20. Sudah Mencintaimu
20
Sudah Mencintaimu
"Aku sudah mencintaimu, sejak bait akad yang kau ucap di depan Abah. Aku sudah memutuskan akan mencintaimu habis-habisan."
***
.
Garut, September 2018
Di bawah langit malam berbintang, sebuah rumah sederhana sedang diliputi oleh kebahagiaan. Fatimah sedang mengobrol hangat bersama seluruh keluarganya, termasuk Fahmi yang kini sudah resmi menjadi suaminya. Sementara orang tua Fahmi sudah pulang sore tadi.
Malam ini, Fatimah benar-benar ingin menghabiskan sisa waktu di kampung bersama keluarganya. Sebab, besok ia akan diboyong oleh suaminya untuk tinggal di Jakarta. Jadi nanti pasti akan sulit untuk berkumpul seperti ini, hangat, penuh canda tawa. Meski ia banyak merenggut sebal karena jadi objek yang terus saja diledek. Ia juga kena tegur karena masih memanggil Fahmi dengan embel-embel 'Kak'.
"Dia itu suamimu, coba panggil Mas, biar lebih enak didengarnya. Inget ya Imah, dia itu pemimpinmu, kamu harus hormati dia," nasihat Umi.
Fatimah merenggut. "Kak atau Mas, kan, sama saja Mi...."
"Ya beda atuh! Coba tanya suamimu," titah Umi.
Fatimah menoleh pada Fahmi yang sedari tadi menyimak obrolan ibu dan anak itu, tidak berniat menginterupsi sama sekali. Sebab ia tahu, istrinya itu sedang ingin bermanja-manja dengan wanita yang telah melahirkannya. "Hmm, Kak Fahmi ... mau dipanggil apa?" tanya Fatimah sangsi. Meskipun mereka sudah kenal lama, Fatimah belum bisa menghilangkan kecanggungan saat bertatap muka. Ia terlalu malu bahkan hanya untuk menatapnya. Ya Tuhan!
Ditanya seperti itu, Fahmi tersenyum tipis. Senyum yang membuatnya semakin tampan. "Jawab jujur atau nggak nih?"
"Ya jujur dong, Kak."
Fahmi terkekeh kecil. "Ya udah, panggil Mas aja," jawab Fahmi enteng.
Fatimah terperangah tapi juga tidak bisa membantah. Sejak itulah panggilan Fatimah ke Fahmi jadi berubah.
"Mi, udah dong jangan diganggu terus Imah sama Fahmi-nya. Mereka pasti sudah kelelahan," tegur Abi.
"Iya Umi, siapa tahu juga mereka mau ibadah!" ujar Sarifah yang disambut kekehan dari Fauzan dan tawa sang umi. Sementara Fatimah dan Fahmi sudah tak bisa apa-apa. Mereka hanya bisa menahan malu. Jadilah semua orang membubarkan diri, meninggalkan Fatimah dan Fahmi berdua.
"Fat, bawa barang seperlunya aja ya. Kita tinggal di Jakarta sementara kok. Nanti kalau aku sudah nemu rumah yang bagus, kita pindah. Kamu maunya tinggal di mana? Di Garut atau Bandung?"
Fatimah terdiam sejenak. Berpikir. "Tapi, kan. Kakㅡehm, Mas kerjanya di Jakarta."
"Memang, tapi aku nggak mau kalau nanti anak-anak kita tumbuh di lingkungan kota metropolitan. Aku ingin mereka tumbuh di lingkungan yang baik, kalau di perkampungan kan orang-orangnya tidak terlalu tercemar," tutur Fahmi diakhiri seringaian lebar.
Fatimah ikut tersenyum. Dalam hati ia merasa terenyuh. Tidak menyangka kalau Fahmi sudah memikirkan kehidupan mereka sejauh itu. Dan yang ia suka adalah, Fahmi tidak pernah menuntut atau memerintah sekehendaknya, ia selalu berbicara dan meminta pendapatnya. "Aku ikut Mas aja, tinggal di mana saja yang menurut Mas baik," ujarnya.
