[21]

Betapa sulit membangun kepercayaan orang yang telah telanjur membenci kita.

###

Kanker? Annisa kena kanker pankreas?

Cerita Rahman masih terngiang-ngiang dalam pikirannya. Terakhir, cowok rambut ikal itu bilang kalau dia tak akan membiarkan Oka begitu saja. Rahman ingin balas dendam. Hal itulah yang membuat Virgo takut. Dia cukup mengenal Rahman. Cowok itu tak akan mengingkari perkataannya.

Dia mendesah berat. Kenapa semuanya jadi tambah runyam seperti ini?

Dia terpaku di tempat, melihat dua orang bertengkar di depan ruang rawat kakaknya. Virgo kenal siapa mereka. Dan dugaan-dugaan buruk yang lama terlupa itu kini terungkit lagi mengusik pikirannya. Seolah meminta Virgo untuk memperhatikannya lagi. Memikirkannya lagi.

"Genta, plis, sekali ini aja!" Bagas berusaha menerobos pertahanan pria yang terus menghalanginya untuk meraih seorang cowok yang duduk di atas kursi roda itu.

"Penjelasan lo nggak cukup, Gas. Nggak akan pernah cukup," tegas Genta dengan pandangan penuh akan rasa sakit yang tak tergambarkan seberapa besarnya. Seolah dia tengah menenkankan agar Bagas berhenti mengais maaf darinya. Kemudian berbalik, pergi dengan mendorong kursi rodanya sendiri. Disusul pria di depan Bagas setelah cowok berambut jabrik itu terdiam di tempat. Menunduk dalam-dalam.

"Kak Bagas?"

Bagas tampak terperanjat sebelum akhirnya berpaling ke arah Virgo. Mencoba tersenyum dengan berat hati.

"Baru pulang, Vir?"

Virgo tak balas senyum, atau mengangguk. Dia hanya menatap Bagas dengan penuh simpati. Sekaligus penuh tanya.

"Kak Genta sampai sekarang masih marah sama Kakak?"

Bagas melumat senyumnya. Akhirnya ada satu orang lagi yang mengetahui masalahnya ini.

"Gimana enggak? Gue udah hancurin hidup dia, Vir. Dan hampir terjadi juga sama Rendra." Bagas meneguk ludah. Tenggorokannya terasa tercekat. Pandangannya kemudian beralih, menembuskan tatapannya ke arah Rendra melalui jendela pintu. "Ternyata segini susahnya mengembalikan kepercayaan orang yang telanjur benci gue."

Virgo menghela napas. Sejenak dirinya menyangkal kalau pikirannya mungkin salah terima. Namun segala dugaan itu kini terasa lebih jelas. Bahwa dirinya telah salah paham terlalu jauh.

●●●

Sekian menit Virgo menahan semuanya di tenggorokan. Matanya kosong menatap kedua pasang sepatunya. Begitu banyak yang ingin dia sampaikan. Akan tetapi entah bagaimana memulainya.

Oka yang bingung sendiri dengan sikap Virgo akhirnya bangkit dan mengambil bola basket di bawah kursi semen lain. Bisa saja dia melempar bola itu pada Virgo kalau dia tidak bangun-bangun dari lamunannya.

"Vir, lo tuh sebenernya kenapa sih, ha?" geram Oka sembari memantul-mantulkan bola itu. Bukan tanpa alasan Oka bersikap seolah tak tahu apa-apa di depan Virgo selama beberapa hari terakhir ini. Marah, tentu dia masih merasakannya. Namun setelah kejadian itu, entah mengapa dia kehilangan alasan untuk melampiaskan amarahnya pada kembarannya tersebut. Seakan dia diharuskan untuk lebih baik menahannya.

"Kamu yang kenapa, Ok?! Kenapa kamu pakai nyelakain Nisa segala ha?!" Akhirnya benteng kesabaran Virgo runtuh.

Bola itu lantas dibiarkan menggelinding ke sembarang tempat. Oka menoleh dan berjalan ke arah Virgo. Emosi mulai membersil dalam benaknya.

