22. Cerita Masa Lalu 2
22
Cerita Masa lalu 2
"Apabila diibaratkan kelebihanku sembilan dan kurangku satu, lalu kelebihanmu satu dan kurangmu sembilan, maka ketika kita dipersatukan, angka itu akan menjadi sempurna. Itulah mengapa menikah disebut menyempurnakan separuh agama"
***
" .... Aku ... memang tidak pantas untukmu."
Setelah mengatakan kalimat itu, Fatimah kembali tergugu dalam tangis. Menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Ia merasa sungguh malu. Bahkan ia tak sanggup lagi memandang wajah suaminya.
Fahmi meraih tangan Fatimah lantas menurunkan dan menggenggamnya. Fatimah mendongak, menatap wajah Fahmi yang masih tak beriak. Lalu, tanpa ia duga, Fahmi mengecup bibirnya, lembut dan hangat.
"Jangan mengatakan sesuatu yang tidak aku sukai," ucap Fahmi setelah menarik diri. "Kenapa aku harus menceraikanmu?"
Fatimah tertegun. Ia memandang Fahmi tak mengerti. "T-tapi ...."
"Aku memang kecewa padamu, karena kamu tidak menceritakannya padaku. Kenapa kamu seceroboh ini? Seharusnya kamu mengatakannya sebelum aku meminta hakku, atau saat kita akan menikah. Mungkin kejadian seperti malam tadi tidak akan terjadi." Fahmi menghela napas. "Dengar, Imah ... aku ini suamimu. Apa kamu tidak menganggapku sebagai laki-laki yang bertanggung jawab atas hidupmu? Aku sudah mengatakannya sejak awal, aku menerimamu dengan segala kekuranganmu. Karena aku juga bukanlah sosok yang sempurna.
"Apabila diibaratkan kelebihanku sembilan dan kurangku satu, lalu kelebihanmu satu dan kurangmu sembilan, maka ketika kita dipersatukan, angka itu akan menjadi sempurna. Itulah mengapa menikah disebut menyempurnakan separuh agama. Pernikahan ini adalah jalan untuk kita saling melengkapi kelebihan dan menutupi kekurangan masing-masing."
Fatimah kembali menunduk. Perasaan haru menyeruak memenuhi rongga dada. "Maaf .... Terima kasih, Mas ...."
Fahmi menarik Fatimah ke dalam pelukannya, mengusap kepala wanitanya itu lembut penuh kasih. "Berjanjilah untuk tidak menyembunyikan apapun lagi dariku, aku ingin kita menghadapi segalanya bersama, senang sedih, kita lewati bersama. Kita sama-sama berusaha menggapai rida Allah."
Fatimah mengangguk dalam pelukan sang suami. Betapa beruntungnya ia memiliki Fahmi sebagai suaminya. Betapa baik Allah padanya. Sejak saat itu ia bertekad, ia tidak akan pernah mengecewakan pria di hadapannya ini lagi. Sudah sepatutnya, ia mengabdi pada pria ini. Menjadikannya seseorang yang harus ia taati kedua setelah Allah.
***
"Pengantin baru kok galau," seloroh Fathir langsung duduk di seberang Fahmi yang sedang duduk di taman kantor. Ia menyesap caffelate yang sempat ia beli sebelumnya.
Fahmi menoleh dan tersenyum tipis, ia pun menyesap minumannya tanpa membalas selorohan pria di seberang mejanya. Beberapa saat mereka hanya diam tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Fat," panggil Fahmi menarik perhatian Fathir dari lamunannya.
Fathir menaikkan sebelah alis. "Lo baik-baik aja, kan?" tanyanya heran melihat sikap Fahmi yang menurutnya tidak seperti biasa.
"Hm," sahut Fahmi tanpa minat. "Ada yang mau aiu tanyain," ucapnya kemudian.
"Soal?"
"Apa kamu tahu kalau Fatimah punya trauma?"
"A-apa?" Fathir yang sedang minum hampir saja tersedak. Benaknya langsung berpikir keras, bagaimana Fahmi bisa tahu? Yang lebih penting, kenapa ia bertanya seperti itu padanya? "K-kenapa lo berpikir kalau gue tahu?"
