[17]
Aku ingin mencintai kamu sepenuhnya. Aku ingin mencintai kamu tanpa harus menanggung rasa salah. Aku ingin, memilikimu tanpa mematahkan mimpi orang lain yang juga berharap dapat memilikimu seutuhnya.
###
Sekali lagi Nisa membaca sms dari Virgo. Lalu tersenyum lebar. Kupu-kupu terasa beterbangan dalam perutnya. Bagaimana tidak? Diberitahu kalau Oka sudah berubah lebih baik saja bisa membuatnya senang tak keruan. Apalagi mau diajak Virgo bertemu Oka secara langsung.
Dia kemudian mengambil sebuah cermin dan menata kerudungnya. Dia mengernyit ketika mendapati wajahnya kelihatan agak pucat. Dari pagi pangkal perutnya memang sudah tak enak. Padahal dia sudah sarapan. Dia jadi takut. Takut akan masa lalunya yang bisa kembali kapan saja. Yang membuatnya rapuh dan menderita. Yang membuatnya merasa tak akan bertahan untuk hidup lebih lama.
Din ... din ...
Pikirannya buyar dengan kedatangan Virgo dengan motor Beat merah. Cowok itu tersenyum sambil membenarkan kacamata. Nisa menimpalinya juga dengan senyum. Dia bangkit dari tempat duduk halte.
"Kakak udah pulang duluan?"
"Seperti yang kamu lihat," ujarnya sambil mengangkat kedua telapak tangan. Dia sekarang memakai kaos army yang dibalut jaket kulit dan jeans hitam polos.
Nisa tersenyum geli melihat tingkah Virgo hari ini. Seperti bukan Virgo yang biasanya. Mungkin itu karena dia juga merasakan euforia yang Nisa rasakan saat itu juga. Ya ..., mungkin begitu.
"Gimana? Jadi, kan, ketemu Oka?"
"Em?" Nisa tersenyum girang sampai matanya kelihatan segaris. Lalu mengangguk semangat.
"Yuk."
Dengan langkah semangat '45, Nisa pun membonceng Virgo.
"Udah nyaman?"
"Udah, Kak."
Virgo pun memutar setang melajukan motornya. Setelah sebelumnya menyunggingkan smirk yang tampak sangat licik.
●●●
Anak-anak kecil itu berkerumun mengelilingi Virgo. Mereka melompat-lompat seperti kelinci, mengulurkan tangan untuk meraih jatah coklat dan sebungkus makanan dari tangan cowok tersebut. Setelah sebelumnya, mereka bermain bersama dengan Virgo dan Zifa yang tengah duduk di kursi taman.
Dulu ketika masih kelas dua, Virgo yang merupakan divisi pengajar di organisasi Smansa's Charity bersama Difta, sering mengajari mereka belajar. Namun karena di kelas tiga ini Virgo terlalu sibuk, dia jadi jarang, bahkan hampir tak pernah menjadi guru sukarela bagi mereka lagi.
"Tenang, ya, Adik-Adik? Semua pasti kebagian."
"Makasih, Kak!"
"Terima kasih, Kakak ganteng!"
Zifa yang duduk di kursi tersenyum geli melihat anak-anak itu.
Senang melihat dan mendengar tawa anak-anak kecil itu berderai bebas. Semburat matanya penuh akan keluguan dan keceriaan. Wajah mereka berseri. Meski di balik semua itu, hidup mereka tak semenyenangkan yang terlihat. Di mana mereka terkadang jarang makan, jarang mandi, bertubuh kurus kerempeng, hidup di tempat kumuh, dan berpakaian lusuh dan kotor seolah tak pernah dicuci.
Virgo terharu melihat kebahagiaan mereka. Ingin sekali dia kembali ke masa kecil seperti mereka. Masa di mana dirinya tidak perlu memikirkan betapa rumitnya cinta dan permasalahan besar yang terlalu berarti menekan batin.
Anak-anak itu melambai pada Virgo sambil tersenyum. Gigi mereka belepotan oleh coklat. Ada beberapa anak yang mengantunginya pada lipatan baju, dan tersenyum menyeringai dengan mata jahil seolah mengatakan "Yeee, punyaku masih banyak!"
"Bukankah mereka pantas buat bahagia kayak gitu?" Virgo memicing melihat mereka berlari melompat-lompat, pergi meninggalkan taman tersebut dengan perasaan puas dan bahagia. Pasti orang tua mereka akan senang, tak perlu berpikir keras akan makanan apa yang harus mereka berikan pada anak-anak itu malam ini.
