19. Patah
19
Patah
Ia akan pergi, mencari jati diri. Bersama hatinya yang tak lagi utuh. Bisakah ia meminta Tuhan untuk memberinya sepotong hati yang baru? Sebab, hatinya sudah patah dan remuk redam.
***
.
Garut, September 2018
Gadis itu menatap pantulan dirinya di cermin. Tidak percaya jika perempuan berbalut gaun pengantun itu adalah dirinya. Ia merasa melihat orang lain yang mirip dengannya.
"Tegang banget, ya?" tanya Sarifah menghampiri adik iparnya itu. Diikuti Risa yang sudah menemani Fatimah sejak kemarin.
Fatimah mengangguk dan tersenyum kaku. Sejak semalam, ia sudah merasa nervous. Perutnya sering bergejolak, dadanya bergumuruh hebat, tangannya terasa dingin, bahkan rasanya sekarang ia tak sanggup berjalan.
Fatimah membuang napas. "Apa begini perasaan setiap calon pengantin?"
Sarifah terkekeh. "Mbak ngerti kok perasaan kamu," ujarnya lalu menggenggam tangan Fatimah untuk memberinya kekuatan. "Ini adalah harimu. Kamu harus tersenyum dan bahagia."
"Iya, kamu harus banyak senyum Fatimah. Biar semua orang tahu kalau kamu bahagia!" seru Risa ceria. "Aku juga bahagiaa, selain sahabatku, kamu adalah sepupuku sekarang!"
Fatimah perlahan tersenyum. Benar, banyak orang yang berbahagia dengan pernikahannya ini. Ia harus bisa menghadapinya. Karena, ini adalah hari bahagianya.
"Gitu dong. Cantik banget sih adikku!" ucap Sarifah gemas. "Yuk, mbak antar ke depan," ajak Sarifah.
Fatimah bangkit dari duduknya, di luar kamarnya sudah ada Umi dan Abah yang menunggunya. Melihat mereka, Fatimah tiba-tiba ingin menangis. Air matanya sudah menggenang di pelupuk mata, dan ia menahannya mati-matian supaya tidak tumpah.
Ia hanya merasa sedih, karena setelah akad nanti, maka baktinya akan berpindah pada suaminya. Ia bukan lagi tanggung jawab kedua orang tuanya. Berbeda dengan laki-laki yang baktinya pada sang ibu selamanya meski sudah ada wanita lain yang mendampingi hidupnya. Yang paling membuat Fatimah sedih, ia merasa tidak pernah membuat mereka bangga. Ia merasa belum cukup berbakti pada mereka.
"Sudah! Jangan nangis, nanti dandanan kamu luntur. Ditunda aja nangisnya, ya?" ujar sang umi yang sejujurnya juga menahan tangis. Terbukti dengan matanya yang memerah.
Fatimah tersenyum lalu menatap pria paruh baya yang banyak berjasa untuknya. "Abah," ucap Fatimah.
Abah tersenyum hangat. "Abah sudah kasih restu, Imah. Abah ridha kamu menikah dengannya. Jadilah istri yang sholeh, yang taat sama suamimu. Jangan sekali-kali kamu membantah perkataannya jika itu adalah kebaikan untukmu."
Fatimah hanya mengangguk sambil menahan isak. Tenggorokannya terasa sakit. Abah memeluknya sejenak, Umi pun memeluknya. Setetes air mata jatuh, Sarifah langsung menghapusnya dengan tisu. Lalu ia diantar kedua orang tuanya ke hadapan penghulu. Bersanding dengan Fahmi yang sudah siap dengan setelah jas berwarna putih gading yang senada dengan milik Fatimah.
Acara pun dimulai sesuai prosedur, selama itu, Fatimah tidak berani mengedarkan pandangan. Tatapannya terlalu pada meja kayu yang menjadi batas antara dirinya dan penghulu. Hingga tiba mengucap ijab qobul, dada Fatimah bergemuruh semakin hebat. Tak hentinya ia lafalkan dzikir untuk ketenangan hati juga supaya segalanya berjalan dengan lancar.
