[5]

Bukan tidak mungkin seseorang yang kita sukai ternyata juga menaruh hati pada kita. Kita hanya harus lebih peka.

###

Air berkecipak ketika Virgo berlari dengan langkah panjang menyebrangi jalan raya. Kendaraan tak lagi berlalu lalang. Mungkin orang-orang malas keluar disaat hujan deras seperti ini.

Segera setelah Virgo sampai di sebuah halte, dikeluarkannya laptop dan beberapa buku. Takut ikut basah bersama tas punggung karena lupa membawa payung. Untunglah bagian dalam tasnya tidak basah, jadi dia tidak perlu menenteng laptop dan buku-buku tebalnya sampai sebuah bus menghampirinya.

Matanya memandang jauh menembus tetes hujan. Lama-lama kacamatanya mengembun dijatuhi titik-titik tempias.

"Permisi, Kak."

Virgo terperanjat ketika matanya menangkap bayangan kabur seorang cewek berkerudung yang tengah meletakkan payung di sampingnya. Kacamata yang baru dilap dia pakai. Meski tak sefokus menggunakan kacamatanya yang kemarin rusak, namun setidaknya sedikit membantu penglihatannya. Cewek itu familiar di mata Virgo. Cewek yang memanggilnya dengan nama Oka.

"Kak Virgo baru dari rumah pak Kirman, ya?" Pak Kirman adalah guru kimia kelas tiga, yang rumahnya berada dekat dengan komplek rumah Annisa.

"Iya," jawabnya singkat sambil tersenyum cukup lebar. Ya, lebih baik dari pada sekadar mengangguk dan berdeham seperti kebiasaannya sehari-hari.

Nisa terperangah. Lebih lagi disaat memar itu tampak tersembul jelas di pipi Virgo. Senyum aja sama! Apa jangan-jangan dia punya saudara kembar?

Virgo bimbang apakah dia harus menanyakan soal siapakah itu Oka atau tidak pada adik kelasnya tersebut. Seandainya tidak, apa dia akan pulang membawa sesal? Kemungkinan besar; iya.

Kekakuan mengepul bercampur dengan kesenyapan di antara mereka. Diam-diam, mereka sebenarnya ingin berusaha mematahkannya. Namun rasa segan satu sama lain yang mendominasi membuat usaha itu telantar sebagai rencana semata.

Hujan semakin deras seiring dua orang itu mematung. Keduanya pun kesal dan ingin memberontak.

"Kamu-"

"Kakak-"

Mereka tertawa kecil.

"Juga nunggu bus?"

Nisa tertegun. Ah, gara-gara saking canggungnya dia jadi lupa kalau harus cepat-cepat pulang. Padahal rumahnya dekat sekali dari halte.

"Em, hehe," tawanya jengah. "Sebenarnya rumah saya dekat, Kak."

"Dekat? Kenapa masih di sini?"

Hati Nisa semakin mencair dibuatnya. Ternyata kakak kelasnya yang terkenal dingin itu bisa lembut juga cara bicaranya.

"Nunggu ...," matanya menyapu rintik hujan itu. "Hujan reda!"

Virgo manggut-manggut saat Nisa membuang muka. Menyeringai atas keplin-planan dirinya hanya karena cowok yang mirip Oka itu.

"Oh iya. Saya jadi penasaran. Waktu itu, kenapa kamu panggil saya Oka?" tanya Virgo pelan penuh selidik.

Wajah Nisa langsung menegang. Pertanyaan itu mengunci dirinya. Melilit tenggorokan membuatnya lupa bagaimana cara bernapas dengan benar.

●●●

Suasana santai dipadu buaian lagu True Colours di dalam toko buku kini lebih diramaikan oleh derai hujan di luar. Rendra masih berkutat pada dua novel di tangan, menimbang-nimbang apakah dia akan membelinya atau tidak.

"Pulang kalo ujannya udah reda aja ya, Gas?"

Bagas yang sedang menatapi layar ponselnya cuma berdeham. Ketika pandangannya tak sengaja jatuh pada sesuatu, jantungnya berdebar-debar. Segera dia langkahkan kaki ke sana.

