Epilog
Zifa selalu percaya, bila dirinya tak pernah sendiri. Dia yakin bahwa di luar sana banyak orang seperti dirinya. Yang memiliki mimpi tak terhitung. Merekalah orang yang setiap waktunya tak pernah lekang dari pengharapan. Menerbangkan doa-doa yang mereka yakini akan terkabul suatu saat.
Mereka adalah orang-orang yang yakin bahwa harapan itulah yang membuat mereka lebih hidup di setiap napas yang mereka hirup. Karena mereka mengerti bahwa hidup ini ada tidak hanya untuk dibiarkan. Mereka tahu untuk apa mereka menjalaninya, apa yang ingin mereka capai semasa hidup.
Sayangnya, tak sedikit pula dari mereka yang harus jatuh karena harapannya. Terluka karena kehilangan mimpi terbesarnya sebelum terwujud sama sekali. Kemudian mereka memahami suatu hal, bahwa yang mereka anggap akan mendatangkan cahaya, juga bisa menjelmakan gulita. Di sinilah Zifa berada, menjadi salah satu dari mereka yang mengalaminya.
Cewek bermata coklat itu duduk di kursi teras belakang rumah. Menyapukan pandang pada genangan air sisa hujan tadi malam yang tampak beriak digoyang rumput di sekitarnya, pada ceruk bekas paving yang bagiannya hilang entah kemana. Mengenang kembali waktu pertama kali dia bertemu seorang laki-laki bermata hitam yang sorotnya dingin dan tajam. Mengingatnya membuat Zifa merasa seakan kembali melihatnya di sini. Mengejar sosok gadis berkuncir kuda yang dengan jahil melarikan kacamatanya di halaman belakang ini. Dua setengah tahun lalu ...
Butuh perjuangan panjang untuk dapat melihat pemilik mata setajam elang itu tersenyum, menaklukkan kebekuannya. Zifa harus menguatkan mental karena berkali-kali mendapat perkataan sinis dan penolakan darinya. Namun itu semua tak ada artinya apa-apa ketimbang niatnya yang begitu teguh untuk memulaskan warna pada hidup cowok yang hanya berisikan putih dan abu-abu layaknya awan di angkasa itu. Hingga akhirnya, dingin di matanya berubah teduh. Wajahnya yang selalu datar tanpa ekspresi berubah menghangat tiap kali besemuka dengan Zifa. Ya, hanya pada Zifa.
Betapa terlalu sempurnanya pemilik iris mata hitam itu di mata Zifa. Dia mampu membuat Zifa berharap terlalu banyak. Zifa masih ingat sekali, suatu hari cowok berkacamata itu pernah memberikan uang hasil lomba esainya untuk membantu Zifa yang terbelit hutang karena kesalahannya dalam bergaul. Dia berkali-kali membantu dan memberi Zifa pelajaran akan banyak hal. Dia juga telah mengorbankan begitu banyak mimpinya demi Zifa. Segala hal yang cowok itu lakukan membuat Zifa merasa nyaman. Sampai perasaan cinta perlahan membuat bunga dalam hatinya bermekaran. Membuat Zifa selalu ingin, ingin, dan ingin berada di dekatnya, berlindung di bawahnya.
Zifa terlalu sayang pada Virgo. Sampai kehilangan sosok itu pun terlalu membekaskan luka yang membuatnya hampir gila.
"Zifa?"
Zifa terperanjat mendengar sapaan bersuara agak berat menyangkut di telinganya, merusak suasana sepi yang cocok untuk mengenang masa lalu ini.
"Kak ... Rendra?"
Rendra tersenyum melihat ekspresi bingung Zifa, kemudian mendudukkan diri di sebelah meja yang mengantarainya dengan cewek yang selama ini dicintainya diam-diam itu. Zifa menegakkan badan, membenarkan posisi duduknya. Bersama Rendra sedekat ini membuatnya malu. Mungkin saja Rendra tengah berpikir mengapa dirinya tak menjenguk cowok itu sama sekali di rumah sakit. Tapi Zifa segera berpikir positif bahwa pasti Rendra tahu dia takut pergi ke sana.
Dia melirik sesuatu yang Rendra letakkan di pangkuannya. Menajamkan penglihatan. Rendra membawa sebuah diary berwarna lavender yang sepertinya cukup familiar di mata Zifa. Kalau tidak salah, yang waktu itu jadi bahan rebutannya dan Difta. Atau hanya kebetulan mirip saja.
"Kamu dari tadi kelihatan ngelamun mulu?"
Zifa hanya memandang Rendra dengan polos. Entah kenapa ada perasaan hangat ketika memandang wajah yang hampir mirip Virgo itu. Bukan seperti biasanya dia dekat-dekat dengan Rendra. Kali ini ada yang berbeda. Zifa susah mengartikannya.
"Kamu ... pasti masih sedih banget, ya, Fa?"
Kini Zifa menautkan kedua alisnya sembari menengokkan wajah lagi ke depan. Tak berniat untuk menjawab pertanyaan retoris tersebut. Sedangkan Rendra tertawa berdeham, menyisipkan sedih yang mulai menghantui hati.
"Kamu beruntung, Fa. Kamu masih sempat ditemuin sama Virgo dalam keadaan hubungan yang baik-baik aja. Sedangkan aku? Terakhir kita ketemu, kita lagi berantem. Nggak pa-pa kalau Virgo maafin aku dulu. Kalau enggak? Kapan aku minta maaf ke dia, Fa?"
Zifa masih diam. Kali ini dengan mata yang telah dilumuri selaput tipis dan tenggorokan kering yang susah digunakan untuk menelan ludah. Baik-baik saja? Zifa tak pernah merasa baik-baik saja sejak dia tahu bagaimana Rendra dan Virgo bertengkar sore itu. Tak pernah baik-baik saja setelah putus dengan Virgo. Dia hanya selalu berpura-pura.
