2. Awal

2

Awal

"Bukankah setiap pertemuan adalah takdir? Lalu bagaimana dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya? Apakah Tuhan ikut campur di dalamnya?"

***

"Hey, lama banget deh," sapa pria berkemeja abu-abu itu saat Fatimah tiba di hadapannya.

"Maaf, aku baru baca pesannya tadi. Ada perlu apa?" tanya Fatimah berusaha bersikap seperti biasanya.

"Ini, mau ngembaliin buku,"─Fathir mengulurkan tangan yang menggenggam dua buah buku─"sorry ya, lama balikinnya. Aku baru selesai baca buku yang ini." Ia menunjukkan buku berjudul Tuhan, Maaf Kami Sedang Sibuk.

Fatimah menerimanya. "Iya, nggak papa."

"Bukunya keren. Setiap kata-katanya menohok dan menyentil nurani. Tiap baca, aku selalu merasa malu pada diri sendiri. Aku belajar banyak banget dari buku itu. Thanks ya," Fathir tersenyum tipis.

"Sama-sama," jawab Fatimah sekadarnya sambil menundukkan pandangan.

Sesaat hening, Fathir memerhatikan gadis di depannya yang nampak lebih tertarik memandang lantai dari pada memandangnya. "Lihat apa sih, di bawah? Lebih menarik buat dilihat dari pada lihat aku, ya?" canda Fathir namun tak berhasil membuat Fatimah mendongak untuk sekadar menatapnya.

Fatimah segera menggeleng. "Enggak juga, kok."

Alis Fathir naik sebelah, merasa heran dengan sikapnya. "Kenapa, sih? Aku ada buat salah?"

"Enggak ada," ucap Fatimah singkat. Ia hanya menjaga pandangan untuk menjaga hatinya. Dan sikapnya ini tidak lain karena ia sedang berusaha kembali membuat jarak.

"Terus, kenapa? Singkat banget jawabnya." Fathir menatap Fatimah menyelidik. "Jadi inget pas pertama kali ngobrol sama kamu dulu."

"Nggak papa, kok. Nggak usah dibahas deh." Fatimah agak merenggut, membuat Fathir tertawa.

Melihatnya tertawa, Fatimah hanya bisa mengeluh dalam hati. Fathir tidak tahu saja, kalau tawanya berefek begitu dahsyat pada diri Fatimah, bisa membuat jantungnya berdebar tak karuan dan gelisah di saat yang sama.

Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin ia tanyakan. Seperti, bagaimana ibadahnya? Masih bolong-bolongkah sholatnya? Masih ditunda-tundakah sholatnya? Sudah lancarkah bacaan Qur'annya? Sudah rutinkah tilawahanya? Namun semua itu hanya sampai ditenggorokan yang kemudian kembali ia telan.

Untuk apa aku menanyakan semua itu? Siapa aku harus begitu peduli padanya?

"Emm ... Fat, makasih banget ya udah mau ngajarin aku selama ini." Fathir mengusap tengkuk. "Aku janji, nggak bakal pernah ninggalin sholat lima waktu lagi."

Fatimah akhirnya menatap pria di hadapannya. "Berjanjilah sama Allah, Kak Fathir juga nggak perlu berterima kasih sama aku. Aku nggak ngelakuin apa-apa," ucapnya.

Fathir menggeleng. "Bagiku, kamu udah ngelakuin banyak hal buat aku. Termasuk semua waktumu yang terbuang hanya untuk menanggapi pertanyaanku dan mengajariku banyak hal. It's mean a lot for me." Fathir tersenyum simpul, tulus dan menyentuh sanubari wanita di hadapannya yang tengah menenangkan debaran jantung yang semakin tak terkontrol. Fatimah tertunduk, tangannya meremas samping jilbab. Ia, tak mampu lagi berkata-kata.

"Sudah kan? Kalau sudah, aku duluan. Assalamu'alaikum," Fatimah pergi dari hadapan Fathir begitu saja.

"Wa'alaikumussalam. Mau aku antar?" tawar Fathir, mengejar langkahnya.

