[25]

Seringkali manusia sombong. Memilih menyesal terlebih dulu untuk tahu bahwa dirinya salah.

###

Pletak!

Pulpen biru sukses mengenai ubun-ubun Oka. Membangunkannya dari lamunan. Sepertinya Pak Slamet cocok jadi atlet lempar lembing.

"Oka! Jangan mentang-mentang nilai kamu bagus akhir-akhir ini, kamu jadi seenaknya melamun waktu pelajaran saya! Sini, kamu!"

Cowok bengal itu merutuk sembari mengambil benda biru panjang sialan yang mengenai kepalanya itu. Seluruh cewek hanya memandangi Oka dengan tatapan jutek. Tak peduli lagi mau Oka ditenggelamkan ke Samudra Pasifik sekalipun.

"Keluar dari kelas saya sekarang juga!"

Bukannya takut, Oka malah tersenyum sinis di depan Pak Slamet, guru biologinya.

"Gedung ini dibangun siapa, Guys?!"

"Tukang bangunan!" Roni menjawab.

"Duitnya pake duit siapa?"

"Duit muridnya, dong!" Denis yang langsung berapi-api.

"Tuh, denger jawaban seperti itu, Bapak masih bisa dengan pedenya ngomong kalo ini kelas Bapak?"

Cowok berambut model 3-2-1 yang duduk di baris depan itu padahal sudah geram mau mengulurkan tangan. Alisnya menaut tajam. Tangannya mengepal erat. Andai dia bisa brutal, selepas ini dia bakal menghajar Oka sampai tak berbentuk.

Namun Pak Slamet sudah lebih dulu menenteng buku-bukunya dan keluar dari kelas itu dengan keprihatinan yang sangat pada satu muridnya tersebut.

"Kurang ajar lo, ya?!" Adi akhirnya angkat suara. Mendorong tubuh Oka keras sampai mundur beberapa langkah.

"Heh Pak Ketua cemen! Kemana aja lo barusan!? Kalo lo mau maki-maki gue gini, harusnya tadi di depan Pak Slamet sekalian!"

"Gue bukan tipe cowok begajulan kayak lo, ya! Gar-"

Oka yang semakin membabi buta mengamuk pada Adi. Dia memukul si ketua kelas itu berkali-kali. Cowok-cowok menatapinya dengan mata antusias, mendukung malah. Sementara cewek-cewek menjerit-jerit, bingung harus bagaimana mau melerai dan terus saja menyalahkan pihak cowok. Dua pawang Oka tentu tak boleh diam saja. Roni dan Denis spontan turun tangan berusaha menghentikan sahabatnya itu.

"Ok, udah, Ok! Udah!" Denis memeluk tubuh Oka dari belakang. Tapi Oka memberontak. Tangannya masih mencengkeram kuat kerah kemeja Adi. Sebaliknya Adi hanya menutupi wajahnya yang kemungkinan sudah babak belur dengan lengannya.

"Berhenti, Ok!" gertak Roni yang terus berusaha melepas cengkeraman itu. Alhasil dua kancing atas kemeja Adi lepas bersamaan dengan Oka yang berhasil dijauhkan darinya.

Anak-anak langsung bersimpati pada Adi dan membantunya bangun. Bahkan beberapa cewek langsung berlari ke UKS mengambilkan obat untuknya.

Oka masih dibekuk kedua temannya. Dadanya kembang kempis. Sisa kemarahan masih mendidih, namun berangsur reda. Melihat tatapan anak-anak itu, Oka merasa malu. Tatapan mereka penuh keseganan dan benci seolah mau menjauhinya selamanya. Seakan-akan, di mata mereka itu, Oka adalah monster yang patut dihindari dan dijauhi.

Di saat seperti ini, dia justru merasa terkucil. Bukannya bangga karena ditakuti.

Barulah dia menyesal saat mengingat perkataan Virgo. Kembarannya itu benar. Dia memang tidak seharusnya bertindak seperti ini.

"Lepasin gue, We, Den. Gue mau minta maaf," putusnya dengan nada suara yang begitu pasrah.

Roni membelalak tak percaya. Seorang Oka mau minta maaf? Lagi pula, hellow, belum ada sepuluh menit pertikaian itu terhenti. Dan Oka sudah mau minta maaf?

"Lo baru dibaptis, Ok?" heran Denis.

"Lo jangan nekat lagi dong, Ok."

