11. S.A.H; Sudahi Atau Halalkan

11

S.A.H; Sudahi Atau Halalkan

"Perempuan itu rentan, mudah terluka, kayak kaca, mudah retak. Jadi, jangan coba-coba. Kalau kalian tidak berniat mengikatnya, jangan bermain dengan hatinya. Kalau memang cinta, buktikan dengan pinangan."

🎈🎈🎈

.

Bandung, Januari 2014

Hari itu, Risa menemani Fatimah pulang bahkan menginap di kosannya. Ia tidak tega melihat kondisi Fatimah yang tampak sangat kacau. Usai Fatimah menceritakan kejadian siang tadi, Risa ngamuk-ngamuk dan terus merutuki Fathir.

"Hus! Gak boleh ngumpat," tegur Fatimah saat umpatan-umpatan keluar dari mulut sahabatnya.

"Abis yaa! Apa sih maksudnya tu orang?" Risa mengerang frustasi, tak habis pikir dengan yang Fathir lakukan pada Fatimah. Ia memukul-mukul bantal saking kesalnya. Lalu menghela napas. "Maafin aku ya, Fat ...," Risa terlihat menyesal. Karena dulu dia yang mendorong dan mendukung Fatimah bersama pria itu. Jadi, secara tidak langsung, ia juga ikut andil menjadi penyebab Fatimah sakit hati.

Fatimah segera menggeleng, tahu betul maksud sahabatnya. "Bukan salahmu, Ris."

"Arghh! Coba aja aku tahu bakal kayak gini, aku gak bakal pernah setuju kamu hubungan sama tu cowok! Mending aku comblangin kamu sama Kak Fahmi!" Risa masih bersungut marah.

Fatimah mengerutkan kening. "Kenapa Kak Fahmi?"

"Soalnya dia udah terakreditasi 'A'!"

Fatimah tertawa kecil sambil geleng-geleng, ada-ada saja sahabatnya ini, pikirnya geli. Lalu ia teringat sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.

"Oh ya, Ris. Kenapa kamu bisa tiba-tiba balik ke kampus? Terus, tahu dari mana kalau terjadi sesuatu dan tahu aku sedang di taman?" Fatimah menatap menyelidik, ia benar-benar penasaran. Karena sahabatnya tiba-tiba datang dengan napas terengah. Meninggalkan pacarnya hanya untuk menemuinya. Jujur, ia cukup terharu dengan tingkah Risa hari ini. Jadi ia tidak akan bermuram durja agar sahabatnya tak perlu ikut bersedih.

"Ya tahu doong, Risa gitu! Punya mata batin!"

Fatimah mendengkus, "Nggak percaya. Pasti ada orang yang bilang ke kamu, kan?" tuduhnya menyipit curiga.

Risa gelagapan lalu tertawa sumbang. "Udaah, soal itu mah nggak penting!" tukasnya lalu berdeham. "Yang penting itu..., siapa orang yang ngasih sapu tangan sama sepucuk surat cinta itu?" Risa mengerling jahil.

"Mengalihkan pembicaraan." Fatimah memutar bola mata. "Itu bukan surat cinta, kali Ris!"

"Yaah, apa pun itu. Dia so sweet banget, tahu! Kamu beneran nggak nyadar ada yang naruh itu?"

Fatimah menggeleng. Saat itu ia tidak memperhatikan sekitarnya, ia hanya fokus pada dirinya sendiri. Kalau Risa tidak datang saat itu, pasti ia tidak akan sadar ada sapu tangan dan secarik kertas tergeletak di sampingnya.

Di kertas itu, tertulis sebuah ayat suci yang merupakan janji Allah dalam surah al Insyiraah, ditulis dalam huruf arab yang sangat rapi,"Fainna ma'al 'usri yusraa. Inna ma'al 'usri yusraa." Dan sebuah kalimat "Bersabarlah. Janji Allah itu pasti."

Hati Fatimah bergetar kala itu, betapa ia merasa begitu bodoh dan berdosa. Dibutakan oleh perasaan bertopeng cinta. Lalu, Risa memeluknya meski ia belum tahu apa yang terjadi. Fatimah pun kembali menangis di pelukan sahabatnya. Bukan karena Fathir menyakitinya, tapi karena ia sadar ia lalai selama ini.

"Cieeee yang punya secret admirer!" goda Risa kembali heboh. Membuyarkan lamunan Fatimah.

