[31]
Kalau masalah bisa diatasi dengan sekali jujur, kenapa harus berputar-putar dengan kebohongan? Yah, walaupun itu menyakitkan.
###
"Rendra …."
Pemilik nama itu menoleh ke arah pintu setelah menyibak lembar halaman novel selanjutnya. Senyuman lembut seketika tersungging di bibirnya. Cewek yang dia tunggu kehadirannya itu akhirnya datang. Bukan karena dia tak pernah menjenguk Rendra, dia justru rajin membesuk temannya itu dua hari sekali. Namun ada sebuah hal penting yang ingin Rendra katakan, agar dia tidak lagi terbelit dalam perasaan tak nyaman di hatinya atas segala perhatian yang cewek itu berikan selama ini. Rendra ingin mengakhiri semuanya hari ini juga. Dia tak ingn membuat cewek itu kelelahan sendiri.
"Gimana kabarnya hari ini? Udah tambah baik?" Tangan Naura refleks mengambil buah pir di atas nakas. Kemudian duduk di sebelah brankar Rendra. Memotong-motongkan buah tersebut untuk Rendra. Sejak Rendra siuman, dia memang setia mengabdikan diri menjadi pemotong buah pribadi Rendra. Sederhana, namun mampu membangunkan kesadaran Rendra yang merasa selama ini telah menyakiti perasaan Naura tanpa dia sengaja.
"Udah. Gue bahkan ngerasa bisa lari kencang saat ini juga saking gue ngerasa sehat banget. Lusa udah boleh pulang."
"Oh ya? Wah, seneng ih, kita bisa ketemu lagi di kampus."
Rendra pura-pura tertawa santai. "Sayang sekali, lo mesti buang fakta itu jauh-jauh, Nau."
"Lhoh? Kenapa?" Naura menautkan kedua alisnya sambil berhenti mengiris buah di tangannya.
"Ayah bilang gue harus gantung kuliah selama setahun buat perawatan. Gue bener-bener harus berhenti total buat ngelakuin hal-hal berat. Nggak bisa bayangin deh gimana bosennya. Udah gitu, Virgo lagi pertukaran pelajar lagi, tiga bulan." Rendra mengakhirinya dengan decakan.
Naura menunduk, lantas tersenyum getir. Rahasia itu masih tetap terjaga rapi ternyata.
"Masa ya, Nau, dari kemarin Virgo gue hubungin buat vidcall atau telponan biasa. Tapi dia balesnya lagi sibuk mulu. Ya kali kan, di sana sekolah dua puluh empat jam? Kerja lembur bagai kuda, dong."
Naura tertawa terbahak-bahak demi membuat Rendra tak curiga kalau dia sedang menjaga benteng pertahanannya agar tetap utuh. Dia tak mau Rendra tahu semuanya hanya karena melihat dirinya menangis.
"Mungkin di sana susah sinyal kali, Ren."
"Idih, mana mungkin susah sinyal? Singapore, Naura!" serunya, melafalkan 'Singapura' dengan bahasa Inggris yang fasih.
"Nih, makan!" Naura menyuapkan seiris buah ke mulut Rendra.
"Enggak papa kalau harus stop setahun kuliahnya, Ren. Ini kan juga demi kesehatan dan kesembuhan total lo."
"Iya sih. Tapi masa lo tega sih, gue jadi mahasiswa abadi?"
Naura terpingkal lagi. "Ya enggaklah. Lo kan pinter. Lo pasti bisa ngejar ketertinggalan lo, Ren. Lagian lo masih muda, selow ajalah."
Bibir Rendra yang tengah bergerak mengunyah, tersenyum. Ada kesedihan yang bisa Naura baca di sana. Tapi dia tak mau mengambil kesimpulan terlalu cepat.
"Nau, gue mau ngomong sesuatu. Tapi setelah gue ngomong, lo harus janji tetap ada di samping gue. Lo nggak boleh jauhin gue."
Cewek itu terdiam menatap Rendra dalam ketidakmengertian. Tapi dia mengangguk patuh.
