[29]

Selamat hari Simbok, Gais 😘😘ihihihi. Maklumin aja saya kan anggun gitu ya alias anak nggunung. Akhirnya bisa apdet, baru selesai. Part-part terakhir walau kelihatan gampang di bayangan, tapi begitu nulis susahnya mpe keluar masuk kamar mandi. Udah ah, cekidot!

~

Kita memang ditakdirkan untuk menjadi seperti Awan dan Pelangi. Yang selalu dekat, namun tak pernah ditakdirkan untuk bersatu.

###

Hari-hari Zifa tak pernah sama lagi sejak Virgo pergi. Benar orang-orang bilang, cuma butuh beberapa detik jatuh cinta pada seseorang, namun rasanya butuh bertahun-tahun untuk melupakannya. Terlalu percayanya Zifa menganggap hal tersebut sampai-sampai dia pun seolah tak akan pernah bisa untuk bahagia.

Jiwanya masih saja terperangkap dalam gulita, tanpa pernah sedikit pun membuka kemauan untuk menerima cahaya dari orang lain untuk meneranginya kembali. Dunianya berubah hampa, seakan dirinya melayang-layang di luar atmosfer, ringan tapi sesak sekaligus. Luka itu pun sampai kini masih membara. Terkadang meletup-letup sampai Zifa hampir merusak segala yang ada di hadapannya.

Dia memang sering sekolah. Namun jiwanya tak pernah benar-benar ikut. Zifa tak pernah benar-benar tidur. Ketika bangun, dia akan diseret Bagas ke kamar mandi, kalau Zifa tak kunjung mengguyurkan air ke tubuhnya, mau tak mau Bagas yang melakukannya, memberinya sampo dan membilaskan rambutnya, lalu memberinya sabun, meski tak akan digosokan benar-benar ke seluruh tubuh oleh Zifa.

Di sekolah, Jihan dan Winda yang mengurusinya. Cukup membawa Zifa untuk duduk di kelas, lalu berbicara tentang sesuatu sebanyak mungkin demi mengalihkan pikirannya barang sejenak, walau akhirnya selalu gagal. Zifa hanya akan menatap kosong ke arah sesuatu, tak benar-benar mendengar. Kadang Winda dan Jihan yang meminta izin kepada guru yang mengajar, membawa Zifa ke UKS demi menghindari terkena hukuman.

Tak ada yang pernah 'benar-benar' kecuali untuk hal menyedihkan. Zifa sudah ahli sekarang. Terlalu ahli dalam kesedihan sampai dia melupakan semua keceriaan yang dulu selalu dia suguhkan di hadapan orang-orang.

Semua orang benar-benar tak percaya, kalau ternyata, sependiam apapun orang seperti Virgo, se-enggak asyiknya Virgo diajak bercanda, nyatanya mampu mengubah banyak hal dalam hidup Zifa setelah kehilangan dirinya.

Karena Virgo.

"Ya Allah, Zifa ...."

Mama Zifa masuk ketika anaknya itu tengah meringkuk di bawah jendela kamar, mencengkram kedua lututnya, dengan isak tangis tak bersuara. Keadaan kamar sangat berantakan, baju dan boneka yang tertata rapi dalam lemari sudah berhamburan keluar, berserakan. Segera saja ditariknya Zifa yang tadi ke dalam dekapan.

"Kamu kenapa jadi begini, Fa?" rintih wanita itu dengan hati teriris.

"Virgo pergi, Ma .... Virgo pergi ninggalin Ifa sendirian ...," Zifa mulai meracau yang tidak-tidak.

"Hussst ..., Zifa, jangan gitu. Mama sedih kalau kamu begini. Ini udah ada Mama, Sayang. Kamu yang tenang."

"VIRGO, BALIK! BALIK LO, VIR!" Kini Zifa menjerit-jerit keras.

Mama Zifa benar-benar tak bisa menahan diri melihat anaknya begitu lagi. Dia menamparnya, tak keras, namun cukup membuat Zifa terbelalak seketika, menatapnya dengan ketidakpercayaan bila yang menampar adalah mamanya sendiri.

"Istighfar, Zifa!"

Zifa yang masih terperangah akhirnya menangis dan ganti memeluk ibunya. Mengesatkan air matanya di sana. Jauh di dalam dirinya, Zifa sebenarnya tahu ini semua salah. Tapi entah kenapa rasanya emosi Zifa tak lega untuk membiarkan Virgo pergi begitu saja, merelakannya dengan tabah. Zifa selalu ingin mencari tempat pelampiasan. Dan kini dia ingin menghentikan semua perasaan yang begitu kacau ini. Karena Zifa sudah lelah.

