[14]
Setiap orang punya alasan masing-masing kenapa mereka memilih diam. Tak ingin menyakiti dan disakiti, adalah dua dari sekian banyak alasan yang ada.
###
Dilintangkannya sebuah garis kecil di bawah tanda tangannya. Setelah itu dia meletakkan pulpen di samping kertas. Mata hitamnya menjelajahi setiap baris kalimat yang tertera. Lalu tersenyum. Peningkatan kedua muridnya benar-benar sangat sugnifikan dari hasil belajar mereka di waktu awal. Mungkin begini pula rasanya seorang guru bila muridnya mendapat nilai yang bagus dengan usaha sendiri tentunya. Ada bahagia dan kesejukan yang mengaliri dada.
Ini akan menjadi hadiah terkonyol darinya untuk kedua makhluk yang telah membuat semangat hidupnya melunjak akhir-akhir ini. Hadiah sebelum dia harus pergi beberapa hari untuk menjalankan tugas dari sekolah.
Pintu tiba-tiba terkuak. Devina muncul dari sana.
"Kok belum tidur?" tanyanya sambil menatap jam dinding yang menunjuk angka sepuluh kurang seperempat. Lalu beralih pada Rendra yang telah tertidur pulas.
"Lagi ngerjain PR. Tadi ada pembimbingan di sekolah, jadi belum sempet dikerjain."
Devina melihat dua kertas yang hampir mirip seperti ijazah, disertai keterangan identitas, nilai, template pasfoto, dan tanda tangan putra bungsunya itu sendiri.
"Buat apa bikin beginian segala?" Lipatan dahinya tampak. Tangan itu meraih salah satu lembar kertas tersebut.
Virgo meringis malu didapati membuat ijazah ecek-ecek semacam itu. "Buat hadiah aja."
"Abraham Christianoka Stevan? Siapa?"
Virgo cukup kaget ibunya melafalkan nama tersebut. Matanya membulat di balik kacamata.
"Itu temen Igo, Bun."
Kembaran Igo. Anak Bunda yang hilang.
"Kamu nggak pernah cerita punya teman yang namanya ini?"
"Temen lain sekolah, Bun. Nggak sengaja ketemu waktu lomba. Terus pengen belajar bareng Igo."
"Coba Bunda lihat fotonya?"
"Emh?" Virgo melirik foto yang sebenarnya sudah jadi di sebelah meja kanan. Namun dengan pelan dia pura-pura merenggangkan otot-otot seraya menutup kedua foto itu dengan lengan.
"Fotonya belum jadi, Bun."
Entah harus berapa kali Virgo berbohong demi membuat semua baik-baik saja.
"Oh. Kalau gitu kamu mau enggak, nemenin Bunda nunggu ayah pulang? Katanya jam sepuluh sampai rumah. InsyaaAllah sih, kalau nggak ada halangan yang tiba-tiba."
"Ayo, Bun!" Dengan semangat Virgo merangkul bahu ibunya keluar. Dilirik kedua foto yang tergeletak di sana sebentar. Apa kira-kira yang akan Devina reaksikan jika melihat foto Oka?
Virgo menyalakan televisi di ruang keluarga.
"Bunda gimana kerjaannya di kampus? Baik, kan?" Dia duduk di sebelah Devina, bersila sambil menggenggam tangan hangat ibunya, memainkan jemari lentiknya. Kesibukan masing-masing dari mereka membuat keduanya jarang berbasa-basi seperti ini.
"Selalu baik, tenang aja. Kamu sendiri? Gimana persiapan olimpiadenya?"
"Alhamdulillah udah sembilan puluh lima persen. Tinggal berangkat pokoknya. Doain Igo ya, Bun."
"Pasti, Go. Oh iya, kamu beneran mau ngambil beasiswa Jepang itu? Enggak ITB? Atau balik ke Jogja, terus di UGM?"
Virgo mengembuskan napas untuk melegakan dadanya yang terasa tak lega mendengar Devina mengatakan hal tersebut. Pasalnya dia jadi selalu bingung menentukan pilihan.