Fatimah hanya berdesis tak yakin. "Belum tentu yang ngasih itu laki-laki, bisa saja perempuan kan?"

"Kalo cewek gak mungkin ngasih diem-diem, aku yakin itu pasti cowok!"

Fatimah diam, tak terlalu memikirkan. Meski ia juga penasaran siapa yang memberinya sapu tangan dan ayat penenang untuk menguatkannya. Seolah orang itu tahu apa yang sedang dialami oleh dirinya. Benar-benar aneh. Namun di sisi lain, ada perasaan menyenangkan menyelinap setiap kali menatap kedua benda tersebut yang mulai sekarang akan ia simpan baik-baik seumur hidupnya.

***

Pagi-pagi sekali, Fatimah dan seluruh panitia tengah sibuk mempersiapkan seminar yang akan dilaksanakan pukul sepuluh nanti. Setelah sang ketua pelaksana memastikan semua persiapan oke, ia menyuruh seluruh panitia menempati posisi sesuai tugas mereka.

Fatimah menuju meja resepsionis bersama beberapa anggota. Mau tidak mau, ia teringat percakapannya dengan Fathir tempo hari, tentang ia yang meminta Fathir untuk datang ke seminar ini.

Apa ia akan datang? Bagaimana kalau dia datang? Ah ... tidak, tidak mungkin. Untuk apa dia datang? Dia sudah tak punya alasan bukan? Semua yang dia lakukan selama ini hanya pura-pura. Dan sekarang, ia tidak perlu berpura-pura lagi. Ahh ... kenapa aku harus risau begini? Kenapa juga aku harus resah kalau bertemu dengannya? Aku kan─

"Duh!" Fatimah refleks menyentuh kepalanya saat seseorang menepuknya dengan gulungan kertas. Ia pun melihat pelakunya. "Kak Fahmi ...?"

"Ngelamun terus, tahu-tahu nanti ada jin keluar dari tubuhmu," ujar Fahmi tidak serius.

Anggota lain cekikikan. Fatimah hanya tersenyum kikuk; merasa bersalah. "Maaf, Kak ...."

"Kenapa minta maaf?" Fahmi bersedekap.

"Eh? Itu ... umm ...," Fatimah gelagapan, tak bisa menjawab.

Fahmi tertawa kecil. "Kamu bahkan tidak tahu alasan kenapa kamu minta maaf. Kamu tidak perlu meminta maaf kalau kamu tidak melakukan kesalahan, Fatimah."

Fatimah diam. Mengangguk sekali. Lalu Fahmi dipanggil dan pamit pada semua anggota. Anggota lain di samping Fatimah mendadak heboh dan protes karena hanya Fatimah yang diajak Fahmi bicara. Fatimah hanya menoleh dan tersenyum canggung.

"Kalian emang deket ya?" tanya salah satu anggota.

"Hah? Eng-nggak juga ... kami cukup dekat karena sama-sama menjadi mentor di Aliyah."

Mereka mengangguk dan ber-oh ria. Lalu aktivitas ngobrol mereka terhenti karena peserta mulai berdatangan dan mengisi daftar hadir yang sudah disediakan panitia. Bukan hanya dari universitas mereka saja, tapi juga remaja SMP dan SMA bahkan umum.

Fatimah mengenal beberapa anak yang datang dari Aliyah tempat ia jadi mentor bersama Fahmi. Ia sangat senang melihat mereka antusias bahkan tak ragu mengajak teman mereka yang lain. Namun ia masih menunggu satu orang yang belum kelihatan batang hidungnya. Risa. Sahabatnya itu masih belum datang padahal kursi sudah penuh. Sampai-sampai panitia menyingkirkan semua kursi dan menggantinya dengan karpet agar muat banyak. Bagian laki-laki di depan sementara perempuan yang mendominasi di belakang mereka dengan jarak cukup lebar.

Fatimah memutuskan mengirim pesan pada Risa. Hingga suara seseorang yang memanggilnya, menghentikan pergerakan ibu jari Fatimah di atas keyboard ponselnya.

"Afwan, Kak. Untuk ikhwan, silakan registrasi di meja bagian ikhwan," ujar salah satu anggota sopan. Namun pria itu tak menggubris, ia hanya fokus menatap wanita di hadapannya yang masih tertunduk menatap ponselnya.

"Aku mau bicara sama kamu, Fatimah."

Fatimah mendongak. Mendapati pria yang satu minggu terakhir ini ia abaikan. Menganggap seolah ia tidak ada.

