[18]
Sebelum baca chapter 18, tarik napas dulu yang dalem. Coba ingat chapter sebelum ini dengan baik. Yang belum baca chapter sebelumnya mending baca dulu deh biar paham.
Oke, here we go ...
~
Penipu terbesar adalah orang yang sangat kita percayai, yang justru mengkhianati diri kita sendiri.
###
"Stop, Pak!" Rendra menyuruh Pak No untuk menghentikan mobil begitu matanya tak sengaja melihat Zifa yang tengah duduk bersama Virgo di sebuah bangku taman.
Dia tersenyum sumringah. Setelah meraih buket bunganya, Rendra turun dari mobil. "Tunggu sini ya, Pak?"
Senyum Rendra terus mengembang. Tadi dia sudah memberanikan diri untuk bertanya langsung pada Dika. Cowok itu bilang sudah lama putus dengan Zifa. Makanya pulang dari kampus dia berniat untuk segera menyatakan perasaannya pada Zifa.
Dia sempat agak kesal. Kenapa Virgo atau pun Bagas tidak pernah bilang soal putusnya Zifa dengan Dika. Tapi Rendra tetap berusaha berpikir jernih. Mungkin saja Zifa merahasiakannya dari Virgo, bahkan Bagas.
Akan tetapi sekarang berbeda. Rendra lihat, Virgo dan Zifa terlihat terlalu dekat untuk dianggap sebagai sepasang sahabat. Tapi segera dienyahkannya pikiran buruk itu. Tidak mungkin Virgo bermain di belakangnya. Sangat mustahil. Lagi pula, dua anak itu dari dulu memang sangat dekat, bukan?
Sayup-sayup Zifa mengutarakan sebuah kalimat yang begitu ingin didapatkannya dari cewek tersebut, jantungnya mulai berdenyut keras. Dia mulai merasa ngilu di dada kirinya. "I love you, Vir."
Sayangnya nama yang Zifa sebut adalah Virgo, bukan dirinya. Kemudian dia sadar kenapa selama ini Virgo tak pernah mengatakan bahwa Zifa sudah putus dengan Dika. Lalu, bagaimana dengan Bagas? Apa sahabatnya itu juga membohonginya?
Atau dia salah dengar?
Namun semakin remuk hatinya ketika dia mendengar gumaman kecil Virgo, "Me too."
Itu artinya Rendra tak salah dengar.
Dia langsung merasa hancur lebur saat itu juga. Dia tak kuat lagi berada di tempatnya berdiri sekarang. Dia ingin pergi. Sangat jauh kalau perlu. Namun takdir berkata lain. Ketika ingin pergi, tali sepatunya lepas dan membuatnya terjungkal jatuh ke rerumputan.
Kedua pasangan itu langsung menoleh dengan raut terkejut. Mata Rendra turut melebar. Hatinya semakin sakit. Tapi, demi memperbaiki suasana dan menjaga agar Zifa tak curiga, Rendra tersenyum lebar. Lalu bangun secepatnya dan berdiri di belakang Virgo. Menepuk-nepuk bahu adiknya agar terlihat akrab dan tak berkesan ada suatu masalah.
Yang ditepuk-tepuk hanya diam. Tatapannya jauh menerawang, membuatnya seakan kehilangan akal dan melamun. Rasa bersalah yang lebih tengah menyesaki dadanya kini. Dia merasa malu, menyesal, sedih, dan takut. Apalagi terhadap sikap Rendra padanya saat ini. Membuatnya merasa sangat tertampar. Virgo tak mengerti harus bagaimana. Dia terdiam dengan perasaan yang tak keruan. Dia mati kutu. Sudah telanjur. Rendra telanjur mengetahui rahasia yang selama ini dia sembunyikan.
"Kak Ren-dra, eng ... gak pa-pa?" tanya Zifa terbata-bata.
"Nggak, nggak pa-pa, Fa. Sori, Vir! Gue lama, ya? Eh, iya. Nih bunga pesenan lo. Ternyata buat Zifa, ya? Semoga langgeng, deh. Gue pulang dulu. Yuk, Fa!" Perkataan Rendra itu semakin menusuk hati Virgo. Menghunjamnya layaknya panah api. Membuat resah dan rasa salah di hati Virgo kian berkobar. Dia sangat malu. Rendra bahkan rela bohong demi dirinya.
Zifa tersenyum canggung menimpali Rendra.
Cowok bermuka mirip dengan Virgo itu tersenyum. Virgo cukup bisa mengerti kalau itu palsu. Lantas Rendra pergi, menghilang ditelan pagar asoka.
"Selesai aja, Mas Rendra?" Pak No bertanya ketika Rendra masuk mobil.
"Iya, Pak. Ayo, pulang," jawab Rendra tanpa semangat sedikit pun. Dia terus merunduk. Memegangi dada kirinya yang terasa semakin perih. Dengan segala sesak dan sakit yang dia sembunyikan di hati, mobil pun melaju ringan membawanya pulang.
