15. Pesan Tak Terduga

15
Pesan Tak Terduga

"Baginya ia, tak perlu jatuh cinta dulu untuk bisa mencintai. Baginya, cinta itu ditumbuhkan, bukan dicari."

💦💦💦

Garut, Juli 2018

Gadis itu nampak sibuk berkutat dengan kertas-kertas di atas mejanya, sesekali tangannya berpindah ke keyboard laptop; memasukkan nilai-nilai murid didikannya.

Kegiatannya terinterupsi saat seseorang mengetuk mejanya tiga kali. Ia pun mendongak, didapatinya wajah pria dewasa penuh senyum.

"Bu Imah, yang lain sudah pada pulang loh," tegur seorang pria yang berseragam persis sepertinya.

Fatimah melihat sekeliling yang sudah sepi. Hanya tinggal ia, dan beberapa guru yang sedang siap-siap untuk pulang. Ia pun tersenyum pada pria yang banyak dikagumi oleh para siswi di sana. "Oh iya, Pak. Saya keasyikan."

"Jangan terlalu larut mengerjakan sesuatu, sampai-sampai tidak sadar keadaan sekeliling. Nanti kalau tiba-tiba ada pencuri lewat, bisa-bisa nggak sadar juga," nasihatnya di akhiri candaan kecil.

"Iya Pak, insya Allah diusahakan."

"Sudah, lanjutkan besok. Bu Imah ini kalau bekerja seperti tidak ada hari esok saja," ujar pria itu lagi.

Fatimah hanya tersenyum lantas membereskan pekerjaannya. Sementara pria itu malah asyik menatapnya sambil bertopang dagu dengan senyuman tipis. Fatimah melirik dengan sudut matanya dan pria itu semakin tersenyum lebar.

"Kalau dilihat-lihat, Bu Imah makin hari makin cantik," cengirnya lebar.

Guru-guru yang masih tersisa di sana terkekeh mendengar gombalan pria dewasa yang hampir berkepala tiga namun masih menjomlo itu. "Pak Ganjar masih gencer aja deketin Bu Imah, belum berhasil juga, toh?" ujar salah satu guru pria yang tampak sudah berumur.

Pria itu menghela napas, "Iya nih, Pak. Sudah berbulan-bulan tapi masih belum ada perkembangan," ujarnya memasang raut wajah sedih.

Sementara Fatimah hanya geleng-geleng. Pria yang berbeda lima tahun darinya itu memang tak ragu menunjukkan ketertarikan padanya. Seperti saat ini.

Fatimah adalah guru paling muda di antara semua guru. Setelah lulus dua tahun lalu, ia melamar menjadi guru PAI di Madrasah Tsanawiyah yang ada di daerahnya. Kebetulan, sekolah yang baru berdiri lima tahun lalu itu sedang membutuhkan tenaga kerja seorang guru.

Jadi, di sanalah ia sekarang. Mengabdi sebagai guru. Malah belum lama ini, ia juga diminta mengajar pelajaran Bahasa Indonesia karena kekurangan tenaga kerja. Ia pun menyanggupi selama ia menguasai pelajaran tersebut.

"Bu Imah, pulang bareng saya, yuk!" ajak Ganjar dengan lantangnya.

Fatimah tersenyum sopan. "Maaf ya, Pak. Saya sudah minta ojek langganan saya ke sini."

Ganjar memasang wajah cemberut. "Ditolak kesekian ratus kalinya," ujarnya dramatis. Membuat guru-guru di sana menertawakannya.

Fatimah pun berpamitan kepada beberapa guru yang masih tersisa. Ia ditemani beberapa guru menuju depan gerbang. Mereka asyik mengobrol tentang rumah tangga, kadang salin membanggakan suami, kadang juga saling mengeluh. Fatimah hanya menyimak dan sesekali berkomentar jika diperlukan. Ah, tentu saja ia belum paham tentang obrolan para wanita karir di sekelilingnya itu.

"Bu Imah kapan nikah? Itu Pak Ganjar udah siap banget kayaknya," ujar salah satu guru tiba-tiba sambil tertawa.

"Iya betul, Bu. Kasihan dia," imbuh guru yang lain. Dan mengalirlah semua tentang pria bernama Ganjar Dirgantara. Pria berumur di ujung dua puluhan itu memang sudah mapan dan siap untuk membina rumah tangga. Wajahnya juga bisa dikategorikan tampan. Tapi, Fatimah tidak sedikit pun memiliki perasaan lebih pada pria itu meski setiap hari merayu dan berbuat baik padanya.