Aftimah berhenti sejenak, menggeleng lalu kembali pamit. Pergi dari sana secepat yang ia bisa.

Fathir ingin mengejar, namun ia menahan langkahnya. Sepertinya gadis itu sedang tidak ingin diganggu. Ia pun hanya berdiri memerhatikan kepergiannya dalam diam.

***

Fatimah langsung merebahkan tubuh begitu sampai di kamar kostnya. Ia menatap dua buku yang baru saja dikembalikan Fathir; buku Tuntunan Sholat Lengkap dan satu buku inspiratif favoritnya. Ia menghela napas panjang lalu meletakkan dua buku itu, mencoba menepis ingatan tentangnya.

Fatimah meraih ponsel, ia membuka aplikasi whatsapp, ada pesan dari grup chat yang belum sempat ia buka sejak pagi. Grup chat bernama COPY NUSANTARA─grup Club of Photography di universitasnya. Klub yang ia ikuti sejak dulu, sekaligus klub yang mempertemukannya dengan Fathir. Ada 234 pesan, ia pun membukanya, membaca satu-satu chat dengan cepat dari anggota COPY yang sedang membahas projek pembuatan film pendek baru.

Jarinya berhenti menggeser layar ketia ia melihat namanya di-mention di sana.

Aldo Prasetyo
Fatimah mana? Fatimah? Ni anak gak nongol-nongol deh.
Udah selesai belum naskahnya?

Ratna Fauziah
Tau tuh anak, @Fatimah Jauza S muncullah! Muncullah! Muncullah!

Agung Gumelar
Lu kayak manggil apaan Rat! Kayak dukun lagi baca mantra tahu gak! Hahaha

Ratna Fauziah
Diem deh jaelangkung! Serah gue dong!

Fatimah menyunggingkan senyum kecil, anggota COPY memang kebanyakan absurd, gokil dan kocak, membuatnya betah di sana. Lalu, ia mengetik balasan.

"Dua hari lagi ya @Aldo Prasetyo lagi banyak DL nih, hehe."

Selang berapa detik, Aldo membalas chat dari Fatimah.

Aldo Prasetyo
Beuh! Percaya, deh. Dua hari lagi kalo udah beres langsung kasih ke aku aja, ya.

Fatimah lega, setidaknya Aldo orang yang cukup pengertian, karena ia tahu kalau Fatimah memiliki pekerjaan sebagai editor freelance.

"Iya. Maaf ya agak ngaret."

Kemudian balasan dari Aldo kembali muncul diikuti anggota yang lain.

Aldo Prasetyo
Iya, nggak papa, ngerti kok. Nyantai aja, gak usah buru-buru biar hasilnya maksimal.

Lina Herlina
Ciyeee Aldo perhatian, kiw!

Supratman
Ciyeee Lina jeleus, kiw!

Agung Gumilar
Ciyeee Maman jeleus, kiw!

Ratna Fauziah
Ciyeee gue jeleus! #eh

Aldo Prasetyo
-________-

Fatimah terkekeh membaca deretan chat tersebut. Dianggap tak ada hal penting lagi, ia pun menutup chat. Kemudian meraih laptop dan berniat mengerjakan naskah film yang belum ia selesaikan. Ia menghela napas teringat naskah dari penerbit yang belum selesai ia edit, lalu melihat sticky notes yang ditempel di dinding tembok.

'In The Rain, DL 10 Desember 2013'

Masih lima hari lagi, batinnya. Ia pun mengesampingkan pekerjaannya sejenak untuk menyelesaikan tugas dari komunitasnya. Saat menuju folder dokumen, matanya tergoda oleh folder bernama 'Tugas COPY 2013'. Perlahan, ia arahkan kursor ke folder tersebut lalu membukanya. Terpampanglah file-file saat tahun pertama ia bergabung di COPY, semua foto-foto saat hunting, ataupun tugas-tugas yang diberikan oleh sang ketua yang saat itu adalah Fathir. Fatimah membukanya satu-satu, lantas berhenti di satu foto yang pernah ia ambil. Ketika ia berbicara pertama kalinya dengan Fathir. Semua memori itu masih terekam jelas di benaknya.

