16. Melamar
16
Melamar
"Aku hanya laki-laki biasa yang tak berani mendamba mutiara di dasar lautan. Aku hanya ingin seseorang yang bisa menemani perjalanan untuk mencapai visi misi hidupku. Semoga, aku mendapat jawaban terbaik darimu."
***
Jakarta, Juli 2018
"Lo mau pulang kampung, Mi?" tanya Fathir usai acara di studio selesai.
Fahmi tersenyum tipis. "Enggak, cuma ada perlu aja."
Fathir menatap temannya curiga. "Ada yang gak beres, nih. Mau ngelamar cewek, ya?" tanyanya usil.
Fahmi tertawa. "Nanti, kalo udah pasti, aku kasih tahu," ujarnya lantas menepuk pundak Fathir. "Duluan, ya. Assalamu'alaikum," pamitnya lebih dulu meninggalkan studio.
"Wa'alaikumussalam warahmatulloh ...," jawab Fathir diiringi rasa penasaran. Sebenarnya Fathir mengajak Fahmi ke kajian Ustadz A. Somad besok di IC, tapi Fahmi menolak karena harus ke luar kota. Ia tanya tujuannya pun, Fahmi tidak mau memberitahunya. Belakangan sikapnya memang mencurigakan menurutnya. Ya, setiap orang kan punya privasi sendiri.
Fahmi memang tidak memberitahu Fathir tentang rencananya ke Garut, ia tidak mungkin menceritakannya, sebab ia ingin menjaga perasaan pria itu. Lagi pula, belum tentu nanti jawaban gadis itu sesuai harapannya. Ah, mengingatnya hanya membuat jantungnya kembali berdebar-debar. Ia memang sudah siap, tapi tetap saja tidak bisa menyingkirkan rasa takutnya.
Semalam, ia sudah berbicara pada orang tuanya tentang maksud dan tujuannya untuk melamar seseorang, sekaligus meminta mereka mendoakan usahanya. Sebab, ia yakin ridha orang tua adalah yang paling penting.
Ya Allah, semoga Engkau meridhai dan memudahkan langkahku. Aamiin.
***
Garut, Juli 2018
Sebelumnya, Fahmi telah memberi kabar kalau ia jadi berkunjung di akhir pekan bulan Juli ini. Hal itu membuat Fatimah gugup dan penasaran. Semalaman, ia tidak bisa tidur sama sekali. Bertanya pada Risa pun, tidak membantu. Sahabatnya itu tidak ingin memberitahu perihal tujuan Fahmi sebenarnya yang ingin bersilaturahmi dengan orang tuanya itu.
"Maaf ya, Fat. Aku gak bisa kasih tahu soal ini atau Fahmi akan membunuhku," ucapnya saat itu, dramatis seperti biasa.
"Kamu tinggal tunggu saja, dandan yang cantik! Hahaha."
Fatimah mengembuskan napas. Ia sama sekali tidak mengerti maksud Risa. Atau mungkin ia hanya tidak ingin berspekulasi dan membenarkan kemungkinan yang ada.
"Imah," panggil Umi.
Fatimah yang sedang melamun depan ti-pi yang tidak menyala pun menoleh. "Kenapa, Mi?"
"Coba tanya Nak Fahmi itu, sudah sampai mana? Takutnya dia nyasar."
"Oh, iya, Mi," jawab Fatimah. Kekuarganya memang sangat menanti-nanti kedatangan Fahmi. Mereka juga penasaran dan berspekulaai kalai pria itu datang untuk mengkhitbahnya. Tapi, Fatimah tidak ingin berperasangka apa-apa sulu saat ini.
Ia baru saja mengetikkan pesan ketika ketukan pintu terdengar. Disusul seruan salam dari suara berat seorang pria.
"Eh, ndak usah. Kayaknya itu udah dateng," ujar uminya tampak senangㅡjika Fatimah tak salah menilai. Ia heran kenapa uminya bisa tampak se-sumringah itu. "Kamu tunggu aja di sini, ya. Biar Abah sama Ozan yang menemuinya," imbuh Umi lagi.