"Jawab jujur, Fat. Apa alasan kamu dulu mendekati Fatimah?"
Ditanya seperti itu, membuat Fathir gelagapan. Namun ia berusaha bersikap senormal mungkin. "Kenapa lo tiba-tiba nanya soal itu? Itu kan dulu."
Fahmi menghela napas. "Kamu terus saja menghindari pertanyaanku dengan pertanyaan. Kenapa tidak jawab?"
Fathir diam. Memangnya ada apa? Apakah trauma Fatimah kambuh lagi? Dia pikir, Fatimah sudah sembuh dari traumanya.
"Fat ...."
"Iya, gue tahu," aku Fathir tanpa memandang Fahmi.
"Jadi, benar ...," Fahmi bergumam. "Dari mana kamu tahu? Dan sejak kapan?"
"Apa yang terjadi? Apa traumanya kambuh lagi?"
Fahmi berdecak kesal. "Jawab pertanyaanku dulu!"
Fathir bungkam. Baiklah. Itu memang bukan urusannya. Tapi, ia tidak tahu harus berkata apa. Haruskah ia jujur? Memberi tahu sahabatnya jika ia sudah tahu sejak dulu, bahkan jauh sebelum itu, ia melihat kejadian itu. Tapi, jika ia mengatakannya, bukankah ia akan melukai perasaan sahabatnya itu?
"Dia menjerit ketakutan, saat aku mulai menyentuhnya," ucap Fahmi begitu saja, pandangannya lurus, menerawang tanpa objek.
Fathir dibuat terpana, ia begitu terkejut. Memandang Fahmi tak percaya. Ia menelan ludah, tak bisa membayangkan bagaimana perasaan sahabatnya itu sekarang.
Fahmi menoleh hingga tatapan mereka saling menumbuk. "Apa dulu kamu mendekatinya karena hal itu?"
Masih tanpa jawaban, Fathir hanya balas menatap Fahmi tanpa kata. Fahmi kembali menatap ke depan lalu berkata, "Kamu sudah tahu sejak awal kalau dia punya trauma, bukan? Kamu sengaja melakukannya untuk membantu ia agar mudah bersosialisasi dan tidak takut lagi berdekatan dengan laki-laki. Alasan sebenarnya kamu menjadikan dia pertaruhan untuk menaklukkan hatinya. Tapi kamu terjerat permainanmu sendiri, kamu jatuh cinta padanya."
Tanpa sadar, Fathir menahan napas. Tercekat, ia benar-benar dibuat terpana. "Ba-bagaimana ... lo, bisa tahu?"
Sebelah sudut bibir Fahmi tersungging ke atas. "Tentu aku tahu, aku sudah memperhatikannya sejak dulu," ucap Fahmi lalu menerawang jauh. "Dia, yang selalu terlihat murung dengan pandangan yang redup, betah dalam kesendirian, selalu menunduk dan menjauh jika berpapasan dengan laki-laki. Setiap kali aku melihatnya, aku selalu bertanya-tanya, ada apa dengannya? Apakah hanya karena ia menjaga pandangan dan pergaulan dari laki-laki, atau ada hal lain? Aku tak pernah tahu apa-apa, hingga aku melihatnya dekat denganmu, aku melihat ada pancaran yang berbeda dari matanya.
"Diawali rasa penasaran, aku semakin tertarik saat sudah mengenalnya lebih dekat. Aku merasa sangat marah saat kau membuatnya menangis waktu itu. Tapi, aku tahu aku tidak punya hak apa-apa saat itu." Fahmi berhenti sejenak, menoleh pada Fathir yang mematung tanpa bisa berkata. "Aku tahu semuanya, aku selalu memperhatikannya."
Hening. Fathir memutus kontak mata mereka, menunduk dalam lalu menarik napas kuat-kuat. "Maaf ...."
"Untuk?"
"Untuk yang terjadi di masa lalu, juga untuk apa yang akan gue katakan," jawab Fathir. "Lo mau tahu kan, gimana gue bisa tahu dia punya trauma?" Fathir kembali menoleh menatap sahabatnya. "Karena gue ada di sana, gue melihat kejadian itu dengan mata gue."