Rendra memandangi mata Naura dengan lembut, namun pasrah di saat yang bersamaan. "Selama ini, gue tau gue udah bikin lo tersiksa dengan perasaan lo ke gue. Gue bukannya enggak peka, Nau. Gue cuma nggak bisa bales perasaan lo. Gue sadar kalau gue bukan orang yang pantes buat lo. Gue lemah. Gue enggak mau kita kebalik, di mana justru lo yang ngelindungin gue, bukannya gue. Jadi tolong, Nau. Cukup sampai di sini lo nyiksa diri lo sendiri. Cukup sampai di sini aja lo berharap. Jangan terlalu jauh. Gue nggak mau lo kecewa. Kita jadi sahabat aja, itu udah lebih dari cukup."
Naura sangat terperenyak. Tenggorokannya tersekat seketika. Lidahnya kelu dan dia benar-benar tak tahu harus bilang apa. Jadi, selama ini diam-diam Rendra tahu tentang perasaannya?!
"Maaf, Nau. Gue emang nggak tau balas budi."
Seluruh pertahanan Naura yang tadi sempat hendak runtuh, sebentar lagi benar-benar akan segera berguguran. Kekuatan yang selama ini menopangnya untuk tetap berusaha menunggu sosok yang dia cintai menghilang begitu saja. Membuat jiwanya terasa limbung, namun tubuhnya tetap dalam posisi duduk tegap, kaku. Dia tampak gugup tiba-tiba.
"Kalau lo merasa harus balas budi, maka lebih baik jangan, Ren. Gue paham." Dia mengerjap meredam panas yang terasa menyelimuti bola matanya. Lalu meletakkan piring irisan buah itu di atas nakas.
"Lo tenang aja. Gue bakal berusaha nepatin janji, kok, Ren. Gue pergi dulu." Naura sempat agak bingung dia harus pergi lewat mana. Perkataan Rendra masih terasa membekas, memecah konsentrasinya. Sebisa mungkin dia berjalan seperti orang normal, walau di balik itu semua dia sedang mencoba meraih apapun di sekitarnya untuk menyeimbangkan diri. Dia akhirnya bisa keluar. Lalu duduk di kursi tunggu. Menata dirinya kembali. Akan tetapi rasanya sia-sia, Naura tak sanggup lagi menahan tangisnya. Dia akhirnya tergugu menahan isakan.
Sementara Rendra yang hanya bisa menatap kepergian Naura hanya menghela napas. Menyemogakan dalam hati bila ini yang terbaik.
Seseorang duduk di sebelah Naura tanpa dia sadari.
"Lo kenapa, Nau?"
Naura segera mengusap air matanya cepat-cepat. "Enggak, enggak pa-pa."
"Lo nangis sampai mata lo merah, dan lo masih bisa ngomong enggak pa-pa?" Bagas megerutkan dahinya, tak habis pikir dengan makhluk bernama perempuan.
Naura yang tadinya sudah diam, melihat Bagas kelihatan khawatir, akhirnya tak bisa lagi untuk menahan isakannya.
"Gue, gue enggak tau harus gimana lagi, Gas, hiks, hiks."
"Maksud lo, Nau?"
Naura menggigit bibir bawahnya yang terus gemetar. "Kenapa? Kenapa Rendra jahat sama gue, Gas? Kenapa dia nyuruh gue tetap ada di sampingnya sementara dia juga nyuruh gue lupain perasaan gue?"
Bagas yang Naura pikir tak pernah mengetahui perasaannya pada Rendra, akhirnya paham mengapa air mata dari sosok yang pula diam-diam dia sayangi itu berderai. Dia menarik pundak Naura mendekat. Memeluknya untuk membuatnya tegar. Naura tak melawan. Dia langsung menumpahkan seluruhnya di sana, dalam rengkuhan orang yang selama ini hanya terukir dengan nama sahabat di hatinya.
"Nau, gue tahu lo kuat. Tapi kalau lo ngerasa sulit buat bertahan, lo boleh jadiin gue sebagai tempat pelarian. Gue selalu ada buat lo, Nau. Nggak peduli lo cuma bakal singgah sementara, gue cuma berharap lo udah lebih lega begitu lo pergi," bisik Bagas untuk menenangkan. Dan kalimat-kalimat itu pun langsung membuat Naura mengerti arti perkataan Zifa di teras kafe pada waktu itu.
Bang Bagas biar cari yang lain.
Ternyata, selama ini, Naura telah menjatuhkan hati pada orang yang tidak tepat. Dan setelah semua yang terjadi, dia pikir tak ada salahnya untuk berhenti menunggu. Tak ada salahnya, untuk membuat Bagas tidak perlu mencari yang lain.
