[12]

Dari Awan kepada Pelangi.

Aku memberikan segala yang ada padaku, hujan. Namun tetap, tanpa Matahari, kamu bukan apa-apa.

###

Di atas bagian permukaan yang mana dibayangi kotak ring basket itu Zifa duduk. Wajahnya gusar menatapi bekas jahitan di lututnya. Tangannya mengibas-ngibas di samping leher. Sweternya dipegang oleh Virgo yang bersandar pada tiang ring. Hari Minggu ini cuacanya panas sekali. Terik matahari begitu menyengat kulit. Mungkin sudah dua kali Zifa berpindah tempat mengikuti bayangan kotak ring itu seiring matahari mulai naik.

"Kita nungguin siapa sih, Vir?! Lama banget! Panas nih!" komplain Zifa geram.

Virgo menilik arlojinya di pergelangan tangan kiri. Sudah empat jam mereka di sana. Hampir dzuhur pula. Mereka sudah jogging mengelilingi taman yang lumayan luas sampai habis empat kali putaran. Ditambah lagi makan bekal, beli es krim, dan main basket. Tapi orang yang ditunggu kayaknya ngajak berantem deh. Ngaret banget! Sengaja tuh jangan-jangan.

Deru motor berhenti di sudut lapangan. Seorang cowok turun dari motor Trill orennya. Panjang umur itu orang. Zifa meneliti, kayak pernah lihat.

Potongan rambutnya hampir sama seperti Virgo ketika melepas helm, hanya lebih panjang sedikit. Ditambah berantakan. Pakai kaos polos dan jeans belel. Cowok itu berjalan ke arah Virgo dan Zifa. Semakin dekat cowok itu berada, semakin banyak kulit dahi Zifa yang berlipat-lipat.

"Sori, gue bangun kesiangan," cengirnya seolah nggak punya dosa di depan Virgo sambil menyisir rambutnya asal. Coba bayangkan. Sudah menunggu berjam-jam, sampai berkorban panas-panasan dipanggang terik matahari, tapi reaksi orang yang ditunggu cuma segitu? Pake gaya, lagi.

Ya ampun, bete'nya tuh di sini!

Dia melirik ke arah Zifa yang perlahan sedang berdiri dengan muka-muka shock sekaligus tak percaya. Cowok itu langsung menatap tajam sekaligus ragu kembarannya sambil menunjuknya dengan telunjuk penuh ancaman. Seolah bilang, "Lo mau ngerjain gue?!".

"Ka-kalian kembar?!" kata Zifa yang terkejut bukan main. Hampir saja memekik.

Virgo tersenyum ke arah Zifa. "Dia yang aku maksud, Fa. Dia yang selama ini udah buat kamu salah paham. Namanya Abraham Christianoka Stevan, panggil aja Oka." Virgo melepas kacamatanya.

"Meski kami begitu identik, lihat? Ini bisa dilihat lebih jelas kalau aku nggak pakai kacamata."

Zifa baru sadar. Benar juga kata Virgo. Mata Virgo jadi lebih sipit karena pakai kacamata tiap hari. Berbeda dengan kembarannya itu. Matanya lebih kelihatan bulat. Mungkin kalau Virgo tidak minus, mereka pasti akan sangat sulit dibedakan. Bahkan suara mereka pun sama. Khas di telinga Zifa, tidak terlalu berat seperti suara cowok kebanyakan.

"Dan Oka, ini-"

"Zifa," Oka mendahului. Padahal baru waktu pertama bertemu itu Virgo menyebut nama Zifa. Tapi Oka masih saja ingat.

"Dia temen-"

"Pacar!" Zifa mengoreksi dengan penuh penekanan sambil menatap Virgo intens dengan pandangan nggak-usah-jaim-deh-Vir!

"Ya," jawab Virgo setengah hati seraya menurunkan pandangan.

Oka kontan terbahak. "Pacar? Haha, gue pikir lo cuma macarin buku sama angka! Hahahah ...."

