[15]

Penerimaan adalah sebuah bentuk sederhana dari ribuan cara menghargai seseorang.

###

Devina menatap lekat ke isi makalah mahasiswa ampuannya. Berharap tak ada yang mengganggu supaya hitungannya tak meleset. Sayangnya harapan itu musnah ketika ponselnya berbunyi nyaring. Melihat siapa yang menelepon, Devina reflek memutar mata. Virgo? Bukannya dia ada di rumah? Tapi Devina mengangkatnya. Siapa tahu anak bungsunya itu membutuhkan sesuatu tetapi tak berani menyelanya di tengah kesibukannya secara langsung.


"Halo? Ada apa, Go? Bunda sibuk ini."

Beberapa detik tak dijawab. Lalu,

"Halo?"

"Igo, jangan main-main! Bunda lagi sibuk!" ucapnya tegas.

Orang di seberang telepon malah menutup sambungan begitu saja.

Devina menghela napas. Lalu menggeleng-geleng. "Igo! Jangan iseng! Bunda sibuk!" teriaknya.

Tak lama kemudian daun pintu itu terkatup. Virgo muncul dengan wajah polos seolah tak tahu apa-apa.

"Bunda manggil Igo?"

Devina menatap Virgo agak geram. "Iya. Jangan ngisengin Bunda lagi. Bunda sibuk banget, lhoh."

"Ha? Iseng? Igo dari tadi di kamar, kok," belanya pada diri sendiri. Masih dengn wajah polos yng membuat Devina serasa ingin mencubitnya sekeras mungkin.

"Lewat hape," dengusnya.

"Hape? Orang Igo aja dari tadi lagi nyari hape Igo, nggak ketemu-ketemu."

"Jangan bohong. Terus itu nomor hape siapa? Wong jelas-jelas punya'e kamu, kok." Jiwa orang Jawa Devina memang sering muncul ketika dia dilanda emosi. Suara Devina beda kalau bicara pakai logat Jawa. Lebih melengking dan keibu-ibuan.

Mata Virgo langsung melebar gembira. "Pinjam hape ya, Bun?!"

Devina berdeham. Membiarkan ponselnya dibawa Virgo keluar.

Tak ada berapa menit, Virgo sudah kembali dengan senyum penuh akan rasa syukur. "Makasih, Bun."

"Hape kamu beneran nggak ada?"

"Udah ketemu, Bun. Tadi yang nelpon itu temen Igo. Ketinggalan di dia ternyata," terangnya.

Devina ber-oh pendek. Setelah Virgo keluar dan menutup pintu ruang kerjanya, dia malah heran sendiri.

Tapi ... yang tadi itu kok persis suara Virgo?

●●●

Oka tepekur memandangi layar ponsel Virgo. Badannya bersandar pada kusen pintu kelas Aldi. Tangannya men-scroll layar melihat-lihat foto yang ada dalam galeri. Lalu berhenti pada sebuah foto yang begitu formal. Di mana ada Virgo yang masih cukup kecil dan belum pakai kacamata. Wajahnya sama saja, polos, datar, dan begitu serius. Usia delapan tahun mungkin. Oka tahu, karena dia kelihatan sama persis seperti dirinya waktu kecil. Di sisinya juga berdiri seorang anak laki-laki kecil, lebih kurus dan kecil dari Virgo. Pasti Rendra.

Mungkin karena penyakit itu yang membuat tubuhnya demikian. Tapi dia lebih ceria. Anak sepertinya memang harus harus selalu gembira. Karena sedih hanya akan membuatnya lebih dekat dengan batas hidupnya.

Sementara di belakang berdiri dua orang berkacamata. Orang tua Virgo. Ayahnya memakai setelan jas. Ibunya memakai baju toga. Mungkin wanita itu baru saja menamatkan pendidikannya di bangku kuliah.

Jantung Oka berdesir. Yang tadi itu suara ibunya Virgo?

"Lo nggak bohong, kan??!"

