23. Ikatan Takdir

23
Ikatan Takdir

"Entah mengapa, membuat ia merasa menjadi pemeran yang tiba-tiba muncul di tengah keduanya. Memutus benang takdir mereka."

🍃🍃🍃

"Assalamu'alaikum," Fahmi berucap begitu memasuki apartemen.

"Wa'alaikumussalam warahmatulloh," Fatimah yang memang sedang menunggu Fahmi segera menyambutnya lantas mencium punggung tangannya. "Kok, larut banget, Mas?"

"Iya, ada urusan mendadak di kantor."

Fatimah hanya mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. "Mau aku siapin air anget? Kayaknya Mas lelah banget."

"Nggak papa, nggak perlu. Aku langsung mandi ya," tolak Fahmi halus lalu berjalan melewati Fatimah yang termangu.

Ia menatap Fahmi bingung, perasaannya saja atau memang sikap Fahmi agak berbeda dari biasanya? Biasanya, Fahmi selalu membalas sapaan Fatimah dengan penuh senyuman, ia selalu mengecup keningnya atau kalau tidak, ia akan mengusap pucuk kepala Fatimah penuh sayang. Tapi tadi ... Fahmi berbicara seperlunya, menolak tawarannya dan melewatinya begitu saja. Bahkan ia tak melihat sedikit pun senyuman di wajah suaminya itu. Ini juga pertama kalinya Fahmi pulang di atas pukul sembilan.

Ah, mungkin dia hanya sedang lelah.

Fatimah mencoba berpikir positif dan menunggu Fahmi selesai mandi.

"Mas, sudah makan malam?" tanya Fatimah begitu Fahmi keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap.

"Sudah."

Hanya itu. Fatimah terdiam. Tidak tahu harus berbuat atau mengatakan apa.

"Apa ada sesuatu yang Mas perlukan?" tanya Fatimah kemudian.

Fahmi menggeleng. "Tidak ada. Kamu istirahat saja. Sudah makan, kan?"

Fatimah tidak menjawab. Ia malah mengalihkan pandangan ke segala arah. Melihat gelagat itu, Fahmi tahu jika wanitanya belum makan malam. Ia menghela napas.

"Kamu menungguku?"

Fatimah mengangguk pelan. "Aku takut Mas belum sempat makan, jadi aku menunggumu. Tapi tidak papa, aku tidak lapar kok!" Fatimah cepat-cepat menggeleng dan meyakinkan Fahmi saat pria itu sudah akan membuka mulut.

Fahmi membuang napas lelah. Tanpa kata, ia menarik lengan Fatimah dan membawanya ke meja makan.

"Mas ...."

"Makanlah. Aku tidak mau kamu sakit."

Dingin. Entah kenapa, Fatimah merasa sikap Fahmi tidak sehangat biasanya. Jadi ia hanya diam dan menurut. Ia makan dalam diam ditemani Fahmi di hadapannya yang tak berhenti menatapnya. Tidak nyaman. Itu yang Fatimah rasakan. Ia ingin menawari suaminya karena merasa tidak enak makan sendiri, tapi urung saat melihat tatapan mengintimidasi Fahmi padanya.

Apa mungkin Fahmi mulai jengah padanya? Apa Fahmi mulai merasa kalau dirinya memuakkan? Fatimah tidak bisa berhenti berpikiran negatif. Ia lantas berhenti makan, menunduk dalam.

"Kenapa berhenti?" tanya Fahmi yang melihat masih banyak sisa di piring Fatimah.

"Kenyang," jawab Fatimah tanpa menatap Fahmi.

Fahmi menghela napas. "Tidak baik buang-buang makanan. Aku kan sudah pernah bilang---" ucapan Fahmi terhenti saat Fatimah tiba-tiba beranjak dari kursi, berjalan cepat menuju kamar. "Fatimah!"

Fahmi mengejar Fatimah, menahan lengannya lalu membalikan tubuhnya. "Kamu---ya Allah Fatimah, kamu menangis?" Fahmi begitu terkejut mendapati wajah Fatimah yang berurai air mata.

"Tidak, mataku cuma perih. Tadi kelilipan," kilah Fatimah yang berusaha mengusap air mata di pipi.

Tentu saja Fahmi tidak percaya. Kedua tangannya meraih wajah Fatimah, mengusap bawah mata sang istri dengan kedua ibu jarinya lembut. "Kamu kenapa? Apa aku menyakitimu?"

Fatimah tidak menjawab karena tidak tahu harus mengatakan apa. Fahmi pun memeluknya. "Aku minta maaf .... Maafkan aku."