"Sayangnya takdir nggak nyetujuin perkataan lo, Virgo," timpal Zifa.
"Bukan enggak. Tapi belum. Ngeliat mereka, kamu masih tetep berpikir kalau kamu itu nggak beruntung, Fa?"
"Sejak ada lo, pendapat gue itu udah nggak berarti lagi kok, Vir."
Virgo mencebik. Kemudian duduk di samping Zifa. "Terus kalau aku nggak ada, kamu bakal ngerasa nggak beruntung?"
Zifa terkesiap. Dia mungkin mengerti kenapa Virgo kerap menyinggung hal tentang berhentinya hubungan mereka yang masih seumur jagung itu. "Emh, by the way, Oka apa kabar? Udah ada progres?"
Cewek itu mengelak. Virgo paham. Memangnya siapa yang suka cowoknya mengungkit tentang putusnya hubungan mereka?
"Belum. Nggak tau, Fa. Kita masih sama-sama ragu. Takut," Virgo terdengar murung.
Zifa melihat ke arah Virgo lewat sudut matanya. "Itu nggak mudah, gue ngerti." Setelah itu membuang muka dan menarik napas lega Virgo mengikuti arah pembicaraannya begitu saja. "Gue jadi penasaran. Kalau misal Oka itu emang kembaran lo, pasti bakal ramai tuh rumah lo. Gempar tiap hari malah, hahaha."
Senyum Virgo terulas.
Beberapa saat mereka membiarkan suasana hening. Berhubung mereka sudah terbiasa dengan satu sama lain, mereka pun tidak terlalu canggung lagi ketika harus melewati suasana yang senyap tanpa suara sekalipun.
"Fa, kamu bisa jujur enggak, sama aku?"
Zifa menatap Virgo seolah berkata, "Jujur buat?"
"Kenapa kamu mau pacaran sama aku? Kamu tahu kan, aku dingin, sadis, egois, apatis. Kenapa masih mau sama aku?"
Cewek itu spontan tertawa mendengarnya. "Hahaha, lo bercanda ya? Semua cewek juga mau sama lo kali, Vir."
Virgo memindahkan tatapannya pada kedua sepatunya dengan sedikit kesal. "Ya, itu karena mereka nilainya fisik. Tapi kalau mereka tau sifat aku sesungguhnya kayak kamu tau aku, aku pikir mereka nggak bakal betah sama aku, enggak bakal berusaha keras berjuang ngancurin tembok yang aku buat tinggi-tinggi untuk orang lain, kayak kamu." Setelah itu memandangi Zifa lagi dengan tatapan mencari. Mencari penjelasan yang lebih jelas dari kedua mata cewek itu.
"Kita jodoh-mungkin ...?" jawab Zifa masih dengan muka cengengesan. Tak serius sama sekali.
Melihat Virgo yang ternyata sedang menginterogasinya betul-betul, dia justru tertawa lagi. "Heheheh, bercanda deh...." Dia menata rambutnya. Lalu duduk tegak dan mencoba untuk terlihat serius. "Ya, gini sih. Gue pernah baca, kalau orang yang kita uji berkali-kali terus mereka menyerah dan akhirnya marah, berarti mereka enggak cocok jadi sahabat. Tapi gue kurang setuju sih. Karena tiap orang itu berbeda dan selalu punya takaran marah yang beda juga. Orang itu nggak ada yang sempurna, kan, Vir? Gue cuma pengen menghargai lo sebagai manusia biasa, yang juga punya kekurangan, yang juga punya rasa lelah dan marah." Zifa berhenti. Sejenak ingatan ketika dirinya dibentak Virgo waktu kelas satu itu terbayang. "Gue cuma pengen lo bisa lihat dari tembok yang lo dirikan, bahwa dunia luar itu enggak selalu berbahaya sampai sampai perlu lo hindari. Gue pengen membebaskan jiwa lo yang seolah terisolasi. Gitu aja, sih," lanjutnya dengan senyum tulus.
Bibir merah Virgo kembali mengulas senyum penuh makna. Memang, selama ini, bersama Zifa, dirinya kembali mengerti arti kebebasan. Kebebasan atas segala yang ingin dia lakukan, tanpa kekangan dan hukuman.
"Lo sendiri? Kenapa lo betah sama gue, sementara-kayaknya gue ini sangat bukan tipe lo sama sekali?" Zifa mengedik dengan kedua alis naik.