"Tuh kan, kalau dibilangin itu mulu Igo malah jadi bingung, Bun," rajuknya. Dibanding bersama Zifa, intensitas Virgo menampangkan muka ekspresifnya jauh lebih besar ketika di hadapan kedua orang tua dan kakaknya sendiri.
"Hehe, Bunda kuatir, kamu kan enggak pinter masak kayak kakak kamu. Bunda enggak mau kamu sakit gara-gara makan produk instan melulu."
"Nanti kan bisa kursus sama Kak En."
"Iya, iya. Kamu beneran bakal betah?'
Virgo mengangguk antusias. "Harus deh. Igo betah-betahin."
"Kamu yakin bisa menghadapi semua sendirian tanpa ada bunda, ayah, sama kakak?"
"Bun, enam tahun Igo jauh dari bunda, ayah, kakak. Mbah Uti udah terlalu tua untuk jagain Igo selama di Jogja dan paman-paman Igo udah sibuk dengan dunianya sendiri. Itu udah cukup jadi bukti, kan?"
Binar mata Devina meredup. Tergantikan oleh sorot yang sarat akan kecemasan terhadap putra bungsunya yang hampir pergi meninggalkannya. "Bunda ngerasa aja kamu tambah besar, perasaan kamu tambah lebih peka. Anak kecil kan pikirannya masih bebas, jauh dari orangtua malah seneng, jadi nggak ada yang marahin, nggak ada yang ngelarang ini itu. Tapi sekarang, Bunda enggak mau aja kamu tertekan sama perasaan kamu sendiri, Go. Kalau kamu emang enggak bisa, jangan dipaksa. Jangan diam aja."
Virgo menatap ibunya dengan pandangan terharu. Menyadari kalau dirinya kadang sulit dimengerti, dia jadi merasa sangat bangga punya ibu yang sangat mengerti dirinya lebih dari siapapun.
Devina tahu bila putranya terlalu banyak menemui kesepian. Terlalu banyak menyimpan segalanya sendirian. Dia tahu betul lewat mata anak usia kelas tiga SD itu, tujuh tahun yang lalu ketika dengan tidak sengaja Virgo hampir mencelakai Rendra karena rasa irinya.
Virgo mungkin iri karena dia tidak mendapat perhatian yang sama seperti kakaknya, karena memang, Virgo belum tahu seperti apa kondisi Rendra sesungguhnya. Makanya dia balas dendam pada Rendra dengan meninggalkannya sendirian di jalanan saat hujan deras kala itu. Membuat Rendra kritis selama berhari-hari. Virgo benar-benar berubah sejak saat itu. Menjadi pendiam dan enggan mencurahkan hatinya pada kedua orang tuanya sendiri. Enggan mengadu ketika ada anak lain yang berbuat jahat kepadanya. Menjadi sosok pecinta sunyi. Mungkin rasa bersalah membuatnya tak enak hati pada kedua orangtuanya sendiri. Terutama untuk meminta bantuan.
Devina sama sekali tak berpikir untuk memberi Virgo hukuman. Tapi di tahun berikutnya, dia dan suaminya justru membuat Virgo harus dikelilingi sepi lagi ketika mereka akhirnya pindah tugas ke Jakarta. Rendra ikut, sementara Virgo sendiri yang memutuskan untuk tetap bersama neneknya. Yang jika neneknya bilang, justru dimanfaatkan Virgo untuk membangun pertahanannya lagi. Menjadi sosok yang sama seperti sebelumnya. Si ceria dan pantang akan kekalahan. Kadang Devina ingin tertawa mengingatnya. Mungkin Virgo malu mau menampakkan senyumnya lagi sekali pun Rendra maupun dirinya sudah memaafkan.