Fatimah menggeleng dalam pelukan Fahmi. Fahmi tidak salah, menurutnya dialah yang bermasalah. Ia merasa hanya menjadi beban bagi Fahmi.

Fahmi melepas pelukan lalu menatap Fatimah penuh sesal. Ia sadar, sikapnya barusan memang sedikit dingin. Ia tidak menyangka jika cerita Fathir tadi siang akan berdampak sebesar ini padanya.

Ia bahkan berbohong mengatakan pulang larut karena ada urusan di kantor. Padahal sebenarnya dia berdiam diri di masjid. Beriktikaf untuk menenangkan hatinya. Namun, kenyataan jika Fatimah dan Fathir telah terikat takdir sejak dulu, jauh sebelum ia mengenal Fatimah. Entah mengapa, membuat ia merasa menjadi pemeran yang tiba-tiba muncul di tengah keduanya. Memutus benang takdir mereka.

Fathir lebih dulu mengenalnya. Menyelamatkan kehidupannya. Memberinya pertolongan. Lalu, apa yang ia lakukan untuk wanitanya? Tidak ada. Egonya terusik. Ia merasa tak berguna.

Sekali lagi, Fahmi merengkuh Fatimah ke dalam pelukannya. Lebih erat. Sampai Fatimah terheran-heran dibuatnya.

"Mas ...."

"Fatimah ... kamu tidak akan meninggalkanku, kan?"

Fatimah semakin kebingungan. Padahal sejak tadi ia yang merasa takut ditinggalkan oleh pria itu. Tapi kenapa malah ....

"Mas, kamu ini bicara apa? Aku tidak mungkin meninggalkanmu. Justru, aku takut kamu yang akan meninggalkanku karena kondisiku. Melihat sikapmu tadi, aku pikir ...."

Fahmi melepas pelukan lalu menatap istrinya. "Demi Allah, aku tidak akan meninggalkanmu hanya karena itu. Kamu bisa pegang janjiku."

Fatimah tersenyum haru. Manis sekali suaminya ini. "Lalu kenapa kamu bertanya seperti itu? Aku tidak punya alasan untuk meninggalkanmu."

Giliran Fahmi yang tersenyum. "Tidur yuk, sudah malam."

"Aku beresin meja dulu ya," ucap Fatimah yang segera merapikan meja dengan cepat. Fahmi pun ikut membantu agar cepat selesai.

"Terima kasih, Mas."

"Tidak ada kata terima kasih bagi sepasang suami istri."

Lagi-lagi Fatimah tersenyum. Setelah semuanya beres, mereka pun memutuskan untuk segera istirahat.

"Fatimah ...."

Fatimah urung memejamkan mata. Ia pun menoleh pada sang suami yang terbaring di sampingnya menghadap langit-langit kamar.

"Kenapa, Mas?"

"Apa kamu tidak penasaran, siapa orang yang telah menolongmu waktu itu?" tanya Fahmi masih tanpa menatap wanitanya.

Kerutan tercipta di kening Fatimah. "Kenapa Mas tiba-tiba bertanya seperti itu?"

Sekarang Fahmi memiringkan tubuhnya agar bisa menatap wajah sang istri. "Aku hanya ingin tahu. Apa yang akan kamu lakukan jika bertemu dengannya?"

Meskipun pertanyaan Fahmi sedikit membuatnya heran, Fatimah tetap menjawab, "Tentu saja aku akan mengucapkan terima kasih dan juga membalas budi padanya."

"Kamu tidak mencoba bertanya atau mencari tahu siapa orang itu?"

Fatimah menggeleng. "Aku tidak pernah memikirkannya. Aku juga yakin, keluargaku pasti sudah mewakiliku. Apa menurut Mas aku perlu bertanya pada keluargaku dan menemui orang itu untuk berterima kasih?" tanya Fatimah tampak serius.

Fahmi sesaat terdiam.

"Jangan beri tahu dia, aku mohon padamu. Berjanjilah." Ucapan Fathir tiba-tiba melintas dalam pikirannya.

"Kenapa?"

"Demi kalian," jawab Fathir. "Itu sudah jadi masa lalu. Alasan kenapa selama ini aku tidak memberitahunya pun karena aku tidak ingin mengusik kenangan itu lagi. Mungkin dia akan merasa malu jika tahu kalau aku yang dulu menolongnya. Juga, aku rasa ini bukan hal penting untuk dibicarakan." Fathir tersenyum. Menatap Fahmi. "Aku harap, hal ini tidak mengganggumu."