Oka terperanjat mendengar sentakan Roni yang begitu lantang. Dia berbalik dan menemukan cowok itu tengah berkacak pinggang sambil melotot pada Aldi sampai matanya mau mencelat. Roni sepertinya bakal patut disatuin sama napi kelas kakap kalau lagi begitu. Itu saja sebenarnya bukan marah sungguhan. Lah, kalau sungguhan? Mungkin sudah jadi kain lap pel kelasnya tuh, si Aldi. Bahkan bisa jadi Oka malah alih jabatan jadi waket dalam gengnya.

"Se-serius, Bang!" ucap Aldi tegas dengan segenap keberanian yang tersisa. Basah sudah seragamnya menyerap keringat dingin.

"Kalau sampai lo bo'ong, bakal gue tambah bejek-bejek, lo! Ngerti?!"

"Tahu, Bang!"

"Gue bilang ngerti! Tahu, tahu! Tahu bulet?!"

"Udah ah, Ron! Yuk, cabut! Suntuk gue!" Oka sudah melangkah lebih dulu meninggalkan Roni.

Tangan kanan Oka itu pun keluar sambil melempari Aldi dengan gertak sambalnya. Menyusul Oka menuju parkir siswa. Lalu mengendarai motor beriringan hingga Oka berhenti di sebuah rumah di tepi jalan.

"Ini rumah siapa, Ok?" Roni menyapukan pandang ke seluruh penjuru rumah. Pagar pembatas yang mengelilingi rumah dan memiliki banyak celah itu membuatnya dapat menarik sebuah kesimpulan. Pasti pemilik rumah ini maniak bunga dan tanaman. Kelihatan sekali tanaman-tanaman di pekarangan rumahnya itu segar dan sangat terawat. Rumah yang kelihatannya sederhana jadi tampak begitu meriah dan indah dengan tanaman hias yang memutari pekarangan tersebut.

"Temen spesial." Oka memencet bel yang melekat pada dinding pagar.

Seorang pria paro baya berkumis tebal membuka gerbang. Pak Noto namanya, supir yang juga menyandang sebagai satpam di sana. Dia tersenyum dengan dahi mengernyit. Heran mengapa Oka masih memakai helm dan hanya bagian matanya yang kelihatan. "Kamu temennya Mas Virgo toh?" tanyanya dengan logat Jawa medok yang sangat kental. Dia kenal banyak teman-teman Virgo. Tapi kalau hanya matanya yang kelihatan, Pak No susah membedakannya.

"Iya, Pak. Virgonya ada?"

Pak No agak terkejut mendengar suaranya. Mirip dengan anak bungsu majikan. Tentu dia sudah sangat paham. Wong ngadepin tiap hari. "Ada, ada! Ayo masuk dulu, Mas!"

"Makasih deh, Pak. Tapi saya mau nunggu di sini aja. Cuma sebentar kok. Tolong panggilin Virgo ya, Pak?"

"Ya, Mas. Sekedap!" [Sebentar]. Pria itu segera berlari masuk.

Tanpa harus memakan waktu lama, Virgo muncul. Senyumnya terlukis begitu melihat Oka berdiri di ambang gerbang. Ponselnya yang dipegang Oka seolah melambai meyambutnya kembali.

"Alhamdulillah. Makasih banget ya, Ok?"

Oka hanya tersenyum. Tak ingin menampangkan wajah marah gara-gara rahasia yang Virgo sembunyikan darinya. Supaya kembaran berkacamatanya itu tak curiga.

Dari balik pintu itu muncul lagi sosok wanita berkacamata. Rambutnya diikat ekor kuda. Dia hanya berdiri di sana. Menenteng beberapa kertas. Pandangannya dan Oka sama-sama terpaku.

Sementara itu, Virgo melihat teman Oka yang cengo. Matanya melotot seakan hendak melompat dari kelopak. Rahangnya turun beberapa senti. Ya ampun, ekspresinya itu lhoh. Pasti cowok itu lagi terkejut bukan kepalang melihat Virgo.