Fahmi terbelalak, terkejut meski ada prasangka, tapi ... ia, benar-benar tak berharap jika orang itu adalah Fathir. Tiba-tiba ia merasakan amarah membuncah di dada, ia mengepal tangan kuat-kuat lalu memejamkan mata. Lantas menarik napas untuk meredakan emosi.
"Bagaimana ...."
Garut, Agustus 2011
Malam itu, Fathir dan kawan-kawannya sedang dalam perjalanan pulang dari mendaki di salah satu gunung yang ada di Garut. Suasana di atas mobil pick up itu tampak begitu ramai diisi oleh lima orang, yang satu main gitar menyanyikan lagu sindiran untuk salah satu teman mereka yang sedang patah hati. Sementara yang lain ikut bernyanyi dan bersorak ricuh, tak terkecuali Fathir.
"Berisik kalian anjing!!" seru orang yang kini menjadi bahan ledekan kawan-kawannya. Namun hanya dibalas gelak tawa dari semua kawannya.
"Jangan minum terus Bim, udah teler juga!" sergah Fathir yang melihat kawannya itu sudah setengah mabuk.
"Bodo amat! Lo mau?"
"No, thanks," tolak Fathir.
"Cemen, lu!"
"Gue mah anak soleh," ujar Fathir bercanda yang disambut gelak tawa teman-temannya.
"Anak soleh yang solatnya bolong-bolong ya Bung!"
Fathir meringis, iya memang salatnya masih bolong-bolong, apalagi bergaul sama mereka yang tidak pernah salat, membuat ia semakin lalai saja. Tapi senakal-nakalnya ia, sebadung-badungnya ia, ia selalu ingat nasihat ibunya untuk tak pernah coba-coba minuman keras. Karena terbiasa juga berawal dari coba-coba. Ia sedikit prihatin melihat temannya, patah hati kok sampai segitunya.
"Aduh gue kebelet nih, gak kuat! Berhenti dulu dong!" seru salah satu dari mereka. "Bang, Bang! Berhenti Bang!" Ia menggedor-gedor pintu depan kemudi menyuruh orang yang menyetir menghentikan mobil. "Gue kebelet! Gak kuat ini!"
Mobil berhenti. "Buruan, gak pake lama!" seru orang yang mengemudi.
"Siap!"
"Yakin lo Gus, mau kencing di sini?" tanya salah satu temannya dengan seringai jenaka. "Ntar lo ketemu sama yang putih-putih, hihihihi...."
"Anjiiirrrr dasar setaan!" seru Agus kesal, ia melihat sekeliling, yang ada hanya kebun salak dan mahoni, gelap tanpa lampu, hanya ada lampu jalan dan cahaya bulan. Memang tampak horor, tapi apa boleh buat, ia sudah tidak tahan. Ia menoleh pada Fathir, "Fat ...—"
"Gak mau!" tolak Fathir langsung membuat teman-temannya yang lain terbahak.
Agus menatapnya melas. "Temenin dong, Fat, lo kan paling baek dan paling saleh di antara para monyet itu."
Mendengar itu mereka semua hanya tertawa.
"Jadi gak nih? Buruan! Gue tinggal lo!" seru orang yang jadi supir. "Temenin sana Fat!"
Fathir menggerutu, kenapa jadi ia yang harus nganterin tu bocah? Tapi apalah daya jika senior sudah memerintah.
"Iya, Bang," ujarnya turun meski enggan. Agus nyengir ketika Fathir memelototinya. Lalu ia cepat-cepat berjalan terlebih dulu diikuti Fathir di belakangnya.
"Jangan jauh-jauh sih, Gus!"
"Malu coy kalo ada orang!"
"Mana ada orang malem-malem di sini? Jurig nu aya! Hantu yang ada."
"Maneh nya jurig na! Elu ya hantunya! Hahaha!"
"Sinting," desis Fathir.
"Jangan ngintip!"
"Najiss!!"
"Hahhhh legaaaa," desah Agus yang sudah mengeluarkan cairan dari kantung kemihnya.