Virgo maupun Zifa sama-sama menyorotkan kalimat lo-pikir-itu-lucu? lewat mata mereka. Meski lebih dari setengah pikiran Zifa tengah diliputi tanda tanya besar atas apa yang dia lihat. Virgo sama Oka kembar?

"Lagian apa enaknya sih, es teler campur merica? Hahaha."

"Candaan lo tuh jayus! Cepet, sekarang kalian harus ngejelasin semuanya!" ujar Zifa masa bodoh.

Oka memandangi Virgo dengan alis terangkat minta pendapat. Sebenarnya Virgo tak ingin membagi rahasianya yang satu ini. Tapi Zifa sudah telanjur tahu. Jadi apa boleh buat. Menghindar hanya tindakan bodoh jika sudah berhubungan dengan cewek satu itu.

●●●

"Gimana kalau ternyata nyokap Oka nyuruh orang buat nyulik Oka?"

Kalimat itu sontak membuat dua orang yang tengah memperdebatkan perihal kenapa mereka terpisah, mendadak saling menampakkan tampang terbodohnya masing-masing. Virgo sih masih mending. Oka? Sudah mirip Patrick Star saat terhipnotis bola milik Mermaid Man saja.

Lagi-lagi percakapan seputar mengapa Virgo dan Oka punya wajah kembar harus pindah tempat. Oka bilang dia melihat musuh yang sedang kongko-kongko di bengkel yang tak jauh dari lapangan basket. Sekilas Virgo melihat Rahman. Tapi tak mungkin Virgo menuturkan pada Oka kalau mereka sebenarnya saling kenal. Nanti malah ujung-ujungnya Oka mengamuk dirinya.

Sekarang mereka duduk di markas geng Oka. Sebuah rumah kosong yang berada tepat di belokan jalan yang jauh dari keramaian. Konon rumah tak berpenghuni itu ditinggalkan pemiliknya karena angker. Tapi bagi Oka dan gengnya, rumah itu tak ada apa-apanya dibanding rumah kosong biasa yang memang sudah cukup tua dan tidak terawat halamannya. Tanpa seizin pemilik, Oka dan teman-temannya beramai-ramai mendatangi rumah tersebut, membobol pintunya. Bergaya ala orang yang sedang mengadakan open house , Roni dan Denis memegang ban karet, Oka selaku panglima tawuran mereka memegang gunting rumput besar yang ditemukan di belakang rumah, membacakan deklarasi, bahwa rumah tersebut telah sah secara ilegal menjadi milik mereka. Sampai sekarang pemilik tak pernah kembali untuk sekadar menilik rumah itu lagi. Bahkan banyak oknum lain yang sering membuat mural di sana, membuat rumah itu-menurut Oka-semakin sempurna.

Zifa tidak langsung menanggapi wajah-wajah heran itu. Dia kembali meletakkan telunjuk di dagu sambil mengerucutkan bibir, berpikir ala Zifa. "Atau kalau enggak, camer gue enggak mau punya anak kembar. Terus Oka dititipin di nyokapnya Oka sekarang!"

Sepertinya Zifa sedang bernafsu sekali untuk meniru Jihan; mengarang cerita. Bedanya, Zifa lebih ngawur, tanpa asal-usul yang jelas pula. Pakai manggil kedua orang tua Virgo 'camer' lagi.

"Atau ...."

Virgo sudah menatap Zifa dengan tatapan seolah mengisyaratkan bahwa dirinya menyuruh Zifa untuk lebih baik diam. Sebaliknya, Oka justru penasaran dengan apa yang ingun Zifa katakan. Tak peduli kalau omongan Zifa buntutnya mengarang indah, terkadang yang kebetulan bisa jadi jalan yang bagus untuk keluar dari masalah.

"Om Raka, janji sama mamanya Oka buat ngasih satu anaknya sebagai ganti kandasnya hubungan mereka."

Virgo maupun Oka sudah menceritakan seluruh hal yang mereka miliki pada Zifa. Awal pertemuan hingga fakta bahwa ayah Virgo dan mama Oka dulunya adalah sepasang kekasih.

Akan tetapi, begitu Zifa mengutarakan hal itu, sontak Oka tertawa geli dan Virgo menutupi wajahnya, berdecak.