Fatimah mendengarkan dengan baik ucapan penghulu, juga jawaban Fahmi yang lantang dan tegas dalam satu tarikan napas. Lalu, saat penghulu bertanya pada para saksi, semua orang menjawab sah.
Berdesirlah hati kedua mempelai itu. Kini, mereka telah sah di mata agama dan negara. Menjadi sepasang suami istri.
"Ayo, dicium tangan si Mas-nya," ucap sang penghulu.
Fatimah perlahan menatap wajah Fahmi untuk sejenak. Ia melihat senyuman yang menggetarkan jiwanya begitu dahsyat. Ia membalas senyum itu, lalu mencium tangannya penuh takzim. Sementara tangan Fahmi yang satunya lagi menyentuh kepala Fatimah. Ia juga mencium ubun-ubun istrinya itu sambil mengucapkan doa barokah.
Fahmi merasakan punggung tangannya basah oleh cairan hangat. Ia yakin, Fatimah sedang menangis saat ini. Ia pun mengangkat wajah istrinya itu perlahan. Ditatapnya wajah perempuan berwajah teduh itu dengan penuh cinta.
Fahmi mengusap air mata Fatimah. "Aku ingin melihatmu tersenyum," ucap Fahmi dengan senyumannya.
"Maafkan aku, aku hanya terlalu bahagia," ucap Fatimah lalu ikut mengusap air matanya yang tetap saja jatuh lagi jatuh lagi.
Semua orang yang melihatnya pun ikut tersenyum haru, ada juga yang ikut menangis. Bahkan Ganjar yang juga hadir di sana, ikut bahagia atas pernikahan perempuan yang sempat ia idamkan untuk jadi pendamping hidupnya. Ia reka sebab tahu, suaminya adakah orang baik dan berilmu. Doa penutup dipanjatkan dan Fatimah masih belum berhenti menangis. Dan di antara semua orang yang berbahagia itu, di sudut lain, seseorang sedang mengalami patah hati yang luar biasa. Hatinya seperti diiris-iris. Perih dan menyiksa. Air matanya sudah menggenang di pelupuk mata, tapi ia berusaha kuat untuk menahannya agar tidak tumpah.
Laki-laki itu tersenyum di balik pedih hatinya. Meskipun sakit, ia tetap mendoakan kebahagiaan untuk keduanya. Untuk sahabatnya dan perempuan yang dicintainya.
Ah, bukankah tidak pantas mencintai istri orang lain? Karena itu, aku akan berusaha untuk tidak mencintaimu lagi. Fatimah, semoga kamu berbahagia selalu.
Fathir lalu menjauh dari keramaian. Ia sedikit menyesal karena tidak datang bersama rombongan kantor dan memilih datang lebih awal sendiri. Ia ingin menjadi saksi pernikahan mereka walau ia tahu risiko terberatnya.
Tapi toh, ia masih bisa hidup dengan menahan rasa sakitnya. Fathir termenung, merasa sepi dalam keramaian. Lalu sapaan seseorang mengagetkannya.
"Ya Tuhan! Beneran lo ternyata!"
Fathir menyipit, merasa kenal dengan perempuan yang kini menutup mulut seolah tak percaya melihatnya berdiri di sana. Tapi ... siapa ya?
"Gak inget gue?"
Fathir menggeleng tidak yakin.
"Gue Risa!"
Risa? Risa .... "Ah! Temennya Fatimah? Oh iya, saya ingat," Fathir mengangguk-ngangguk.
Risa mendengkus. "Ngapain lo di sini? Gak mungkin Fatimah ngundang lo!" tudingnya sadis. Rupanya gadis itu masih menyimpan dendam padanya.
"Saya diundang Fahmi. Kita satu kantor dan dia temen dekat saya."
"Ohh," responsnya datar. Lalu menatap Fathir penuh selidik.
Fathir tertawa kecil. "Saya jadi berpikir, kamu sedendam itu sama saya, gimana jadinya Fatimah?"
Risa mendengkus lagi. "Lo pikir, Fatimah masih dendam sama lo?"