Fatimah hanya mengangguk kaku, sejujurnya ia sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Lebih baik kalai Fahmi datang di hari biasa, jadi ia tidak perlu ada di rumah karena harus mengajar di sekolah. Ah, kenapa pula ia harus gugup? Toh, tujuan Fahmi kan memang bertemu orang tuanya. Bukan dirinya.
Umi pergi ke dapur untuk mengambil air dan beberapa hidangan. Lantas bergabung bersama Abah dan Fauzan. Perihal Fauzan, abangnya itu memang sengaja datang lagi di akhir pekan ini karena ingin ikut andil menemui pria yang memiliki nyali bertemu orang tuanya.
Fatimah sendiri hanya duduk di ruang tengah, meremas jarinya gugup, memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Ia benar-benar penasaran apa yang mereka bicarakan. Rasanya, ia ingin mengintip, tapi tahu kalau itu tidak sopan.
"Cieee," Fatimah terperanjat saat seseorang menyikut pingganya. Tahu-tahu, Syarifah sudah duduk di sampingnya.
"Ih, apa sih, Mbak? Bikin kaget aja," Fatimah merengut.
"Ganteng juga ya seniormu itu," ujar Syarifah terkikik pelan. "Akhirnya, adik iparku ada yang melamar."
"Hus! Jangan sembarangan deh Mbak, belum tentu, tahu." Fatimah masih saja mengelak walau hatinya juga memikirkan kemungkinan itu. "Syamil mana, Mbak?" tanya Fatimah kemudian.
"Lagi maen sama anak-anak tetangga, biarlah, biar ndak merusuh."
Fatimah tersenyum. Anak itu memang biang rusuh. Ia jadi berpikir bagaimana jika nanti ia memiliki seorang anak?
Astagfirulloh. Pikiranku kok jadi melantur begini?
Fatimah lagi-lagi menghela napas. Ia sama sekali tidak memiliki ide untuk berbuat apa sekarang. Di ruang tamu sepertinya serius sekali. Entah apa yang mereka obrolkan.
"Bantu mbak masak, yuk! Biar nanti temanmu itu makan siang di sini," ajak Syarifah.
"Eh? Di sini? Memangnya nggak papa?"
"Ya nggak papa to, kan menjamu tamu. Ayok!"
Fatimah menurut saja. Ia pun mengikuti kakak iparnya ke dapur.
Sementara di ruang tamu, pria berkacamata itu tampak tenang, walau sebenarnya ia gugup setengah mati.
"Apa yang membuatmu yakin untuk melamar putri saya?" tanya Abah setelah Fahmi mengatakan maksud dan tujuannya bersilaturahmi. Suara Abah yang berat dan berwibawa, membuat pemuda itu semakin gugup.
"Saya memilih Fatimah karena akhlaknya, dan hati saya semakin yakin setelah meminta petunjuk Allah. Saya sudah mantap dengan keputusan saya," ujar Fahmi setelah menetralisir kegugupannya. "Saya memang tidak bisa menjamin ataupun menjanjikan kebahagiaan kepada putri Abah, tapi saya ingin mengajaknya untuk berjuang dan beribadah seumur hidup bersama saya."
Jawaban Fahmi membuat Abah mengulum senyum dalam. Namun ia belum puas. Ia ingin melihat sampai mana kualitas pemuda itu.
"Kamu yakin sudah mengenalnya dengan baik? Bagaimana jika dia memiliki banyak kekurangan?" Kali ini Fauzan yang bertanya.
"Karena itu saya datang ke sini untuk memberikan CV ta'aruf saya, sekaligus meminta izin Abah dan keluarga," Fahmi menarik napas sejenak. "Saya tidak mencari sosok yang sempurna, karena saya juga manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan. Maka, dengan pernikahanlah kami bisa saling melengkapi serta menutupi kekurangan masing-masing. Insya Allah dengan menjalani ta'aruf ini, kami akan lebih mengenal. Itu pun jika Fatimah berkenan dan keluarga mengizinkan," ujar Fahmi penuh santun.