"Lo tuh lagi ngelawak apa gimana, sih? Drama banget perasaan. Keseringan nonton sinetron lo, ya?"

"Lhoh, kita enggak tahu, kan, kalau masa lalu Om Raka emang sepahit itu?" Zifa mengangkat kedua bahu dengan wajah menyorotkan keseriusan.

"Fa, bongkar kasus ini enggak semudah kamu berasumsi. Apalagi dengan sumber yang nggak jelas begitu. Kita perlu bukti yang jelas di sini."

"Gimana kalau gue tanya langsung ke Om Raka?"

"Jangan!" Kedua cowok itu menjawabnya secara serentak.

"Tuh, kan. Katanya mau bukti, tapi tanya aja enggak berani. Lo kan sering nasehatin gue, Vir! Malu bertanya sesat di jalan! Gimana sih?!" gerutunya.

"Hasil Virgo tanya kemarin, itu bikin ibunya enggak bicara sama ayahnya waktu sarapan, Fa," kata Oka menahan geram.

"Ya, Virgo kan, tanyanya sama Bunda," nada bicara Zifa naik satu oktaf.

"Gini, Fa. Kita sengaja nyari bukti diem-diem, karena enggak mungkin kita muncul tiba-tiba secara bersamaan di depan ibu ayahnya Virgo."

"Yang ada, situasinya bakal tambah runyam," sambung Virgo.

"Apalagi kalau ternyata kita ini memang cuma sama di muka. Tuhan bisa, kan, bikin semua itu terjadi?"

"Hei, setelah semua bukti yang kalian dapat, itu enggak cukup buat kalian percaya kalau kalian kembar beneran?" kata Zifa, tak percaya Oka akan mengatakan hal sebodoh itu. "Oke, kalau gitu, Tuhan juga bisa bikin omongan-omongan gue tadi masuk akal, kan?"

"Kita akui, Fa. Kita memang sempat punya pemikiran sama kayak kamu. Tapi kita mau muncul ke permukaan secara perlahan, itu juga demi kebaikan keluarga kita masing-masing. Terutama mamanya Oka yang saat ini kita jatuhi status tersangka utama. Kalau mama Oka terbukti nyulik Oka dan ayah langsung lapor polisi, kasusnya bakal lebih panjang. Oka punya adik-adik yang masih kecil dan ayahnya kerja jauh dari rumah."

"Bayangin aja ya, anak durhaka dan enggak tau diuntung udah dirawat dari kecil ini tiba-tiba jeblosin nyokapnya ke penjara? Cukup punya gue aja, nyokap gue susah."

Wajah Oka tampak menegang. Tangannya yang dia letakkan di atas meja pun kelihatan mengepal kuat. Membicarakan mamanya selalu membuat emosinya naik dalam sekejap. Ingin rasanya menyalahkan takdir.

Zifa terdiam melihat reaksi Oka. Cowok itu, walau kelihatan sebermasalah apapun, dia tetaplah hanya manusia yang juga punya hati. Yang punya rasa pengertian dan kerapuhan di satu sisi yang tak terlihat.

Suara dering handphone memecah suasana hening dalam ruangan itu.

"Kalian mesti cepet pergi dari sini. Lima belas menit lagi temen-temen gue dateng," kata Oka dingin, tanpa meluputkan pandangan dari layar ponsel.

Tanpa membicarakan rencana baru soal pembongkaran rahasia lagi, Virgo dan Zifa pun angkat kaki dari rumah tersebut. Meninggalkan Oka yang masih dalam atmosfer kebencian. Mungkin tak lama lagi kursi-kursi di sana akan beterbangan menabrak tembok.

●●●

"Go, darurat, Go!"

Rendra berlari ke arah Virgo ketika adiknya itu tengah sibuk menyapu ruang tamu, sebagai rutinitasnya tiap hari Minggu pagi.

"Kenapa?"

"Zifa sakit. Kata Bagas dia muntah-muntah dari tadi pagi. Bagas ada acara penting banget di kampus. Gue juga ada acara lain di kampus. Lo bisa, kan, jaga Zifa di rumahnya?"

