[11]

Maaf, bukannya aku tidak mau memberikan seluruh perhatianku pada kamu. Aku hanya tidak ingin perasaan ini terus tumbuh seperti mawar, yang harum namun penuh duri.

###

Pertanyaan demi pertanyaan menyerang pikiran Virgo. Menyita seluruh perhatiannya. Kesal rasanya ketika mempertanyakan sebuah hal namun tak jelas penerangannya, tak menemukan ujungnya. Semua rahasia itu masih terkemas rapi. Belum bocor barang sedikit pun.

Jadi, apa yang terjadi setelah pembatalan pertunangan itu? Raka menikah dengan Devina, dia lahir, lalu apa yang terjadi selanjutnya?

Raka pernah bercerita kalau dirinya sama seperti Rendra dan Virgo. Diidolakan hampir semua anak di sekolah. Sampai kemudian Raka dipertemukan dengan sosok adik kelasnya, yang sagat enerjik, memiliki kepercayaan diri begitu tinggi, dan sangat mengidolakannya. Darinya, Raka yang masih cupu, tak mengerti perasaan yang biasa disebut cinta, telah jatuh hati kepada adik kelasnya tersebut. Sampai kemudian mereka dekat. Menjalin hubungan selama tiga tahun. Lalu pada akhirnya Raka memutuskan untuk melamarnya, yang berakhir putus hubungan karena tak mendapat restu dari orang tua cewek tersebut.

Dan sekarang Virgo tahu siapa cewek itu.

Cewek yang ada dalam foto.

Mama Oka.

Kegeramannya reda sementara waktu, diselingi Virgo yang diharuskan menoleh dengan kernyihan jijik ketika suara sendawa keluar dari mulut Difta. Cowok itu benar-benar nggak ada jaimnya sama sekali.

"Makasih, Bren. Duh, masakan kak Rendra makin enak! Mulai besok bawain tiga ya, Bren?" cengirnya seraya mengempaskan tubuh ke kursi dan mengelus perut yang begah itu.

Asal kalian tahu, ya. Difta itu sebenarnya sudah makan semangkuk siomay ditambah es teler di kantin. Ternyata masih minta nambah. Anehnya, sebanyak apapun Difta makan, tubuhnya nggak gendut-gendut, tuh. Cuma pipinya aja yang paling berisi.

"Bren, minggu depan ada classmeet tiga hari. Lo ikut basket, ya? Gantiin gue, OSIS jadi panitia soalnya. Biasalah ...." Galih melipat-lipat kertas di depan Virgo. Membentuknya menjadi pesawat. Lalu melemparnya sampai lepas keluar kelas melalui pintu.

Tiba-tiba terdengar kegaduhan di luar diikuti suara cewek yang menangis histeris. Beberapa langkah orang yang berkerumun berlari melewati depan kelas XII IPA 1, dan beberapa lainnya berderap mengikuti sambil berdesus. Banyak yang mengenakan seragam olahraga. Sebagian anak di dalam kelas langsung berlari keluar. Tertarik dengan apa yang sebenarnya terjadi.

"Sterilkan jalan! Darurat! Darurat!" teriak seseorang di luar keras-keras.

Virgo terkesiap. Dia kenal suara tangis itu. Zifa! Sekarang jadwal kelas cewek itu pun olah raga. Jangan-jangan ....

"Bren, Zifa jatuh! Lututnya berdarah. Banyak banget lagi. Hiih, ngeri deh," Zunisa bergidik ngeri di ambang pintu.

Perut Virgo mencelus mendengar kata 'berdarah'. Dia tahu benar Zifa paling takut sama yang namanya darah. Dia pun merogoh laci dan mengambil tas bekal makan untuk Zifa. Kemudian berlari ke arah orang-orang itu pergi.

"Bren! Bentar lagi bu Harni dateng! Woi!"

Saking kalapnya, Virgo sampai tak mengindahkan pekikan Difta sama sekali. Kakinya terus berlari mengejar orang-orang yang membawa tandu itu. Menyerobot kerumunan anak yang tengah menyesaki koridor.

●●●

Napas Virgo tersengal-sengal. Dia melanjutkan larinya melewati lorong-lorong rumah sakit. Cuma demi seorang Zifa dia sampai rela lari meninggalkan pelajaran Bu Harni yang notabenenya salah satu guru perempuan killer seantero SMANSA.