"Waktu aku siuman, orang yang pertama aku cari itu Virgo. Aku tanya sama bunda, bunda jawab Virgo lagi pertukaran pelajar di Singapura. Dan aku percaya gitu aja." Rendra menarik oksigen sebelum melanjutkan paragrafnya.
"Dan waktu aku udah di rumah, aku nemuin ini, Fa."
Rendra menyodorkan lipatan kertas yang sudah begitu ludes dan kumal, seperti memang ditemukan dalam keadaan teremas bulat-bulat. Bersamaan dengan buku diary yang sangat Zifa inginkan dari dulu. Zifa menerimanya dengan tangan kaku seperti robot, hampir kelihatan tak sadar ketika mengambilnya. Melihat tulisan 'to Zifa', Zifa langsung bisa mengerti kalau itu memang buku lavender hadiah dari fans Virgo di hari ulang tahunnya ke tujuh belas.
"Emang udah kayak gitu waktu aku lihat pertama kali. Mungkin tanpa kertas itu, aku masih bakal kebawa sama kebohongan Bunda dan Ayah. Mungkin aku masih bakal terus berharap Virgo pulang cepat supaya aku bisa segera minta maaf. Tadinya aku juga heran kenapa Virgo nggak mau kuajak video call, kenapa cara Virgo bales pesanku beda, kenapa dia nggak bawa binder kesayangannya yg berisi rumus-rumus matematika dari aku. Ternyata ... surat itu menjawab semua kejanggalan yang aku rasain. Bahwa Virgo memang pergi, lebih jauh dalam waktu yang nggak bisa kita hitung pakai rumus serumit apapun."
Selama Rendra bicara, Zifa sibuk menjelajahi barisan kata-kata yang sangat dia kenali itu tulisan siapa. Tulisan Virgo. Kristal bening yang dari tadi Zifa tahan pun meleleh. Menetesi buku lavender di pangkuannya.
"Aku kaget banget, Fa. Apalagi denger cerita dari Bagas. Aku nggak nyangka kamu juga terlibat. Dan kamu tau siapa yang megang handphone Virgo? Ternyata ayah, hehe," kekehnya miris.
Sekuat tenaga Zifa menahan diri agar tidak menangis histeris di depan Rendra. Membaca surat dari Virgo hanya membuatnya kembali terpukul seperti saat pertama kali dia tahu sosok yang sangat dia cintai itu pergi dari dunia ini. Namun ada yang dia dapat dari sana, yang selama ini tak pernah Zifa sadari.
"Aku pulang dulu ya, Fa. Maaf kalau aku udah buat kamu sedih lagi. Aku cuma pengin kamu mengerti, kalau Virgo sebenarnya nggak benar-benar pergi dari hidup kita. Bukan hanya di hati kamu. Dia juga memberikan hidupnya untuk seseorang yang nggak pantas menerimanya sama sekali." Rendra tersenyum tipis sebelum kemudian bangkit dan beranjak dari kursi.
"Kak Rendra?"
Pemilik nama itu menoleh setelah Zifa memanggilnya dengan suara tercekat. "Iya?"
"Kak Rendra maafin Virgo, kan?"
Rendra tercenung. Tak mengerti kenapa Zifa bertanya hal demikian.
Zifa berjalan mendekati cowok itu. Melihat kebingungan dari sorot mata Rendra, Zifa tersenyum getir.
"Aku udah tau, Kak. Semuanya. Maaf kalau selama ini aku selalu pura-pura enggak tau." Zifa menelan ludah sambil menunduk sebentar, mengusap air mata yang mengalir di bawah hidung. Memberikan ruang bagi Rendra untuk mencernanya. Hanya butuh beberapa detik, sampai kemudian Zifa menatapnya lagi, dan dia pun paham apa maksud Zifa sebenarnya tanpa memerlukan penjelasan.
"Kak Rendra maafin Virgo, kan?"
Rendra mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas. "Tentu, Fa."
Lengkungan bibir Zifa tersungging lagi. Kali ini sarat akan kelegaan sekaligus kebahagiaan.
Dari Virgo, Zifa belajar akan banyak hal. Salah satunya adalah tentang sebuah sekat. Ketika banyak dari manusia mengartikan sebuah sekat sebagai penghalang dan pemisah, dari Virgo, Zifa mengerti bahwa sekat adalah sebuah pelindung. Yang menjaganya dari segala hal yang berlebihan.
Sekat ada sebagai tolok ukur atas seberapa jauh kita melangkah. Sekat ada sebagai batas di mana kita memang harus berhenti. Agar kita tidak melampaui batas. Agar kita tidak lelah. Agar kita tidak terlalu kecewa pada sesuatu yang tidak kita harapkan terjadi pada diri kita. Setinggi apapun kita mengharap, kita tetap memerlukan sekat.
Ya, manusia membutuhkan sekat untuk mengerti bahwa tidak ada yang 'selamanya' di dunia yang fana ini, bahwa semuanya akan berakhir pada waktunya. Untuk mengerti bahwa sakit akan semakin sakit jika kita enggan untuk menghentikannya. Untuk memahami bahwa mengejar kebahagiaan pun belum tentu selalu membuat kita bahagia. Untuk memahami betapa berharganya sebuah kata 'cukup'.
Manusia membutuhkan sekat, untuk tahu bahwa tak pernah ada yang baik dari sesuatu yang berlebihan.
Dan untuk mengakhiri segala dendam dan kesakitan yang seakan terlalu membuat kita menderita, kita perlu belajar menerima, memaafkan, kemudian melepaskan.
Lo bukan pemisah, Vir. Sama sekali bukan ...
●●●
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top