"Sst, Ok?" bisik Virgo membangunkan Oka dari lamunan.

Oka menaikkan alis sebagai isyarat bertanya, "Apa?".

Virgo menunjuk ke arah Roni dengan dagu.

Oka memalingkan wajah ke arah temannya sejenak. Lalu mengatupkan rahang Roni dan hampir saja mencolok matanya kalau cowok itu tidak buru-buru merem duluan. Ya, sampai rumahnya, Roni pasti bakal menghajarnya dengan sejuta pertanyaan.

"Ya udah. Gue pulang dulu. Gue mesti siap nyerocos panjang lebar nih, ke Roni," cengirnya.

"Virgo." Kesempatan langka bisa berkenalan langsung dengan Virgo. Pakai jabat tangan pula. Itu pun, Virgo yang memulainya. Biasanya cowok itu paling enggan buat kenalan kalau bukan orang lain yang mulai dulu. Dasar cowok ansos.

"Ro-Roni." Roni membalas tangan Virgo. Wajahnya masih menyisakan rasa kaget.

"Nilai kamu kemarin udah bagus, Ok. Lain kali, ubah motivasi belajar kamu. Jangan cuma soal nilai. Kalau kamu emang udah bener-bener niat belajar buat kebaikan kamu sendiri, udah pasti nilai kamu pun akan mengikuti usaha kamu itu."

"Iya, bawel!" ujarnya sambil memasukkan kunci ke dalam lubang kontak dan menduduki jok motornya.

"Tiga hari ke depan kita enggak bakal ketemu. Aku ada olimpiade di Palembang. Kamu jangan lupa belajar! Jangan karena aku nggak ada kamu ngeloyor sana-sini nggak jelas. Kamu harus punya tujuan yang pasti buat masa depan kamu."

Oka mengangguk setengah tak peduli. Dihidupkannya motor Trill kesayangannya tersebut. Kemudian memandang sekali lagi ke arah Devina. Jika benar, ke arah ibu kandungnya.

"Duluan, ya!" Lalu melajukan motor bersama Roni meninggalkan rumah Virgo.

"Yap! Hati-hati!"

"Itu tadi bukan Difta sama Galih, ya? Ilham? Atau Jose? Tapi kalau dilihat dari seragamnya, kelihatan berantakan sekali?" cecar Devina begitu anaknya mendekat. Sebenarnya dari tadi dia berdiri dengan kekhawatiran hanya karena melihat seragam cowok tadi. Takutnya cowok itu salah satu dari anak-anak yang sering tawuran.

"Bukan semua, Bun."

"Terus?"

"Dia yang namanya Oka. Emang lain sekolah."

"Kenapa nggak diajak masuk dulu?"

Senyum Virgo merekah. "Ada urusan katanya," dalihnya. Padahal kalau seandainya dia membawa Oka masuk dan menunjukkan pada Devina, barangkali wanita itu akan pingsan. "Igo masuk dulu ya, Bun."

Devina tertegun. "Go?" Virgo berhenti melangkah ketika lengannya dipegang Devina.

"Kamu boleh temenan sama anak sekolah lain. Itu baik. Tapi jangan temenan sama anak-anak nakal, ya?" Devina benar-benar mulai merasa tak enak. Takut Virgo bergaul dengan orang yang salah.

Virgo mengangguk sambil tersenyum. Padahal, menurutnya Oka itu bukan hanya nakal. Tapi kriminal!

●●●

Penolakan Oka secara mentah untuk diajaknya belanja buat hadiah ulang tahun Virgo besok membuat Zifa harus berdiri di dapur kecil ini. Menyiapkan segala cetakan-cetakan, garnish, dan krim kocok untuk menghias kue. Bersama seorang cowok yang tak henti-hentinya membuat Zifa canggung setengah mati.