Di salah satu sisi koridor yang agak sepi, didapatinya Raka yang duduk di depan Zifa di kursi lobi. Zifa tampak mengangguk-angguk dengan wajah murung yang masih tersisa di depan ayah Virgo tersebut. Matanya sembap. Lutut kirinya sudah diperban dengan posisi kaki lurus. Pasti sakit untuk ditekuk.

"Ayah?" Virgo bergumam.

Mereka berdua sontak mendongak. Raka mengernyit. "Kamu ... bolos?" selidiknya intens. Meski Raka itu kadang suka bertindak konyol, tapi bukan berarti dia tidak bisa serius. Jangan salah. Tatapan matanya bahkan lebih tajam dari seekor elang melihat mangsa kalau sedang marah.

Virgo tertunduk. Raka kalau marah menakutkan. Dia memang tidak melampiaskan kemarahannya melalui mulut atau pun tangan. Tapi sikap diamnya terlalu mengerikan. Matanya mampu membunuh siapapun yang berani melawan.

"Kalau begitu, Zifa, Om pergi sebentar ya? Itu sudah ada Virgo. Nanti biar Om antar pulang." Raka mengacak-acak puncak kepala Zifa. Lalu bangkit.

"Kamu bolos buat ngantar bekal buat Zifa?"

Virgo hanya mampu meneguk ludah ketika ayahnya berbisik.

"Asal nggak sampai dihukum, lanjutkan."

Cowok itu langsung tersentak begitu Raka mengatakannya sambil menepuk bahu. Ayahnya nyengir. Ya ampun, Virgo pikir akan ada sidang besar-besaran nanti malam. Dasar Raka. Virgo hanya menggeleng-geleng bete' melihat kelakuan konyol ayahnya lagi.

Lagian mana ada, murid bolos bebas hukuman?

"Kenapa bisa jatuh?" Virgo membukakan bekal makan untuk Zifa.

"Sebenernya nggak jatuh, Vir." Nyatanya sampai sekarang Zifa masih sedikit terisak. "Tadi itu lompat jauh. Awalnya semua aman-aman aja. Waktu giliran gue di pasirnya ada kaca. Terus nancep di lutut. Perih banget, tau nggak?" terangnya dengan suara bergetar.

"Tiba-tiba ada kaca?"

"Iya. Aneh nggak, sih? Jangan-jangan ada yang sengaja naruh."

Virgo mengernyitkan dahi. Dalam hati sebenarnya dia cukup setuju dengan perkiraan Zifa. Tapi ...

"Jangan su'uzon dulu lah, Fa. Lukanya dalem, ya?"

Zifa mengedik sambil menyesap mulut. "Om Raka bilang iya. Gue takut mau liat. Kayaknya sebulan gue nggak bakal buka perban."

Virgo langsung tertawa kecil. "Nggak usah berlebihan, Fa. Yang namanya perban juga harus tetep ganti sehari sekali atau paling enggak kalau udah kotor. Kamu mau kena infeksi, apa?"

"Ih, nakutin aja deh! Nyebelin!" Cewek itu lantas mencubit lengan Virgo.

"Sakit, Fa," rajuknya. "Nih, ah! Makan aja!" Dia mengulurkan kotak makan berisi roti isi pada Zifa.

"Suapin, dong."

Virgo berdecak. "Dasar manja. Sekarang aku pelajarannya bu Harni lhoh, Fa. Lebih garang dari bu Endang."

"Ya udah, deh. Balik aja sana!"

Virgo mendengus. Malah ngusir. Tapi Virgo lumayan lega. Zifa sudah bisa tenang sekarang bersama makanannya. Tanpa sadar senyum Virgo merekah melihat Zifa yang begitu lahap memakan bekal tersebut.

Tak sengaja tatapan Zifa jatuh pada Virgo yang masih mematung di depannya. Pake senyum-senyum gaje, lagi. Roti yang baru dia gigit pun dianjurkannya pada cowok itu. "Mau?"

"Emm," Virgo menggeleng. "Aku puasa."

Zifa ber-oh pendek. "Ya udah gih, cepetan balik. Galak-galak gitu bu Harni biasanya ngasih hukuman ngeringkes pelajaran tergantung waktu telat. Gue sih biasa."

"Oke." Virgo tersenyum penuh arti. Namun juga menyiratkan keinginan kalau sebenarnya dia masih ingin menemani Zifa. Dia pun bangkit. "Get well soon, Fa ...." Dengan ragu dilangkahkannya kaki, berputar balik dan menjauh dari Zifa.