●●●
Dia terus mengganti channel televisi. Hari ini acaranya bikin bosan semua. Lalu berhenti ketika melihat Spongebob sedang mencari tanda pengenalnya yang hilang di bak sampah bersama Patrick. Menggapai makanan ringan di atas nakas.
Mamanya sedang pergi. Michelle dan Velin datang nanti sore. Roni dan Denis pun belum pulang sekolah. Kata dua sahabatnya itu, gara-gara tawuran yang mengakibatkan dirinya dirawat di rumah sakit seperti ini, bukannya diskors, mereka diberi hukuman membersihkan toilet dan rooftop selama satu bulan. Guru BK pasti sedang agak berbaik hati membiarkan mereka yang telah membantu Oka tetap mengikuti pelajaran. Pasti bukannya membersihkan, mereka malah menjadikan rooftop sebagai tempat bermain kartu dan merokok. Seperti biasa.
Samar, Oka mendengar daun pintu dikatupkan. Tapi tak ada yang masuk. Dia hanya mengedik. Tak menghiraukannya.
Lalu terdengar lagi suara yang sama. Membuatnya berdecak.
"Kalau mau masuk, tinggal masuk, woy! Lo pikir ini rumah gue?" serunya tanpa berpikir jika kemungkinan itu dokter atau siapapun yang lebih tua darinya. Membuat kepalanya yang dibebat perban terasa berdenyut.
Ketika pintu akhirnya terbuka, dia memang melihat sosok yang lebih tua darinya. Lebih tua dua tahun. Si cowok rambut ikal yang selama ini dia cap sebagai musuh bebuyutan.
Mata Oka berubah menajam dan dingin. Berbeda dengan Rahman yang justru menatapnya dengan pancaran rasa bersalah yang begitu dalam. Akan tetapi, mengingat bahwa waktu itu dirinya dalam keadaan mengemis maaf dan dia belum mendapat ampunan, Oka pun segera menata lagi raut wajahnya. Merasa kalau dirinya tetap harus meminta maaf, segengsi apapun. Cowok berkumis tipis itu berjalan pelan mendekati brankar Oka.
"Sori, lo tau ini rumah sakit, kan? Gue enggak mau berantem di sini. Enggak sopan," kata Oka dengan tenang tanpa bermaksud menyulut perdebatan.
Rahman tak menimpali. Dia justru menarik kursi di depan sofa, mendekatkannya ke arah Oka dan duduk di sana.
"Gue seneng lo udah mendingan," ujar Rahman dengan senyum tulus. Membuat Oka merasa lucu, ketika musuh bebuyutan yang biasanya selalu menampangkan wajah sombong dan gahar itu sekarang tersenyum penuh makna kepadanya.
"Thank's." Oka memasukkan makanan lagi ke mulutnya. Lalu menawarkannya pada Rahman. "Lo mau?"
"Buat lo aja, makasih."
Suasana berubah canggung sekarang. Rahman tak juga mengutarakan maksud kedatangannya. Ya maksudnya, tidak mungkin kan Rahman tidak punya tujuan apapun atas kedatangannya menjenguk Oka? Selain itu juga, Oka merasa malu untuk mengatakan maaf. Entahlah, dia tidak yakin untuk mengatakannya saat ini. Merasa bahwa tempat ini sedang menjadi teritori kekuasaannya dan harusnya Rahman yang memulainya.
"Lo udah tau tentang Virgo?" tanya Rahman memecahkan senyap yang melanda.
Oka langsung berpaling ke arah Rahman. Mengingat penyataan Virgo saat itu, mendadak jantungnya berdegap tak keruan. "Virgo kenapa?"
"Virgo meninggal, Ok."
Dua kata itu sontak membuat Oka tercengang bukan kepalang. Tapi dia menyembunyikannya dalam diam. Lalu mencoba bersikap biasa saja, sambil kembali memakan camilannya dengan tangan gemetar. Seolah tak bersedih, meski Rahman tahu dari rahangnya yang mengeras, sesungguhnya Oka pasti merasa sangat hancur. Apalagi, dengan kepergian Virgo yang terlalu mendadak.
"Lo mau tau?"
Rahman menatap Oka tak paham.
