimah memejamkan mata sejenak, ia sedang malas bercanda. Kepalanya serasa mau pecah. "Tolong kembalikan," ujarnya dingin.

"Kenapa sih, aku kan pengen tahu perkembangan dan kegiatan COPY sekarang kayak gimana. Jadi boleh dong, aku baca?"

"Kak, tolong," ucap Fatimah penuh penekanan. Dia benar-benar sedang tidak dalam good mood.

Melihat itu, Fathir mengalah dan mengembalikan naskah film pada pemiliknya.

"Terima kasih," ujar Fatimah kemudian berjalan mendahului Fathir.

Mengetahui Fathir mengikutinya, Fatimah berbalik. Dan sebelum ia angkat bicara, Fathir menyela. "Aku mau ketemu Aldo, dia yang minta ketemu."

Setelah mendengar itu, Fatimah berbalik dan kembali berjalan. Fathir menyeimbangi langkahnya. "Kamu baik-baik aja?"

"Baik."

"Tapi wajah kamu kayaknya bilang yang sebaliknya."

Fatimah tak menggubris.

"Kamu sakit? Wajah kamu pucet, Fat."

Fatimah menghela napas. "Kalo aku sakit, pun. Itu bukan urusan Kak Fathir," tukasnya lalu kembali berjalan cepat.

Fathir tetap berusaha mensejajari langkahnya. "Kamu kenapa sih, Fat? Aku ada salah sama kamu? Fat ...."

Fatimah mengabaikan Fathir yang terus berusaha bicara padanya. Hingga mereka sampai di depan mabes dan Fatimah bisa melihat Aldo tengah menunggu di sana. Ia pun agak mempercepat langkah, dan Fathir masih mengikutinya.

"Fat ...−"

"Maaf ya telat," Fatimah berucap begitu tiba di hadapan sang ketua COPY saat itu. Mengabaikan pria di sampingnya.

"Nggak papa. Aku juga baru dateng, kok." Aldo lalu melihat keberadaan Fathir. "Kok bisa barengan?"

"Nggak sengaja ketemu tadi," jelas Fatimah sebelum Fathir sempat berbicara.

Aldo mengangguk. "Apa kabar, Kak? Magangnya udah beres?" tanya Aldo basa-basi kepada Fathir. "Ini aku nggak ganggu waktu Kak Fathir, kan? Aku mau tanya-tanya soal kegiatan COPY soalnya."

"Yahh gini-gini aja, Al. Magang sih udah beres minggu kemaren. Tinggal buat laporannya aja, mumet. Mau bantu? Boleh banget," ujar Fathir sambil terkekeh.

Fatimah mendengarkan dalam diam percakapan dua pria di depannya itu. Tidak heran, waktu itu Fathir ada di kampus. Dan artinya, kemungkinan ia bertemu pria itu akan lebih banyak lagi. Fatimah mendesah dalam hati. Padahal selama ini ia sudah bersyukur karena jarang bertemu denngannya─atau mungkin juga tidak.

"Fat?" Aldo mengibaskan tangan di depan wajah Fatimah.

Fatimah tersadar. "Oh, iya Al?"

"Naskahnya?" tanya Aldo.

"Oh, maaf. Ini," Fatimah menyerahkan naskah tersebut yang segera diterima Aldo.

"Padahal nggak perlu hari ini loh, Fat. Ntar aja pas latihan COPY. Kasihan kamu jadi harus ke kampus, padahal nggak ada jadwal kuliah, kan?"

"Iya. Nggak papa, kok. Aku kan udah janji, dua hari."

"Kamu lagi sakit?" tanya Aldo kemudian. "Wajah kamu pucet gitu."

"Nggak papa kok, pusing dikit aja."

"Bener?" tanya Fathir ragu. "Aku anter ke dokter, ya?"

"Enggak perlu. Nanti juga sembuh."

Aldo tersenyum. "Jadi, rumor soal kalian itu bener, ya?"

Fatimah mengerutkan kening.

"Rumor apa?" tanya Fathir yang juga terlihat bingung.

"Kalau kalian ... pacaran?"

Fatimah tersentak. Pacaran? Berita macam apa itu?

Sementara Fathir, tertawa sangat keras. "Astaga, Al. Dapet rumor dari mana lo?" Fathir masih berusaha mengendalikan tawanya. Lalu berdeham. "Bersyukur banget deh gue kalau seorang Fatimah mau jadi pacar gue."

Fatimah merasa seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya, bahkan diikuti debaran yang tak wajarㅡlagi. Ia mengepalkan tangan, menahan gemuruh di dada. "Jangan percaya begitu saja pada setiap perkataan yang terlontar, karena semua itu belum tentu benar," ucapnya menatap ke arah Aldo. "Aku permisi, assalamu'alaikum." Fatimah kemudian berlalu dari sana tanpa memandang ke arah Fathir lagi. Berjalan dengan langkah cepat tak tentu arah.