Perasaan Virgo terasa bergejolak mengetahui kabar itu. Khawatir cewek itu kenapa-napa. Dengan cepat dia menyelesaikan tugas menyapunya. Kemudian meluncur dengan cepat menuju rumah Zifa.

"Zifa kenapa, Kak?" tanya Virgo dengan napas ngos-ngosan. Dia berdiri di ambang pintu kamar mandi begitu mendengar suara orang muntah dari ruang tengah, sebelum menaiki tangga menuju kamar Zifa.

"Enggak tahu, Vir. Tiba-tiba aja dia dobrak-dobrak pintu kamar gue, terus bilang ngerasa mual," jawab Bagas sambil memegangi bahu Zifa. Padahal sahabat kakaknya itu sudah rapi mengenakan jas almamaternua. Tapi cewek itu terus membungkuk di wastafel. Dengan mulut terbuka, namun tak mengeluarkan cairan apa-apa.

"Kakak kalau ada acara di kampus berangkat aja, Kak. Zifa biar aku yang jagain di rumah."

"Ah, jangan deh, Vir. Lo juga lagi sibuk, kan? Gue bisa minta izin kok."

"Enggak pa-pa, Kak. Aku enggak sibuk, kok."

Bagas dilema sesaat. Antara mau mengatakan iya atau tidak. Dia menimbang-nimbang. Meninggalkan adiknya yang sedang sakit atau meninggalkan acara kampus dengan konsekuensi akan dikenai sanksi dari organisasi yang dia ikuti. Tapi sudah ada Virgo yang berniat menjaga Zifa di sini. Menjadikan alasan bagi Bagas untuk bisa memilih opsi pertama dengan cukup aman.

"Oke, deh. Nanti kalau ada apa-apa yang genting banget, langsung telfon gue aja ya, Vir. Makasih. Cepet sembuh ya, Fa." Bagas mencium puncak kepala Zifa. Lalu keluar.

"Masih mau keluar?" Giliran Virgo berdiri di belakang Zifa.

"Pengen, tapi susah keluar," rintih Zifa.

Virgo segera mencari cara untuk membuat perut Zifa lega. Dia mengambil sikat gigi warna lavender yang dia yakini kalau pasti itu sikat gigi Zifa.

"Masukin mulut sampai pangkal lidah."

Zifa memasukkan sikat gigi itu ke dalam mulut seperti yang Virgo suruh. Seketika isi perut Zifa terkuras keluar, membuat perutnya lega. Segera dia berkumur membersihkan mulut.

"Udah lega?"

Zifa mengangguk sambil mengusap bibir.

"Masih ngerasa mual?"

Zifa menggeleng.

"Ayo, ke kamar." Virgo berjalan memapah Zifa secara perlahan. Badannya sangat lemas. Wajahnya kuyu dan putih pucat dengan sedikit kantong mata yang membayang di bawh matanya. Matanya memerah setelah menangis.

"Tadi sebelum muntah, perut kamu sakit enggak?"

Lagi-lagi hanya gelengan yang bisa Zifa balas. Sampai di kamar serba ungu itu, Virgo segera menata selimut yang masih berantakan. Membantu Zifa berbaring di ranjangnya dan menyelimutinya.

"Kalau magh sering begini?"

"Enggak," suara Zifa gemetar.

"Kamu makan apa kemarin?"

Tiba-tiba cewek itu menegakkan badan dan memegangi perut. Untunglah Virgo langsung sigap meminggirkan badannya, sehingga cairan asam yang entah apa itu tidak mengenai kakinya. Zifa masih terus membungkuk di tepi ranjang. Dia mulai menangis.

"Gue kemarin ngerjain tugas di rumah Hendri. Terus makan apa ya, gue lupa, Vir."

Virgo segera mengambil lap di dapur. Lalu turun lagi mencari ember dan lap pel. Mengisinya dengan air. Dan mengambilkan minuman untuk Zifa.