Sayangnya, hal itu pun tak bertahan lama. Insiden perkelahian di sekolah lagi-lagi membuat rasa bersalah Virgo terungkit kembali. Jangan sampai terbutakan oleh sosok Virgo sekarang. Dia dulunya adalah anak yang hiperaktif dan nakal. Dia bahkan dengan beraninya memukul temannya dengan penggaris besi sampai kepala anak itu harus dijahit lantaran mau minta sontekan. Dan benar-benar, sejak kejadian kedua yang membuatnya merasa bersalah itu, Virgo berubah total menjadi sosok dingin dan pendiam. Tak lagi mau mendekati hal yang bernama masalah. Sebisa mungkin, dengan diamnya itu, Virgo berusaha untuk selalu menghindrainya.
Rasa bersalah benar-benar musuh terbesar bagi Virgo yang mampu membuat hidupnya berubah haluan.
"Kok jadi Bunda yang kelihatan tertekan sama perasaan sendiri? Bunda kayaknya butuh pelukan, deh."
Melihat sorot mata resah Devina kala wanita itu melamun, Virgo pun mendekap ibunya. Erat seolah tak mau melepaskannya sama sekali. Kalau boleh jujur, Virgo memang jarang memeluk ibunya. Virgo kadang malu mau memeluk ibunya seperti ini, malu di bilang manja oleh ibunya sendiri. Tapi Virgo sadar, wanita dalam rengkuhannya itu, walau seberapa kuat pun menanggung beban begitu besar, dia tetaplah manusia yang juga butuh tempat bersandar. Butuh tempat beristirahat untuk melupakan kelelahannya sejenak. Dan hanya manusia yang punya keringkihan.
"Rumah ini bakal tambah sepi. Kamu kuliah jauh, Rendra lulus," cemasnya, di tengah perasaan tentram yang mengalir dari pelukan Virgo.
"Yah, Bunda kayak mau ditinggal Igo sama kakak selamanya aja. Bunda jangan terlalu mencemaskan ke depan akan seperti apa, Bun. Tuhan sudah mengatur segalanya di atas sana. Bunda jalani dulu aja apa yang ada sekarang. Kalau ekspektasi aja kadang nggak sejalan sama realita, maka kekhawatiran Bunda pun juga pasti bisa begitu, kan? Siapa tau semua bakal berubah."
Virgo yang menempelkan bibirnya di pelipis Devina, merentangkan senyum. Sambil berharap dalam hati, supaya Oka bisa datang secepat mungkin, dan mengubah semua pemikiran Devina akan kekhawatirannya.
"Waduh, mesra banget! Ketahuan sekarang siapa yang jadi pelarian istriku. Ayah cemburu ini," Raka tiba tiba datang. Bahkan tanpa terdengar katupan daun pintu atau derap langkah. Wajahnya bersungut-sungut, tentu saja bergurau.
Cukup kakak aja yang Igo tikung. Ayah jangan sampai. Batin Virgo dengan senyum kecut.
"Ayah pulangnya malem mulu sih, Bunda kan jadi kurang belaian. Ini cepetan dipeluk. Kalau sampai Bunda butuh pelukan lain 'kan Igo sama kakak juga yang repot." Virgo melepaskan pelukannya di tubuh ibunya. Lalu melompat turun, masuk ke kamar.
Raka masih melongo di tempat. Dia membenarkan kacamata sambil memicingkan mata.
"Itu beneran Virgo, ya, bukan Rendra? Kok sekarang jadi sengeselin Rendra, ya?"
Devina tersenyum selama berjalan menghampiri Raka. Melepaskan dasi yang membelit kerah kemejanya.
"Mas Raka mau minum apa, biar aku buatin?"
"Enggak usah, Vin." Raka mengecup pipi Devina. "Kita langsung ke kamar aja." Dia kemudian melingkarkan tangan ke pinggang Devina dan menggiringnya ke kamar.
Devina terkesiap. Senyumnya merekah. Suaminya berhasil mengalihkan perhatiannya atas kejanggalan sikap Virgo malam ini. Yang entah kenapa justru mendatangkan kekhawatiran lain yang lebih besar.
●●●
"Terus, Fa! Iya! Bagus!"