Fatimah tersenyum separuh, jika saja ia tak pernah bergabung dengan komunitas itu, mungkin ia tak akan bertemu dengannya. Mungkin, ia tak perlu merasakan sebuah perasaan asing yang entah kapan datangnya. Mungkin ... tapi, bukankah setiap pertemuan adalah takdir? Lalu bagaimana dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya? Apakah Tuhan ikut campur di dalamnya?

~***~

Bandung, Januari 2013

Anggota klub fotografi saat itu tengah melakukan tugas, hunting foto di Dusun Bambu. Wisata yang dibangun sejak tahun 2008 – 2011 di daerah Lembang itu menjadi objek yang cukup menarik untuk dijadikan tempat hunting foto. Semua anggota berpencar untuk mencari objek dan spot yang menarik. Dan hasil yang bagus, biasanya akan dipampang di mading kampus.

Fatimah dan Ratna pergi bersama, meskipun fakultas mereka berbeda, hanya dia yang paling dekat dengan Fatimah di komunitas saat itu, karena dulu mereka berada di SMA yang sama. Namun mereka malah asyik sendiri-sendiri saat melakukan pengambilan gambar, terutama Fatimah. Saat ia memegang kamera, ia akan melupakan sekelilingnya. Sama halnya ketika ia sudah fokus pada pekerjaanya, maka ia akan abai pada sekitarnya.

Duk!

Fatimah merasakan punggungnya menubruk seseorang saat ia sedang mencoba mencari sudut yang bagus untuk mengambil gambar. Sontak, Fatimah berbalik dan refleks menjaga jarak saat mengetahui siapa orang tersebut.

"Maaf," ucap keduanya berbarengan.

Dilihatnya Fathir, sang ketua COPY terkekeh karena hal tersebut, lalu tersenyum padanya. Namun, Fatimah sama sekali tak membalas senyum itu. Tatapannya dingin dan ekspresinya datar.

"Sorry nggak sengaja, nggak lihat tadi," ucap Fathir lagi.

"Nggak papa," jawab Fatimah singkat. Ia hendak pergi dari hadapan Fathir, namun ucapan Fathir menghentikan langkahnya.

"Nama kamu Fatimah, kan?"

Fatimah kembali menghadap Fathir. "Iya," jawabnya dengan kening berkerut agak heran.

"Woy! Fat! Buruan fotoin!" seru seorang pria jangkung berkemeja merah kota-kotak yang berdiri sejauh lima meter dari tempat Fathir berdiri.

Fatir mengumpat pelan, lalu berteriak, "Bentar napa!" Lalu Fathir kembali menoleh pada Fatimah yang nampak sudah berjalan hendak meninggalkannya.

"Hey! Tunggu!" seru Fathir membuat Fatimah berhenti dan kembali berbalik.

"Ada apa?" tanya Fatimah bingung.

"Kamu tahu siapa saya?"

"Tahu," jawab Fatimah singkat. Pertanyaan aneh, batinnya. Mana mungkin ia tidak mengenal ketua dari klub yang ia ikuti.

Fathir menggaruk tengkuk yang tak gatal. "Emm, boleh lihat hasil fotonya?"

"Untuk?" Fatimah nampak ragu untuk sesaat, namun tak sopan rasanya jika ia harus menolak permintaan sang ketua. Akhirnya, ia pun menyerahkan DSLR miliknya.

Fathir tersenyum, lantas mengambilnya dan melihat hasil jepretan Fatimah. "Lumayan...," gumamnya─ masih menggeser foto di sana satu-satu─pelan, namun masih terdengar.

"Yang ini bagus, nih!" seru sebuah suara dan membuat Fathir tersentak kaget.

Fathir menoleh ke sebelah kiri dan mendapati temannya sudah berada di sampingnya, bahkan ikut melihat hasil jepretan milik Fatimah. "Eh, Cungkring! Sejak kapan lu di sini? Kayak jaelangkung aja, lu!"