"Ck. Gas, menurut lo tulisan Judy Blume sama Ann Martin bagusan mana?"

"...." Tak ada jawaban.

"Gas?" Ternyata Bagas sudah tidak berdiri di belakangnya. Rendra menoleh ke sana kemari mencari sahabatnya. Sampai akhirnya dia pun mendapati berpasang-pasang mata pengunjung tengah menatap satu titik yang sama. Di mana dia menemukan Bagas. Sahabatnya itu seperti tengah bertengkar dengan seseorang. Ketika Rendra bergeser ke sebelah rak untuk melihat lebih jelas, perutnya mencelus.

Dia melihat Bagas tengah berusaha meminta maaf pada seseorang yang duduk di kursi roda itu. Seseorang yang tak asing bagi dirinya sendiri. Seseorang yang dulu selalu bersamanya dan Bagas. Genta, sahabat dekatnya. Dulu, jauh sebelum insiden yang membentuk selat luas di antara Genta dan Bagas terjadi.

Hati Rendra terasa sakit melihat bagaimana Genta menepis keras tangan Bagas yang hendak meraihnya. Lalu seseorang berseragam biru tua muncul dan mencegah perbuatan Bagas. Saat itulah Rendra melepas kacamatanya. Berharap hanya melihat bayangan kabur tanpa mengetahui makna sebenarnya.

●●●

Hujan masih turun dengan derasnya di luar. Suasana rumah Nisa yang begitu sederhana pun hanya diramaikan oleh derainya, juga suara gema sendok dan dinding gelas yang bertabrakan ketika cewek itu membuatkan kopi hangat untuk kakak kelasnya.

"Kamu suka Oka, ya, Nis?" tanya Virgo tanpa sedikit pun melepaskan tatapannya pada kertas foto yang memuat wajah Oka yang dibatasi garis berbentuk hati di sekitarnya. Ada wajah Nisa di belakang Oka. Wajahnya pias, tak ada senyum setipis pun.

Mendengar suara sayup-sayup Virgo dari ruang tamu itu, Nisa tersipu. Segera dibawanya secangkir kopi hangat tersebut keluar.

Baru ketika ada suara benda diletakkan di atas meja, Virgo melirik. Mendapati secangkir kopi di depannya membuatnya tergoda akan aromanya.

"Maaf, ya? Jadi ngerepotin kamu?"

"Nggak repot kok, Kak."

Setelah menyesap sedikit kopinya, Virgo kembali menatapi wajah Oka. Sambil menggeleng-geleng tak percaya, dia berkata, "Ini ... benar-benar sulit dipercaya, Nis."

Annisa memperhatikan Virgo secara lebih cermat. "Kakak ... beneran nggak punya hubungan apa-apa, sama kak Oka?" Dahinya mengernyit.

"Ng-" Virgo segera tersadar akan maksud ibunya.

Bunda nggak mau kehilangan lagi!

Ibunya bilang lagi. Sementara lagi adalah maksud tambahan. Jadi, bukannya tidak mungkin ibunya pernah kehilangan seseorang yang bisa jadi sangat berarti baginya. Tapi, siapa?

Virgo termenung kemudian. Apa jangan-jangan Oka ada di antara kemungkinan-kemungkinan itu?

"Kak?"

Dari alam khayal cowok itu kembali ke daratan. Tergagap. "Ah-em-emh ...."

Lembut tatapan Nisa perlahan menusuk pikiran Virgo seolah memaksanya secara halus untuk menjawab sesegera mungkin. Tapi, jawaban itu ternyata lebih rumit dari sekadar pitagoras dan logaritma.

"Saya nggak-"

Sekonyong-konyong pintu terbuka dan seorang cowok jangkung berseragam putih abu-abu yang tak rapi dibalut jaket kulit warna hitam yang tampak basah kuyup muncul. Dia mematung dengan mata melotot.

Virgo tersentak. Rahman!

"LO!!??" Rahman naik pitam begitu matanya menangkap sosok yang dianggapnya musuh duduk di rumahnya. Apalagi di depan adiknya. Dia pun refleks mengambil sapu yang kebetulan ada di balik pintu. Mengangkatnya tinggi-tinggi sambil berjalan cepat ke arah cowok berkacamata itu. Dia mulai kesetanan.