Virgo berdiri di sebelah kiri ring, sementara Zifa berdiri di sisi yang lain. Virgo fokus pada stopwatch di jam tangan seraya menangkap bola basket yang Zifa lambungkan ke arah ring dan melemparnya kepada cewek itu lagi. Senyumnya terus merentang melihat Zifa yang belum juga menyerah berlatih under ring di lapangan terbuka ini. Seserius apapun dirinya pada papan tolakan, raut itu tetaplah lucu. Bikin Virgo gemas. Rambutnya sudah acak-acakan, dengan wajah berkilauan dibilas keringat. Bersama senja yang hangat mentarinya tak lagi begitu terasa, diembus angin.
"Stop!" Virgo menilik arloji. Namun pada saat yang bersamaan bola yang tidak terpantul pada tempat seharusnya malah menjatuhi kepalanya. Membuatnya meringis. Pusing.
"Aduh, sori, Vir! Sori banget!" cengir Zifa sambil mendekat dan mengelus-elus kepala Virgo.
"Puyeng, ya?"
Sesaat yang terasa begitu lama. Waktu terasa berhenti ketika Virgo menangkap pergelangan tangan Zifa begitu denyut di kepalanya reda. Mata coklat yang selama ini selalu membiaskan keceriaan itu, seolah membuat dirinya terhisap masuk ke dalamnya. Sejenak konsentrasinya pudar. Jantungnya berdegap dua kali lipat. Dia mencoba untuk sementara melupakan perasaan bersalahnya. Membiarkan, sedetik saja, dia memiliki Zifa seutuhnya. Bisa memegangnya, merasakan bahwa Zifa memanglah nyata sebagai miliknya.
Selama ini, sejujurnya, Virgo tak pernah menganggap Zifa lebih dari sahabat. Nyatanya, status pacar tak berpengaruh apa-apa. Yang dia tahu, Zifa adalah sahabatnya yang paling berbeda. Yang bisa membuatnya jatuh cinta walau dengan segala hal yang membuat Virgo mati-matian menghindarinya dulu kala.
Zifalah alasan senyumnya tak lagi jarang. Pengalih perhatiannya dari segala lelah yang membebani. Pembawa perubahan dari dunianya yang abu-abu. Tempat melampiaskan segala kesah. Zifa adalah satu-satunya orang yang berhasil menjadi pusat dari segala yang Virgo butuhkan sekaligus. Seolah-olah, Zifa adalah pusat semestanya.
Tapi sedekat apapun, Virgo tetap selalu memberikan jarak. Dia tak pernah berani menyentuh Zifa untuk menunjukkan perasaan sayangnya, bahkan walau dengan bilang 'sayang'. Karena begitu pun, Virgo tetap tak akan pernah luput dari rasa bersalah pada Rendra atas perasaan cintanya pada Zifa.
"Emh," Virgo berdeham seraya melepaskan pegangan tangannya di pergelangan tangan Zifa. Melirik jam tangannya lagi. "Tiga puluh detik. Masuk tujuh. Lumayan. Besok yang bawa bola banyak kok. Pasti bisa lebih."
Zifa sempat merasa kecewa Virgo memebaskan tangannya dari cengkeraman lembut yang mampu membuatnya hampir kehilangan kendali. Padahal jantungnya seolah sudah berhenti, ditusuk hitam matanya yang begitu tajam, menanti apa yang kemungkinan Virgo lakukan. Dia pikir dia akan mendapat apa yang membuat status pacar di antara mereka tak hanya jadi status belaka. Seperti bisikan 'sayang' atau kecupan di pipi. Tapi Zifa salah, dan dia menyesal mengharapkannya dari Virgo. Mustahil cowok seperti Virgo akan melakukannya.
Zifa hanya ingin merasakan perbedaan antara pacaran dan sahabatan. Sayangnya, sekali pun dari cara Virgo memperlakukannya membuatnya terlihat selalu peduli dan perhatian, mata hitam yang lebih banyak menyorotkan kedinginan itu tetap membuat Virgo seolah lebih menganggapnya sebagai sahabat.