"Gue mau minta maaf, We, Den. Apanya yang salah?"

Denis dan Roni saling tatap. Denis mengangguk ragu. Tapi mereka tetap melepaskan Oka. Dalam hati mereka berdoa supaya Tuhan memang telah memberikan hidayah untuk Oka.

Cewek-cewek di sekitar Adi kontan menepi melihat Oka datang mendekati mereka. Mereka berdebar cemas Oka mau me-replay hal tadi lagi.

Nyatanya, Oka menunduk. Wajahnya kelihatan muram. Sebenarnya dia gengsi mau mengatakan maaf. Tapi sekali lagi Virgo benar.

"Maafin gue, Di. Gue udah jadi cowok yang nggak bener selama ini. Lo maafin gue, kan?" Oka mengulurkan lengannya.

Cewek-cewek di sekitarnya merasa terkejut. Oka minta maaf? OKA?!!

Dengan senang hati Adi membalas tangan Oka. "Semua orang selalu punya sisi baik, Ok. Cuma, orang punya cara beda-beda untuk memperlihatkannya. Tenang aja, pemberian maaf gue selalu terbuka buat siapa aja. Entar lo minta maaf juga deh, sama Pak Slamet."

"Thanks." Lantas Oka keluar dari kelas. Berniat meminta maaf pada Pak Slamet. Menyisakan tanda tanya besar di benak teman-temannya.

Yang tadi itu benar-benar Oka?

Hitung-hitung, sebagai pemanasan juga untuk meminta maaf pada Nisa.

Di luar kelas, ternyata Aldi sudah setia menunggu Oka. Raut wajahnya masih sama setiap harinya. Tertekan. Kasihan sekali itu anak.

"Udah, Al. Tugas lo tamat. Gue mau tobat," cengir Oka ketika berhenti di hadapannya.

Aldi langsung bengong. Tapi dia tak lantas bergembira lepas jabatan begitu saja. Oka saja tidak serius sewaktu mengatakannya. Lagi pula ada hal genting yang harus dia sampaikan.

"Tapi ini ada SMS dari bang Rahman, Bang. Ini ...," Aldi meperlihatkan layar ponselnya pada Oka.

Mata Oka sontak terbelalak. Sepertinya akan ada perang besar hari ini.

●●●

Virgo menarik napas begitu panjang begitu tulisan yang telah dia buat-setelah berkali-kali mengulang-selesai. Di dekat kakinya, teronggok tempat sampah yang dipenuhi kertas-kertas yang telah dia remas bulat-bulat.

Diletakkannya bolpoin di antara jari tengah dan telunjuk. Kemudian membaca setiap kalimat yang terangkai dalam kertas tersebut dengan saksama.

Virgo sangat berharap bahwa segala keputusan yang telah dia teguhkan dapat memperbaiki semuanya. Awalnya senyum itu menyungging cukup lebar. Lalu di bagian-bagian tengah menuju akhir, lengkungan itu hilang sama sekali. Ada bagian-bagian yang terasa ngilu di hatinya. Sakit ketika harus mengatakan selamat tinggal secara diam-diam.

Virgo menatap jendela sejenak. Entah mengapa dia merasa bodoh dan pilu sekaligus saat membaca surat tersebut. Apakah semuanya akan berhasil? Apakah Tuhan akan mendukung pilihannya? Dia mengharap ini bukan suatu penyimpangan, namun juga skenario dari Tuhan. Namun ketika dia merasa yakin, justru harapan itu terasa semakin sulit terkabul.

Apa akan tetap baik-baik saja?

Rasanya Virgo ingin mengerang. Karena dia pikir tak memungkinkan, lagi-lagi tangannya yang beraksi, meremukkan kertas di ujung jari-jarinya. Membanting kertasnya ke lantai, membuangnya sembarangan, sampai menggelinding di antara kaki meja yang tak terjangkau oleh penglihatan.

Di saat bersamaan, ponselnya bergetar. Lengangnya suasana rumah membuat getaran ponsel itu menjadi suara yang cukup memekakkan. Bersamaan pula dengan suara motor matic yang berhenti di depan rumahnya. Virgo sangat familiar dengan deru motor itu. Difta.

Namun dia memilih untuk mengangkat ponselnya lebih dahulu.

"Halo, Vir?"

"Kak Bagas? Ada apa, ya?"

"Lo ... tau nggak, hh, adek gueh, di manah?" Napasnya terdengar terputus-putus di seberang telepon.