Untunglah ojek langganan Fatimah sudah tiba, jadi ia tak perlu menjawab semua gurauan guru-guru seniornya. "Saya duluan ya Bu, mari," pamit Fatimah mengangguk sopan.

"Saya juga ya Ibu-ibu nu gareulis," ujar Ganjar yang tahu-tahu sudah berada di samping Fatimah bersama motor ninjanya.

"Pak Ganjar mau nemenin Bu Imah ya," goda salah satu guru.

"Tahu aja Ibu, iya dong biar pulangnya barengan walau gak boncengan," ujarnya diiringi tawa.

Fatimah meringis, kembali berpamitan lalu menaiki motor matic yang dikendarai seorang perempuan sebayanya. Mengabaikan keberadaan pria itu.

Ganjar benar-benar menemani Fatimah. Motornya tidak pernah lebih dari satu meter dari motor yang dinaiki Fatimah. Bahkan ia menemani Fatimah sampai di rumahnya.

Fatimah pun turun, ia menatap Pak Ganjar yang juga berhenti dan tersenyum padanya. Ingin rasanya ia menyuruh pria itu berhenti melakukan semua itu. Tapi apa pun usaha penolakannya, pria itu tak pernah berhenti melakukannya.

"Pak Ganjar, kalau suka, lamar dong sama orang tuanya," ujar Winda, ojek langganan Fatimah. Dia adalah gadis lulusan SMA yang menganggur. Jadi saat diminta Fatimah menjadi ojek untuk mengantar-jemputnya ke sekolah, ia bersemangat sekali.

Mendengar perkataan Winda membuat Ganjar menghela napas. "Gimana saya mau lamar ke orang tuanya, orang saya deketin aja dia nolak terus, Win. Emangnya saya kurang apa toh, Win?" Pak Ganjar memasang tampang bingung.

Winda tergelak. "Kurang doanya kali, Pak!"

Ganjar pura-pura berpikir. "Gitu, ya ... saya kurang rajin sholat malam kali, ya?"

"Win, makasih ya," ujar Fatimah mengabaikan obrolan dua orang di hadapannya itu.

"Siap Teteh geulis!" balas Winda ceria. Fatimah pun melengos begitu saja.

"Sampai ketemu besok, Imah!" seru Ganjar meski hanya dapat melihat punggung gadis itu saja.

Winda geleng-geleng melihatnya. "Udah nyerah aja, Pak. Bu Imah cuek gitu," ujarnya prihatin.

"Sebelum janur kuning melengkung, saya masih punya kesempatan kok, Win."

"Ckckck. Terserah Bapak, deh!" ujar Winda lalu menaiki motornya. "Saya duluan, Pak!" pamitnya lantas melaju bersama motor matic kesayangannya.

Ganjar membalas dengan anggukan dan senyuman ramah. Ia tatap rumah di hadapannya. Betapa susahnya mengetuk pintu hati pemiliknya. Apa ia harus menyerah saja? Tapi, sikap Fatimah yang tidak mudah dirayu justru membuat ia semakin bersemangat mengejarnya.

***

Fatimah mengistirahatkan tubuhnya sejenak setelah berkutat dengan naskah yang sedang ia edit. Mau tidak mau, ia jadi memikirkan pria itu. Apa yang harus ia lakukan untuk membuatnya berhenti? Sungguh, ia tidak ingin membuat pria itu terus berharap padanya.

Setelah orang itu, ia tidak pernah lagi menaruh hati pada siapa pun. Ia benar-benar menutup hatinya sampai nanti jika ada seseorang yang berani menemui orang tuanya. Ya, ia akan mencintai siapa pun pria yang menjadi suaminya kelak. Meski itu Ganjar sekalipun. Namun, pria itu sepertinya tak ada niatan datang ke rumahnya. Padahal jika ia datang menemui ayahnya, mungkin ia akan mempertimbangkannya.

Ya, baginya ia tak perlu jatuh cinta dulu untuk bisa mencintai. Baginya, cinta itu ditumbuhkan bukan dicari.

"Imah?" panggil Umi setelah membuka pintu kamar anak gadisnya.

"Iya, Mi?"

"Ayo, makan malam dulu. Jangan kerja terus," tegur wanita paruh baya itu.