"Nyelakain Nisa?" Dia berdiri di depan Virgo sambil berkacak pinggang. Dengan mata yang membeliak tak percaya atas apa yang Virgo bilang. Tapi dia segera menguasai diri menyadari kalau Virgo pasti dapat berita itu dari Rahman.

"Kamu kan, yang ngelecehin Nisa?! Kamu apain aja dia, sampai kondisi dia drop?!"

Oka tak menjawab. Hanya tatapan matanya yang sangat intens menusuk iris legam milik Virgo tepat pada manik matanya di balik kacamata. Yang kini juga tengah menatap Oka dengan begitu sinis. Keseriusan itu pun mampu menjawab kalau Oka memang telah melakukan kesalahan.

"Kemoterapi yang udah bikin kepala dia botak, Ok. Dia itu sakit parah. Kamu mikir sampai situ nggak, sih?!"

Tidak. Otak Oka terlalu tumpul untuk bisa berpikir jauh sampai hal seperti itu. Tapi hati Oka tidak terima dengan perkataan Virgo yang seolah secara tersirat menyampaikan sebuah fakta kalau Oka itu cowok bodoh.

"Ini karena elo, Vir! Karena lo udah nusuk gue dari belakang, dengan cara lo kompromi sama Rahman! Iya, kan?! Dia itu musuh besar gue!"

Perlahan mata sinis itu membulat. Jantungnya mulai berdetak lebih kencang. Tak percaya. Sejak kapan Oka tahu semuanya?

Oka tersenyum mengejek. "Tuh kan, lo langsung kicep? Kenapa, Vir? Gue bener, kan?" Alisnya naik satu.

"Ka-kapan kamu t-ta-tahu?" Virgo tergagap.

Dia memutar mata sambil tersenyum penuh kemenangan. "Nggak usah nanya, Vir! Dari dulu gue juga udah curiga kalau lo itu cuma penipu!"

Penipu ... penipu ... penipu ...

Entah kenapa perkataan itu terus berdengung dalam kepalanya. Menamparnya. Menikam hatinya telak. Rasanya sangat sakit ketika Oka mengganggap bahwa dirinya seorang penipu.

Tapi Virgo sadar. Dia memang sudah menjadi penipu bagi banyak orang selama ini. Apalagi yang membuat kakaknya terjebak di ambang batas hidup dan mati kalau bukan karena kebohongannya? Yang membuat ayah dan ibunya sedih dan cemas, Oka kalap sampai membuat kondisi Nisa drop, hubungannya dengan Zifa rusak.

Jika dipikir-pikir, semua masalah ini memang hanya bersumber dari satu hal.

Ke-bo-hong-an-nya.

Aku ... pembohong?

"Lo cuma gunain sifat pendiam lo sebagai sekat buat ngelindungin diri lo sendiri dari masalah! Nyatanya, di balik sifat lo itu, lo adalah pembohong! Tapi mau sampai kapan lo berusaha buat berlindung di balik sekat itu, dia tetep nggak bakal bisa selamanya ngelindungin lo, Vir!"

Lagi-lagi serangan mutlak yang membuat batin Virgo terkapar pada muka penyesalan. Tubuhnya semakin bergetar. Kembarannya itu benar. Selama ini dia hanya berlindung di balik sifatnya yang pendiam yang menjauhkannya dari masalah. Virgo memang cowok dingin, namun bukan berarti jahat. Hatinya sebenarnya terlalu rapuh, terlalu mudah menyalahkan diri sendiri sekali pun dia tak benar-benar bersalah. Baginya, rasa bersalah lebih ampuh membunuhnya dari apapun.

Maka dari itu, sekeras apapun Virgo lebih memilih diam. Menyimpan segalanya sendirian demi menjauh dari kesalahan yang akan membuat hati dan pikirannya lumpuh seperti sekarang ini.

"Kalau gue jadi lo, gue lebih milih nekat buat bertindak brutal dan terang-terangan daripada musti pakai cara pecundang semacam itu!"