Tok ... tok ... tok .... Pintu luar diketuk. Disusul suara Difta, "Assalammu'alaikum!" Virgo hanya mengulurkan leher memandang keluar pintu kamar.

"Aku tadi nggak masuk sekolah, Kak. Kenapa, ya?"

"Zifa sampai sekarang belum pulang Vir," Virgo kontan melirik jam dinding. Jam sudah menunjukkan pukul lima. Seharusnya dia sudah pulang satu setengah jam lalu kalau tidak ada jam tambahan. "Gue udah sana-sini jalan kaki gara-gara ban motor gue bocor, motor Zifa mogok, tapi nggak ketemu. Tuh anak juga! Ditelpon kagak diangkat! Gimana nggak cemas, coba?!"

"Kakak udah ke sekolah?"

"Belum sih. Cuma gue udah tanya Winda. Katanya udah pulang."

"Virgo?! Assalamu'alaikum!" Tok ... tok ....

"Em, biar aku periksa di sekolah deh, Kak. Nanti kalau ketemu aku telfon lagi."

"Oke, Vir. Thanks, ya?"

"Iya, Kak." Tut ... tut ... tut.

Segera disambarnya jaket yang tergantung pada kapstok. Lantas berlari keluar.

"Assalam-Lhoh?!" Difta terkejut begitu orang yang dicarinya keluar tiba-tiba dan langsung menutup pintu lagi lalu menguncinya. Dia mengernyit heran.

"Wa'alaikum salam!"

"Ada apa, Bren?"

"Zifa ilang, Dif!"

"Ipeh ilang!?"

"Ayo, cepet!" Tanpa permisi diambilnya kunci motor Difta yang menggantung di ritsleting tas cowok itu.

"Kemana?!"

"Ayo!" Virgo kelihatan tergesa sekali. Dia sudah menghidupkan mesin motor. Dan ketika Difta baru duduk di belakang dengan seribu kebingungan yang mengetuk-ngetuk kepalanya, cowok berkacamata itu melajukan motor sekencang mungkin.

"Ampun, Bren! Gue masih mau idup! Mau nembak Arinda dulu, woy!" Dia memeluk Virgo erat-erat.

●●●

Roni misuh-misuh sehabis membersihkan WC gara-gara disuruh menggantikan Oka untuk dikenai hukuman. Lagi-lagi cowok itu kabur lebih dulu. Sementara di sampingnya Denis berjalan sambil ketawa-ketawa sendiri menatapi layar ponsel. Cepat sekali mengubah suasana hatinya setelah berlelah-lelah menunaikan hukuman bersama Roni.

"Si Oka mana, sih?! Bolos nggak ngajak-ngajak!"

Denis menyisir rambutnya asal dengan jemari. "Yang penting, kan, dia udah insyaf, Man! Palingan bolos buat hal positif, lah."

"Bolos buat hal positif, pala lu!" caci Roni sambil menoyor kepala cowok itu.

"By the way, apa jangan-jangan dia lagi ketemu sama Virgo, ya?"

"Ha?" tanya Denis setengah peduli. Matanya masih terpaku pada ponselnya. Setelahnya tertawa sendiri.

"Em, enggak-"

"Kalo bang Oka kenapa-napa gimana, Al?"

Roni kontan membekap mulut Denis yang terus saja terpingkal ketika matanya mendapati Aldi dan Rizki yang sedang duduk di sudut koridor, membicarakan Oka.

"Ya makanya! Gue tuh bingung, Ki! Kalau gue nggak ngomong ke bang Roni sama bang Denis, takutnya bang Oka kenapa-napa. Tapi kalo gue ngomong, gue takut bakal diinjek-injek lagi sama bang Oka! Bang Rahman bilang dia juga bakal sendirian!"

Denis turut mengerutkan alis mendengar semua itu. Tak meronta lagi.

"Tapi ini menyangkut nyawa, Al. Bang Rahman bisa ngelakuin apa aja ke bang Oka! Secara, kita nggak tahu apakah bang Rahman emang bener sendirian atau enggak. Nah, bang Oka? Dia bener-bener sendirian, Al!"

Roni sudah muak menahan penasaran. Dia pun memunculkan diri di depan Aldi. Meremas kerah kemeja Aldi secara kasar. Matanya tajam menusuk manik mata Aldi.

"Sekarang jawab gue, di mana Oka?!"