"Eh, Vir!"

Cowok itu menoleh.

"Makasih, ya?" teriaknya sembari melambaikan rotinya di udara.

Virgo hanya tersenyum menanggapi. Lalu melambaikan tangan dengan gerakan yang cuma setengah-setengah. Malu.

Lama-lama, ada senangnya juga bisa pacaran dengan orang yang disukai. Sekali pun perasaan bersalah tetap selalu hinggap dalam benaknya.

Perasaan itu memang sama seperti energi. Tak dapat diciptakan maupun dimusnahkan. Hanya saja dia dapat berubah, tergantung dari hal yang seseorang lakukan atau terima.

●●●

Ini pertama kalinya Naura bertemu dengan Zifa. Duduk berhadapan dalam satu meja di teras kafe pula. Dari tadi mereka berdiam diri. Naura hanya terus menyelidiki hal apa yang istimewa dalam diri Zifa sampai berhasil menarik perhatian Rendra. Kelihatannya tipe cewek yang cuek dalam hal penampilan. Seragam OSIS nya kusut dengan kemeja yang sudah keluar semua. Rambut ekor kudanya berantakan. Bahkan Rendra pernah bilang, kalau Zifa itu tukang ngebo dan pemalas. Lalu, apa yang Rendra suka dari Zifa kalau semua yang melekat padanya itu hal minus?

Masa sih, Naura kalah saing dengan cewek seperti Zifa?

Cewek berambut panjang itu terus memainkan ponsel. Seolah tak menghiraukan keberadaan Naura di seberang meja. Rendra dan Bagas sendiri sedang mengembalikan barang pinjaman ke temannya sebentar.

"Kakak yang namanya Naura, ya?" Akhirnya Zifa meletakkan ponselnya dan membuka pembicaraan.

"Iya, Fa."

"Kakak yang suka sama kak Rendra itu, kan?" ujarnya to the point. Habisnya mulut Zifa keburu gatal ingin mengatakan hal tersebut dari dulu.

Pikiran Naura tiba-tiba kacau hanya dengan mendengar ucapan Zifa. Tau dari mana nih bocah? Matanya melebar. Bingung. Dari mana Zifa tahu?

"Deketin aja kak Rendra-nya, Kak. Pepet terus. Aku bakal dukung, deh," Zifa tersenyum lebar sambil menaikkan kedua alisnya. Yang Naura tahu, dari senyum semacam itu, pasti cewek sok tahu itu menyembunyikan sesuatu.

Rendra memang lebih tampan dari Virgo. Siapapun juga akan bilang demikian kalau kakak beradik itu disejajarkan. Hanya saja Virgo lebih tinggi. Dan satu hal yang paling penting; Virgo itu cowok normal dan bisa dibilang sempurna untuk ukuran manusia jaman sekarang.

Kalo mau dukung gue, harusnya tuh elo pergi dari muka bumi ini, Fa! Naura masih punya cukup kewarasan untuk tidak menembakkan kalimat itu. Dia memang mulai gereget dengan Zifa. Kelihatan mulai mengesalkan nih ABG satu.

"Kalau Kakak berani, tembak langsung aja kak Rendra. Bang Bagas biar cari yang lain. Ups," Zifa pura-pura tercengang dengan menutup mulutnya dan mata yang dilebar-lebarkan. Padahal dia sengaja bilang begitu. Se-nga-ja.

Naura langsung mengerutkan dahi. Kalau Zifa itu bukan adik Bagas, sudah dia remas-remas cewek itu. Tapi, kenapa dia menyangkutkan nama Bagas?

"Kak Nau-" Pandangan Zifa berhenti menyapu sekeliling begitu mendarat pada kedua bola mata seseorang yang juga menatapnya.

"Virgo? Virgo! Sini!"

Cowok itu justru melengos ketika tahu Zifa ada di salah satu meja di teras kafe. Dia berjalan cepat seolah ketangkap basah hendak kabur lalu menjauh secepat mungkin dari keberadaan Zifa.

"Ihh, Virgo-aaaa!" Zifa menjerit saat dia terjerembap ke lantai.

Ingin sekali Naura tertawa jahat seperti penyihir berhasil membuat Snow White tertidur. Tapi Naura bukan cewek sejahat itu. Dia pun segera merangkul Zifa bangun.