Dulu Virgo pikir, dengan diam itulah satu-satunya jalan supaya rasa bersalah yang dideritanya akan lebih ringan. Tapi dia sendiri salah besar. Kebohongan di balik 'diam' itu hanya melindunginya sekejap, namun menghancurkannya seumur hidup.

Lihat sendiri, kan? Sekarang yang Virgo miliki tinggal kekacauan. Tak ada yang benar-benar ada pada tempat seharusnya.

"Kamu benar, Ok. Semua yang kamu bilang itu benar. Semua ini karena aku. Iya ... aku pecundang," suaranya mengecil. Tenggorokannya dicekik sesal. Dia lalu menatap Oka lemah dan penuh harap. "Tapi kamu tetap harus minta maaf ke Nisa, Ok."

Oka tersenyum remeh. "Minta maaf?" dengusnya. "Lo mau gue ngejatuhin harga diri gue sendiri di depan orang yang bahkan nggak gue kenal, Vir?!"

"Kamu juga udah ngejatuhin harga diri dia di hadapan kamu. Kalau kamu nggak minta maaf, kamu nggak jauh beda sama aku, Ok," ucapnya tegas.

"Denger ya? Gue lebih berani ngambil resiko dari pada lo! Lo apa? Pengennya cuma ngehindar dari masalah!" tukasnya tegas, seolah-olah sudah paling benar.

"Justru permintaan maaflah yang bikin kamu lebih bisa dihargai, Ok. Dan aku, aku emang ngehindar, tapi bukannya lari dari permasalahan layaknya pengecut."

Kedua tangan Oka mengepal. Matanya sudah berkilat-kilat kesetanan. Namun ditahannya emosi itu sebentar. Bagaimana pun, dia merasa segan memperlakukan kembarannya sendiri seperti korban-korbannya.

"Di sini gue emang nggak tahu siapa yang sebenernya lebih tua! Tapi mendingan lo nggak usah sok bijak di depan gue!" sentaknya sambil mengarahkan telunjuk ke arah Virgo.

"Sebagai saudara kembar kamu, aku cuma mau nuntun kamu, Ok. Aku nggak mau kamu terus-terusan begitu. Lebih dari itu semua, aku nggak mau Rahman sampai balas dendam lebih ekstrem ke kamu."

BUGGG.

Satu kepalan akhirnya lepas menghantam keras tulang pipi Virgo. Terlalu keras hingga kacamatanya melayang dan mencium lantai. Masih belum puas, Oka menarik kerah kemeja Virgo dan menghadiahi perutnya dengan dua pukulan lagi. Kemudian Oka mendorong tubuh Virgo sampai punggungnya menabrak pinggiran kursi semen dan akhirnya terduduk.

"Persetan dengan apa yang lo bilang! Sekali enggak, gua nggak bakal ngelakuin hal yang lo suruh! Gue cabut!" gertaknya berapi-api tanpa menghiraukan keadaan Virgo yang terus saja membungkuk sambil memegangi perut dan terbatuk oleh ulah kejamnya tadi.

"Oka! Uhuk, uhuk." Napasnya masih tersengal. "Ok! Uhuk, karena kamu Nisa mau bertahan hidup! Kalau nggak, mungkin dia udah nggak ada sekarang dan kita nggak bakal mungkin ketemu sampai sejauh ini!" serunya berusaha mengeraskan suara sekali pun untuk bicara sepatah kata saja perutnya terasa perih.

Oka yang sudah berjalan beberapa langkah meninggalkan Virgo balik badan lagi. Entah apa yang membuatnya begitu. Sebuah firasat menuntun hatinya secara refleks. Ditariknya lagi kerah kemeja Virgo itu dan mendudukkannya secara kasar di kursi semen sampai tas geraunya tersuruk dan jatuh.

"Lo pikir dengan pertemuan ini gue ngerasa seneng? Gue ngerasa bangga? Enggak, Vir! Sejak lo hadir dalam dunia gue, hidup gue jadi nggak sebebas sebelumnya! Lo cuma nuntut gue buat ngubah sifat gue supaya sama kayak lo!