●●●

Virgo tak mengerti kenapa dia punya firasat buruk terhadap paviliun di belakang rumah yang berdiri di hadapannya ini. Begitu sampai pun Virgo seperti disuruh menghentikan motor oleh instingnya. Seakan dia pasti akan kecewa jika melewatkannya.

Difta mengernyit memandangi rumah utama. Dia sangat mengenali rumah itu. "Ipeh di rumah Fandi, Bren?"

Virgo memandangi speedometer motor Difta dengan tatapan menerawang. Berpikir sungguh-sungguh untuk turun dari motor dan memeriksa keberadaan Zifa di sana atau tidak. Logikanya berpikir jangan, karena kalau dipikir-pikir, ini akan menjadi kebodohan Virgo untuk kedua kali. Spekulasi yang amat konyol.

Namun hatinya berkata iya, Virgo harus ke sana. Paviliun itu seolah tengah melambai ke arah dirinya, menyuruh Virgo masuk.

"Bren?"

Virgo mendecak dalam hati. Sulit rasanya memilih antara akal atau perasaan. Keduanya penuh dengan pro kontra. Dia mencoba mematahkan asumsinya. Tapi, entah kenapa hatinya merasa berat ketika dia hendak melajukan motornya lagi. Teringat mimpinya malam itu, Virgo jadi merasa seakan-akan bahwa mimpi itu adalah sebuah tanda yang mana ada kaitannya pula dengan Zifa, serta dugaannya ketika bertemu Bagas yang baru bertengkar dengan Genta beberapa hari lalu.

Apa jangan-jangan benar? Tanpa pikir panjang lagi, Virgo turun dari motor.

"Dif, kamu yang cek Zifa ke sekolah ya? Biar aku cek di sini."

"Lhoh, Bren. Kenapa nggak sekalian kita berdua aja sih, yang cek?"

Akan menjadi hal bodoh bila Virgo beralasan dia ingin mencoba mengecek rumah itu sekadar iseng membuktikan apakah mimpi dan prasangkanya benar-benar sebuah petunjuk.

"Nanti kalau Zifa masih di sekolah, kamu antar dia pulang dulu. Habis itu jemput aku di sini."

"Tapi Ipeh kan biasanya pake sepeda?"

"Iya, sih." Virgo berpikir sekali lagi. Apa tindakannya itu terlalu bodoh? Sebelumnya Virgo pernah tidak melakukan apa yang hatinya bilang. Dan akhirnya dia menyesal. Makanya kali ini dia akan menurutinya.

"Nggak pa-pa, Dif. Kamu pastiin aja Zifa pulang dengan selamat sampai rumah."

Difta mengerling konyol. Dia merasa lucu melihat air muka Virgo yang tampak khawatir, yang mana biasanya tetap diekspresikannya dengan poker face. "Cie, yang kagak mau bebebnya kenape-nape. By the way, lu kagak cemburu?" godanya.

Virgo menampangkan wajah datarnya dengan mata tajam dan dingin ke arah Difta. Difta langsung mengerti. Sahabatnya itu ingin dia pergi secepat mungkin. Dia pun berlalu, sambil terkekeh di sepanjang komplek itu.

Segera setelah Difta tidak lagi kelihatan punggungnya, Virgo memasuki area rumah itu. Tadinya dia ingin pergi ke rumah utama dulu, sebab tidak etis bila dia langsung melipir ke rumah di belakangnya tanpa permisi. Namun langkah Virgo telanjur berhenti di depan paviliun itu.

Apa tindakanku ini bodoh? Dia sudah mengulurkan tangan menuju daun pintu. Tapi urung, mengira bahwa ini hanya perasaannya saja yang sedang kacau karena khawatir dengan Zifa. Oh, Virgo benar-benar ingin tertawa sekarang.

Sayangnya, baru selangkah dia hendak meninggalkan rumah itu, suara yang sangat familiar di pendengarannya terdengar sayup-sayup dari dalam. Membuatnya berbalik lagi.

"Zifa?" gumamnya dengan mata melebar. Jantung Virgo berdentam-dentam. Sekarang, dia benar-benar sangat khawatir. Khawatir bila mimpi itu benar-benar terjadi.

●●●

Tolong kritik sarannya dong Guys. Sumpah lagi butuh banget ini. Part ini kayaknya berantakan banget, apalagi bagian terakhirnya, bagusnya gimana ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top