Fathir mengangkat bahu. Ia tidak tahu. "Bisa saja 'kan?"
"Huh! Ge-er banget! Nyimpen dendam buat lo itu gak penting bagi Fatimah. Karena apa? Karena lo emang gak penting buat dia! Kenapa juga dia harus ngerasa sedendam itu sama lo? Who are you?"
Siapa aku? Fathir tersenyum ketir. Kata-kata Risa begitu menusuk. Menyadarkan dirinya bahwa ia mungkin memang tak berarti apa-apa bagi Fatimah. "Terima kasih sudah mengingatkan saya," ujar Fathir dengan senyum yang membuat Risa tak bisa berkata-kata lagi.
Risa seperti tersihir. Sihir yang membuatnya merasa iba pada pria di hadapannya. Ia jadi bertanya-tanya, apa mungkin Fathir masih menyukai Fatimah? Lalu ia menggelengkan kepala. Sudahlah, itu tidak penting! Ia pun pergi begitu saja tanpa menoleh lagi pada Fathir.
Fathir menghela napas. Kata-kata Risa seperti garam yang ditabur di atas luka. Hanya menambah perih. Fathir mengedarkan pandangan lalu ia menangkap sosok yang seperti ia kenali. Matanya menyipit lalu membulat, ia pun menghampiri orang tersebut.
"Kakek?" sapa Fathir pada pria senja yang memakai pakaian kokok putih, lengkap dengan celana cingkrang dan peci putih.
Kakek itu menoleh dan menatap Fathir seolah berpikir di mana ia melihat pemuda ini. Melihat itu, Fathir tersenyum lebar. "Kita bertemu di masjid waktu di Jakarta, seminggu yang lalu," ujar Fathir sedikit malu. Mengingat keadaannya waktu itu.
"Oooh, iya. Kamu yang menangis waktu itu!" seru si kakek lantang membuat Fathir keder. Jadi tambah malulah ia saat beberapa orang menoleh padanya.
"Kakek, jangan keras-keras dong. Saya kan malu!" lalu kakek itu tertawa.
"Kakek kok bisa ada di sini?" tanya Fathir penasaran.
"Jelas saya di sini, yang nikah itu kan cucu saya," jawab kakek itu tersenyum lembut.
Fathir cukup terkejut. Siapa yang ia maksud? Fahmi? Atau Fatimah? Fahmi kan keluarganya di Bandung, Fatimah di Garut. Jadi, siapa cucu kakek ini?
"Itu, Fatimah. Dia kan yang membuatmu menangis waktu itu," ujar sang kakek dengan senyuman.
Fathir menganga tidak percaya. Ia sampai kehilangan kata-kata. Bagaimana kakek itu bisa tahu?
"Kakek," sapa seseorang mengalihkan perhatian Fathir. Rupanya, Fauzan.
"Kakek! Dicariin nenek, tahu. Ozan kira ngilang lagi, tahunya malah ngobrol di sini," ujar Fauzan nampak lega lalu melihat ke arah Fathir. "Loh? Kamu, Fathir?" tanyanya yang mungkin lupa-lupa ingat. Karena Fathir memang cukup banyak berubah penampilannya.
"Iya, saya. Apa kabar?" Fathir balas menyapa, mereka bersalaman. Ia menjelaskan kalau ia teman kerja Fahmi. Rombongan dari kantor akan menyusul sebentar lagi. Mereka lalu mengobrol sejenak sebelum Fauzan membawa sang kakek pergi. Katanya kakeknya ini sering hilang mendadak.
"Tunggu, sudah dua kali bertemu tapi saya belum tahu nama Kakek," ucap Fathir.
Kakek itu tersenyum teduh yang entah kenapa sangat Fathir sukai. "Hamid, nama saya Hamid Abdullah."
"Nama saya Fathir," ucap Fathir tersenyum. Lalu mereka pun pergi, tinggal Fathir sendiri menunggu teman-teman kantornya. Ia melihat ke arah pelaminan di mana Fahmi dan Fatimah bersanding, dilihat dari mana pun mereka memang sangat serasi. Fatimah benar-benar terlihat cantik dengan gaun dan riasan itu. Acara resmi berakhir dan sekarang para tamu mulai mengantri untuk bersalaman dengan kedua mempelai.