"Mana ada jaelangkung gateng kayak gue!"

"Ganteng pantat lu!"

"Pantat gue aja ganteng, apalagi mukanya." Pria yang dipanggil cungkring itu terbahak. Sementara Fathir sudah mengumpat sambil menoyor kepala temannya itu.

Fatimah sedikit terkekeh melihat tingkah keduanya─hanya sebentar. "Maaf, Kak. Kameranya," ucap Fatimah setelah menetralkan raut mukanya kembali.

"Oh! Astaga sampe lupa, nih." Fathir kembali menyerahkan kamera tersebut pada Fatimah. "Jepretannya udah bagus, objeknya juga, cuman kamu kurang menciptakan kesan mendalam dan perspektif dalam fotomu, coba kamu sertakan foreground."

Fatimah menatap Fathir tak mengerti.

"Gini, kalau aku lihat hasil bidikanmu, kayaknya kamu suka memotret subjek dengan jarak jauh. Dan kebanyakan hasil yang didapat itu datar, terutama kalau udah nge-zoom buat ngisi frame dengan objek. Coba kamu ikut sertakan objek yang menarik yang ada di depan kamu untuk dijadiian foreground agar menciptakan kesan mendalam. Jadi, kita bisa melihat semua sudut foto dari latar depan ke subjek yang ada di kejauhan." Fathir menjelaskan dengan perlahan agar Fatimah bisa menangkap maksudnya.

Fatimah hanya mengangguk kecil dan lambat mendengar komentar dan masukan dari Fathir.

"Mengubah sudut pandang atau viewpoint ketika memotret juga bisa memberikan latar depan lebih luas, juga menciptakan komposisi lebih menarik," tambah pria jangkung yang Fatimah tahu bernama Rizki. Orang kepercayaan Fathir di COPY.

"Terima kasih untuk saran dan masukkannya," ucap Fatimah datar.

Fathir mengangguk sambil tersenyum simpul. "Itu kan emang tujuan kita ngadain kegiatan ini. Nanti lengkapnya dibahas pas kumpul."

Fatimah kembali mengangguk tanpa suara.

"Kamu itu Fatimah yang ... anak PAI itu kan, ya?" tanya Rizki.

Lagi, Fatimah hanya mengangguk sebagai jawaban. Sedikit heran kenapa dua kakak seniornya itu mengenalnya. Padahal selama ini ia termasuk anggota yang pasif walau ia selalu hadir di setiap pertemuan. Dan ia rasa, ia tak seterkenal itu untuk dikenal oleh kakak-kakak seniornya.

"Oh, bener. Jadi, cewek ini yang lo─" Kalimat Rizki terpotong karena Fathir segera membekap mulutnya.

"Maksudnya?" tanya Fatimah bingung.

"Bukan apa-apa, kok," ucap Fathir─terlalu cepat, lalu tersenyum hambar sambil menarik tangan dari mulut Rizki setelah memberinya peringatan lewat pelototan.

Fatimah mengerutkan kening, ia ingin menyahut lagi namun terhentikan oleh suara Ratna yang memanggilnya dari kejauhan. Ia pun memutuskan untuk pergi.

"Maaf, permisi," ucap Fatimah hendak pergi namun kembali tertahan saat Fathir menahan tangannya. Fatimah tersentak. Refleks, ia menghentakkan tangan Fathir dengan kasar.

"Tolong jangan sentuh saya sembarangan!" Fatimah berseru dan nampak marah; menatap Fathir tidak suka. Kakinya melangkah mundur dengan dada yang naik turun karena merasa terkejut.

Fathir dan Rizki pun nampak kaget melihat reaksi Fatimah. "M-maaf, aku cuma...."

Fatimah mengangkat tangan kanannya; menghentikan ucapan Fathir, sejenak ia menutup mata untuk mengontrol dirinya. "Maaf," ucapnya singkat lalu dengan langkah cepat ia meninggalkan dua pria yang menatapnya penuh keheranan.