Apa-apaan tadi itu!? Pacar? Yang benar saja! batinnya meracau protes, dan kepalanya terasa makin pusing.

Fathir mengejarnya, Fatimah bisa mendengar pria itu meneriaki namanya. Ia lantas berbalik dengan satu hentakkan. "Tolong jangan ikuti aku!" serunya membuat Fathir yang sedang mengejarnya, spontan menghentikan langkah.

Melihat hal itu, Fatimah kembali memutar badan, lantas berjalan cepat meninggalkan Fathir yang termangu.

Fatimah duduk di bangku taman kampus kesukaannya. Bangku yang entah kenapa selalu kosong di saat bangku lain penuh oleh mahasiswa lain. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Mulai merutuki dirinya sendiri, lagi.

Apa reaksinya berlebihan? Apa harusnya ia tak bertingkah seperti tadi? Bagaimana kalau Fathir curiga karena sikapnya? Semua pertanyaan itu berkecamuk di benak Fatimah. Mungkin seharusnya ia bersikap biasa saja tadi. Tapi entah mengapa serasa ada yang marah dalam dirinya. Harga dirinya merasa terluka entah untuk alasan apa.

Fatimah menghela napas, lalu memejamkan mata; mencoba menenangkan diri. Ia ingat, Dokter Nurin dulu pernah bilang kalau dia akan mudah marah, sensitif, dan stres. Jadi sebisa mungkin jauhi hal-hal yang bisa memicu hal tersebut.

"Buat dirimu bahagia dan nyaman. Caranya, lakukan apa yang kamu inginkan. Kalau kamu tidak tahu apa yang kamu inginkan, lakukan apa yang kamu bisa. Buat dirimu bahagia. Hanya diri kamu sendiri yang bisa melakukannya. Dan, jika kamu merasa sudah tidak mampu melewatinya, datanglah padaku."

"Oy!" Sebuah seruan menghentakkan Fatimah. Ia menoleh ke samping dan mendapati Risa duduk di sebelahnya.

Kening Fatimah berkerut. "Kok kamu ada di sini? Ngapain?" Sepengetahuannya, Risa juga tidak memiliki jadwal di hari Jumat.

"Ada janji sama someone," ujar Risa dengan gaya khasnya. Kemudian menatap Fatimah penuh curiga.

"Kenapa lagi deh," Fatimah jengah.

"Kamu ada hubungan apa sama Kak Fathir?"

Kesekian kalinya. Apa lagi ini? Apa ia juga mendengar rumor tak jelas itu? batinnya was-was. "Hubungan apa maksud kamu?"

Risa mengedikkan bahu. "Tadi aku lihat Kak Fathir ngejar kamu terus kamu kayak marah gitu." Jeda sejenak, "Waktu itu juga Kak Fathir nyariin kamu padahal dia baru beres magang."

Diam-diam Fatimah menghela napas lega. Setidaknya Risa bukan curiga karena mendengar rumor aneh itu. "Aku kan udah bilang, dia cuma balikin buku aku."

"Iya sih ..., cuman kayak aneh aja, gitu. Terus tadi kamu kenapa marah gitu?" tanya Risa lagi yang sepertinya masih saja curiga padanya.

"Emang aku kelihatan marah, ya?"

Risa memutar bola mata jengah. "Capek ah ngomong sama kamu mah!"

"Ish!" Fatimah berdesis.

"Kalo aku nanya tuh jawab, bukan nanya balik. Heuuu!" Risa nampak frustrasi menghadapi sahabatnya itu.

Fatimah nyengir. "Risa ... makin cantik deh."

"Nggak usah nyebar fitnah!" sahut Risa galak.

"Kok fitnah, sih? Ya masa aku bilang kamu ganteng, Ris," canda Fatimah terkekeh pelan.

Risa menyipit, menatap Fatimah penuh selidik. "Udah bisa becandaan ya, sekarang."

Fatimah berdeham. "Apa sih," ucapnya tak karuan.

"Hari ini ke Aliyah lagi nggak, Fat?" tanya Risa kemudian.

"Eh? Oh iya, bentar ... biasanya Silmi nge-chat, sih." Fatimah lalu mengecek ponselnya. Ada lima pesan baru yang masuk di whatsapp-nya. Tiga dari grup yang ia ikuti, dua sisanya dari Silmi dan Fathir.

"Kamu marah?"

Fatimah melirik ke sekitar kemudian menghela napas sejenak. Lalu membalas pesan tersebut dengan satu kata.

"Nggak"

Fatimah menekan tombol back dan membuka chat dari Silmi.