Virgo sejenak terpaku dengan iris mata coklat itu. Dia bahkan baru sadar kalau dia tak ingat mengapa dia cinta pada makhluk di depannya ini. Cantik? Biasa saja. Pintar? Jangan bercanda. Baik? Kadang. Entahlah. Virgo hanya tiba-tiba merasa cemburu ketika mengetahui Zifa pacaran sama Dika. Apa mungkin karena mereka terlalu dekat? Bisa jadi.
"Definisi nol faktorial sama dengan satu memberikan aku pengertian, bahwa aku tetap bisa mencintai kamu, sekali pun aku tahu, kamu sama sekali bukan tipe pasangan yang aku idamkan."
Zifa melebarkan matanya. Membuat Virgo ikut memandanginya terkejut sekaligus menutup mulutnya dengan tangan. Apa yang dia katakan itu salah?
"Lo tuh sebenernya belajar ngegombal dari siapa, sih? Difta, ya?"
Virgo mengerjapkan matanya melihat Zifa yang sedang tersipu. Lalu tersenyum kikuk. Zifa kemudian tertawa sambil menggeleng-geleng.
"Vir, lo punya harapan apa buat ke depannya?"
Virgo yang seolah masih dikelilingi kupu-kupu jadi tertegun. Pertanyaan Zifa sangatlah sederhana. Tapi jawabannya membingungkan. Terlalu banyak harapan yang Virgo inginkan sampai-sampai tak mungkin jika harus disebutkannya satu persatu. Intinya, dia ingin hidup bahagia.
Dan jika Tuhan mengizinkan, dia ingin hidup bahagia bersama Zifa.
"Aku ...."
Aku harap aku bisa punya kamu seutuhnya, Fa. Tanpa harus nanggung rasa salah sama kak Rendra.
"Hem?"
"Emh, apa ya? Hehe," tawanya ragu.
"Semoga aja sih, lo berharap kita bakal tetap kayak gini. Jadi temen hidup gue sampai tua nanti."
Virgo tersenyum haru. Namun juga tersirat kemirisan. Segitu sayangnya ya, Fa, kamu sama aku .... Virgo tidak tahu lagi apakah dia memang harus menghilangkan perasaannya dan memutuskan hubungannya dengan Zifa, atau mempertahankannya. Tapi ... sayangnya, bertahan hanya akan membuatnya semakin larut dalam rasa bersalah. Virgo mulai muak dengan semuanya. Dia ingin berhenti, tapi momen seperti ini terlalu manis dan sayang bila hanya menjadi kenangan. Oh Tuhan, apa yang harus Virgo lakukan?
"I love you, Vir," ucap Zifa begitu lembut dan tulus.
Tanpa sadar, Virgo menggumam, dengan nada yang agak dipaksakan, "Me too." Dia sedih sendiri mendengarnya. Tenggorokannya kering, membuatnya sulit menelan ludah.
Lalu, beberapa detik kemudian terdengar suara debukan yang bersumber dari belakang, seperti suara orang terjatuh. Ketika mereka menoleh, mereka langsung membeliak. Tanpa mereka tahu, mereka merasakan hal yang sama.
Merasa malu dan cemas, seolah hubungan mereka akan berakhir tak lama lagi.
●●●
Membonceng Virgo membuat hati Nisa berbunga. Entah kenapa bersama kakak kelasnya itu justru membuatnya merasa seakan dekat dengan Oka.
Imajinasinya mulai melukiskan rentetan kejadian di mana pertama kali dia bertemu dengan Oka.
Dia menengok ke arah jam dinding di atas white board ketika suara adzan yang begitu merdu berkumandang dari masjid sekolah.
Ternyata teman-teman sekelasnya tengah saling mendesus.
"Ih, suaranya merdu banget! Siapa sih, yang adzan?"
"Ah, gue jadi penasaran ...."
"Calon imam gue itu mah ...."
"Shalat, yuk! Gue penasaran nih!"
"Tunggu!" Nisa menyela pembicaraan mereka. "Bukannya ini belum waktunya adzan, ya? Masih jam sebelas, lhoh!" ujarnya sambil mengernyit heran. Suara adzan itu memang bagus. Tapi sayangnya tidak tepat waktu.
"Eh, kok iya, sih?"
"Kok bisa?"
Ketika baru sampai pada syahadat Rasul, suara adzan itu terhenti dan terjadi gangguan sebentar. Seperti suara mikrofon yang terjatuh ketika masih hidup. Lalu lenyap.