Mendengar itu, Fahmi malah cengar-cengir. Membuat Fatimah heran dibuatnya. "Kenapa? Kok senyum-seyum gitu?"
Fahmi menggeleng. "Seneng aja denger kamu manggil aku 'Mas'," ungkapnya jujur. "Kalau aku panggil kamu Imah, boleh? Semua keluarga kamu manggil kamu begitu, 'kan? Biar beda juga panggilan buat kamu sama Fathir, manggil Fat berasa lagi manggil si Fathir," kekehnya.
Mendengar nama Fathir disebut, Fatimah jadi teringat dia datang di acara pernikahannya. Sejujurnya ia sangat terkejut, melihatnya seolah memutar kembali kenangan semasa ia kuliah dulu. Alasan mengapa ia tidak bisa dengan mudah melupakan orang itu adalah, karena orang pertama yang mendekatinya dan berhasil memorak-porandakan hatinya. Ah, tidak perlu dipikirkan. Lagi pula itu sudah lama berlalu.
Fatimah tersentak saat tangannya diraih oleh Fahmi. Ia menatap suaminya yang kini tersenyum manis padanya. "Kamu nggak nanya, kenapa Fathir bisa datang?"
"Ya?" tanya Fatimah tak mengerti. Kenapa ia harus tahu? Meski ia penasaran, tapi tidak pantas saja rasanya membicarakan orang itu di tengah-tengah kebersamaan mereka.
Lagi-lagi Fahmi tersenyum. Jantung Fatimah sudah berdebar-debar tak karuan, entah untuk alasan apa. "Kamu sudah tak ada rasa padanya?"
Fatimah terpana. "A-apa? Maksud Mas? Kenapa Mas bertanya begitu?"
Apa Kak Fahmi tahu dulu aku sempat dekat dengan Kak Fathir? batinnya. Kenapa pula ia merasa takut Fahmi mengetahuinya? Itu kan sudah berlalu. Begitu pula dengan perasaannya.
"Ingin tahu saja," ucap Fahmi masih dengan senyumnya. "Aku ingin tahu segalanya tentang dirimu, Fatimah."
Fatimah menghela napas. "Mas, aku sama sekali tak memiliki rasa apa-apa padanya selain sebagai teman. Dulu aku memang sempat dekat dengannya, tapi dia bukan siapa-siapa." ia menarik napas sejenak. "Mas, aku istrimu sekarang. Baktiku padamu. Surgaku ada padamu. Aku akan mencintaimu dengan segenap jiwa ....ㅡ" Fatimah lalu bungkam, ia tak bisa melanjutkan kata-katanya lagi, dunianya seolah berhenti berputar saat Fahmi mengecup keningnya. Lama dan hangat. Ia bisa merasakan kehangatan luar biasa yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Kehangatan cinta dari pria di hadapannya. Untuk pertama kalinya, ia merasa begitu dicintai.
Tiba-tiba saja, air mata merembes dari mata sayu gadis itu. Fahmi menjauhkan wajah dari Fatimah dan terkejut melihat istrinya berurai air mata. "Kamu kenapa? Kok nangis? Apa aku menyakiti hatimu? Maafㅡ"
Fatimah menggeleng, "Enggak, Mas. Aku cuma terharu dan ... merasa bahagia."
Fahmi tersenyum lalu menghapus air mata wanitanya. "Sudah malam, tidurlah. Kamu pasti lelah seharian ini," ucapnya lembut.
"Mas juga," balas Fatimah.
"Iya, sana kamu wudhu dulu," titah Fahmi yang segera dituruti Fatimah. Fahmi lalu mengibaskan sprei tiga kali sesuai perintah Rasul.
"Sudah dikibas sprei nya?" tanya Fatimah saat kembali dari kamar kecil.
"Sudah," jawab Fahmi lalu giliran dia mengambil wudhu.