"Aku antar ke klinik aja. Sebentar ya. Biar aku bersihin ini dulu." Virgo memberikan segelas air putih hangat pada Zifa. Kemudian tanpa risih dia mengeruk cairan asam di lantai dengan kain lap. Setelah itu mengepelnya hingga bersih.

Meski sedang merasa tak karuan dengan perutnya, hati Zifa tetap merasa tersentuh dengan semua yang Virgo lakukan. Cowok itu benar-benar sangat peduli terhadap dirinya. Maka Zifa berpikir kalau mungkin dia tidak salah telah menaruh harapan besar lagi pada Virgo. Bahwa dia ingin Virgo selalu ada di sisinya.

"Yuk-eh, pakai dulu jaketnya." Dengan lembut Virgo memakaikan Zifa jaket. Ah, beruntungnya Zifa punya cowok sepengertian Virgo.

Virgo tersenyum iba. Dia benar-benar tidak tega melihat wajah Zifa yang hampir berubah sepucat vampir. Itulah alasan mengapa dia harus membawa Zifa ke klinik sekarang juga.

Kata dokter di klinik yang baru mereka kunjungi, mual dan muntah yang Zifa alami kemungkinan karena keracunan. Mereka berdua sempat kaget. Di sana, barulah Zifa bisa meningingat apa yang dia makan saat di rumah Hendri. Walau pun bau antiseptik yang terasa begitu menyengat menambah perasaan mualnya, Zifa tetap menjelaskan semuanya sambil tutup hidung. Dia cuma makan bronis, keripik singkong, dan sate yang sengaja Hendri pesan untuk menyuguhi teman-temannya, ditambah jus alpukat yang Fandi buat. Dan Zifa juga tak pernah punya alergi dengan semua itu. Dan lagi, Zifa sudah menghubungi Jihan dan Winda, mereka tak mengalami hal yang sama sepertinya. Rasanya tidak mungkin Hendri sengaja memberikan racun khusus untuk Zifa.

Tapi, entah kenapa sangkaan buruk kalau Hendri adalah pelaku di balik semua ini terasa berputar-putar dalam benak Virgo. Waktu makalah Zifa hilang itu, Hendri yang mengumpulkannya. Apakah Hendri pun sengaja membuang milik Zifa?

"Fa?"

"Apa, Vir?" Zifa mengulurkan leher untuk mendengar Virgo bicara. Daritadi dia menyender pada punggung Virgo selama berkendara, memegangi kaos yang Virgo kenakan erat-erat. Apalagi Zifa hanya menutupi kepala dengan tudung jaketnya, bukan helm. Cuma Virgo yang pakai helm. Makanya Zifa harus memdekatkan telinga lebih dekat ke kepala cowok itu.

"Kamu ada masalah sama Hendri?"

"Siapa sih yang mau cari gara-gara sama cowok imut kayak dia? Yang ada tuh orang enggak tega kali, Vir, lihatnya."

"Aku curiga kalau Hendri ngeracunin kamu. Dan waktu makalah kamu hilang, Hendri juga yang ngumpulin, kan?"

Zifa tepekur. Bahkan dirinya tak berpikir sampai sana. Dia hanya berpikir kalau mungkin saja ada makanan lain yang membuatnya seperti ini. Tapi kalau dipikir-pikir, bisa jadi Hendri melakukannya. Tapi buat apa?

"Lhoh, katanya jangan su'uzon?"

"Iya, sih. Tapi ada baiknya kalau kita tanya Hendrinya, kan, Fa?"

"Tapi lo aja deh yang tanya. Gue enggak enak, Vir. Siapa tau ini karena makanan lain yang juga gue makan. Lo kan tau, gue kalau makan makanan kemasan enggak pakai aturan, enggak pernah lihat expired datenya dulu, lagi."

Virgo melihat wajah Zifa dari spion. Raut menyesal tergambar penuh di sana. Membuat Virgo hanya bisa menghela napas, menyadari kalau perkataan Zifa mungkin ada benarnya juga.

Dia tidak boleh mengambil keputusan secara cepat tanpa bukti yang tepat.

●●●

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top