"Kepergian Virgo itu bukan hanya karena takdir. Tapi juga peringatan bagi kita agar kita selalu ingat, bahwa semua yang ada di dunia ini nggak ada yang abadi. Pelajaran bagi kita untuk bisa merelakan apa-apa yang pernah kita miliki. Dan buat kamu, Virgo pergi supaya kamu lebih dewasa dan mandiri. Nggak bergantung sama dia lagi." Mamanya menasehati.

"Tapi kenapa, Ma? Ifa juga masih bisa dewasa, kan, sama Virgo? Kenapa Virgo harus pergi? Atau karena Virgo terlalu baik buat Ifa, terus Allah ngambil Virgo?"

Wanita di hadapannya merenggangkan pelukan sebentar. Menatap anaknya lekat-lekat dengan lembut untuk membuatnya mengerti.

"Justru Allah ngambil Virgo karena Allah punya pengganti yang lebih baik buat Ifa."

●●●

Sejak siuman, Rendra benar-benar hanya bisa diam sambil berkedip-kedip, menatapi langit-langit ruangan. Bukan apa-apa, dia hanya sedang merenung. Bersyukur atas kebaikan Tuhan yang masih memberinya kesempatan untuk menghirup oksigen dan melihat ibunya di sampingnya. Lama-lama dia jadi merasa janggal, kemana adiknya? Kenapa Virgo tak ada di sini? Apa dia masih segan dengan Rendra?

Kalau saja Rendra bisa bertemu Virgo sekarang juga, sumpah demi apapun, dia yang justru akan minta maaf pada adiknya.

"Bunda ...." Akhirnya Rendra mau membuka suara.

Wanita yang tengah mengupas apel di sampingnya mendongak.

"Iya, sayang?" tanyanya dengan senyum hangat. Menyembunyikan kesedihan yang masih begitu membelenggu dengan irama ketegaran di bibirnya.

"Igo mana, Bunda?" tanya Rendra tanpa menatap ibunya.

Pertanyaan polos itu membuat Devina terperangah, senyumnya membeku. Dirinya langsung mati kutu. Hati dan pikiran yang tadi sudah tertata rapi kini berantakan lagi. Pedih yang sempat dapat dibendung berhamburan kembali. Pecah dalam hening yang tak mungkin Rendra pahami. Dadanya mulai sesak.

Siapapun yang berhubungan dengan Rendra sudah bersepakat untuk menyembunyikan perihal meninggalnya Virgo dengan berbagai macam cara yang telah direncanakan. Semata-mata dilakukan agar Rendra tak tertekan dan memperburuk kesehatannya. Devina tak tahu bila seandainya, cepat atau lambat kepergian Virgo diketahui oleh Rendra. Apa yang akan dia perbuat?

Tapi sungguh, sulit rasanya bersikap baik-baik saja ketika hati dalam keadaan sehancur-hancurnya.

"Igo lagi ikut pertukaran pelajar ke Singapura," jawabnya dengan memaksakan suara agar kedengaran biasa saja, masih dengan senyum palsu.

"Oh, ya? Seneng banget tuh anak jalan-jalan mulu?" Rendra terkekeh. Dia sangat bangga mendengar berita tersebut. Namun entah akan sekacau apa jika dia tahu hal sebenarnya kalau itu hanyalah salah satu cara yang Devina gunakan untuk membuat semua tampak normal.

Devina ikut tertawa. Walau hatinya sedang menangis.

"Lama ya, Bun?"

"Mungkin tiga bulan."

"Wah, lama juga ya. Cuma bisa vidcall-an doang berarti?" Rendra mengerutkan keningnya. Ada kekecewaan yang terselip. Akan tetapi dia akan menunggu adiknya pulang, selama apapun itu.

Devina berlirih dalam hati, Tolong, Ren, jangan bikin Bunda nggak kuat begini ...

"Terus, yang donorin Rendra jantung siapa, Bunda?"

Pertanyaan itu sama sekali tak ada dalam daftar kemungkinan yang akan Rendra tanyakan. Membuat Devina tak lagi dapat berpura-pura tersenyum. Ingin dia lari dari ruang ini, dari hadapan Rendra, untuk sekadar melampiaskan tangis yang ingin sekali dia keluarkan.

"Yah, siapapun yang mendonorkan jantungnya untuk Rendra, Rendra sangat berterimakasih," ucapnya tulus. Masih dengan tatapan lurus ke arah plafon di atas sana.

●●●

"Kamu belum kasih tahu istrimu sama sekali?"