Fatimah merasa senang, ternyata Fahmi juga mengamalkan sunnah Rasul ketika hendak tidur. Setelah itu ia berbaring di kasur dengan perasaan gugup. Meskipun mereka hanya berniat tidur, tetap saja ini adalah pertama kalinya bagi Fatimah tidur dengan seorang pria.
Tidak lama, Fahmi keluar dari kamar mandi lalu ikut berbaring di sisi Fatimah. Ia tidur menyamping dan menatap istrinya sambil tersenyum.
"Ke ... kenapa?" tanya Fatimah salah tingkah.
"Aku baru kali ini melihatmu tanpa kerudung, tidak kalah cantik," ucap Fahmi sambil tersenyum lalu mengusap kepala Fatimah lembut, membenarkan anak rambut yang jatuh di wajahnya. Lalu, Fahmi bergerak mendekat dan mengecup kening wanitanya. "Selamat tidur, jangan lupa baca ayat kursi dan surah al-muawwidzat."
Fatimah mengangguk pelan lalu mulai membaca surah-surah seperti yang sudah biasa ia lakukan. Jangan tanya bagaimana perasaannya saat ini. Wajahnya sudah terasa panas karena malu dan di perutnya seperti banyak kupu-kupu berterbangan. Dalam hati, ia mengucap syukur sebanyak-banyak atas nikmat serta karunia Allah yang ia dapatkan saat ini.
***
Di sepertiga malam, Fahmi membangunkan Fatimah untuk mengajaknya sholat malam bersama. Dengan mata masih mengantuk, Fatimah memaksakan diri untuk bangun. Fahmi geli sekali melihatnya.
"Jangan merem, nanti kamu nabrak loh," tegur Fahmi yang melihat Fatimah berjalan ke kamar mandi sambil memejamkan mata.
Fatimah tak menggubris, ia benar-benar mengantuk, sepertinya ia terlalu kelelahan kemarin, sekarang badannya terasa pegal semua, terutama pinggangnya yang terasa sakit. Biasanya ia merasa seperti ini kalau mau haid. Dan ternyata benar saja, ia datang bulan.
"Mas ... aku datang bulan," ucap Fatimah pelan entah kenapa merasa bersalah. Ia juga tak mengerti, mengapa ia merasa bersalah?
"Ohh ... yasudah tidak apa, aku sholat sendiri."
Fatimah mengangguk lalu berjalan untuk mengambil pembalut dan baju ganti. Terlanjur bangun, ia pun mandi. Lalu kembali tidur. Sementara Fahmi masih tersungkur dalam sujudnya.
Namun ternyata Fatimah tidak bisa tidur, rasa sakit di perut mulai terasa dan semakin merajalela. Ia terus meringis dan bergerak ke sana ke mari.
"Kamu kenapa?" tanya Fahmi yang rupanya telah selesai sholat.
"Sakit perut ...," ringis Fatimah.
"Gara-gara haid?"
Fatimah mengangguk. Ia memang sering merasa sakit saat haid pertama. Sebenarnya ia ingin sekali menangis, tapi ia terlalu malu kalau menangis di depan suaminya hanya gara-gara nyeri haid.
"Biasanya suka diobat nggak?" tanya Fahmi lagi.
"Enggak, biasanya Umi buatin wedang jahe biar anget dan enak ke perutnya."
Fahmi mengangguk. "Tunggu sebentar," ucapnya yang kemudian keluar kamar.
Fatimah tidak tahu harus menunggu untuk apa, yang jelas ia ingin rasa sakitnya hilang. Kalau tidak ingat sudah punya suami, Fatimah mungkin sudah menangis saat ini.
Tidak lama, Fahmi kembali masuk membawa sebotol air dan secangkir wedang jahe. "Ini, diminum," ucapnya menyerahkan secangkir wedang jahe yang masih hangat. "Terus ini ditaruh di perut biar enakan," imbuhnya mengulurkan sebotol air yang ternyata adalah air panas.