"Maaf, saya tidak bisa."

"Fat ...."

"Fatimah udah bilang gak bisa, lo budeg?"

Fatimah dan Fathir menoleh. Mendapati Risa yang menantap bengis pada Fathir. Sekarang mereka jadi sorotan para anggota dan peserta yang berada di sana.

Fatimah menahan kesal. Ia tidak suka seperti ini. Namun saat ia akan membuka suara, seseorang mendahuluinya.

"Afwan, antum menghalangi peserta yang akan registrasi. Kalau antum tidak berniat mengikuti seminar ini, mohon untuk tidak mengganggu kelangsungan acara. Jika ada urusan pribadi dengan salah satu anggota saya, bisa dibicarakan setelah acara selesai." Kang Idrisㅡketua panitiaㅡyang kebetulan keluar dan melihat keributan pun menginterupsi dengan ramah dan santun.

Sesaat hening. Fathir melihat situasi, kemudian memutuskan tidak melawan lagi. "Maaf," ujarnya lalu tanpa Fatimah duga, ia berjalan menuju meja resepsionis bagian laki-laki. Mengisi daftar hadir dan masuk ke aula. Padahal ia kira, pria itu akan pergi dari tempat ini. Sepertinya, Fathir tidak akan membiarkannya lolos kali ini.

Sebenarnya ia tidak habis pikir kenapa Fathir masih saja mencoba menghubunginya atau berusaha agar bisa berbicara dengannya. Jika memang dari awal Fathir hanya berniat main-main dengannya, ia tidak perlu menjelaskan apa pun bukan? Kenapa ia harus berusaha sekeras itu?

"Dia temanmu?" tanya Idris membuyarkan lamunannya.

"Uhm, i-iya Kang, afwan ...." Fatimah menunduk, merasa tidak enak.

Idris mengulum senyum. "Tidak papa," ujarnya lalu beralih pada semua anggota yang ditugaskan menjadi penerima tamu. "Sebentar lagi acara dimulai. Kalau mau nonton dan masuk ke dalam, boleh saja asal gantian ya, jangan biarkan meja resepsionis kosong. Takutnya ada yang datang terlambat. Jadi, gantian jaga saja."

"Baik, Kang," ujar semua anggota menurut. Kemudian Idris kembali masuk ke dalam dengan aura wibawa yang membuat semua orang patuh dan manut pada setiap instruksinya.

Risa lalu berisik pada Fatimah. "Kang Idris lumayan juga, Fat."

Fatimah mendelik dan Risa langsung ngacir ke dalam. Baru saja ia menghela napas, teman satu komunitasnya menanyakan apa hubungan dia dengan Fathir.

Fatimah pun mengatakan kalau mereka tak ada hubungan apa-apa, hanya ada sedikit masalah pribadi. Untunglah tidak ada yang membahas hal tadi lagi.

Seperti kata Kang Idris, ada beberapa peserta yang datang terlambat. Mereka juga bergantian masuk ke dalam untuk ikut menonton. Dari luar, Fatimah bisa mendengar suara gelak tawa dan riuh ramai peserta. Ia mengulum senyum, Fahmi selalu berhasil membangun suasana hingga audiens tidak jenuh dan bisa mendengarkan serta mencerna semua yang disampaikannya dengan baik.

"Fatimah, kamu mau masuk gak? Biar aku yang jaga," ujar salah satu anggota yang baru keluar dari aula.

"Oh, iya. Makasih ya...," Fatimah pun masuk ke dalam aula, menonton sambil berdiri di dekat pintu. Sepertinya Fahmi sudah hampir selesai.

"Setelah kita uraikan semua, ternyata manfaat pacaran itu sedikit banget, malah lebih banyak madhorot nya, nambah-nambah dosa aja, betul?" Fahmi bertanya yang dijawab serempak oleh para peserta.

"Kecuali, kalau pacarannya setelah menikah. Menyenangkan pasangan saja bisa jadi ladang pahala loh! Nggak dosa, nggak ngelanggar perintah Allah, bahkan insya Allah dapat ridha Allah. Kalau Allah udah ridha, maka hal apa pun bakal jadi? Berkah ..., mau gak?"

"Mauuu...."

"Mau hubungan kita diridhai oleh Allah dan termasuk ibadah?"

"Mauuu...."

"Yang belum punya pacar, siap pacaran setelah menikah?"

"Siaaap!"

