[19]
Kita adalah kepingan luka yang masih bersembunyi di balik topeng 'baik-baik saja'.
###
"Rendra bilang, kamu dapat juara satu olimpiade matematika lagi, Go? Maaf ya, Ayah terlalu sibuk sampai-sampai baru tahu," tanya Raka ketika dia membenarkan kerah kemejanya. Lalu meraih sendok.
Virgo tersentak mendengar nama Rendra disebut ayahnya. Kakaknya hanya keluar ketika shalat shubuh berjamaah di rumah tadi pagi, lalu berebah di ranjang lagi. Rendra menyalaminya, namun tak menampakkan wajah berseri sedikitpun. Kakaknya masih marah dan sakit hati, Virgo tahu itu pasti.
"Enggak pa-pa, Yah."
Pagi ini Raka sedang tidak terlalu sibuk mengurusi pasien-pasien di rumah sakit. Jadi dia punya waktu untuk sarapan bersama keluarganya di rumah.
"Oh iya. Ayah rencananya mau ke Jogja, sebentar lagi ada reuni akbar di kampus. Mbah kamu juga bilang, katanya tiba-tiba kangen En sama Igo. Nanti kita ke sana sama-sama, ya?"
"Iya, Yah." Virgo mengangguk singkat.
Devina meletakkan sup di meja. "Rendra mana toh? Kok nggak keluar-keluar?" gumam wanita itu sambil menanggalkan apron di kapstok.
Panjang umur bagi orang yang baru dicari. Dia muncul di ambang pintu dapur. Wajahnya masih kelihatan sayu dan pucat pasi. Dia memandang Virgo sekilas, lalu membuang muka. Tak ada keceriaan yang biasa terukir di pagi hari sama sekali. Biasanya Rendra membantu Devina memasak. Lalu menyiapkan bekal makan untuk Zifa. Tapi tidak untuk hari ini.
"Tumben nggak bantuin Bunda, Ren? Ayo, duduk. Jarang kan, sarapan bareng-bareng gini?" ucap Raka.
"Wajah kamu ...," Devina mendekati Rendra dengan perasaan cemas.
Virgo menelan ludah. Matanya tak lepas sedikitpun dari keberadaan Rendra. Jantungnya berdebar-debar. Jangan-jangan itu akibat masalah kemarin!
Devina menyibak poni tipis Rendra. Keringat bersembulan di tepi dahinya. "Kamu nggak panas, Ren. Kamu-"
Rendra tertawa dengan suaranya yang masih agak serak. "Nggak pa-pa, Bun. Tadi malem cuma ngerjain makalah aja, kok. Nggak ada yang perlu dikhawatirin."
Virgo tahu Rendra berbohong.
Devina berpaling padanya. "Benar, Go?"
Deg. Apa Virgo juga harus berbohong demi Rendra?
"Bener, Bun. Orang Igo yang yang bantu Rendra," sahut Rendra mendahului.
"Ya udah. Sekarang sarapan. Minum obatnya. Terus istirahat." Raka mengambilkan nasi untuk Rendra.
"Nanti nggak usah kuliah dulu, Ren."
"Nggak bisa, Bun. Rendra udah ketinggalan banyak, lhoh, sama yang bulan kemarin. Makalah tadi malem juga deadline nya jam sembilan pagi ini."
"Kan bisa titip Bagas," bujuknya.
"Hahaha, Bagas mana tau sih, Bun, dosen Rendra. Ada-ada aja deh, Bunda, hehe. Lagian nanti ada praktik." Entah kenapa tawa itu terdengar terlalu dipaksakan. Namun tak ada yang menyadarinya.
"Enggak pa-pa, Ren. Nanti kamu Ayah ajak cek up lagi aja. Biar Ayah buatkan surat izinnya."
"Cek up-nya Rendra kan udah dua hari lalu, Yah. Masa mau cek lagi? Pak Erwin bosen lah." Pak Erwin adalah spesialis jantung yang telah menangani Rendra selama ini. "Rendra nggak pa-pa, kok."
"Bener kamu nggak pa-pa?" Devina memastikan.
"Iya ...."
Raut prihatin terlukis di wajah Devina. Dia masih khawatir. Jelas-jelas anaknya itu punya penyakit membahayakan yang dapat mengancam nyawanya. Meski penyakit itu tengah tertidur dalam diri Rendra, namun tak dapat dipungkiri kalau penyakit itu juga bisa bangun kapan saja.