"Makasih ya, Mas ...," ucapnya tersenyum haru, dia benar-benar ingin menangis. Tidak pernah ia diperhatikan seperti ini selain oleh ibunya. Mungkin akibat hormon juga, kalau lahi haid ia jadi lebih sensitif. Mudah nangis juga mudah marah.
Fahmi hanya tersenyum. "Sudah kewajibanku merawatmu," ucapnya. "Sakit banget, ya?" tanya Fahmi yang melijat Fatimah beberapa kali meringis menahan sakit.
"Iya, banget," jawab Fatimah sambil menyeka sudut mata yang mulai berair.
Fahmi terkekeh geli. "Kira-kira nanti kuat nggak di jalan?"
"Insya Allah, nanti baikan. Kan sudah dibuatin ini," ujar Fatinah mengacungkan secangkir wedang jahe.
Fahmi tertawa kecil. "Ya sudah. Kamu diam saja dulu sampai ngerasa enakan. Aku ke depan dulu," pamit Fahmi dibalas anggukan oleh istrinya. Ia pun mengusap kepala Fatimah lalu mengecup keningnya sebelum keluar kamar.
Diperlakukan seperti itu, Fatimah cuma bisa tersipu dan menahan malu. Belum apa-apa ia sudah merasa menjadi wanita paling beruntung. Ia tidak menyangka kalau dirinya begitu dicintai oleh pria itu.
***
Jakarta, September 2018
"Kamu nggak papa, kan, sementara kita tinggal di apartemen? Apartemen ini atas namaku, kok," ujar Fahmi saat mereka berdua duduk istirahat di kasur setelah menata barang bawaan Fatimah.
"Aku kan sudah bilang, aku tidak masalah tinggal di mana pun selama itu denganmu, Mas,"
Fahmi menahan senyum. "Di kolong jembatan juga mau?"
Fatimah merenggut. "Ya nggak di kolong jembatan juga atuh Mas,"
Fahmi terkekeh. "Bercanda. Masa aku tega sih biarin istri aku hidup di kolong jembatan," tukas Fahmi.
"Oh ya, Kak eh Mas," Fatimah melarat sambil tersenyum lebar. "Maaf, ya masih belum terbiasa."
"Nggak papa, Imah."
Fatimah tersenyum. Mendengar Fahmi memanggilnya dengan panggilan akrab dari keluarga, rasanya kok seneng gimana gitu!
"Kamu mau tanya apa?" tanya Fahmi mengingatkan Fatimah yang tadi seperti hendak mengatakan sesuatu.
"Hmm, kalau boleh tahu, sejak kapan Mas suka sama aku?" tanyanya antara iseng dan penasaran. Sampai sekarang ua masih saja bertanya-tanya bagaimana Fahmi bisa menjatuhkan pilihan padanya.
"Rahasia," sebuah jawaban yang tidak diharapkan.
"Ih, kok gitu?"
"Iya, dong. Kalau kamu tahu, nanti turun harga diriku."
Fatimah cemberut. "Kok, Mas ngomongnya gitu sih?"
"Soalnya aku sudah mencintaimu dari jauh-jauh hari."
Fatimah mendadak tersipu. "Sejak kuliah?" tanyanya asal tebak. Namun anggukan Fahmi membuatnya terkejut. "Kok, bisa?"
"Aku juga tidak tahu," Fahmi mengendikkan bahu. "Hanya saja, kamu terlihat berbeda di mataku."
Blush. Lagi-lagi Fatimah tersipu. Perutnya juga terasa ada yang menggelitik, geli tapi menyenangkan.
Melihat istrinya tersenyum malu-malu membuat Fahmi ikut tersenyum. "Kalau kamu, kapan bisa mencintaiku?" tanyanya kemudian, menatap langsung manik mata Fatimah yang teduh.
Fatimah mendongak dan sukses terdiam. Pertanyaan Fahmi seolah menegaskan kalau ia belum menyukai pria yang kini berstatus sebagai suaminya. Fatimah membalas tatapan Fahmi yang dalam, lalu berujar, "Aku sudah mencintaimu, sejak bait akad yang kau ucap di depan Abah. Aku sudah memutuskan akan mencintaimu habis-habisan."