Oka menelan ludahnya sambil membuang muka. "Dia udah pamit sama gue duluan, Man. Dia bilang sama gue, dia mau donorin jantung buat kakaknya. Apa itu enggak gila? Gue yang bahkan denger aja langsung ngerasa hampir kayak kehilangan akal, Man. Gue kira dia bercanda, tapi—" Oka menggelatukkan giginya untuk menahan emosi berbaur sesal yang terasa membuncah. Menutup mata untuk menahan air yang hendak turun dari sana. Menghela napas untuk menenangkan diri.
"Waktu itu gue bahkan sampai ngehajar dia. Cuma gara-gara dia nyuruh gue minta maaf sama Nisa, adek lo."
Rahman tersentak dalam diam. Dia pun hampir menghajar Virgo habis-habisan karena kelakuan Oka.
Pertanyaan-pertanyaan tentang sebab Virgo meninggal terasa berputar-putar membuat kepala Oka pening. Namun itu tak berlangsung lama, karena memikirkan kenyataan tentang Virgo saja sudah cukup membuatnya kehilangan tenaga tanpa melakukan apa-apa. Dia merasa tak akan lagi punya jalan untuk membongkar semua rahasia dalam keluarganya. Satu-satunya jalan yang dia punya kini menghilang. Buntu. Dia akan tetap terjebak dalam dunianya yang dulu. Selama dia hidup.
Rahman sepertinya mengerti kalau Oka tak mau lagi membahas tentang Virgo. Maka dia pun tidak akan mengungkitnya lagi.
"Ok …." Rahman menyatukan kepalan tangannya. Bersiap untuk melepas semua dendam yang tersemat dalam hatinya pada cowok di hadapannya.
Oka menatapnya lemah.
"Gue mau damai sama lo. Gue mau minta maaf," Rahman berkata dengan tulus.
Melihat itu, Oka benar-benar tak bisa menahan senyum. Mau seberapa besar dendamnya pada Rahman yang belum terbalaskan, dia pikir saling memaafkan memang lebih baik. Setidaknya, meski Oka tak akan mungkin kembali bersama keluarga kandungnya, dia punya kehidupan yang lebih baik sekarang.
"Gue pikir kita impas. Tapi tetep aja, Man, gue nggak lega kalau belum minta maaf langsung sama Nisa."
"Kalau lo mau, lo bisa ketemu dia sekarang." Rahman tersenyum lalu bangkit dari duduknya. Berjalan keluar dan menuntun masuk seorang perempuan dengan pakaian tertutup.
Oka terkesima melihatnya. Nisa tampak malu-malu di belakang kakaknya. Segan mungkin.
"Tuh, Nis. Kamu akhirnya bisa ketemu orang yang kamu kagumi diam-diam selama ini," goda Rahman.
Nisa yang kini berdiri di samping brankar Oka, tersipu. Sekali pun Oka sudah memperlakukannya secara tak terhormat, dia tetap masih menyimpan perasaan cinta dalam hati pada cowok itu. Meski intensitasnya tak lagi sebesar dulu.
"Hai, Nisa. Gimana kabar kamu? Kakak denger kamu sakit?"
"U-udah lebih baik, Kak," jawab Nisa sambil melirik Rahman. Dia sangat malu dan gugup sebenarnya, harus bertemu Oka dalam jarak pandang yang begitu dekat seperti ini. Tapi seperti yang kakaknya bilang, Oka mau meminta maaf padanya.
"Kakak minta maaf, ya, udah bikin kamu kecewa atas perasaan kagum kamu sama Kakak? Kakak emang nggak pantes punya pengagum rahasia kayak kamu." Oka menatap Nisa dengan tatapan sesal.
Nisa tersenyum lebih lebar. "Aku udah seneng banget Kak Rahman sama Kak Oka damai. Aku maafin Kak Oka, kok," katanya dengan mata berbinar. Setelah sekian lama menunggu momen ini, dia akhirnya bisa merasakan kelegaan mengaliri dadanya, menyejukkan hati. Menghidupkan lagi apa yang selama ini terasa mati.
Kini mereka sama-sama sadar, kalau ternyata kehadiran Virgo telah mengubah banyak hal dalam hidup mereka. Dan mereka sangat berterimakasih.
●●●
Pagi ini adalah pagi pertama Rendra bangun di kamarnya sendiri. Kali ini dia tidak tersenyum ke arah partisi kaca, tepatnya ke arah lantai atas rumah Zifa. Tapi dia tersenyum ke arah ranjang Virgo. Jujur saja Rendra merasa tidak apa-apa jika dia tidak bertemu Zifa, cewek itu bahkan tak menjenguknya sama sekali, tak tahu kenapa.