Virgo saat ini masih diam. Dia masih tak menyangka hal ini terjadi. Badannya yang sempat membeku, melemas tiba-tiba dan seperti akan langsung ambruk bila bergerak sedikit saja. Apa-gimana ... a-aku ha-rus apa.... Bahkan hatinya pun terbata. Dia ingin menangis, atau mengerang.
Sementara itu, Zifa juga tengah terdiam. Tanpa Virgo tahu, hidungnya memanas. Matanya sempat berkaca-kaca, tapi dia menghilangkannya dengan sekali kerdipan agar tak semakin banyak air mata yang terkumpul di pelupuk. Bukan hanya Virgo yang diliputi rasa kalut. Zifa pun demikian. Ini salah gue. Ini-salah-gue .... Dia tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi.
"Em, Fa. I-ini buat kamu." Virgo menyodorkan buket bunganya pada Zifa, tanpa memandang wajah cewek itu sedikit pun. Tampak sekali dia tak bisa menyembunyikan perasaannya sendiri.
Zifa menerimanya. Dengan tangan sedikit bergetar. "Thanks." Suaranya agak tercekat. Sebenarnya, hati Zifa tak bisa menerimanya. Tapi agar mengurangi suasana yang semakin menegang, dia pun melakukannya.
"Udah sore. Pulang yuk, Fa ...," kata Virgo begitu lemah. Wajahnya tak berekspresi. Sebenarnya dia enggan untuk pulang. Dia malu pada Rendra. Dia merasa tidak pantas lagi hidup berdampingan dengan kakaknya.
"O-oke." Setitik air mata menetes ketika Virgo memalingkan wajah darinya. Diusapnya segera cairan bening itu.
Dengan perasaan gamang, Virgo berdiri. Dia kira, hari ini akan menjadi salah satu hari terbaik yang dia lewati. Namun, pada akhirnya dia harus menemui kejadian yang begitu pahit. Yang mungkin tak akan pernah termaafkan.
●●●
Rahman sedang memasak untuk Nisa, sekali pun masakannya tak pernah benar-benar enak. Kemudian dia mendengar suara pintu terbuka. Tanpa mengangkat tempe dari wajan penggorengan, Rahman keluar.
Dia langsung panik begitu mendapati Nisa tengah menangis sesenggukan di kamarnya. "Kamu kenapa?!" tanyanya sambil berteriak cemas.
Rahman melihat ada sedikit bercak merah di kerudung Nisa yang agak berantakan. Dia membuka pelan jarum pengait kerudung Nisa itu dan melepas kerudungnya. Melihat leher Nisa sedikit berdarah dan menyadari kerudung adiknya yang berantakan, bahkan dengan ciput yang tidak terpakai, Rahman merasa marah dan semakin khawatir. "Ya ampun, ini kenapa, Nis? Ada yang maksa kamu buat lepas kerudung?! Siapa yang ngelakuin?!"
Nisa masih terus menangis. Dia menggeleng-geleng, enggan menjawab.
"Nis, dengerin Kakak! Siapa orangnya?!"
Nisa tak mau menjawab. Dia tak mau ada perang lagi di antara kakaknya dengan Oka. Namun Rahman yang terus memaksanya membuatnya buka mulut, sebelum akhirnya dia pingsan di pelukan Rahman.
"Kak Oka ...."
●●●
Virgo tercengang di ambang pintu kamarnya ketika matanya menangkap sosok Rendra yang tengah duduk di atas ranjangnya. Kakaknya itu tengah memandangi sebuah bingkai kecil di mana potret masa kecil mereka terpajang indah di sana.
"Kak ...? Maafin Igo ...," lirihnya penuh sesal.
Rendra menghirup napas dalam-dalam hingga dadanya terasa lebih perih dari sebelumnya. Tapi dia menahan rasa itu agar tidak tergambar pada raut wajahnya. Matanya masih fokus menatap foto dalam figura. Dia mengembuskannya perlahan bersamaan dengan kalimat yang dia ucapkan, yang terdengar agak bergetar.
"Gue yang terlalu bodoh, atau lo emang nggak punya hati, Vir?" tanyanya dingin.
Virgo menggeleng. "Kak, ini-"
"Gue pikir hubungan kita sebagai kakak beradik bakal selalu baik-baik aja. Sama kayak di foto ini," selanya. Hatinya sakit mengulas harapan omong kosong itu.
Jantung Virgo kian berdebar. Dia merasa sangat menyesal dan kecewa terhadap apa yang sudah diperbuatnya.
"Gue pikir, lo adalah orang yang paling gue percaya. Tempat gue nyurahin apa aja yang gue rasain. Seneng, susah, sampai gue ngerasa pengen mati aja, Vir."
Lemas tubuh Virgo. Dia seakan ingin tumbang. Terisak. Hatinya merintih, semakin dia menyadari bahwa dirinya berdosa karena telah menodai kepercayaan Rendra.
"Lo tau, kan kalau dulu gue paling bandel buat minum obat?"
Ketakutan dan rasa bersalah yang menguasai Virgo membuatnya kehilangan kata-kata.
"Lo tau kenapa sekarang obat itu selalu habis? Karena Zifa itulah alasan gue buat tetap minum obat itu. Kalo dia nggak ada, mungkin gue nggak bakal sudi nyentuh obat sialan itu, Vir! Atau sebaliknya, gue bakal minum semua obat itu sekaligus!"