Mendengar jawaban Fatimah membuat Fahmi terharu. Ia pun meraih Fatimah ke dalam pelukannya. "Terima kasih."
Fatimah tersenyum dan membalas pelukan Fahmi. Jantungnya selalu saja berdebar-debar tiap kali melakukan kontak fisik seperti ini. "Aku yang seharusnya berterima kasih, karena telah memberiku cinta begitu banyak dan selama itu ... bagaimana bisa? Aku merasa begitu beruntung."
Fahmi melepas pelukan lalu menatap wajah istrinya, membuat Fatimah semakin gugup. "Biasanya berapa hari?" tanya Fahmi tiba-tiba.
Kerutan di dahi Fatimah tercipta, pertanda ia tak mengerti maksud pertanyaan suaminya itu. "Apanya yang berapa hari?" tanyanya bingung.
"Masa haid kamu," jawab Fahmi tanpa ekspresi.
"Ohh, biasanya tujuh atau delapan hari. Kenapa memangnya?"
Fahmi mengangguk perlahan dan kembali tersenyum. "Tidak papa, ingin tahu saja."
Fatimah masih menatap bingung terhadap suaminya itu. Hingga kemudian Fahmi beranjak dari kasur. "Aku lapar. Ke luar yuk, cari makan. Sekalian belanja buat kebutuhan sehari-hari. Sepertinya kulkas sudah kosong. Tidak ada bahan untuk masak," cengirnya.
Fatimah hanya terkekeh pelan dan ikut bangun. Mereka pun berjalan beriringan menuju baseman. Mereka sampai di lantai satu dan saat keluar dari lift, Fatimah dikejutkan oleh Fahmi yang berseru menyapa seseorang. Dan ternyata orang itu adalah Fathir. Mereka langsung saling rangkul layaknya sahabat dekat.
"Kapan nyampe?" tanya Fathir begitu mereka melepas rangkulan.
"Tadi ashar," jawab Fahmi. "Baru balik?"
Fathir mengangguk. "Studio repot gak ada lo, Mi," tukasnya.
"Bilang aja kangen."
"Najis," sergah Fathir lalu mereka tertawa. "Kalian mau pergi?" tanya Fathir setelah tawanya reda.
"Iya, kita mau cari makan. Mau gabung?"
Fathir meringis. "Gabung sama penganten baru? Ogah banget! Jadi kambing conge mah iya!" tukasnya membuat Fahmi tertawa. "Ya udah, have fun, ya!" ujarnya menepuk bahu Fahmi sambil tersenyum, sekilas ia menganggukkan kepala menyapa Fatimah lalu melewati mereka dan masuk lift.
Ia sempat memandangi punggung keduanya dan Fatimah yang merangkul lengan Fahmi sebelum pintu lift tertutup. Begitu pintu lift tertutup, Fathir langsung menyandarkan tubuh di dinding. Memejamkan mata, menenangkan gemuruh di dada. Ia sudah tahu rencana Fahmi yang akan membawa Fatimah tinggal di apartemen, tapi baginya ini terlalu mendadak. Ia benar-benar tidak siap bertemu mereka tadi. TerutamaFatimah. Ia berusaha begitu kerasa untuk tidak memandang wajah perempuan itu. Helaan napas keluar dari mulutnya. Kenapa ia masih saja seperti ini? Sampai kapan ia akan begini?
Tuhan ... bagaimana caranya membunuh perasaan?
***
TBC.
Haiii assalamu'alaikum...!
I know it's too late! 😥 tapi aku pasti tetep update, semoga kalian diberi kesabaran tanpa batas. Aamiin 😆 Yey sudah mulai rumah tangga F ❤
Lagi pengen update subuh.
Moga suka.
Salam cinta.
Tinny Najmi
Subang, 07 April 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top