Namun biarlah. Asal Virgo tak kemana-mana. Biar waktu yang menjawab.
Zifa pun mengangguk dan tersenyum, menyembunyikan kekecewaannya.
"Oy!"
Mereka menoleh ke sumber suara. Pemilik wajah fotokopian Virgo itu melambaikan kertas selama berjalan dengan tampang angkuh. Akan tetapi, belum sampai di depan Virgo, cowok sombong itu terjungkal ke lantai paving akibat tersandung tali sepatunya yang tak terikat sempurna. Alhasil, Virgo melengos sambil tersenyum sinis. Sedangkan Zifa terkekeh-kekeh sampai membungkuk-bungkuk saking gelinya.
"Sialan!" umpat Oka sambil bangkit dan membersihkan seragamnya.
"Aduh lo tuh kok mirip Dimas, ya? Hahaha ...."
"Tumben kamu telat? Biasanya bolos jam terakhir, kan?"
"Nih, ah!" sungutnya sambil membanting kertas yang tadi dipamerkannya itu ke lantai, lalu berjongkok membenarkan tali sepatu.
Virgo menggeleng-geleng. Lalu mengambil kertas yang Oka bantingkan di depannya. Mau tak mau Virgo tersenyum melihat nilai yang dilingkari di sudut lembar jawaban ulangan biologi Oka tersebut. Turut bersuka cita.
Zifa ikut mengintip. Tapi cewek itu justru mendengus remeh.
"Lo bela-belain dateng telat ke sini cuma buat nunggu nilai delapan ini keluar? Sori ya, Ok. Tapi gue enggak terkejut, tuh."
Oka memandangi Zifa dengan jahil setengah sinis. Dia akhirnya berdiri. "Sori juga karena gue enggak nunjukkin itu ke elo. Jadi enggak usah pede, deh! Dasar merica!" sanggahnya dengan satu alis naik.
Perkataan itu membuat raut wajah Zifa berubah gahar. "Stop ya, panggil gue merica! Dasar kutil kudanil! Gue tuh punya nama, tau!"
"Siapa nama lo? Lady Gagar Otak? Selena Gowes? Atau Angelina Juling?"
Kalimat itu rupanya memancing kemarahan Zifa. Maklum, dia sedang PMS. Dia lalu menoleh ke kanan kiri, mencoba mengabaikan Oka yang sedang terpingkal dengan leluconnya yang super garing itu. Dia berjalan ke arah sesuatu yang dia lihat.
Oka yang ternyata juga melihat kemana Zifa berjalan spontan menarik lengan Virgo cepat-cepat. Di saat yang bersamaan bola oranye itu mengarah lurus ke Virgo dan tepat mengenai hidungnya sebelum dia sempat menghindar.
"AUH!" Zifa ikut menjerit. Akibatnya, hidung Virgo langsung mengalirkan darah segar. Refleks Virgo membungkuk. Hidungnya mulai terasa berdenyut-denyut sampai ke kepala. Nyeri.
"Idung Virgo! Idung Virgo berdarah! Gimana ini? GIMANA?!" Zifa yang pada dasarnya pobia darah hanya bisa menjerit-jerit di tempat dengan tangan memegangi kepala frustrasi, tanpa melakukan tindakan yang menolong.
Begitu melihat lembaran kain mencuat di saku kemeja Virgo, Oka segera mengambilnya dan meraup darah yang terus mengucur di ujung hidung Virgo dengan kain tersebut. Namun kain itu justru direbut oleh pemiliknya.
"Ini lap kacamata, Oka!" desisnya.
"Fa, lo jangan kayak orang ayan gitu, dong! Cepetan kek ambilin tisu!"
Kekhawatiran Zifa membuatnya seperti robot yang mengikuti perintah Oka begitu saja. Dia bergegas mengambil tisu di tasnya, memberikannya pada Oka dengan jarak berjauhan.
"Ini, Vir."