Karena begitu penasaran, Nisa pun mencoba menyelidikinya. Belum sampai di depan masjid, dia mendapati seorang cowok berpenampilan berantakan yang sedang menunduk dengan kepala miring ke arah Nisa dengan mulut komat-kamit seakan sedang mengimak guru yang mengomelinya. Nisa mengintip dan menguping.
"Sudah saya bilang dari dulu! Kamu itu nggak boleh adzan, Oka!"
Cowok bernama Oka itu menghadapkan wajah pada guru tersebut. Hendak menyanggah. "Kenapa saya nggak boleh, Pak?! Anak-anak yang suaranya jelek aja boleh! Masa saya nggak boleh, sih! Kuping saya tuh gatel, Pak, denger suara mereka yang false! Bapak nggak gemes apa, dengerin suara mereka?" sanggahnya sengit.
"Iya, saya tahu suara kamu bagus. Tapi ada yang membuat kamu tidak diperbolehkan untuk adzan, Oka," ujarnya sangat berhati-hati.
"Haduh, gimana sih Pak Haryo ini? Saya sudah menunjukkan sikap toleransi antar umat beragama kan? Saya bantuin adzan kok nggak mau, sih?!"
"Oka, tolong ...."
Nisa tersipu mendengar perdebatan antara guru dengan siswa itu. Dia ingin tertawa melihatnya. Sambil berjalan ke kelas, terus saja hatinya menghapal, Oka, Oka, Oka, dan Oka.
Sejak saat itu Nisa menyukai Oka. Namun ada peristiwa memalukan. Di mana saat itu, Nisa tengah berdiri di ambang pintu kelasnya menunggu keberangkatan Oka ke sekolah. Biasanya cowok itu lewat koridor depan kelasnya bersama gerombolannya. Maka Nisa bersiap-siap. Dia meminjam ponsel temannya, bermaksud untuk diam-diam mengambil gambar Oka.
Saat itu koridor cukup sepi. Dia berdiri di luar, mengangkat ponsel tinggi-tinggi hingga layarnya berada tepat di depan wajahnya. Berpura-pura tengah mengetik seolah sedang chat-chat-an dengan seseorang. Dan ketika Oka bersama gerombolannya lewat, saat itulah dia mengambil foto candid Oka.
Wajahnya merah, merasa sangat malu seolah harga dirinya hilang karena salahnya sendiri, terlebih ketika cowok-cowok itu tertawa geli oleh perbuatan Nisa.
Tahu apa yang sudah terjadi?
Nisa lupa mematikan flash pada kamera ponsel. Alhasil, cowok-cowok itu tahu apa yang dikerjakan cewek berkerudung tersebut, bahwa dia tengah mencuri gambar Oka.
Wajah Oka datar, tak tertawa sedikit pun. Lalu Oka mendekati Nisa dan mengambil ponsel di tangan cewek yang wajahnya tengah pucat karena syok berat itu. Dia bergaya dengan senyum lebar di depan kamera depan. Tak lupa memperlihatkan wajah Nisa. Kemudian, klik, gambar tersimpan.
Nisa tersenyum sendiri.
Tanpa sadar, Virgo membawanya ke sebuah komplek perumahan yang tak Nisa kenali.
"Kak Virgo, kita kok ke sini?"
"Iya, Nis. Oka nyuruh saya ke sini."
Nisa manggut-manggut. Akan tetapi, perasaan panik menyeruak begitu Virgo berhenti di sebuah rumah yang kelihatan tua dan seakan tak pernah ditinggali, jauh dari komplek yang baru saja dilewati. Catnya sudah luntur dan bergambar grafiti di mana-mana.
"Hehe, ini nih, Ok, yang lo bilang cewek kepalanya botak itu?" Seorang cowok berpenampilan sangat berantakan seperti preman keluar. Di kedua jarinya terselip rokok. Dia mengisapnya, lalu membuangnya meski masih cukup panjang. "Cantik juga."
Membuat Nisa jijik dan takut mendengarnya. Dia hanya bisa menelan salivanya. Menatap Virgo dengan perasaan panik dan bingung.
Virgo tak menjawab, tersenyum sinis. Kemudian dia mencopot kacamatanya dan menyisir rambutnya asal-asalan.
Mata Nisa membulat sempurna. Mulai cemas. Astaga, itu bukan Virgo.
Itu Oka! Sial! Apa yang akan mereka lakukan padanya?
"Hai, Adek Manis. Abang udah siap motret, nih. Copot dulu dong kerudungnya." Satu lagi, cowok bertindik dan bertato penuh di sekitar lehernya keluar. Dia membawa kamera DSLR.