Fathir menarik napas yang terasa berat. Lalu ponselnya berdering. Ternyata dari Jo.
"Kamu di mana, Thir?"
"Kalian udah nyampe?"
"Iya, nih. Lagi duduk-duduk dulu kita, sinilah gabung! Sendirian aja. Dasar jones!" tukas Jo pedas.
Fatgir mendengus. "Ngatain diri sendiri?" sarkasnya. Ia mendengar Jo tertawa lalu ia pun memutuskan sambungan. Ia melihat sekeliling dan langsung bisa menemukan teman-teman kantornya.
Jo yang melihat Fathir langsung melambai-lambaikan tangan heboh dengan cengiran lebar. "Ihh Fathir ganteng deh kalo rapi gini!" sapa Jo tanpa malu.
Fathir memutar bola mata sementara yang lain tertawa-tawa. Mereka datang dengan pasangan masing-masing, ada yang sudah menikah, tunangan, pacar bahkan gebetan. Mereka tampak akrab dan saling ledek.
"Fat, Jo, kalian kan jomblo. Kenapa gak jadi couple aja buat hari ini? Biar gak ngenes banget kelihatannya!" seru salah seorang dari mereka diiringi gelak tawa.
Bukannya kesal atau malu, Jo malah tampak semangat. "Mau! Yuk, Thir!" serunya seperti bocah yang mengajak main peran.
"Ogah!" ketus Fathir kesal. Ah, mereka tidak tahu saja kalau suasana hatinya sedang tidak baik.
Jo cemberut, yang lain langsung membela Jo dan menuduh-nuduh Fathir jahat. Fathir tidak begitu peduli, ia hanya menimpali candaan mereka sesekali. Ia ingin segera pergi, Tuhan tolonglah! Ia susah payah untuk tidak melihat Fatimah yang tampak begitu jelita di matanya saat ini.
"Udah lumayan kosong tuh. Yuk! Jangan makan aja kalian!" ujar salah satu dari mereka. Yang lain mengangguk setuju. Mereka pun mulai berjejer menuju kedua mempelai. Menyapa Fahmi dan istrinya. Memberi selamat dengan sangat heboh. Fathir berdiri di bagian paling belakang setelah Jo.
"Thir," panggil Jo.
"Hmm," sahut Fathir malas-malasan.
"Aku pengen peluk Fahmi, boleh gak ya?"
Fathir membelalak. "Gila kamu! Nggak boleh! Kamu mau dikeroyok orang sekampung! Tahan diri lah Jo!" balas Fathir sedikit berbisik namun penuh penekanan.
"Huaaa abis aku seneng banget lihatnya. Pengen peluk Fahmi jadinya!"
Fathir hanya bisa menepuk jidat dan menghela napas. Gawat kalau Jo benar-benar memeluk Fahmi. Fathir ngeri sendiri membayangkannya.
"Fahmiiii selamat yaaa! Jo seneng deh! Fahmi ganteng banget! Jo mau peluuukk...."
Fathir seperti tersadar dari lamunannya. "Joo! Nggak boleh! Lihat tuh muka si Fahmi udah pucet," ujar Fathir menahan tawa karena memang Fahmi sudah terlihat panik saat Jo berkata seperti itu. Kalau di kantor saja dia suka berlindung di belakang Fathir.
Jo merenggut. "Kalau gitu peluk Fathir aja deh!" serunya berbalik pada Fathir.
Fathir melotot dan memasang wajah 'Jangan berani-berani! Atau gue makan!'
Jo menciut, lalu menatap Fatimah yang tersenyum lembut. Jo jadi tersenyum lebar. "Ya udah peluk mbak-nya aja deh! Nggak papa, 'kan?" ujarnya masih ingin memenuhi keinginannya.
Fatimah tersenyum, "Boleh, kok," ucapnya. Jo berteriak senang langsung menghambur ke pelukan Fatimah.