Samar-samar, Fathir mendengar suara teriakan. Ia mengerutkan dahi dan memfokuskan pendengaran, ia yakin sekali, ada suara orang. Ia menoleh pada Agus. "Gus, lo denger?"
Agus mengangguk tanpa berkata. Samar-samar, suara itu kembali tetrdengar. "Ayo buruan balik, Fat. Gue merinding," ujar Agus yang mulai pucat menarik-narik lengan Fathir.
"Sssst! Diem!" ujar Fathir tegas. Ia kembali memfokuskan pendengaran, begitu pula Agus. "Itu suara orang minta tolong, Gus."
Agus sudah tegang, "Lo yang bilang, mana ada orang malem-malem di sini, jadi mending kita balik, hayu!"
Tidak mendengarkan ocehan Agus, Fathir berjalan mengikuti asal suara. Agus gamang, ia ingin kembali karena takut, tapi tak tega meninggalkan Fathir yang sudah mau menemaninya. Akhirnya, ia memutuskan mengikuti Fathir meski terus membujuk Fathir untuk kembali.
"Hayu atuh Fat, balik. Ayo dong Fat, pulang. Bisa jadi itu tipuan setan!"
Fathir tetap abai. Ia semakin jelas mendengar suara teriakan dan jeritan seorang wanita, juga gelak tawa beberapa pria. Hingga retinanya menangkap bayangan tiga orang pria yang sedang merobek paksa pakaian seorang perempuan. Langkahnya terhenti, tenggorokannya trecekat dan ia seperti lupa bernapas untuk sesaat. Pemandangan yang ia lihat benar-benar ... menyedihkan, menjijikan.
"Fat ...," lirih Agus ikut tak percaya apa yang ia lihat. Ia menggoncang-goncang lengan Fathir hingga perhatian pria itu teralih padanya.
"Kumaha atuh ieu Fat? Urang kudu kumaha? Gimana dong ini Fat? Kita harus gimana?"
Suara jeritan dan tangisan perempuan itu membuat mereka ngilu, tak tega dan ikut merasa sesak. Fathir tak tahan lagi mendengarnya. Dilihatnya gadis itu masih berupaya memberontak, sempatkah ia menyelamatkannya?
Jangan banyak berpikir, Fathir! Bertindak sekarang juga!
"Gus, lo cepet balik, kasih tahu semuanya, terus suruh mereka ngasih tahu warga terdekat buat minta bantuan, buruan! Gak ada waktu lagi, gue yang bakal ngehentiin mereka sementara."
Agus membelalak tak percaya. "T-tapi Fat ...."
"Buruan, Gus!" tegas Fathir.
"Mereka tiga orang! Lo bisa celaka!"
"Makanya lo harus cepet biar gue gak celaka!"
Agus meyakinkan diri, lalu berlari dengan cepat menuju teman-temannya. Dalam hati terus berdoa semoga temannya baik-baik saja.
Sementara Fathir, ia mencari sesuatu untuk dijadikan senjata. Lalu ia menemukan dahan pohon yang sepertinya cukup dijadikan alat pukul. Ia menarik napas dan mengumpulkan keberanian, saat dilihatnya gadis itu tak sadarkan diri, ia semakin tak tahan. Dengan seluruh keberaniannya, ia berlari dan menerjang orang yang sedang menduduki tubuh si gadis hingga terjungkal.
"Keparat! Dasar sampah kalian! Memangnya kalian gak punya nurani? Hah?" seru Fathir marah.
Orang yang tadi ditendang Fathir berdecak kesal, aksinya terus menerus gagal, padahal tinggal sedikit lagi.
"Kayaknya dia sendirian, habisin aja ni bocah," ujar salah satu dari mereka.
Pria berbadan besar itu tertawa sinis, "Bocah lo mau apa? Lo mau ikutan nikmatin tubuh gadis itu?"
Amarah Fathir sudah naik ke ubun-ubun. Ia bahkan tidak sanggup melihat tubuh perempuan yang kini tergeletak tak sadarkan diri tanpa sehelai kain pun.