"Tapi gue sadar, seorang ibu selalu mencintai anaknya tanpa syarat. Belum tentu dengan sifat gue yang begini terus bunda bakal ngejauhin gue ketika gue udah hidup di tengah-tengah kalian. Bisa jadi dia malah ngasih perhatiannya lebih ke gue karena dia yang nggak pernah ketemu gue, anak kandungnya yang udah lama hilang." Oka menghela napas.

"Kita emang bisa disebut kembar identik. Tapi bukan berarti sifat kita itu harus sama persis! Dan pertemuan ini, ini cuma kebetulan. Kalau gue boleh milih, gue lebih milih nggak pernah ketemu lo, orang yang udah bikin semua tambah rumit!" tandasnya.

Virgo menggeleng-geleng. "Enggak, Ok. Nggak ada yang namanya kebetulan. Tuhan mempertemukan kita bukan dengan tanpa alasan dan tujuan. Tuhan selalu punya rencana di balik setiap takdir yang Dia gariskan pada makhluk ciptaan-Nya.

"Aku nggak tahu apakah dugaan aku benar atau salah. Tapi, dari semua masalah yang terjadi aku bisa narik sebuah kesimpulan yang berkaitan dengan kita. Bahwa dari pertemuan sederhana kita ini, Tuhan menakdirkan kamu buat gantiin aku di sisi bunda, ayah, dan kak Rendra nanti."

Oka benar-benar sudah muak dengan omongan Virgo. Diremasnya lagi kerah kemeja cowok itu. Berniat untuk menghajarnya habis-habisan kalau sampai melantur lagi.

"Nggak usah sok dramatis, Vir!! Maksud lo apa, ha?!!" Napasnya memburu penuh amarah.

"Aku udah putusin, Ok." Kalau sedang berhadapan dengan Oka tanpa kacamata seperti ini, Virgo merasa seakan-akan sedang bercermin. Dia mencoba menelusup jauh ke dalam iris mata hitam itu dengan penglihatan seadanya. Dapat dia lihat sedikit kecemasan yang kemudian mengabur oleh emosi.

"Aku yang bakal ngedonorin jantung buat kak Rendra."

Pukulan nyaris mematahkan hidungnya kalau semisal Oka tak lagi punya iba. Oka tergeragap. Hatinya terasa disengat oleh kalimat Virgo barusan. Kalimat itu serupa pisau tajam yang menyayat hatinya menjadi bilur-bilur. Perih, kemudian merambat dan menjalar ke seluruh tubuhnya. Membuat tubuhnya loyo. Cengkeramannya pada kerah kemeja Virgo pun mengendur.

Dia berharap Virgo cuma bergurau.

"Jelas, kan? Puas, Ok?" Cowok itu menarik tasnya dan menepuk-nepuk bagian yang berdebu. Kemudian melangkah perlahan, berlalu dari hadapan Oka yang masih mematung lemas. Cowok badung itu cuma bisa balik badan dan menatapi Virgo nanar.

"Mungkin pilihan kamu benar. Kita nggak seharusnya ketemu. Tapi mau gimana lagi?" Dia mengedik. Lalu membungkuk meraih kacamatanya di lantai dan mengelap lensanya yang ternyata retak.

"Ini takdir."

Virgo berjalan ke arah Oka lagi dan berdiri di depannya. Dipakainya kacamata itu dan menatap hangat kembarannya. Dia tersenyum, berharap semua damai seperti semula. Karena barangkali, itu bisa menjadi yang terakhir kali bagi pertemuan mereka.

"Minta maaflah, Ok. Sebelum semuanya terlambat. Sebelum takdir kita benar-benar sama."

Mata Oka terasa panas dan berkaca. Tenggorokannya tercekik. Tak bisa berkutik. Seluruh tubuhnya kaku. Dia hanya bergeming menatap lesu kepergian Virgo.

Oh Tuhan, Virgo tidak bercanda.

●●●

Ada yang kaget Virgo ngomong gitu? Nggak usah kaget. Virgo mungkin lagi ngibulin Oka :v

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top