Abah mengangguk tampak menyukai jawaban dan cara pria di hadapannya berbicara. Sementara Umi tampak sumringah, jelas sekali menyukai Fahmi. Lalu, suara adzan dzuhur terdengar. Mereka serempak mengucap tahmid lalu menghentikan segala aktifitas dan menjawab setiap kalimat yang dikumandangkan.
"Mari ke masjid, kita sholat dulu," ajak Abah diikuti Fauzan dan Fahmi. Sementara Umi masuk ke dalam rumah. Heboh berteriak memanggil-manggil anak bungsunya.
"Apa sih, Mi?" tanya Fatimah heran dengan sikap Umi.
"Itu loh. Nak Fahmi. Ih, meni resep pisan Umi mah! Nya kasep, pinter, sholeh, meni santun deuih!" ujar Umi menggebu.
Fatimah meringis. Ia tahu, itu semua memang sifat Fahmi.
"Oh ya, siapin CV ta'aruf kamu ya, biar tukeran sama Fahmi," ujar uminya lagi.
Fatimah terperangah. "CV? T-ta'aruf?" tanyanya cukup terbata.
"Iya, biar kalian lebih mengenal aja. Gimana? Kamu mau, 'kan?"
Fatimah menunduk. Rupanya prasangkanya memang benar. Apa ia harus menerima ta'arufnya?
"Udah, terima aja. Gak baik loh menolak laki-laki sholeh yang jelas baik agamanya. Selagi ta'aruf, kan kamu bisa memikirkan jawabanmu nantinya," ujar Syarifah menasihati.
Apa yang dikatakan kakak iparnya memang benar, tidak alasan ia menolak Fahmi. Mungkin ini saatnya ia membuka hati.
"Iya, nanti Imah siapkan," ujar Fatimah pelan.
"Alhamdulillah," Umi mengucap penuh syukur. Merasa begitu bahagia. "Ayo, dzuhur dulu," ajaknya kemudian.
Sementara di sisi lain, Abah menyuruh Fahmi untuk menjadi imam sholat di masjid jami' tempat biasa Abah menjadi imam.
"Apa tidak papa, Bah?" tanya Fahmi sangsi. Ia bukannya tak mau. Tapi, kan, ini bukan tempatnya. Ia merasa tidak berhak. Dan tentu saja ia juga gugup.
"Tidak papa, saya yang memintamu. Apa kamu tidak sanggup?" tanya Abah.
Fahmi menguatkan hati. "Insya Allah saya sanggup, Bah. Kalau begitu izinkan saya jadi imam untuk saat ini," ujarnya.
Abah tersenyum dan mempersilakan Fahmi. Orang-orang tampak penasaran, biasanya Abah yang akan menjadi imam karena beliau adalah orang beragama yang paling disegani di kampungnya.
Mengucap basmallah, Fahmi pun mulai dengan takbir. Ia sudah terbiasa menjadi imam, dan baginya itu bukan masalah besar. Meskipun sudah lama ia tidak mengimami jemaah sebanyak ini. Tapi dalam hatinya selalu menyimpan kesiapan, karena bagaimanapun laki-laki adalah seorang pemimpin.
Abah nampak puas dan kagum pada anak muda di hadapannya yang kini tengah memimpin dzikir. Hatinya tiba-tiba menghangat. Merasa bahagia jika putrinya memiliki imam seperti pemuda itu.
Rupanya Fahmi belum bisa bernapas lega usai melaksanakan tugas menjadi imam sholat, kini Abah juga memintanya mengisi ceramah singkat yang biasa dilakukan usai sholat dzuhur.