"Udah pada siap nikah berarti?"

Semua peserta tertawa. Fahmi sedikit tersenyum. "Yang udah punya pacar, siap mutusin pacarnya?"

Gelak tawa kembali berderai. Fatimah pun terkekeh. Mungkin hanya sebagian kecil dari mereka yang akan benar-benar melakukannya, dan Risa tentu bukan salah satunya.

Sekilas, Fatimah merasa kalau Fahmi menatapnya. Tapi saat ia balik menatapnya, Fahmi memalingkan wajah. Ah, mungkin hanya perasaanya saja.

Fahmi menyudahi pembahasan dengan beberapa pesan dan motivasi bagi para singel lillah dan bagi mereka yang sudah pacaran. Aula riuh dengan tepuk tangan. Lalu moderator membuka sesi tanya jawab.

Seorang perempuan berjilbab biru langit mengacungkan tangan. Moderator pun mempersilakan perempuan tersebut mengajukan pertanyaannya.

"Bagaimana dengan pacaran islami? Pacaran yang tanpa bersentuhan ataupun herkhalwat dengan lawan jenis. Hanya sebatas saling memberi semangat dan saling mengingatkan. Apakah itu juga tidak boleh?"

Sang moderator mengulang pertanyaan tersebut kepada Fahmi. "Baiklah! Mau langsung dijawab atau ditampung dulu?" tanyanya.

"Langsung saja," ujar Fahmi tersenyum ramah kemudian bangkit dan mulai berbicara. "Saya ingin bertanya..., kalau teman-teman mandi, basah tidak?"

Sebagian peserta tertawa karena merasa pertanyaan Fahmi sudah jelas jawabannya.

"Oke. Pasti basah. Meskipun kita hati-hati biar gak basah semua, tetap aja kecipratan air nya, betul?"

"Betuuul!"

"Nah, pacaran pun begitu, teman-teman. Tidak ada yang namanya pacaran sehat atau pacaran islami. Meskipun kita berhati-hati supaya tidak melanggar batas, tetap saja kecipratan dosanya." Jeda sejenak. "Tapi kan kita nggak pegangan tangan Kak, nggak saling tatap-tatapan, nggak jalan berduaan. Jadi nggak apa-apa dong, Kak? Iyaa enggak, tapi kalian chat-an, saling pengertian, saling perhatian, saling ngasih semangat, dan 'saling-saling' lainnya."

Sebagian peserta terkekeh, ada juga yang terdiam. Termasuk Fatimah dan Fathir.

"Kalian pikir, itu tidak termasuk zina?"

Deg.

Sesuatu terasa menghantam ulu hati Fatimah. Sekarang dadanya berdebar tak karuan, apalagi ia merasa Fahmi menatapnya saat mengatakan pertanyaan itu. Seolah, pertanyaan itu memang ditujukan untuknya.

"Teman-teman, zina itu luas. Banyak jenisnya. Tidak hanya, maaf, berhubungan badan. Tapi ada zina mata, zina tangan, bahkan zina hati. Lalu chat-an dengan segala macam 'saling-saling'-nya, kalian pikir itu tidak termasuk berkhalwat? Bukankah kalian chat hanya berdua? Senyum-senyum sendiri, berbunga-bunga karena perhatian si dia, bahagiaaa rasanya kalau sudah ngobrol dengan si dia," Fahmi mengatakannya dengan sedikit over membuat peserta sedikit tertawa.

"Itu namanya berkhalwat, teman-teman ... Bisa jadi zina...?" Jeda sejenak. "Hati." Fahmi menunjuk dadanya. "Ini yang paling bahaya. Mengapa? Karena banyak yang tidak menyadarinya.

"Sesungguhnya, syaitan menyusup dalam diri manusia melalui aliran darah. Menghasut kita, membisikkan berbagai macam tipu muslihat untuk membuat yang salah terlihat benar. Seperti pacaran islami yang salah satu teman kita sebut tadi." Fahmi menatap seluruh peserta yang terdiam termasuk Fatimah. Dadanya sesak tiba-tiba. Ada rasa nyeri dan perasaan malu di sana.

"Jadi, sudah jelas ya? Tidak ada pacaran islami. Kalau mau saling mengingatkan, kan bisa dengan teman sesama jenisnya, oke?" tanya Fahmi yang dijawab serempak oleh seluruh peserta kalau mereka mengerti. Ia kembali duduk dan minum air mineral yang sudah disediakan.