"Kalo gitu langsung sarapan, terus jangan lupa minum obat. Pokoknya kamu nggak boleh telat minum obat!" Devina mendorong bahu Rendra untuk duduk di kursi makan. "Dan satu lagi, kalo itu mulai sakit, kamu nggak boleh diem. Kamu harus ngomong ke Bunda. Ya?"
Rendra mendongak dan tersenyum pada Devina. Senyum itu belum pudar sampai saat dia menoleh ke depan. Di mana dia mendapati Virgo yang langsung menunduk seolah tertangkap basah kalau dari tadi dia tengah mengamati kakaknya. Yang Rendra lihat memang hanya sebatas bayangan kabur pada wajah Virgo. Tapi dia cukup tahu, kalau adiknya itu pasti segan padanya.
Rendra tak peduli. Dia tak mau berurusan dengan Virgo lagi. Namun sekalipun logikanya berkata demikian, hati dan waktu akan selalu mengikisnya. Membuat ketidakpeduliannya pada Virgo menyusut. Sampai akhirnya dia hanya akan merasa iba pada Virgo. Seperti saat ini. Waktu begitu cepat mengikis masalah kemarin dalam pikirannya. Dan yang dia rasakan sekarang justru perasaan iba pada Virgo beserta rasa kecewa pada perlakuannya sendiri terhadap adiknya tersebut.
Cowok berseragam pramuka itu kemudian mengolak-alik tempe di piringnya, enggan menyuapkannya dalam mulut. Mendadak kehangatan pagi itu terhalau oleh kedatangan kakaknya. Bukannya Virgo menyalahkan Rendra. Hanya saja, dia sepertinya perlu menjauh dari kakaknya itu sementara waktu sampai semua aman.
Sampai dia merasa bahwa dia cukup pantas untuk dimaafkan, dan sampai dia merasa Rendra mau memaafkannya.
●●●
Begitu sosok Zifa muncul dari kelokan koridor sendirian, Galih langsung mengulurkan tangan di belakang Virgo untuk mencolek Difta yang tengah sibuk menghitung buku di tangannya. Difta menengok padanya. Kemudian dia melihat ke depan seraya melebarkan mata, seolah sedang menunjukkan sesuatu di depan sana.
Difta berpaling ke depan. "Cie ... ehem, ade yang bakal ketemuan, nih," ujarnya sambil terkikik tanpa suara ketika melihat apa yang Galih maksud.
Hati Virgo tersinggung. Dia langsung menoleh pada temannya itu dengan tatapan datar yang kontradiktif. Perasaan kalutnya mulai berkecamuk dalam dada. Debaran jantung yang tadinya tenang berangsur cepat.
"Udahlah, Bren. Cepat atau lambat, semua juga bakal tau, kali."
"Iyalah. Atau mau gue bilangin ke mimin instagramnya infoSMANSA? Percaya sama gue, Bren. Bakal langsung viral, udah ...," cerocos Galih.
Andai dua sahabatnya tahu, Virgo bahkan sama sekali tak menyukai pertemuan ini.
Tibalah saat di mana Virgo tepat berada di depan Zifa, terpaut tiga ubin lantai. Mereka tidak saling senyum. Sementara Galih dan Difta terus melangkah.
"Gue do'ain langgeng lo, Peh, sama si Bren. Syukur-syukur sampe naik pelaminan, deh," goda Difta pelan dengan mulut geli menahan tawa ketika lewat di samping Zifa. Dan baru meledak tawa itu setelah Galih menganjurkan kepalanya ke depan.
Atmosfer canggung menyeruak menyekat keduanya. Membuat mereka tertahan beberapa detik bersama keheningan. "Fa, maaf ya, tadi aku nggak jemput kayak biasanya?" Virgo setengah menunduk. Dia tak mengerti. Melihat Zifa cukup membuat bebannya terangkat, namun dirinya juga merasa enggan dengan pertemuan ini.
"Iya, Vir. Nggak pa-pa." Sama seperti Virgo, Zifa tak tersenyum sama sekali. Entah kemana riang itu pergi dari wajahnya.
Virgo mengangkat wajah untuk memastikan Galih dan Difta belum meninggalkannya jauh. "Aku ... pergi dulu." Buru-buru Virgo angkat kaki dari hadapan Zifa.
Zifa terkesiap ketika Virgo menghilang dari hadapannya. Wajahnya berubah menjadi begitu muram seakan ingin menangis. Gue minta maaf, Vir ...