Fahmi menelan ludah, ia tidak menyiapkan materi apa pun. Sungguh berat sekali ujiannya hanya demi gadis yang diidamkannya itu. Ah, tidak. Fahmi meralat pikirannya. Ia tidak melakukannya demi gadis itu. Ia kembali meluruskan niat, ia telah memilihnya karena Allah, maka ia pin harus melakukan segalanya karena Allah, untuk Allah. Jadi, ia harus mampu, bukankah selama ini keahliannya adalah berbicara di depan umum? Baiklah, Fahmi menerima lagi tantangan dari calon mertuanya itu.
Materi yang disampaikan Fahmi memang sederhana, yaitu tentang hadits yang menjelaskan tiga ciri orang munafik. Namun penyampaiannya membuat semua orang yang mendengar terkagum-kagum. Termasuk Abah dan Fauzan. Mereka pun saling tersenyum penuh arti.
Usai ceramah singkat itu, tidak sedikit jema'ah yang bertanya tentang siapa pemuda yang bersama Abah dan Fauzan. Lalu dengan tenangnya, Abah menjawab, "Ini, calon mantu saya."
Mendengar hal itu, Fahmi jelas terkejut, padahal ajuan lamarannya belum mendapat jawaban dari gadis itu. Tapi diakui seperti itu oleh Abah, tentu membuatnya sangat senang. Hatinya menghangat dan rasanya ia ingin meloncat saking bahagianya.
"Abah serius?" ujar seseorang yang tidak lain adalah Ganjar yang juga salah satu jemaah sholat tadi. "Terus saya gimana dong, Bah?" tanyanya dengan raut sedih.
"Kamu sih, disuruh datang ke rumah aja nolak terus, ya keduluan deh," sahut Fauzan.
Ganjar tampak murung. Fahmi menatap pria yang tampak lebih dewasa darinya. Dalam hati bersyukur ia tidak terlambat, jika tidak, mungkin saja Fatimah sudah jadi milik orang itu.
Abah menepuk bahu Ganjar, "Mungkin Imah bukan jodohmu," ucapnya.
Ganjar tampak terpukul. Ia pun pamitan pada Abah. Menatap sejenak ke arah Fahmi lalu pergi. Sementara para jemaah saling memuji Fahmi, karena bacaannya yang fasih, juga ceramahnya yang sangat bagus. Fahmi pun beramah tamah pada warga di sana, meminta didoakan supaya segala usahanya berjalan lancar.
Setelah itu, mereka kembali ke rumah dengan obrolan ringan sepanjang jalan. Tampaknya Abah sudah menyukainya.
"Nak Fahmi, mari makan siang dulu di sini, kebetulan kami sudah masak," ujar Umi saat mereka kembali ke rumah.
"Apa tidak merepotkan, Mi?" tanya Fahmi sungkan.
"Nya henteu atuh! Hayu, pasti dari Jakarta kamu teh belum sarapan, 'kan?"
Fahmi mengulum senyum. Heran bagaimana wanita paruh baya itu bisa tahu. Ia memang belum sempat sarapan.
"Ya ampun, besar sekali nyalimu sampai tidak sarapan dulu. Untung kau tidak pingsan tadi," canda Fauzan diringi gelak tawa yang lain.
Fahmi hanya mengusap tengkuk, tampak malu. Sementara dari dalam, Fatimah yang mendengar tawa keluarganya menjadi gugup setengah mati. Secepat itukah mereka akrab?
Tidak lama, keluarganya masuk ke ruang makan bersama Fahmi. Dan pertama kalinya setelah sekian lama, mereka bertemu tatap. Fatimah yang sedang menghidangkan makanan langsung menunduk, tiba-tiba jantungnya berdebar tak karuan. Ia benar-benar gugup.
Di matanya, secara fisik tidak banyak yang berubah dari pria itu sejak terkahir kali bertemu. Ia hanya semakin tinggi, berisi dan tampan.
Fatimah duduk di samping Umi, berhadapan dengan Fauzan dan Fahmi di samping abangnya. Terjadi obrolan hangat dan ringan tentang keseharian Fahmi di Jakarta, sesekali juga menyinggung keseharian Fatimah yang bekerja sebagai guru. Tak ayal, masa-masa saat mereka kuliah pun menjadi terungkit kembali. Menyibak kenangan yang sudah lama gadis itu simpan rapat-rapat.