"Pnjelasan yang luar biasa sekali ya, teman-teman. Baiklah, karena waktu kita terbatas, satu pertanyaan saja lagi ya."

Risa mengangkat tangan sebelum moderator mempersilakan. Fatimah pun sampai kaget dibuatnya. Apa yang mau sahabatnya itu tanyakan? Pikirnya penasaran.

"Wah, wah..., sudah ada yang mengangkat tangan. Baiklah, teteh cantik yang di sana, silakan."

Risa berdiri, menatap Fahmi serius. "Bagaimana dengan orang yang jatuh cinta? Kalau kita tidak boleh berpacaran, bagaimana kita menyaluran perasaan itu? Bukankah cinta adalah fitrah dari Yang Maha Kuasa? Kita tidak bisa memilih untuk jatuh cinta atau tidak, bukan? Setahu saya, perasaan akan semakin menjadi jika kita menekannya. Jadi, apa yang harus kita lakukan dengan perasaan itu? Itu saja, terima kasih."

"Pertanyaan yang fantastis sekali ya, baiklah Kak Fahmi silakan dijawab."

Fahmi berdiri. Menggenggam mikrofon dengan penuh wibawa. "Ekhem. Saya analogikan begini. Misalnya saya sedang puasa, lalu karena saya lapar, saya berniat membatalkan puasa. Padahal saya masih kuat berpuasa sampai waktunya. Boleh tidak?"

Peserta menggeleng dan begumam menjawab tidak. Fahmi mengangguk. "Lalu apa yang seharusnya saya lakukan?" Ia menatap semua audiens. "Menahan lapar sampai waktunya karena itu hakikat puasa, betul?"

"Betuul ...," peserta menjawab lirih.

"Seperti itulah jatuh cinta," ujarnya membuat seluruh peserta terdiam. "Benar apa yang dikatakan saudari Risa tadi, cinta itu fitrah, anugrah dari Sang Muara Cinta. Kita tidak bisa memilih kapan atau pada siapa untuk jatuh cinta. Kalau sudah begitu, bagaimana? Apa yang harus kita lalukan dengan perasaan menggebu saat melihat orang yang kita suka? Yang harus kita lakukan adalah...," Jeda sejenak, Fahmi menatap Risa. "Menahannya sampai waktunya tiba.

"Kita harus bisa mengendalikan rasa cinta kita, bukannya malah cinta yang memperbudak kita hingga menjerumuskan kita pada hal yang dibenci oleh Allah. Tahanlah kawan, jika kita jatuh cinta pada saat yang menurut kita tidak tepat waktu, dekatkan diri kita pada Sang Maha Cinta. Perbanyaklah puasa untuk mengekang hawa nafsu. Bukannya mengikuti hawa nafsu lalu menjadikan pacaran sebagai dalih dari mewujudkan ataupun mengungkapkan perasaan cinta. Jika sudah begitu, cinta itu tidak lagi suci, bukan lagi cinta, melainkan nafsu belaka."

Hening. Semua orang di ruangan itu seperti tersihir oleh laki-laki berkacamata dan berjasket hitam di depan mereka.

"Pasti kalian pernah mendengar kisah cinta Fatimah dan Ali, bukan?" Peserta mengangguk. Fahmi pun melanjutkan, "Contohlah mereka yang bisa menahan diri, menahan hawa nafsu hingga tidak diperbudak oleh perasaan bernama cinta. Menyimpannya dengan apik, hingga Allah persatukan mereka."

Fahmi lalu menatap Risa, "Ketika kita memilih pasangan dengan cara yang haram, dengan cara pacaran, secara nggak langsung, kita beranggapan bahwa, saya lebih tahu dari Allah cara cari jodoh yang terbaik buat saya dan ini cara yang terbaik untuk mengikatnya." Ia lalu beralih menatap seluruh audiens. "Jangan sampai seperti itu ya, teman-teman. Allah lebih tahu yang terbaik untuk kita.

"Lalu bagaimana jika kita sudah tak bisa menahannya atau memendamnya? Ya Allah..., saya cinta banget sama dia! Pokoknya saya mau dia, gak mau yang lain, saya nggak bisa nahan perasaan ini ya Allahh...!" Fahmi mengangkat tangan seperti sedang berdo'aㅡberlagak jadi seseorang yang sedang kalut karena tidak bisa menahan diri lagi. Beberapa orang terkekeh karena menganggap ekspresi Fahmi yang dibuat-buat itu sangat lucu.