Dia justru tengah merasa tersiksa dengan rasa rindunya pada Virgo. Oh, Rendra benar-benar tak sabar untuk bertemu adiknya. Mengucapkan segala maaf, mengajaknya jalan-jalan berkeliling kota sambil bercerita seharian penuh. Penolakan Virgo untuk diajak bertemu melalui panggilan video atau pun suara membuat Rendra merasa sangat jauh dari adiknya.
Dia menggeliat, lantas beranjak keluar kamar untuk menunaikan shalat shubuh di mushala rumah bersama sang ibu karena Raka harus menangani pasien di rumah sakit. Tak lama kemudian dia sudah kembali lagi ke kamar.
Rendra langsung duduk di meja belajar. Menghela napas sambil meregangkan otot jemari. Rendra rasa di hari pertama pending-kuliah-setahun ini harus dia gunakan untuk membuat jadwal kegiatan yang akan dia lakukan sehari-hari. Dia mencari buku catatannya di laci. Ketika menariknya, Rendra terheran.
Dilihatnya buku binder kumpulan rumus matematika pemberian Rendra yang biasanya tak akan Virgo tinggal, terutama saat olimpiadenya. Dan Rendra pikir tak mungkin juga Virgo tinggal saat dia pertukaran pelajar seperti ini. Atau mungkin ketinggalan?
Buku yang dia cari belum juga bisa ditemukan. Dia kemudian mencari di rak. Namun yang dia temukan adalah buku diary lavender, dengan tulisan 'to Zifa' yang sangat Rendra kenali kalau itu torehan tangan Virgo. Dia mengernyit. Bukankah ulang tahun Zifa masih cukup lama?
Dia ingin mengambil ponsel untuk menghubungi Virgo. Tapi urung ketika dia menginjak sesuatu saat duduk lagi di kursi. Diambilnya kertas yang telah diremas bulat-bulat, oleh Virgo barangkali. Sempat ingin Rendra buang secara langsung ke bak sampah, jika saja matanya di balik kacamata tak menyambar tulisan yang sama seperti yang ada pada buku lavender.
Dia pun membukanya. Membacanya hingga sesak memenuhi dada. Harapannya terasa raib, sekali pun dia tidak tahu yang dia baca itu benar atau salah. Seolah tak sadar, kakinya reflek berjalan keluar dengan langkah tertatih. Meninggalkan kertas yang ternyata berisi surat Virgo kepada Zifa itu di atas meja. Rendra bingung. Dia tak mengerti apakah surat itu juga berisi kebenaran atau tidak. Dia hanya terlalu terkejut. Tertohok. Membuat pikirannya kacau dalam sekejap.
Enggak mungkin, enggak mungkin …
Sampai di ambang pintu dapur, dia berhenti, sejenak mengamati ibunya yang tengah mengiris-iris sesuatu di atas talenan. Matanya sudah memanas.
Mengingat semua keganjilan yang dia rasakan; perasaan tak enak ketika dia membuka mata dan Virgo tak ada di sampingnya, cara Virgo membalas pesannya yang berbeda dari biasanya, mengapa Virgo enggan diajak video call dan ditelepon, mengapa Virgo tak membawa buku binder penuh rumusnya. Itu semua memang belum cukup jadi bukti kuat untuk menyimpulkan bahwa surat itu berisi fakta. Akan tetapi Rendra sudah tak kuat lagi untuk berdiri. Dia segera menarik salah satu kursi meja makan.
Devina yang mendengar suara bergesel langsung menolehkan wajah.
"Lhoh? Masakan Bunda belum mateng lhoh, Ren," katanya setelah fokus lagi pada kegiatannya memotong tomat.
Rendra menangkupkan wajah pada telapak tangan. Meraupnya berkali-kali.
Apa itu benar?
Dia masih sangat terguncang. Mencoba untuk menghalau pemikiran buruknya. Tapi semakin dia ingin mengabaikan, justru mimpi buruk itu semakin terasa nyata.
"Bun …," panggilnya dengan bibir bergetar
"Iya?"
"Igo pulang kapan?"
Devina menoleh pada Rendra lagi dengan tiba-tiba, merasa tidak beres dengan cara Rendra mengucapkannya yang terasa seperti meratap. Air muka Rendra pun kelihatan tegang.