Mereka juga membahas seseorang yang katanya sempat bertemu di masjid, pria yang selama ini mengejar Fatimah.
Dalam hati Fatimah bersyukur, mungkin setelah ini pria itu akan berhenti mengangganggunya. Ia sesekali mencuri pandang pada Fahmi, pria itu tak sedikit pun menatapnya. Ia benar-benar menjaga pandangannya. Fatimah diam-diam tersenyum. Namun ada sudut hatinya yang merasa kalau ia tak pantas bersanding dengan pria seperti Fahmi.
Usai acara makan siang, Fauzan membawa Fahmi bersamanya. Katanya, obrolan lelaki. Sementara Fatimah bersama kedua orang tuanya.
"Abah merestuinya jika kamu mau menerimanya," ucap Abah kala itu.
Fatimah mendongak, lalu menunduk, "Tapi, Bah ... Imah ..., merasa tidak pantas bersanding dengannya. Imah tahu seperti apa kepribadiannya, ia laki-laki yang mendekati sempurna."
Umi menggenggam tangan anak gadisnya. "Pikirkan dulu baik-baik selama sesi ta'aruf nanti, Abang sama Mbak-mu nanti yang akan membantu jadi perantara. Imah ... tidak baik menolak pria yang bagus agamanya. Kamu tahu, 'kan?" Fatimah mengangguk pelan.
"Umi yakin, dia pria baik yang bisa menerima segala kekuranganmu," ucap uminya lagi mengusap pipi Fatimah.
Fatimah tersenyum dan mengaminkan dalam hati.
"Bah, Mi, Fahmi mau pamit pulang," ujar Fauzan tiba-tiba datang dari arah ruang tamu.
Mereka pun beranjak termasuk Fatimah untuk mengantar Fahmi sampai depan.
"Fii amanillah," ucap Abah memeluk Fahmi.
Fahmi mengangguk lantas menyalami Abah dan Umi, juga Fauzan. Lalu ia menatap gadis yang sedari tadi menundukkan kepala.
"Fat," panggil Fahmi.
Reaksi dari panggilan Fahmi entah kenapa membuat hatinya berdesir. Ia pun mendongak, mendapati Fahmi yang tengah tersenyum simpul padanya.
"Aku hanya laki-laki biasa yang tak berani mendamba mutiara di dasar lautan. Aku hanya ingin seseorang yang bisa menemani perjalanan untuk mencapai visi misi hidupku. Semoga, aku mendapat jawaban terbaik darimu," ucap Fahmi lagi.
Fatimah kembali menunduk. Hatinya menghangat dan luruh.
Pantaskah aku jadi pendampingmu?
Setelah itu Fahmi beruluk salam lalu menaiki mobilnya. Karena ia memang tak membutuhkan jawaban apa pun dari gadis itu untuk saat ini. Ia kembali dengan penuh harap, jika gadis itu akan menyambut perasaannya.
Laa haula walaa quwwata illaa billaah ... Ku pasrahkan segalanya pada-Mu ya Rabb ....
Sementera gadis itu, hati dan pikirannya tengah berkecamuk. Ia bahagia namun ada sisi lain yang terus menahannya.
Ya Allah ... pantaskah jika aku yang hina ini bersanding dengannya? Beri aku petunjuk-Mu ya Rabb ....
***
TBC
Haaii assalamualaikum... Kali ini aku update cepat ,kan? Iyaa lagi ngalir ini idenya 😆 wkwk nggak pada baper 'kan? Dilarang baper pokoknya, wkwkwk.
Semoga suka. Harusnya aku update beberapa hari lalu, tapi lupa hahaha.
Salam cinta ❤
Tinny Najmi
Tasikmalaya,
06 Februari 2019
Published 08 Februari 2019.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top