"Ssshh." Virgo meraih tisu yang Oka berikan, mengelap darah yang enggan berhenti keluar.
Oka mengamati Zifa yang berdiri memunggunginya. Sesekali menoleh ke belakang dengan wajah takut. Dia mengambil bekas tisu yang telah Virgo gunakan, penuh bercakan darah. Kemudian melemparkannya ke arah Zifa sampai cewek itu melompat kaget.
"Jangan coba-coba ya, lo, kutil kudanil!" jeritnya. Entah dapat ide dari mana Zifa bisa memanggil Oka demikian.
"Gaya lo, lebay banget, paling darah setetes aja nggak berani! Lo pikir kalo lagi dapet ngeluarin apa? Sirup stroberi?"
Zifa tambah merengut mendengarnya. Pobia darah memang membuat Zifa sedikit cemas hampir tiap kali datang bulan. Tapi tidak perlu juga, kan, Zifa memberi tahu Oka bagaimana dia mengatasinya?
Virgo berdiri lagi setelah pendarahannya tak begitu banyak. Masih sambil menutupi hidung, dia berjalan ke arah bangku semen. Kedua orang di belakangnya langsung membuntut. Tanpa luput dari senggol-menyenggol saling menyalahkan.
"Duh, Vir, sori. Gue enggak sengaja. Harusnya tuh bola ngenain kembaran lo yang nyebelin itu!"
"Makanya lo tuh jangan kebiasaan nampangin muka datar dong, Vir. Gue kan jadi ngira kalau jangan-jangan muka lo tuh remahan tembok China."
"Diem ya lo, kentut singa!"
"Apa lo, ayam epilepsi?"
"Hussstt! Diam, kalian! Selalu aja bikin ribut! Sekali aja kalian akur, bisa, kan?"
"Enggak, ah. Entar kalau dia jatuh cinta sama gue malah lo yang repot!" tukas Oka.
"Sori ya, cowok blo'on kayak lo tuh enggak level sama gue! Enggak bakal memperbaiki keturunan!"
"Lo tuh kalau mau ngatain orang mending ngaca dulu ya, Mbak?"
"Gue kan udah bilang nggak bakal memperbaiki keturunan! Gitu aja nggak ngerti! Apaan?! Katanya cowok lebih banyak gunain otak! Kalo otak lo aja nggak ada terus lo tuh apa? Banci?!"
"Lo pikir Virgo bakal nikahin lo?! Enggak usah pede deh, lo, jadi orang!"
Diamnya Virgo cukup untuk membekukan panasnya perang mulut antara Oka dan Zifa. Kedua orang yang saling melotot sampai matanya mau melompat keluar itu sontak bergeming pada akhirnya.
"Udah?"
Keduanya hanya diam.
Virgo mengambil sesuatu dari dalam tas. Kemudian menyerahkannya kepada dua anak di sampingnya. Keduanya langsung melongo, melihat foto aib mereka yang menempel di balik mika transparan itu.
"Lo sinting ya, Vir?" Oka masih syok dengan wajahnya yang kelihatan jelek. Foto yang diam-diam Virgo ambil ketika lomba makan sushi di KC bersama Zifa. Pipinya menggembung dengan pandangan tajam ke arah kanan-ke arah Zifa.
"Ah, gue lucu banget!"
Oka melongok foto Zifa. Cewek itu sedang memegangi pipi dengan lirikan mata ke atas, sok manis banget.
"Idih, narsis! Apaan tuh, kayak Taylor Swift kena rabies aja, bangga!"
"Gak usah sok tau lo jadi cowok! Pake ngatain kembaran gue kena rabies segala!"
"Kembaran, dia dibesarin di Gedung Putih lo di tengah utan?!"
"Lo tuh nafsu banget ya bikin gue marah!?"
Virgo yang tak kuasa menahan gusar sekaligus hidungnya yang masih terasa perih walau pun tak lagi mimisan, berdiri menenteng tas, keluar dari area lapangan.