"Kok kamu nanya itu mulu, sih? Bunda kan udah bilang berkali-kali. Dua bulan lagi," jawab Devina sedikit gemas. Dengan perasaan sedih yang kembali menggerayangi jiwanya.
"Bunda yakin? Bunda bisa buktiin? Minimal, dengan cara nelepon Igo?"
Devina terkesiap. Ada apa dengan Rendra? Kenapa tiba-tiba bertanya demikian? Tapi sebisa mungkin Devina masih bertahan untuk tidak hanyut pada kecurigaannya dan malah membeberkan segalanya
"Jam segini pasti Igo lagi sibuk siap-siap buat berangkat lah, Ren."
"Igo enggak bakal pulang kan, Bun?" Rendra mulai terisak.
Devina langsung mendekat ke arahnya, duduk di sampingnya. Apa maksud Rendra?
"Kamu ngomong apa, Rendra?" Devina menatapnya tak percaya. Mengapa Rendra bisa berkata seperti itu?
"Jujur sama Rendra, Bunda. Bilang kalau Igo nggak bakal pernah pulang lagi. Bener, kan?" Tangisnya kian sesenggukan.
Devina meraih puncak kepala Rendra. Namun Rendra menghindar.
"Igo pulangnya dua bulan lagi, Rendra," tandasnya demi membuat Rendra yang entah kenapa tiba-tiba bersikap seperti itu menjadi yakin.
"Bunda jangan bohong lagi sama Rendra, Bun. Yang donorin jantung buat Rendra itu Igo, kan? Iya kan, Bun?!"
Mata Devina terbelalak. Dia sangat tertampar mendengar Rendra berujar. Tidak mungkin Rendra tahu!
Rendra menatapnya putus asa sekaligus penuh kecewa. "Kenapa Bunda bohongin Rendra? Kenapa semuanya selalu bohongin Rendra? Rendra tahu Rendra lemah! Tapi kenapa harus bohong sama Rendra? Kalian pikir Rendra nggak akan cukup kuat buat tahu semuanya?!"
Devina segera menggeleng. "Enggak, Rendra. Engga—"
"Ambil aja, Bun! Ambil aja jantung Igo!"
"Rendra, stop!"
"Ambil! Rendra terlalu lemah buat gantiin Igo! Rendra nggak pantes nerima ini!"
"RENDRA, BERHENTI!"
Rendra tersentak. Lantas tersedu dengan perasaan pilu yang mengiris hatinya.
"Virgo ikhlas, Ren. Virgo ikhlas memberikan hidupnya untuk kamu. Dengan ini dia akan selalu ada untuk kita. Virgo hidup dalam diri kamu, Ren. Kalau kamu nolak, sama saja kamu bunuh Virgo. Kamu nggak kasian sama Virgo? Sama Bunda? Sama ayah? Sama orang yang menyayangi kamu dan juga Virgo? Ha?" Akhirnya Devina mengakui semuanya. Kalau Rendra saja sudah mengetahuinya, tak mungkin lagi dirinya berbohong. Karena dua bulan bukanlah waktu yang lama, dan dia yakin, Rendra tetap akan mengetahui segalanya. Merasakan sakit yang sama.
Rendra meremas dada kirinya. Bukan karena sakit. Dia hanya masih tak percaya kalau jantung yang berdetak dalam dirinya adalah jantung milik adiknya sendiri.
Dia sangat tidak menyangka kalau ternyata Virgo lah yang telah rela memberikan hidup untuknya. Adiknya yang sedang dia tunggu-tunggu kehadirannya, yang ingin sekali dimintainya maaf, yang dia rindukan lebih dari siapapun, sekarang tak akan pernah dia temui lagi. Dia kini hidup dalam diri Rendra. Menyatu dengan Rendra. Yang membuat Rendra sangat menyesal adalah, kenapa dia harus kehilangan Virgo dalam keadaan hubungan yang renggang. Kenapa dia harus berpisah dengan Virgo sejauh ini sebelum dia meminta maaf.
"Udah cukup, Ren. Bunda lelah kehilangan anak-anak Bunda." Dipeluknya Rendra erat-erat. Menyatu bersama tangis yang entah bila kapan akan mereda.
●●●
Panjang lagi hahaha, gapapa yaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top