Nisa menggeragap. Tapi dia segera berdiri untuk mencegah perkelahian yang mungkin saja terjadi di antara kakaknya dan Virgo.

"STOP, KAK! STOP!" pekik Nisa sambil membentengi Virgo dari serangan Rahman yang hendak menimpakan gagang sapu. Rahman pun urung melancarkan aksinya.

"Kamu kenapa bawa cowok brengsek itu ke rumah?! Ha?!" bentak Rahman keras.

"Kak, jangan gegabah dulu. Dia itu bukan kak Oka!"

Rahman menautkan kedua alis. Marah sekaligus heran. Dia tidak pernah tahu kalau Oka punya kembaran. Matanya melirik murka ke arah Virgo yang menatapnya polos dengan mulut terkatup rapat.

"Jelas-jelas dia Oka! Kamu mau aja sih, dibohongin Oka yang lagi nyamar pake kacamata?!" Rahman terengah.

Nisa mulai jengkel menghadapi sifat keras kepala kakaknya itu. Sabar, Nis ....

"Makanya duduk dan dengerin penjelasan Nisa sama kak Virgo dulu. Namanya Virgo, dan dia kakak kelas Nisa, Kak."

Rahman tambah menggerenyotkan dahi. Lalu dia tertawa sinis. Matanya kembali mendapati Nisa yang menatapnya serius. Barulah Rahman menyerah dan memutuskan untuk menuruti adiknya. Selama Nisa mengoceh, Rahman terus memandangi Virgo sengit. Tapi sengit dan panasnya suasana mulai luruh setelah semuanya selesai dijelaskan. Wajah Rahman yang tadinya tampak seperti preman berubah menjadi pedagang yang tempatnya digusur satpol PP. Dia baru sadar bahwa ternyata dia sudah salah besar.

"Terus, sepeda sama-kacamata lo yang kemarin rusak ..., gimana?" Pundaknya melorot. Mendadak Rahman merasa panik.

"Bukan masalah besar," jawab Virgo singkat. Dia masih konsisten dengan ketenangannya.

Plong. Dada Rahman terasa lega dengan jawaban Virgo. Untung dia tidak disuruh menggantinya. Rahman kan lagi nggak gablek duit.

"Jadi, Kakak yang bikin kak Virgo babak belur gitu?!" Nisa merengut, kesal memiliki kakak nakal seperti Rahman.

Sayangnya Rahman yang masih bergumul dengan rasa bersalahnya karena salah orang sama sekali tak menggubris Nisa. "Aduh, sori banget, Bro. Bener nih, lo nggak minta ganti? Sori karna gue juga udah bikin lo bonyok. Gue pikir lo Oka."

Sambil membenarkan kacamatanya, Virgo mengangguk mantap.

"Tapi kok-kok muka kalian bisa sama persis kek anak kembar gitu, sih? Nggak masuk akal banget kalo kalian nggak punya hubungan saudara."

"Karena itu saya harap kamu bisa bantu saya, Man," ujar Virgo formal.

Rahman tepekur. Dia menoleh ke arah adiknya yang tengah merajuk. Sebenarnya Rahman tahu benar Nisa masih mengidolakan kembaran Virgo yang merupakan musuh bebuyutannya itu. Karena Oka, dia masih bisa melihat Nisa bernapas dan tersenyum di dunia ini. Hanya saja Rahman gengsi untuk berterima kasih pada Oka.

Cowok rambut ikal ini mengangguk menimpali Virgo. Dia sadar dirinya sudah terlalu menyiksa hati Nisa dengan permusuhannya dengan Oka. Mungkin dengan membantunya, Oka akan berubah. Dan dengan Oka berubah, maka hidup adiknya akan jadi lebih cerah.

●●●

Virgo memboncengi Zifa sampai depan rumah Fandi dengan sepeda lavender cewek itu. Untunglah jalan menuju rumah Fandi itu banyak turunan. Jadi Virgo tak perlu bersusah payah mengayuh sepeda membawa Zifa yang kata Bagas sudah naik beberapa kilo setelah liburan sekolah. Tidak usah tanya kenapa Bagas tahu. Dia adalah kakak pengertian yang sering menggendong adiknya ke kamar setiap Zifa tertidur di depan televisi.