Sementara Fathir, ia berusaha menenangkan debar jantungnya yang menggila. Mendengar suaranya setelah sekian lama, menghantarkan aliran yang luar biasa di tubuhnya. Ia menatap sahabatnya lalu memeluknya dan memberi ucapan selamat. "Barokallohu fiik, ya Mi. Semoga kalian jadi keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah, penuh berkah dan langgeng," ucap Fathir tulus. Ia ikhlas, jika laki-laki itu adalah Fahmi. Ia tahu, Fahmi lebih baik darinya, dan ia yakin Fahmi bisa menjaga Fatimah dan membuatnya bahagia.
"Thanks ya, udah dateng! Semoga cepet nyusul juga," ujar Fahmi nyengir. Fathir cuma tertawa ringan lalu menoleh pada Fatimah yang juga tengah menatapnya. Ia menangkupkan kedua telapak tangan di dada, tersenyum, dan berkata, "Lama tidak bertemu. Selamat ya, atas pernikahan kalian. Aku doakan yang terbaik. Selalu."
Fatimah hanya membalas senyum sekadarnya dan mengangguk. "Terima kasih," ucapnya.
Fathir kembali menatap Fahmi. Menepuk pundak sahabatnya dan tersenyum penuh arti. Lalu ia pun pergi dari hadapan mereka, kembali bergabung bersama teman-teman kantornya. Setelah sedikit berbincang dengan mereka, ia pamit pulang lebih dulu dengan alasan ia sudah datang sejak awal.
"Fathir!" panggil Jo. Fathir kembali menoleh. "Bareng, ya?"
"Hm, sorry Jo. Aku mau ke suatu tempat dulu," tolak Fathir halus. Tidak seperti biasanya.
"Oh, oke," sahut Jo tersenyum.
Fathir pun kembali melangkah pergi, Jo menatapnya sendu. Fathir sempat menemui Fauzan dan Kakek untuk pamit. Lalu menitip salam pada kedua orang tua Fauzan karena mereka tidak bisa menemuinya.
"Nak," panggil Kakek menghentikan Fathir yang hendak pergi. "Alam merindukanmu," ujar sang kakek yang tentu hanya Fathir yang bisa mengerti maksudnya.
Ia tersenyum lirih dan mengangguk santun, kemudian melangkah pergi. Sekarang, ia sudah tahu apa yang akan ia lakukan. Ia akan pergi, mencari jati diri. Bersama hatinya yang tak lagi utuh. Bisakah ia meminta Tuhan untuk memberinya sepotong hati yang baru? Sebab, hatinya sudah patah dan remuk redam. Apakah obat untuk menyembuhkan lukanya?
Temui Tuhanmu. Dekati Tuhanmu dan cintai Dia. Maka Dia akan mendekatimu dan mencintaimu. Jika Dia sudah mencintaimu, apa pun akan Ia berikan untukmu.
Fathir merasa ada seseorang yang berbisik di dalam hatinya. Lalu ia teringat nasihat Umar bin Khattab, 'bahwa apa yang telah melewakanku tidak akan menjadi takdirku. Dan apa yang menjadi takdirku tidak akan melewatkanku.'
Tenanglah wahai hati. Tidak akan mungkin pergi darimu sesuatu yang telah ditetapkan untukmu.
Fathir mulai tersenyum dalam dukanya. Mencoba melepaskan segala yang mungkin bukan takdirnya. Dan ia percaya, ada sesuatu yang lebih indah yang telah Allah tetapkan untuknya.
***
TBC.
Assalamu'alaikum...! Alhamdulillah bisa update walau bukan di malam minggu 😆 makasih yang udah setia 😘 semoga kalian sehat selalu.
Yuk, jadi reader yang baik dengan meninggalkan jejak. Aku senang loh kalo bisa ngobrol sama kalian 😊 kita sharing. Jangan sungkan kalau mau koreksi atau kritik, jika ada salah tolong ingatkan saya ya! Jazakillah Khair 😊
Salam,
Tinny Najmi.
Subang, 24 Maret 2019.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top