Fatimah hanya tersenyum lalu menutup laptop dan beranjak dari mejanya. Menuju ruang makan yang sudah ramai diisi Fauzan bersama istri dan anaknya yang baru berumur dua tahun.

"Bibii!" bocah laki-laki itu berseru saat melihat Fatimah.

"Halo jagoan!" Fatimah mengusap-usap kepala bocah itu.

"Bii ayo ke lumah Camil!"

"Iya, nanti yaa. Bibi maen ke rumah Syamil."

"Syam ... kunyah makanannya, kebiasaan ya!" tegur mamanya membuat Syamil cemberut.

Setiap kali keluarga kecil Fauzan ke rumah, suasananya memang selalu ramai. Ramai karena bocah dua tahun itu terlalu hiperaktif.

Usai makan malam, mereka berkumpul di ruang tengah. Fatimah memainkan ponselnya. Membalas pesan dari penulis yang naskahnya sedang ia edit. Lalu, sebuah pesan baru masuk dari nomor baru. Ia pun membukanya.

+628231357...
Assalamu'alaikum warahmatulloh .... Benar ini dengan Fatimah?

Fatimah tidak langsung menjawab, ia melihat foto profil orang tersebut yang menampakkan siluet seorang pria berlatar langit senja. Lalu ia melihat profilnya untuk mengetahui nama pemilik nomor itu.

Fahmi A. Pradipta. Fatimah sedikit terkejut, hanya satu pria bernama seperti itu yang ia kenal. Ia adalah kakak seniornya saat di UNINUS. Ada apa ia sampai menghubunginya? Dari mana pula ia mendapat nomor ponselnya? Pikirnya.

"Wa'alaikumussalam warahmatullohi wabarakaatuh. Iya, benar." Fatimah pun menjawab chat-nya. Barangkali ada hal penting, karena yang ia tahu, Fahmi bukan orang yang suka basa-basi atau chat jika tak ada keperluan.

Tak lama, Fatimah mendapat balasan. "Oh alhamdulillah benar, takutnya saya salah orang. Saya Fahmi, masih ingat?"

"Iya, ingat," balas Fatimah. Kemudian, obrolan itu mengalir begitu saja.

"Alhamdulillah masih ingat. Bagaimana kabarmu?"

"Alhamdulillah, baik. Kak Fahmi sendiri?"

"Alhamdulillah ... sehat wal'afiyat. Kamu di mana sekarang? Kerja?"

"Di rumah aja, Kak. Iya, kerja di sini."

"Oh, begitu. Boleh tanya?"

"Iya. Ada apa?"

"Emm ... kalau boleh tahu, kamu sudah ada yang mengkhitbah?"

Fatimah terpana. Tiba-tiba ia merasa gugup. Kenapa ia gugup? Kenapa pula Fahmi bertanya hal itu padanya. Menarik napas, Fatimah menjawab jujur.

"Belum, Kak," balas Faima kemudian. Cukup lama sampai pesan berikutnya datang.

"Alhamdulillah 😊"

Fatimah mengerutkan kening, "Kok, alhamdulillah?"

"Hahaha. Tidak papa. Memangnya kamu sudah siap menikah?"

"Harus saya jawab?"

"Hm, tidak juga tidak papa. Atau dijawabnya nanti saja."

"Nanti?" Fatimah kembali terheran-heran.

"Iya, sampaikan pada kedua orang tuamu. Nanti saya akan berkunjung ke rumahmu."

Jantung Fatimah tiba-tiba berdebar lebih cepat. Ada apa ini?

"Untuk apa? Kalau boleh tahu...."

"Bersilaturahmi dengan kedua orang tuamu. Boleh, kan?"

"Oh..., nanti saya sampaikan dulu sama Abah dan Umi. Kapan kira-kira?"

"Insya Allah di minggu ini."

"Sendirian?" Fatimah benar-benar penasaran. Untuk apa pria itu berkunjung ke rumahnya? Hanya untuk silaturahmi? Atau ada maksud lain?

"Untuk saat ini ... iya,"

Chat tersebut berkahir begitu saja. Fatimah tidak lagi menanyakan tujuannya meski ia sangat penasaran. Ah, jangan berpikir macam-macam, mungkin memang ia bertujuan untuk silaturahmi .... Tapi, kenapa? Untuk apa?