"Assalamu'alaikum, Kak. Hari ini jadwal mentoring seperti biasa ya Kak, ditunggu kehadirannya :)

Oh iya Kak, bisa minta tolong hubungi Kak Fahmi? Katanya minggu ini Kak Fahmi udah bisa ngisi buat bagian ikhwan lagi. Tapi tadi kata Sidiq, Kak Fahmi nggak bisa dihubungi. Takutnya Kak Fahmi malah berhalangan.
Afwan ya Kak, merepotkan."

Fatimah terdiam sejenak. Berpikir kalau sepertinya Fahmi sudah selesai magang, makanya ia bisa kembali mengisi mentoring di Aliyah. Ia pun segera mengetik balasan.

"Wa'alaikumussalaam... Iya, nanti kakak coba hubungi Kak Fahmi, ya."

Kemudian pesan lain masuk di whatsapp-nya. Dari Fathir rupanya.

"Bener? Itu balesnya singkat, jutek gitu lagi."

"Kata siapa? Nggak tuh."

"Kan, marah. Maaf... Aku kan cuma bercanda tadi."

Fatimah menghela napas. Lalu kembali mengetik balasan. "Aku nggak marah. Beneran. Serius. Kenapa nggak percaya sih?"

Fatimah kemudian menutup layar ponsel dan kembali menyimpannya di saku gamis.

"Gimana?" tanya Risa yang sedari tadi tak bersuara.

"Iya, nanti habis dzuhur aku ke Aliyah kayak biasa. Mau ikut?" tawar Fatimah disambut gelengan cepat dari Risa.

"Kamu tuh ya, Ris. Padahal ilmu kamu lebih luas daripada aku." Fatimah merenggut. "Kalau punya ilmu tuh jangan pelit, Ris."

"Ih! Kata siapa kalo ilmuku lebih luas daripada kamu? Emang kamu bisa mengukur pengetahuan seseorang?"

"Ya ... nggak sih, tapi kan...."

"Apa?"

"Risa nyebeliin!" desis Fatimah membuat Risa tertawa. Lalu ia teringat pesan dari Silmi.

"Kak Fahmi ada di kampus nggak ya?" tanya Fatimah lebih ke diri sendiri.

"Siapa? Kak Fahmi? Kayaknya aku lihat deh tadi. Dia mau ngisi mentoring juga?"

Fatimah mengangguk dan menjelaskan apa yang disampaikan Silmi, adik kelasnya dulu sekaligus ketua keputrian ROHIS di Aliyah.

"Coba aja cari di fakultasnya," usul Risa.

Fatimah terdiam sejenak. Mengingat Fahmi berada di satu jurusan dengan Fathir, ia berpikir seribu kali untuk ke sana. Tapi ... bagaimana lagi? Ia harus segera menghubunginya.

"Tapi malu Ris..., kalau banyak senior di sana gimana? Anter ya?" Fatimah memohon dengan penuh harap.

"Ish! Kamu ini, pasti nggak banyak, sebagian masih ada yang magang, dan mereka juga jarang ke kampus kalau nggak ada kepentingan."

"Iya, aku juga tahu. Tapi kan ..., ayolah Ris!"

Risa berdecak. "Tadinya mau langsung balik, tapi karena aku cantik dan baik hati, aku temenin. Lumayan ketemu Kak Fahmi," ujarnya lalu tertawa.

"Dasar!"

Mereka pun berjalan beriringan menuju gedung Fikom yang merupakan fakultas Fahmiㅡjuga Fathir. Dan Fatimah hanya bisa berharap ia tak bertemu Fathir lagi di sana.

"Fat, menurut kamu ... Kak Fahmi gimana?"

Fatimah mengerutkan kening. "Gimana apanya?"

"Ya orangnya!" sahut Risa gemas.

"Ooh, ya dia baik, ramah, cakap, religius juga. Kenapa?" Fatimah merasa heran.

"Nah kalau kamu jatuh cinta, sama Kak Fahmi aja, aku dukung seratus persen!"

Fatimah memukul lengan Risa. "Kalau ngomong tuh ya!"

Risa nyengir. Lalu matanya menangkap sosok yang mereka cari. "Tuh! Itu Kak Fahmi!" seru Risa menunjuk dengan dagunya.

Fatimah menoleh ke arah pandang Risa. Benar, di sana Fahmi sedang mengobrol bersama seseorang yang sangat ia hindari. Kenapa di saat ia ingin sekali menghindarinya, ia malah sering bertemu dengannya?

Fatimah menutup mata, mendesah pelan.

Kenapa dia lagi? Tuhan ....

***
Tbc.

Salam hangat 💙

Tinny Najmi.

Subang,
19 September 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top