Fatimah berusaha menenangkan dirinya, ia sama sekali tidak mengira akan terjadi hal seperti itu. Ia pun merasa kaget dengan reaksinya sendiri. Rupanya, ketakutan itu belum benar-benar hilang.

"Lagi ama siapa, sih?" tanya Ratna saat Fatimah sampai di hadapannya.

"Kak Fathir sama Kak Rizki," jawab Fatimah singkat.

"Hah? Serius? Kok bisa? Sejak kapan lo deket sama mereka? Kenalin gue dong...," rengek Ratna. Sementara Fatimah menatapnya dengan kening berkerut.

"Aku nggak deket sama mereka, kebetulan ketemu aja tadi."

Ratna berdecak. "Fatimah sayang, lo sendiri yang sering bilang kalau di dunia ini nggak ada yang namanya kebetulan. Itu artinya ... takdir, Fat! Takdir!"

Fatimah memutar bola mata. "Terserah kamu aja deh, Rat."

Ratna menoleh ke arah Fathir dan Rizki berada. Mereka masih di tempat yang sama. Lalu, ia melihat kalau Fathir menoleh dan menatap Fatimah.

"Fat! Fat! Lihat tuh, Kak Fathir lihatin elo Fat!" serunya heboh sendiri.

Mau tak mau, Fatimah ikut menoleh dan benar saja yang dikatakan Ratna, kalau Fathir tengah menatapnya dari kejauhan. Fatimah memalingkan wajah tak mau ambil peduli.

"Sholat nggak?" tanya Fatimah pada Ratna.

"Enggak, lagi halangan."

"Udah dua minggu, masa halangan terus." Fatimah menatap temannya curiga.

Ratna nyengir lebar, memperlihatkan deretan giginya yang berjejer rapi.

"Jangan gitu Rat, jangan suka ninggal-ninggalin sholat, kamu tahu kan, kalau─"

"Iya, iya, Bu Hajjah. Nggak usah ceramah di sini. Gue sholat, oke. Lo duluan aja, ntar gue nyusul." Ratna melengos pergi dari hadapan Fatimah.

Fatimah menghela napas. Kalau sudah begitu, ia bisa apa? Yang terpenting ia sudah cukup sering mengingatkannya, mau dituruti atau tidak, itu bukan urusannya lagi. Karena kewajibannya hanya sebatas saling mengingatkan. Ia pun berjalan menuju mushola yang disediakan di sana.

Sampai di mushola, ia duduk sejenak lalu membuka ponselnya. Ada pesan baru masuk di whatsapp-nya. Fatimah mengerutkan kening saat melihat nomor baru yang mengirimnya chat. Ia pun membukanya.

"Hai. Aku Fathir. Soal yang tadi, aku beneran minta maaf. Aku nggak bermaksud apa-apa, aku nggak tahu kalau kamu bakal marah kayak gitu. Sekali lagi, maaf ya?"

Fatimah diam sejenak menatap ruang obrolan yang baru terdiri dari satu chat saja. sejenak ia berpikir dari mana kakak seniornya itu mendapat nomornya.

Ah, pasti dari grup COPY, pikirnya.

Kemudian ia menimang untuk membalas chat tersebut atau tidak. Namun beberapa saat kemudian, tangannya mulai mengetikkan sesuatu di sana.

"Iya, nggak papa."

Selang berapa detik, ia kembali mendapat balasan.

"Nggak marah, kan?"

Fatimah kembali mengetik balasan, menjelaskan kalau ia benar-benar tidak marah. Bahkan, merasa tidak enak karena sempat membentak kakak seniornya itu.

Dan sejak saat itulah semuanya dimulai, awal dari Fatimah yang tak pernah berinteraksi dengan lawan jenis─jika bukan karena hal penting atau mendesak, mulai mengenal sosok Fathir yang selalu mencoba mendekatinya. Mencoba menghancurkan dinding yang telah ia bangun kuat-kuat dan mengetuk pintu hatinya yang selalu ia tutup rapat-rapat.

***

Tbc.

Salam rindu

Tinny Najmi 💙

Subang,
29 Sepetember 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top