"Mas?" tegur Fatimah saat ia melihat Fahmi yang tak merespons.

"Oh. Iya, kenapa?"

"Mas belum jawab pertanyaanku. Lagi ngelamunin apa?"

Fahmi tersenyum dan menggeleng. "Terserah kamu saja, kalau menurutmu itu penting, aku tidak akan melarangmu," ujarnya lantas beringsut meraih Fatimah dalam pelukannya.

Fatimah tak berkutik. Malam ini suaminya terlalu banyak bertingkah aneh.

"Mas ...."

"Hmm?"

Fatimah menjauhkan diri lantas menatap sang suami. "Apa ada masalah? Sikapmu padaku tadi pasti bukan tanpa alasan, kamu tidak pernah seperti ini sebelumnya."

Fahmi tersenyum. "Tidak ada apa-apa, maafkan sikap tidak baikku yang tadi. Aku hanya merasa lelah. Jangan dipikirkan ya."

"Benar?"

Fahmi mengangguk lantas membelai kepala Fatimah penuh kasih. "Imah ...."

"Y-ya?" jawab Fatimah gugup. Kenapa ia merasa panas dingin begini?

"Bagaimana menurutmu jika kamu berkonsultasi lagi pada psikolog?" Fatimah terdiam sejenak. Menatap sang suami yang kini menatapnya intens. Menunggu jawaban. "Kalau kamu tidak mau, tidak papa," senyum Fahmi.

Fatimah menggeleng dan tersenyum. "Aku mau, Mas. Aku mau sembuh."

Fahmi kembali memeluk dan mengecup keningnya. "Terima kasih."

Fatimah menggeleng dalam pelukan suaminya. "Harusnya aku yang berterima kasih. Aku sangat bersyukur memiliki suami sepertimu."

"Tidak. Akulah yang merasa bersyukur memilikimu."

"Tidak. Akulah yang beruntung bisa menjadi pendamping hidupmu."

Tak mau kalah, Fahmi kembali menyanggah. "Aku yang lebih beruntung."

Fatimah menarik diri dari Fahmi. "Mas, ih! Kok nyebelin, sih?" ia berdecak sebal. Sementara Fahmi terkekeh geli. Lalu menatap istrinya teduh.

"Jika kamu mencintaiku, maka aku lebih mencintaimu." Fahmi mengecup bibir Fatimah sekilas. "Selamat tidur, istriku. Jangan lupa baca do'a."

Fatimah tak berkutik. Menenggelamkan wajah yang terasa panas di dada Fahmi. "M-mas, juga. Selamat tidur."

***

"Mi! Mi!" Fathir mengejar Fahmi yang baru keluar dari studio. Fahmi pun berhenti untuk menunggu Fathir sampai di hadapannya.

"Kenapa?"

"Gimana? Fatimah mau enggak?"

Fahmi mengangguk sebagai jawaban.

Fathir tersenyum. "Alhamdulillah ... kalau gitu gue---"

"Enggak usah, terima kasih. Aku bisa cari sendiri."

Fathir tercenung melihat Fahmi yang melengos begitu saja. "Loh? Mi!" Ia kembali mengejar. "Tunggu dulu," cegat Fathir.

"Kenapa? Aku udah bilang nggak usah."

"Tapi Mi ...."

"Fat, please. Biar aku sendiri."

Fathir terdiam. Lalu berdeham. "Gue nggak ada maksud apa-apa Mi. Gue cuma mau bantu kalian. Gue kenal seseorang yang bisa bantu Fatimah. Dia cewek kok, gue yakin Fatimah juga bakal lebih nyaman kalau--"

"Aku tahu maksud kamu baik. Aku berterima kasih karena kamu sudah peduli. Tapi ini urusan rumah tangga aku. Kamu tidak perlu ikut campur." Setelah mengatakan itu, Fahmi langsung pergi meninggalkan Fathir yang tercenung.

Fathir menyadari sikap Fahmi yang terkesan agak dingin padanya. Apa karena cerita kemarin? Fathir menghela napas. Padahal ia hanya ingin membantu. Kalau memang Fahmi merasa terganggu, ia bisa apa. Mungkin, ia memang terlalu ikut campur.

***

Tbc.

Haaaiii alohaaa masih adakah penghuni lapak ini? 😂 berapa abad ya saya gak update? Wkwkw maafkan ya, saya tahu kalian gak butuh alasan.

So, aku update walau dikit gpp yah 😙😙

Salam kangen,

Tinny Najmi.

Subang,
14 Juli 2019.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top