"Bajingan!" umpatnya kesal, ia kembali menerjang orang itu, memukulnya yang sudah terkapar di tanah. Dua orang yang lain tidak tinggal diam, mereka menarik Fathir dan balas memukulnya hingga ia terjatuh. Fathir bangkit, mencoba menghindari pukulan juga balas menyerang. Ia memang tidak pandai bela diri, tapi cukup jago soal berkelahi, fisiknya cukup kuat karena sudah sering naik turun gunung. Namun, tetap saja satu lawan tiga itu pertarungan yang tidak adil.
Fathir sudah babak belur, ia sudah tak berdaya untuk melawan, bahkan bangun saja terasa sulit. Kepalanya berdarah, ia sudah benar-benar pusing. Kenapa Agus belum datang juga? Ah ... seharusnya tadi ia mengulur waktu terlebih dulu. Hingga ia mendengar suara langkah kaki, ia sedikit lega, di kegelapan itu ia melihat kawan-kawannya berlari ke arahnya.
"Bang, mereka banyak, kita kabur aja?" ujar salah satu pelaku.
"Jangan berpikir kalian bisa kabur!" Fathir mengenal suaranya, itu suara Bang Enver.
"Fat, lo masih sadar kan?" Suara Bima, bahkan ia bisa mencium bau alkohol dari mulutnya.
Fathir melenguh, ia masih sadar, hanya tak sanggup berdiri. "Agus ...," ucap Fathir menanyakan temannya itu.
"Dia lagi minta bantuan warga sama Dirga."
Lega, itulah yang Fathir rasakan, perjuangannya sampai babak belur tidak akan sia-sia. Mungkin, ia bisa tidur sebentar, pikirnya. Dan setelah itu ia benar-benar tak sadarkan diri.
Saat sadar, ia berada di sebuah kamar yang serba putih, sesaat ia mengalami disorientasi. Lalu ketika merasakan tubuhnya yang sakit di mana-mana, ia pun teringat kejadian saat ia berkelahi dengan tiga pria. Fathir bangun, duduk di atas ranjang yang entah milik siapa.
Gadis itu ... apa ia baik-baik saja? Apakah ia berhasil diselamatkan dan sekarang ia berada di rumahnya?
Fathir hanya diam terduduk di sana. Banyak yang dipikirkan olehnya. Ia baru tersadar saat menyapu pandangan ke sekitar, kalau ia tidak sendiri. Semua teman-temannya ada di sana, ada yang tidur di lantai, ada juga yang di ranjang dengannya. Fathir menghela napas, benar-benar mereka ini ... sudah seperti korban bencana alam saja. Tapi hanya dirinya yang terluka parah. Memangnya berapa lama ia pingsan?
Fathir kembali menyapu pandangan, mencari jam. Sudah hampir tengah malam ternyata. Fathir meringis, seluruh tubuhnya benar-benar sakit.
Pintu kamar terbuka, seseorang masuk. "Oh? Udah sadar," ucapnya seraya menghampiri Fathir.
"Iya, Bang," sahut Fathir. Ia baru sadar jika seniornya itu tidak ada di kamar. "Ini rumah siapa, Bang?"
"Rumah cewek yang kita tolongin tadi," Pria bule tampan itu duduk di samping Fathir. "You're so cool, men," tukasnya menonjok bahu Fathir pelan dengan seringai lebar.
Fathir meringis. "Sakit, tahu, Bang!" gerutunya yang hanya dibalas tawa oleh seniornya itu.
"Gimana sama cewek itu?" tanya Fathir penasaran.
"Masih belum sadar," Enver menyapu rambut cokelatnya. "What a pity girl," imbuhnya.
Fathir mengangguk membenarkan. Benar-benar kasihan. Apalagi ia melihatnya, ketika gadis itu mencoba begitu keras mempertahankan kehormatannya. Rasanya ia ikut merasakan sakit. Ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan gadis itu. Benar-benar bajingan ketiga pria itu. Sudah hilang kemanusiaan mereka.
"Gimana sama para pelaku?"
Enver mengedikkan bahu. "Warga yang mengurus mereka."
"Oh, syukurlah," ucap Fathir. Lalu Agus yang sedang tidur di samping Fathir terbangun, melihat Fathir yang sudah sadar, dia refleks bangun.