Bibir Nisa bergetar. Dia mulai terisak. Tiba-tiba, dari belakang, ada seseorang yang menarik kerudungnya hingga benar-benar terlepas. Sehingga jarum yang mengaitkan kedua sisi kerudung segi empatnya mencuat menggores leher dan menimbulkan sedikit darah. Nisa tak menjerit. Tapi dia langsung berjongkok, memegangi ciput kerudungnya dengan kedua telapak tangan, dan merintih.
"Foto, Ki!"
Fotografer bertato itu mulai memotret Nisa. Mereka benar-benar laki-laki sembrono dan kurang ajar!
Cowok yang tadi menarik kerudung Nisa, kali ini memaksa cewek itu untuk melepas ciputnya. Membuat Nisa menangis sesenggukan. Tapi Nisa terus menepisnya kasar.
"Copot, Adek Manis! Hahaha!"
Entah kenapa Oka yang tadinya tidak peduli sama sekali menjadi tersentuh hatinya. Ada bagian dari dirinya yang menyuruhnya untuk menghentikan perlakuan brengsek teman-temannya itu dan menyelamatkan Nisa. Entah kenapa melihat itu membuat hati Oka pedih seakan dia tak menghargai perempuan sama sekali, bahkan walaupun Oka tidak ikut melakukannya. Tapi tetap saja ini salahnya. Dia yang menyuruh ketiga teman badungnya untuk melakukan pelecehan seperti ini. Itu artinya, dia adalah dalang utama dalam tindak pelecehan ini.
Hati Oka semakin teriris ketika ciput Nisa berhasil dilepas oleh temannya. Memperlihatkan kepalanya yang sepenuhnya botak. Mulus, tanpa sehelai rambut pun. Cewek itu terjengkang dan terduduk di tanah. Menangis histeris sambil terus melindungi kepalanya dengan kedua telapak tangan.
Ketiga cowok itu lantas tertawa terbahak-bahak.
"Dek, Dek. Kasian banget, sih. Cantik-cantik kok botak, hahaha ...."
"Stop!" Oka berlari mengambil ciput dan kerudung Nisa yang terbuang di tanah. Kemudian memberikannya pada cewek itu.
"Ok, lo gimana sih? Gue belum selesai, tau!" kata fotografer itu pura-pura kesal.
Nisa lantas menutupi kepalanya dengan kerudungnya. Kemudian mendorong keras tubuh Oka dengan perasaan marah hingga tubuh cowok itu terhuyung mundur. Dia pun berlari keluar area rumah dengan tangis yang menyesakkan.
"Ah, Oka! Lagi seneng-seneng, juga!"
Napas Oka memburu dengan tatapan menyesal yang terus tertuju pada gerbang meski Nisa sudah tak lagi kelihatan. Saat ini, Oka benar-benar merasa bersalah. Sangat, sangat bersalah. Dia telah melakukan kesalahan besar. Dan lama sejak dia bertemu dengan Virgo, setelah dia berjanji untuk menjadi anak baik dan tak pernah lagi tawuran, sekarang dia justru mengibarkan bendera perang yang mungkin saja akan berlangsung secara kolosal.
●●●
Oke kalian boleh benci Oka sekarang. Dan satu lagi, jangan niru perbuatan kurang ajar Oka ya. Itu namanya tindakan pelecehan.
Untuk kalian yg suka ngejahilin temennya dengan nyopot kerudungnya sembarangan, mendingan berhenti ya. Sekali pun bercanda, tetep jangan lakuin. Silakan hargai niat mereka yang mau berkerudung untuk menutup aurat. Enggak usah ngejudge si A pake kerudung tapi akhlak masih jelek. Jangan!
Eh kok tiba-tiba banting setir jadi spiritual hueheheh.
O iya, seperti yg sudah saya katakan di chapter 14. Besok Senin saya mulai UAS. Doain ya guys, supaya lancar dan mudah dalam ngerjain soal. Saya pasti doain kalian semua yg juga lagi UAS. Semoga kita sama sama dilancarkan. Jangan lupa belajar dan doa pokoknya.
Cerita ini bakal saya terusin kalo udah kelar UAS. Atau kalau saya lagi pengen banget, mungkin bakal saya apdet lagi di tengah-tengah kesibukan UAS. Tapi jangan ngarep lah 😂😂.
Ini konfliknya udah mulai anget banget. Mungkin 60-70 derajat. Bentar lagi mendidih. Lalu dingin dengan sendirinya walaupun tanpa es batu :v garing ah
See you soon!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top