"Zifa, rambut kamu ...." Rendra melepas sarung tangan plastik yang dia gunakan untuk melumatkan adonan kue.

Jantung Zifa terasa berdesir ketika tanpa izin, Rendra melepas ikat rambutnya. Merapikannya lagi dengan gerakan begitu pelan dan halus sampai Zifa tak perlu meringis karena terjambak. Rendra benar-benar telah membuat kenyamanannya terganggu.

"Enggak sakit, kan?"

"Ah? Eng-enggak, Kak."

Zifa tak mengerti kenapa perasaannya selalu begini tiap kali ada Rendra di dekatnya. Mungkin sejak dirinya tahu apa yang kemungkinan besar Rendra sembunyikan; perasaan sayang cowok itu kepadanya. Jelas sangat bisa Zifa rasakan, bagaimana Rendra memperlakukannya. Kata Bagas, Rendra sangat menghargai perempuan. Perhatian Rendra terhadap semua cewek ternyata memakan beberapa korban. Naura dan Jihan conrohnya. Mereka terlalu hanyut dengan rasa simpati cowok itu sampai-sampai jatuh hati terlalu dalam pada Rendra. Meski entah bagaimana kabar hati Jihan saat ini, sahabat Zifa itu tak pernah lagi menceritakannya.

"Udah rapi, Fa. Tambah cantik, deh."

"Iya, makasih ya, Kak." Zifa tersenyum miris.

Namun tentu saja perlakuan Rendra kepada Zifa itu lebih istimewa. Tatapan mata hitam itu pun selalu tampak berbeda ketika berada dekat dengannya. Seolah tampak lebih bersinar dan hidup. Dan hal itu membuat Zifa merasa tak enak jika harus berlama-lama dengan Rendra seperti ini. Aneh rasanya ketika melihat gerak-gerik orang yang mencintai kita dan kita tahu apa maksudnya, tapi sekeras apapun kita berusaha untuk terlihat tak mengerti.

Zifa tiba-tiba merasa hatinya tergores membayangkan bagaimana bila Rendra telah mengetahui semuanya. Dia pikir, Virgo pasti juga telah melakukan hal yang sama sepertinya saat ini. Berkamuflase dengan wajah seolah tak punya masalah apa-apa.

Karena di balik senyum riang yang selalu dia tampilkan, tersembunyi gelegak kekhawatiran yang begitu pekat. Zifa tak tahu akan sampai kapan semua bisa dia jalani diam-diam seperti ini. Tak tahu, kapan Virgo akan menjadi pasangan yang benar-benar dia miliki tanpa harus bersembunyi dari dunia seperti yang selama ini dia lakukan.

Zifa memang tak mencintai Rendra seperti cowok itu mengasihinya, dan Zifa juga tak pernah merasa tertuntut untuk membalasnya. Dia merasa tak perlu, karena menurut Zifa cinta bukan sebuah keterpaksaan, apalagi dilandaskan atas dasar rasa ingin balas budi. Namun, itu bukan berarti bahwa dia ingin Rendra pergi darinya. Karena Zifa tak mau kehilangan siapapun. Karena Zifa hanya menyayangi Virgo. Dan Zifa tak ingin membuat orang yang dicintainya terluka lebih dalam atas rasa bersalah yang mungkin dia rasakan.

Oh, Tuhan, dia hanya ingin memberitahukan pada dunia secara leluasa bahwa Virgo adalah miliknya, tanpa melukai siapapun.

●●●

"Duluan, Guys!"

Semua temannya langsung melompong dan terkikik melihat cowok itu berlari terbirit-birit keluar. Dia sudah bilang sejak si dosen garang yang membimbingnya masuk, bahwa perutnya benar-benar mulas. Nggak bisa dikompromi sampai-sampai tubuhnya berkeringat banyak karena terus-menerus menahan pakan kakus itu.

"Dika! Tunggu!" Mau nggak mau Dika berhenti berlari ketika suara Naura hinggap di telinganya.

Naura heran. "Lo kenapa?"