"Jawabannya adalah ...? Menikah. Tidak ada jalan lain bagi seorang mukmin yang jatuh cinta untuk mewujudkannya selain jalan pernikahan," ucapnya serius menatap Fathir sejenak, lalu kembali melanjutkan. "Tapi kan, nikah gak gampang, perlu modal, perlu ini, itu dan rentetan alasan lainnya. Padahal, menikah itu bukan hanya soal mapan dan tampan. Tapi, kesiapan. Menikah berarti siap berjuang bersama-sama, siap bertengkar setiap hari, siap menderita dan bahagia bersama-sama, siap beribadah seumur hidup, siap mengemban tanggung jawab dan amanah yang amat besar.

"Menikah bukan ajang untuk melampiaskan hawa nafsu, melampiaskan perasaan bernama cinta, bukan. Menikah adalah ibadah, sunnah Rasul, untuk menyempurnakan agama kita." Fahmi mengatakannya penuh penekanan namun lembut. Setiap kalimat yang terlontar selalu membuat pendegar terkagum-kagum. Bagaimana kaum hawa tidak mengidolakannya?

"Jadi, teman-teman, jangan takut memutuskan pacar yang hanya akan menambah dosa kita, jangan pula takut mewujudkan rasa cinta dengan jalan pernikahan. Justru dengan pernikahan, Allah akan mudahkan setiap urusan kita dengan pasangan kita. Carilah cinta yang halal, cinta yang diridhai oleh Sang Pemilik Cinta. Cinta yang berlandaskan kecintaan pada Sang Khalik. Itulah, cinta yang disebut cinta karena Allah."

"Buat kalian para makhluk cantik, jangan percaya kalau ada pria yang bilang kalau dia cinta sama kamu, aku sayang banget sama kamu, cuma kamu yang bisa bikin aku bahagia, cuma kamu satu-satunya ... Halahh! Gom-bal! Dus-ta! Mo-dus!" Semua peserta tertawa. Termasuk para laki-laki. "Cinta yang sesungguhnya, yang benar-benar itu hanya cinta dari pasangan suami istri yang sudah menikah. Kalau cinta, ya nikahi, bukan diumbar dan ngasih harapan palsu, betul gak?"

"Betuuull!" kaum perempuan menjawab dengan kompak dan semangat.

"Waduh, semangat bener. Jangan-jangan korban PHP semua, nih?" canda Fahmi membuat peserta perempuan tergelak.

"Nah, untuk para makhluk tampan, jangan jadi pria pengecut yang hanya berani mengumbar cinta tanpa niat membuat ikatan, mendekati tanpa menikahi. Duh! Please, be a gentleman! Sudahi atau halalkan!" Fahmi menaikkan intonasinya, lalu kembali merendahkan suaranya. "Perempuan itu makhluk lemah, kawan. Mahkluk perasa. Bawanya perasaan..., dibaikin dikit, baper, diperhatiin dikit, baper."

Semua tertawa.

"Perempuan itu rentan, mudah terluka, kayak kaca, mudah retak. Jadi, jangan coba-coba. Kalau kalian tidak berniat mengikatnya, jangan bermain dengan hatinya. Kalau memang cinta, buktikan dengan pinangan." Ruangan mendadak riuh dengan tepuk tangan.

Fatimah termenung lama, meresapi semua perkataan Fahmi. Hari ini, hatinya tertohok begitu banyak. Ia sadar, ia salah selama ini. Fatimah mengangkat wajah lalu mendapati Fathir berdiri dari tempat duduknya, meninggalkan aula lebih awal dari pada yang lain. Saat sampai di hadapan Fatimah yang berdiri di dekat pintu, mereka bersitatap. Namun, tanpa Fatimah duga, Fathir memutuskan kontak mata terlebih dulu dan melewatinya begitu saja.

Fatimah menyentuh dadanya, ada perasaan mengganjal yang tidak bisa ia mengerti.

Apa ini?

Apa dia berubah pikiran? Seharusnya, aku lega bukan?

Mungkin dia sudah tidak peduli lagi.

Ya, begitu lebih baik.

***

TBC.

Assalamualaikum...
Seharusnya nggak sampai ini, tapi sudah kepanjangan hehe. Semoga gak ngebosenin banget deh ya 😅😆

Salam kangen.

Tinny Najmii 🎈
.
.

Subang, 11 Desember 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top