"Tuh kan, elo, sih!" Zifa mendorong Oka dengan kuat sampai cowok itu terjungkal ke lantai.
"ANJIR!"
Zifa mengejar Virgo menuju sepeda yang terparkir di luar lapangan. Meninggalkan Oka yang masih meringis kesakitan sambil mengelus-elus paha kirinya. Dia bangkit, sejenak memperhikan ijazah ecek-ecek buatan Virgo. Entah Virgo pakai nilai apa sampai dia bisa mendapat angka delapan puluh lima. Kemudian dia baru menyadari keberadaan benda pipih persegi tergeletak di sebelah sepatunya. Diambilnya ponsel tersebut. Wallpaper yang menampilkan foto keluarga berkacamata langsung bisa membuat Oka tahu kalau pasti Virgo tak sengaja menjatuhkan handphonenya. Dibukanya fitur menu untuk bersiap-siap meng-hack akun media sosial milik Virgo. Tapi Oka justru mencebik.
Dasar anak pinter! Hape aja gaul, isinya kagak ada!
Yang dia temukan telah bernyawa hanyalah email dan whatsapp. Oka memilih aplikasi berikon hijau tersebut. Dia tersenyum-senyum sendiri melihatnya. Kasihan sekali nomor-nomor tak dikenal yang meminta Virgo untuk menge-save kontaknya. Terabaikan. Tak pernah Virgo baca. Dengan iseng Oka membukanya satu persatu dan sibuk membalasnya 'Oke cantiqq' dengan emote kecup. Lalu menyimpannya sesuai nama yang tertera dalam pesan. Oka terkekeh geli. Membayangkan bagimana jika Virgo mengetahuiya atau jika para pengirim ge-er luar biasa dibalas dengan chat begitu oleh idola mereka yang begitu dingin tersebut.
Hingga beberapa chat setelahnya, senyum Oka dibuat pudar. Ada satu nama yang membuat emosinya datang seketika. Dia menggeser layar menuju ke atas, memulai dari percakapan pertama. Dugaannya tak salah. Nama itu bukan nama orang lain.
Dia tak habis pikir Virgo telah mengkhianatinya. Bekerja sama dengan musuh besarnya hanya demi membuat dirinya berubah? Membuat dirinya terkekang? Supaya apa? Supaya pihak Rahman selalu menang tanpa ada yang menghalangi, begitu?
Dasar cemen! Virgo, Virgo. Lo mau aja sih, jadi kacungnya Rahman? Nggak nyangka gue.
Oka sebenarnya juga sudah curiga darimana Virgo mendapat nomor ponselnya. Berarti selama ini Oka sudah terpedaya dengan wajah polos Virgo. Keterlaluan! Ini tak bisa dibiarkan!
Tunggu pembalasan dari gue, Man![]
●●●
Hailooooo!!!
Ehalah, malah ngiklan segala.
Apa kabar, Guys! Ada yang lagi pilek nggak? Saya lagi pilek nih sampai tiap malem kebangun gara-gara nggak bisa napas, soalnya mampet, hehehe.
3000 kata Guys! Ekstra panjang karena lama saya nggak apdet-apdet. Seminggu ada kali ya? Tugas negara menumpuk. Bikin soal, ngerjain soal pake pembahasan, laporan, ulangan, segala tugas sekolah bertubi-tubi datang menghantam!
Parah, saya sampai nggak mood mau nulis gara-gara dirampas mulu sama soal-soal.
Hampir PAS, jadi mungkin minggu depannya lagi nggak bakal bisa apdet. Saya usahain bisa sampai di chapter-chapter menegangkan yg bakal bikin kalian penasaran sebelum otak saya fokus sama materi UAS wehehehe. Doain aja supaya saya bisa membagi waktu dgn lebih efektif dan efisien antara tugas rumah, sekolah, dan hobi ini.
Makasih buat yang udah baca! Semoga bisa menghibur walaupun masih ada begitu banyak kekurangan yg bertebaran. Semoga feelnya dapet yaa
Salam imajiner
Viavidi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top