"Itu rumahnya, Vir!" tunjuk Zifa pada sebuah rumah minimalis di tepi jalan. Virgo pun berhenti mengayuh sepeda Zifa di sana.

"Fa, Vir, yuk masuk!" Cowok beralis tebal yang duduk di depan rumah mempersilakan kedua anak yang baru datang ini masuk.

Ruang tamu rumah Fandi sudah ramai oleh beberapa anak di dalamnya.

"Ciee, Zifa bawa raja olimpiade, nih," tembak Winda, seorang cewek bertubuh gempal yang duduk di karpet dekat meja. Yang tanpa diketahui siapa pun membuat pipi cewek yang dimaksud merona. Sementara Virgo tampak datar seperti biasanya. Meski dalam dirinya jantung itu tengah berdebar-debar.

"Ya-ya ... gu-gue bawa Virgo itu kan buat bantu kita ngerjain tugas," jawab Zifa salah tingkah.

"Cie, salting." Fandi lewat membawa nampan lebar berisi beberapa gelas minuman dan dua toples makanan ringan. "Udahlah, akuin aja. Entar pajak jadiannya kerjain PR kita aja, deh," guraunya sambil cengengesan.

"Enggak, Fan. Kalo gue mau Virgo bikinin contekan biologi, hehe," kekeh Hendri, cowok mata panda di samping Jihan yang lalu menyela kegiatan menulisnya dengan menoyor kepala Hendri sambil mencibir.

"Wah, rame banget, nih!" seru seseorang dari belakang. Semua anak-anak berseragam SMA itu menoleh ke arahnya dengan senyum dan sambutan hangat.

"Ini kakak gue, Guys. Namanya Genta." Dapat dilihat jelas, Fandi tampaknya tak sungkan mengenalkan kakaknya yang ada di atas kursi roda. Dia langsung membantu kakaknya mendekat ke arah teman-temannya.

"Ini Kak, ada Jihan, Winda, Zifa, Virgo, dan yang itu mah nggak perlu dikenalin."

Hendri cemberut, mentang-mentang dirinya selalu diajak Fandi main ke rumah, dirinya jadi tidak disederajatkan dengan yang lain.

Pandangan Genta terpaku pada satu cowok berkacamata yang duduk di sebelah cewek bersweter navy itu. Wajahnya mirip seperti teman lamanya. Dan sama persis seperti anak sulung ibu tirinya. Genta jadi heran, sangat heran. "Kamu ...," katanya seolah tak percaya, "kamu adiknya Rendra?"

Lengkungan tipis di bibir Virgo tampak merubah wajah datarnya. Dia sebenarnya sedang terheran. "Kakak kenal kakak saya?"

"Ya, temen sebangku waktu SMA. Berarti kalian yang beda setahun itu kan? Muka kalian sama banget."

Virgo cukup tertawa kecil.

"Eh, Virgo bisa ketawa juga," canda Hendri.

"Ooh ..., kakaknya Virgo pasti juga sama kayak adiknya, ya, Kak? Jenius, gitu," oceh Fandi.

"Iya, Fan. Dulu kakaknya Virgo ini sering dijulukin profesor karna saking pinternya. Udah gitu paling muda lagi. Anak sekelas sampe cuma bisa geleng-geleng waktu liat dia selesai paling awal tiap habis ulangan fisika, hehehe."

"Wah, Kak Genta kenal kak Bagas juga, dong!" terka Zifa tiba-tiba.

Seluruh otot dalam tubuh Genta meregang mendengar nama 'Bagas' disebutkan oleh cewek bersweter itu. Dahinya berkerut. "Kamu kenal Bagas?"

Zifa mengangguk semangat. "Iyalah. Orang dia kakak saya."

Semua kejadian masa lalu berputar dalam otak Genta begitu cepat. Tapi dalam satu kedipan dia berhasil menghentikannya. Senyumnya perlahan tersungging. "Ya ... dulu dia juga temen saya."[]

●●●

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top