Dika memejamkan mata. Tangannya meremas perut. Keringat mengucur di pelipis. Dia menggeleng-geleng. "Cepetan aja lo mau bilang apa, Nau! Please, ini jatah gue buat-"

Prett.

"Sori, Nau. Ya Allah bantulah hamba-Mu menahan semua ini ...." Wajah Dika tambah memerah malu. Bahkan seakan mau meledak. Mereka bertetangga dan sudah menjadi sahabat sejak kecil. Itulah mengapa Dika tak pernah pakai embel-embel 'kak' meskipun Naura itu dua tingkat di atasnya. Bisa dibilang, keakraban membuat mereka lupa umur satu sama lain. Kebiasaan mereka itu bisnis film, dan masih terus berjalan hingga di bangku kuliah.

Naura spontan menutup hidungnya. Tertawa jengah.

"Oke, gue yang minta maaf. Gini, kalau-"

"Dika!" Satu lagi sebuah suara menghampiri telinga mereka. Mereka sama-sama menoleh. Di kejauhan sana Bagas berdiri. Dia tengah berlari ke arah mereka.

"Kalau Bagas nanya lo udah putus sama Zifa, bilang aja belum, ya?" desaknya tanpa spasi. Secepat kilat.

Dika malah nyengir tak paham. Naura cuma mengangguk-angguk dengan tatapan memohon.

"Hai, Nau .... Pinjem Dikanya bentar boleh, kan?" Bagas meringis.

Naura tersenyum manis mengiyakan.

Cowok jangkung itu merangkul Dika dan membawanya agak menjauh dari keberadaan Naura.

"Dik, lo udah putus dari Zifa belum? Putusin adik gue, ya?" gumam Bagas.

Pertanyaan itu membuat Difta cengo dan sejenak melupakan perasaan ingin pupnya. Dia memang sudah putus dengan Zifa. Tapi, yang benar saja. Bagas minta apa? Gila itu anak! Benar-benar permohonan paling sinting yang pernah Difta dengar.

"Ya, Dik?"

Dutt. Dika langsung menekan perutnya lagi. Dia menyeringai sambil berjalan di tempat demi menunda rasa kebelet beolnya. Duh, sudah benar-benar sampai pucuk!

Bagas mendelik. Lengan yang semula merangkul bahu Dika lepas dan perlahan merayap menutupi hidungnya.

"Sori, Bang. Gue udah bener-bener nggak tahan. Banget!" Cowok itu tidak menjawab pertanyaan Bagas. Langsung berlari kencang dan berbelok di ujung koridor setelah sebelumnya diam-diam mengacungkan jempol pada Naura.

Bagas menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Agak kecewa juga. Lantas berbalik dan terpesona mendapati Naura masih berdiri di belakangnya. Jantungnya seketika berdebar-debar. Semangatnya tak jadi patah.

"Naura tadi ngapain?"

"Biasalah ...."

"Bisnis film, ya?"

Senyum dan lesung pipit itu membuat Bagas lemas tak berdaya. Cantik sekali.

Baik, cukup basa-basinya. Ini adalah waktu yang tepat untuk mengambil kesempatan emas.

"Lo pulang sendiri, Nau?"

Naura menaikkan kedua alis menatap wajah Bagas dan mengangguk pelan.

"Gue anter, yuk!" Ibarat roket, kaki Bagas itu hampir memercikkan api. Baru saja mesinnya dipanaskan. Bersiap meluncur. Kalau sampai Naura menolak, matilah semua mesin-mesin itu.

"Boleh, deh."

Wusss. Dan roket itu pun telah jauh melayang menembus angkasa.

Yah, meskipun Naura tak pernah menganggap-atau bahkan tak tahu bahwa semua yang Bagas lakukan padanya itu merupakan suatu kode etik untuk PDKT, setidaknya penerimaan itu cukup membuat cowok berambut jabrik itu bahagia. Sangat bahagia ....

●●●

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top