●●●
Lampu merah menyala tepat ketika motor Zifa berhenti di belakang bus besar. Matahari sudah condong ke barat, namun teriknya masih cukup menyengat. Zifa mengusap punggung tangannya yang tersengat panas matahari itu. Dia mendesah. Masalah kemarin yang saling ditutupi oleh dia, Virgo, dan Rendra berkelebatan dalam kepala. Membuatnya semakin gundah. Pastilah Virgo tidak akan menyangka bila sesungguhnya dia pun tahu apa yang terjadi.
Zifa benar-benar tak bisa berpikir jernih lagi mengenai kelanjutan hubungannya dengan cowok berkacamata itu. Yang sekarang Zifa khawatirkan adalah akhir dari hubungannya dengan Virgo. Bagaimana jika mereka putus? Apa yang akan Zifa perbuat setelahnya? Apakah mereka akan tetap dekat sebagai sahabat?
Zifa rasa tidak. Dia telah menghancurkan semuanya.
Lampu merah berganti hijau. Ketika perlahan ban bus di depannya hendak berputar, tiba-tiba suara klaksonnya berbunyi lantang seperti kapal pesiar dan berhenti berjalan. Untungnya Zifa belum sempat melajukan motornya. Refleks Zifa memiringkan kepala melihat apa yang sebenarnya terjadi di depan sana. Sebuah sepeda menyebrang begitu cepat sampai kembali ke trotoar di tepi kanan. Zifa terkejut akan cowok yang mengendarai sepeda itu.
Virgo! jeritnya dalam hati. Segera setelah bus di depannya melaju, Zifa berbelok melawan arus ketika sepi kendaraan. Virgo telah membuat keinginannya untuk jalan-jalan tertunda. Dia penasaran kenapa cowok itu tampak tergesa-gesa sampai bertindak nekat seperti tadi. Ketika dia kembali menemukan Virgo yang terus mengayuh pedal di seberang, dia memperkecil kecepatan motornya.
Tak ada berapa menit, Virgo menuntunnya sampai di sebuah rumah sakit besar. Zifa melihat Virgo membanting sepedanya di dekat mobil yang sangat dia kenali-milik ayah Virgo. Padahal satpam sudah menegur cowok itu. Cowok berkacamata itu tampaknya tengah tidak memedulikan apapun. Kecuali apa yang membuatnya demikian.
Zifa terus membuntuti Virgo. Naik dengan lift berdekatan. Tak peduli bila bau yang selama ini dia benci mulai menganggu penciuman. Kemudian keluar secepat mungkin ketika tubuh jangkukng Virgo belum menghilang di kelokan.
Kakinya lemas ketika mendapati ibu Virgo memeluk anaknya itu dengan tangis. Dia segera menyembunyikan badan lagi di balik tembok sebelum orang-orang itu melihatnya. Ketika mundur, Zifa terkejut, terdengar seseorang melenguh di belakang setelah dia menginjak sesuatu.
"Kenapa sembunyi?" Nada suara Bagas tak terdengar seperti biasa. Terdengar khawatir dan tercekat.
Zifa merasa kehilangan tenaga. Jantungnya berdebar-debar. Napasnya memburu. Entah kenapa perasaan takut menyeruak begitu saja. Membuatnya menitikkan air mata saat itu juga.
"Gue tau, pasti lo juga sedih. Rendra koma, Fa. Rasanya mustahil. Kemarin sore dia masih bercanda sama gue. Tiba-tiba kondisinya drop gitu aja. Aneh." Bagas mengusap air mata adiknya.
Bukan. Itu hanya dua puluh lima persen alasan Zifa untuk sedih. Selebihnya, dia sedih karena kemungkinan besar adalah dirinyalah yang membuat semua ini terjadi. Virgo yang tak lagi hangat dan kondisi Rendra yang melemah.
Ini semua karena dirinya.
"Bang, tolong jangan bilang gue ada di sini." Rasanya akan sangat tidak adil bila dia ada bersama Virgo di sana dan hanya mengatakan kalau dia turut bersedih. Mungkin saja Virgo sedang menyalahkan dirinya sendiri. Zifa rasa, mengatakan seperti itu hanya akan membuat Virgo kian merasa terbebani dengan rasa salah.
"Tunggu-maksud lo apa?" Bagas menarik lengan Zifa.
"Please ...," rengeknya dengan tangis sambil berusaha melepas cengkraman tangan kakaknya. Lalu berlari meninggalkan Bagas.
Bagas menelan ludah. Bingung. Ada apa dengan adiknya?
●●●
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top