Virgo tersentak. "Kak, tolong dengerin aku dulu," dia melangkah lebih dekat.
Rendra berdiri, bersemuka dengan Virgo yang agak lebih tinggi darinya. Virgo yang melihat luka memancar dari tatapan Rendra kontan menunduk. Dia terus merutuk, menyalahkan diri, bahwa dialah yang sudah menyebabkan luka itu terukir.
"Apa lo masih iri sama gue, Vir?"
"Eng-"
"Lo iri kenapa selalu aja gue yang dapet lebih dari lo?! Tapi kenapa harus Zifa yang lo gunain buat ngebales gue!? Kenapa harus dia, Vir?!" tukasnya penuh rasa sakit. Tajam. Menikam telak di hati Virgo. Sangat pedih.
"Aku nggak pernah bermaksud kayak gitu, Kak-" Tenggorokan Virgo mengering.
"Gue emang nggak tahu apa maksud lo pacaran sama Zifa. Lo pacaran sama dia, fine. Itu hak lo. Zifa juga punya hak buat milih lo. Yang jadi masalah adalah, kenapa lo mesti bo'ong sama gue?! Itu yang bikin gue sakit, Vir!" Nada bicara Rendra naik dua oktaf. Kedua tangannya mengepal di samping tubuh. Membentak membuat jantungnya semakin berdegup kencang dan perih. Seolah jantungnya hendak keluar menembus dada ingin menghirup udara bebas karena bagian dalam Rendra yang terlalu sesak. Disesaki amarah dan juga luka.
"Tau bakal begini, mungkin gue udah mutusin buat nyerah dari dulu, Vir. Gue lebih baik mati daripada ngerasain sakit hati kek gini. Ini cuma bakal bunuh gue perlahan-lahan, Vir!"
"Kak, tolong jangan ngomong gitu. Aku minta maaf ...," perkataannya bergetar.
"Gue kecewa, Vir. Gue kecewa sama lo!" Rendra mendorong figura itu pada Virgo keras tanpa memedulikan apakah adiknya itu kesakitan atau tidak. Lalu melewatinya, pergi meninggalkan Virgo yang kemudian perlahan mulai menitikkan air mata.
Virgo membuka figura itu. Melihat potret masa kecilnya. Di sana dia tengah berangkulan dengan kakaknya, sama-sama dengan seragam merah putih, dan meringis ke arah kamera. Hatinya kian teriris. Dia tersedu. Kenapa begitu mudah dirinya menggores persaudaraannya dan hati Rendra dengan luka?
Dia jatuh terduduk di tepi ranjang. Memeluk figura itu erat-erat dengan isakan yang tertahan di dada. Ini adalah penyesalan terbesar yang Virgo rasakan dalam hidupnya.
Dari ambang jendela, bisa Zifa lihat dengan jelas drama menyesakkan itu. Ketika bagaimana Rendra mendorong benda persegi itu ke arah Virgo, hatinya terasa begitu tertusuk. Air matanya tak kalah deras bergulir di kedua belah pipi.
Tapi dia menyadari sebuah hal, bahwa semua ini terjadi lantaran ulahnya sendiri. Kalau bukan karenanya, mungkin dia tak perlu merasakan tusukan telak dalam hatinya tersebut.
●●●
Hello, emaknya Igo dan Ifa balik ini!!
Alhamdulillah UAS sudah berlalu dengan cukup menegangkan :v
Gimana sama part ini? Ada yang baper? Ada yg ikut kecewa?
Eh gais, mbok nek bar moco ki do paling ora ngekei lintang ngono lho. Yo ra piye-piye ya, nanging ki lak nyong mung pengen ngerti, sing sok moco ceritane nyong ki jan-jane sopo ae ngono lhoo 😂😂 (Eh gais, kalo habis baca tuh tolong paling enggak ngasih bintang gitu lhoh. Bukan apa-apa, tapi kan saya cuma pengen tau, yang baca cerita saya tuh sebenernya siapa aja gitu lhoh 😂😂)
Ya itung itung sebagai tanda saling kenal dan apresiasi karya saya. Kan saya juga pengen toh, ngobrol atau berbagi pendapat sama kalian semua, pengen lebih dekat sama pembaca semua kayak penulis penulis lainnya mueheheh
Saya tuh greget soalnya saya sering mikir, ini cuma saya yg baca sampai 800-an kali atau gimana sih sebenernya? Kayaknya kalau sampai segitu kali saya buka tuh mustahil. Dan lagi, saya bukanya didraf cerita, nggak ngaruh kan? Makanya saya pengen kalian ngasih vomment biar saya tu tau yg sering baca cerita saya tuh siapa aja, biar dekat sama kalian, ngono lhooo *sampai mulut monyong
Ya ya?
Wkwkw, wes ah, teruske sesok yo, Gaes! Woco terus, wis meh klimaks (bagian kejutan wuhuuu!!!) ki, ojo rindi-rindi :v
Salam Imajiner
Viavidi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top