"Kamu kenapa, sih?" tegur abangnya yang sedari tadi memperhatikan Fatimah.

"Hah? Kenapa?" Fatimah seolah tersadar dan cukup linglung mendapati semua orang tengah menatapnya.

"Tadi serius banget, sekarang malah bengong. Dapat chat dari siapa?" tanya Fauzan.

Bagaimana tidak? Ia mendapat pesan yang tak terduga sama sekali. Dan pertanyaan Fahmi cukup mengejutkannya. Fatimah menatap keluarganya. Apa ia katakan sekarang saja? "Emm ... itu. Teman Imah. Eh, bukan sih, tapi kakak senior Imah dulu di UNINUS. Kak Fahmi ...," ucap Fatimah menggantung.

"Fahmi ...," sahut uminya tampak berpikir keras. "Ohh ..., yang dulu ngajakin kamu jadi mentor di Aliyah itu, ya?" serunya. Fatimah mengangguk. Dulu, Fatimah memang sempat bercerita pada uminya tentang Fahmi. Tidak menyangka kalau Umi masih mengingatnya.

"Memangnya dia chat apa? Sampe kamu ngelamun gitu?" tanya Fauzan lagi penasaran.

"Ehm ... itu ...."

"Dia mau ngelamar kamu, ya?" goda Syarifah, istri Fauzan. Mencolek-colek Fatimah usil.

"Eh? Eng-nggak ... bukan!" sanggah Fatimah cepat.

Syarifah terkekeh. "Terus, apa?"

"Emm, itu ... dia bilang, nanti mau ke sini, ingin bersilaturahmi sama Umi dan Abah," ucap Fatimah menunduk. Ia juga tak mengerti kenapa ia merasa malu. Mungkin karena ini pertama kalinya ada laki-laki yang mendatangi rumahnya, bahkan ingin bertemu orang tuanya.

"Ciyeeee!" Syarifah langsung heboh dan menggoda Fatimah kalau pria itu pasti berniat untuk melamarnya.

"Ihh ... Mbak Ifah apaan, sih? Nggak gitu juga kali, mungkin dia memang hanya ingin bersilaturahmi saja," elak Fatimah.

"Ck! Kamu ini, mana mungkin mau datang jauh-jauh untuk bertemu Umi dan Abah tanpa maksud tertentu, huh? Dulu abangmu juga begitu," Syarifah mengerling jahil pada suaminya.

Fauzan berdeham. "Jadi, maksud dia apa?" ia mengalihkan pembicaraan kembali ke topik.

Fatimah mengangkat bahu. "Dia cuma minta izin, katanya boleh tidak berkunjung dan bertemu Umi dan Abah, kalau boleh, ia akan ke sini minggu ini," papar Fatimah menatap abi-nya meminta persetujuan. Entah kenapa ia jadi berdebar-debar cemas seperti ini.

"Hmm, abi jadi penasaran. Dia datang sendirian?" tanya pria paruh baya yang masih tampak berwibawa itu.

"Katanya untuk saat ini ..., iya," jawab Fatimah.

"Untuk saat ini?" Fauzan terkekeh kecil. "Lumayan juga nyalinya," ujarnya.

Abah mengangguk sambil mengusap jenggot yang sudah beruban. "Bilang saja, ia boleh datang,"

Fatimah mengangguk lalu kembali mengirim pesan pada Fahmi.

"Abah bilang boleh, Kak Fahmi bisa datang minggu ini ke rumah kalau mau."

"Alhamdulillah ...."

"Kak Fahmi tahu alamat rumah saya?"

"Tahu :)"

"Dari?"

"Risa."

Risa. Ah, benar. Anak itu ... mereka, kan saudara sepupu. Pasti dia juga yang memberikan nomornya pada Fahmi. Sepertinya, ia harus menuntut penjelasan lebih dari sahabatnya itu. Ia sangat penasaran apa tujuan pria itu sebenarnya. Ia juga yakin kalau Risa pasti tahu jawabannya.

***

TBC.

Haii assalamualaikum...! Lama lagi bari nongol 😅 maafkan ya 😥 susah sekali bagi waktu dan dapat ide yang pas hehee 🙏

Hayoo Fahmi mau ngapain tuh? 😆

Moga suka, thanks buat yang selalu setia nunggu and wait next chapt 😘

Salam cinta
Tinny Najmi.

Tasikmalaya,
03 Februari 2019.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top