"Fathiiirr! Huaaa gue kira lo mati!" serunya heboh memeluk Fathir.
"Anjir! Sakit, bego!" Fathir meringis segera mendorong temannya itu.
"Hahaha, sorry, lupa!" ujar Agus tanpa dosa. "Hahhh ... syukurlah lo gak kenapa-napa, gue bener-bener kuatir tahu nggak? Nekat banget sih lo! Kalo anak-anak pada telat dateng, gimana coba?" omel Agus, cowok itu terus saja mengoceh dan mengomeli Fathir tanpa henti. Enver hanya cekikikan melihatnya. Lalu satu persatu dari mereka bangun. Mulai berceloteh hal-hal yang tak berguna, mereka tertawa seperti tanpa beban, padahal tadi mereka habis berkelahi.
Pintu kamar kembali terbuka, membuat ruangan itu hening seketika. Sosok pria berwajah tampan dan bersih muncul, ia tampak seumuran dengan Enver.
"Eh, sorry. Pasti berisik, ya? Mulut mereka emang gak bisa diem kalo gak lagi merem," ujar Enver.
Pria itu tersenyum tipis. "Nggak papa,"ujarnya lalu perhatiannya teralihkan pada Fathir. "Sudah bangun?"
Fathir hanya mengangguk. Lantas pria itu berjalan ke arahnya. "Aku Fauzan, kakaknya Fatimah."
"Cewek itu namanya Fatimah," bisik Enver pada Fathir.
Fathir tersenyum sopan, "Saya Fathir."
"Bagaimana kondisimu?"
"Lumayan baik."
"Bisa berjalan? Abah sama Umi katanya mau bicara."
Fathir mengangguk, lantas bangun meski seluruh badannya masih terasa sakit. Ia terlalu banyak menerima pukulan. Kepalanya pun sekarang diperban karena sempat berdarah. Ia mengikuti Fauzan ke ruang tamu untuk bertemu orang tua gadis itu.
Fathir mendadak merasa gugup, kenapa pula dirinya ini? Paling mereka hanya ingin mengucapkan terima kasih, kan? batinnya percaya diri.
Saat sampai di ruang tamu, ia disambut ramah oleh pasangan paruh baya yang ia yakini sebagai orang tua gadis bernama Fatimah itu. Seperti dugaannya, mereka menemuinya untuk berterima kasih, mereka nampak lega meski Fathir bisa melihat kesedihan di raut wajah teduh mereka. Bagaimanapun, Fatimah adalah anak perempuan satu-satunya, nasib malang yang menimpa anak itu pasti menjadi pukulan tersendiri bagi orang tuanya.
"Untuk malam ini, kalian menginap saja, kamu juga masih perlu istirahat, kalian bisa pulang besok pagi," ujar Abah.
Fathir hanya mengangguk, memang sudah terlalu larut untuk mereka kembali ke Bandung. Saat hening, terdengar suara jeritan dari kamar yang berada di samping Fathir. Kedua orang tua Fatimah bersama anak sulung mereka serentak menghampiri kamar itu dengan tergesa. Sementara Fathir mengekor di belakang dengan sedikit ragu. Ia melihat dari balik pintu yang tidak tertutup, gadis itu tampak memeluk tubuhnya sendiri, gemetaran, berteriak dan terisak-isak. Keluarganya sibuk menenangkan gadis bersurai hitam sepunggung itu.
Kemudian Fathir menarik diri, merasa tidak sopan jika ia melihatnya. Teman-temannya berdatangan karena penasaran, Fathir hanya menggeleng. Lalu matanya menyapu ruangan, ia mendapati foto seorang gadis berseragam SMA tengah tersenyum cerah bersama pria yang ia tahu bernama Fauzan, kakaknya. Sejak saat itu, wajah dan nama gadis itu terpatri kuat di ingatannya.
***
Tbc.
Yosh, maafkan ya lama update 😁 #sudah biasa wkwkwk. Yaay finally sudah terjawab bukan rasa penasaran kalian? 😗 Tetap nantikan kisah mereka selanjutnya, karena saya punya kejutan 😆
Salam hangat,
Tinny Najmi 🥰
.
Tasikmalaya,
31 Mei 2019.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top