Raka menoleh ke arah temannya, lalu menggeleng sambil tersenyum. Saat ini dia berada dalam perjalanan menuju ruang rawat salah satu pasien. Rumah sakit tersebut bukan tempat Raka berprofesi, letaknya pun cukup jauh dari rumahnya.

Berhari-hari semenjak diberi tahu Satya tentang seseorang yang mirip dengan anaknya, Raka tak pernah sabar untuk menantikan momen ini. Orang yang dimaksud memang belum siuman sampai sekarang. Tapi setidaknya Raka telah melihatnya walau hanya sekejap. Dan bila itu memang dia, maka Raka akan melakukan apapun demi kesembuhannya.

Satya sudah mengetahui banyak hal tentang Raka, terutama keluarga dan tentang hilangnya salah satu anak bungsunya yang kembar. Mereka sebenarnya belum lama berteman, dua tahun lalu sejak rapat di sebuah forum ikatan dokter se-Jakarta. Berlanjut dengan rapat-rapat lain, dan di sela-sela waktu saling bercerita tentang keluarga masing-masing. Kemudian berkunjung ke rumah satu sama lain.

Sampai di ambang pintu, Raka justru baru ingat dia belum menanyakan apa.

"Oh iya. Orang tuanya siapa, Sat?"

"Elizabeth..., siapa ya? Aku lupa." Satya membuka pintu.

Raka sedikit menautkan kedua alisnya. Elizabeth? Dia kemudian menggeleng. Nama itu, tentu banyak yang memilikinya. Dugaan tersebut tak sampai bertahan lama begitu langkah kakinya tanpa sadar menuntunnya hingga sampai di samping brankar pasien.

Mata Raka benar-benar membulat penuh menatap wajah di hadapannya. Wajah itu memiliki gurat yang sama persis dengan putra bungsunya di setiap inci bagian. Mulai dari wajah tirus, dahi yang lapang, alis datar dan tak terlalu tebal, hidung kecil yang sedikit mancung, juga bibir tipis. Benar-benar tak ada yang terbuang.

Apa anak ini benar-benar anakku?

"Kamu masih yakin tetap akan mengambil sampel darahnya untuk tes DNA? Ini semua bahkan sudah jelas, Ka. Terlalu jelas untuk ukuran orang yang cuma kelihatan mirip sekilas," ujar Satya seolah tahu kata hati Raka.

Raka tak fokus pada perkataan Satya. Saking tak percayanya, tubuh Raka bahkan sampai gemetar seluruhnya.

"D-dia ke-kenapa, Satya?"

"Perdarahan otak. Kata temannya kena pukul balok kayu waktu tawuran." Satya tersenyum kecil di akhir kalimatnya.

"Seberapa luas?"

"Nggak terlalu luas, tapi kalau seandainya waktu itu nggak segera dibawa kemari, aku nggak tau apakah masih bisa menunjukkan dia sama kamu atau enggak."

"Ya Allah ...." Mendadak Raka tak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. Walau masih hanya sebatas tahu wajah yang kesamaannya seratus persen dengan Virgo itu, tetap ada bahagia yang terasa menyengat dada. Melambungkannya ke awan setelah berhari-hari terpuruk dalam jurang. Tapi dia tak akan berharap lebih banyak dulu. Dia tak ingin kecewa pada akhirnya.

Perlahan tubuhnya luruh ke lantai. Bersujud. Dia merasa tetap harus mensyukuri karunia Tuha yang satu ini. Tak peduli jika akhirnya tak akan sesuai dengan ekspektasinya. Diam-diam Raka berdoa dalam sujudnya, memohon supaya dia tetap bisa berdiri tegar dan tetap tabah kalaupun anak itu bukan anak kandungnya. Karena dia yakin, entah itu apa, Tuhan akan menggantikan apa yang hilang.

Dan ketika dirinya bangun sambil menyeka air mata yang ternyata sudah mengalir di pipinya, seseorang masuk, membeku memegangi daun pintu.

Dari tatapan tercengang itu, Raka semakin yakin, bahwa Tuhan memang tak pernah membuatnya kecewa.

●●●

Santai aja kalian gaiss

Saya bawakan yg pendek pendek aja menjelang ending (1500-an ini pendek kan?) Biasanya sampai 2000-3000, soalnya lagi nggak nafsu bikin yg panjang

Tinggal beberapa langkah kita di akhir cerita! Tetap bertahan yaaaa!

Terus, kasih saran dong gais. Jangan jadi silent reader mulu ah. Nggak usah sungkan kasih komentar!

Dan jangan lupa pencet bintang di bawah sana

!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top