"Nggak pa-pa, kan, kamu?"

Zifa menyeringai sakit. "A-auh ...." Lututnya terasa perih dan berdenyut-denyut. Pelan-pelan dia mengusap perbannya yang agak kotor. Karma sih, gara-gara menggoda Naura.

"Kampret si Brewok! Liat aja, gue nggak bakal ngomong sama dia tiga hari tiga malem!" Zifa bersumpah dengan tatapan berang yang masih diekorkannya pada punggung Virgo yang masih kelihatan di ujung sana.

●●●

Raka ingin tertawa melihat muka Zifa yang benar-benar kusut. Beruntung rumah Zifa dan Virgo itu hanya bertolak arah. Selain itu, ada pintu kecil yang melekat di tembok belakang, menghubungkan rumah mereka berdua dengan jalan setapak yang berbatasan langsung dengan pagar. Jadi Bagas tidak perlu susah-susah memutari beberapa rumah demi menggantikan perban Zifa.

Dan di saung kecil tempat favorit Virgo membaca buku tiap hari Minggu itu mereka duduk.

"Kok cemberut mulu?"

"Tadi ya, Om. Masa si Virgo melengos waktu liat aku lagi duduk di teras kafe? Aku teriak-teriak dia malah kabur. Terus aku jatuh, deh! Sebel!" gerutunya.

Raka tertawa geli dengan omelan Zifa.

"Ini, Fa. Diminum, ya?" Rendra meletakkam minuman itu di samping Zifa. Cowok itu tersenyum lebar. Bodohnya lagi, dia tersenyum sambil terus mematung di hadapan Zifa dan Raka.

Raka cuma tertawa dalam hati saat melirik anak sulungnya kelihatan bahagia mematung di dekat Zifa. Kalau saja Rendra itu tidak melarangnya untuk memberi tahu Zifa soal perasaannya, sudah Raka bombardir habis-habisanmereka dengan godaan.

Zifa menoleh sesaat. Tahu dirinya diperhatikan, Zifa jadi bengong. "Kak Rendra mau jadi patung terus?"

Rendra mengerjap. Lalu meringis kikuk. "Em, a-aku ke sana dulu. G-G-GWS, ya!" Tiba-tiba dia menubruk tubuh Virgo yang ternyata sudah berdiri di belakangnya. Yang menabrak malah cengengesan.

Virgo tahu, pasti kakaknya itu sedang gugup dengan Zifa. Dia pun menepikan minuman itu dan duduk di samping Zifa. Perbannya sudah selesai diganti.

"Jangan sampai jatuh lagi, Ya? Cepat sembuh, Zifa." Sepeninggal Raka, Zifa bergeming sambil menatapi serangga-serangga kecil yang beterbangan mengerumuni lampu taman pekarangan belakang rumah. Wajahnya murung.

Tampaknya cewek di sebelahnya itu sedang marah. Tapi apa yang membuatnya demikian? Virgo penasaran.

"Kamu kenapa?" Suara Virgo memecah heningnya suasana malam yang tumben sekali tak dipadu suara jangkrik, atau katak yang tak jarang mampir ke kolam ikan penuh teratai itu.

Zifa melirik Virgo sekejap. Lantas menatapi pantulan cahaya lampu yang menghias dinding tepi kolam. Sepertinya sumpahnya tadi sore itu benar-benar dia jalankan. Tapi rasanya lucu ketika cewek cerewet sepertinya tiba-tiba menjadi pendiam.

"Nih. Panas dalem, kan?" Disodorkannya segelas coklat hangat pada ceweknya itu. Bukannya Zifa benar-benar panas dalam. Tapi siapa tahu setelah minum Zifa mau angkat bicara.

Zifa menerimanya. Menyeruputnya sedikit. Lalu meletakkannya di sisi yang lain. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun

Ah, lama-lama geli itu mulut digelitik rutukan yang ingin sekali terjun keluar.

"Ck. Kenapa sih lo mesti malingin wajah waktu lihat gue?! Keki tahu, nggak diacuhin gitu! Apalagi waktu gue lagi sakit gini."

"Ha? Malingin wajah?" gumam Virgo pada diri sendiri. Dia tak mengerti. Kalau dipikir-pikir, jangan-jangan cowok itu ...

"Kayaknya kamu salah paham, Fa."

Zifa langsung mencibir tak percaya. "Lo pikir gue minus? Itu beneran lo, Brewok!" comelnya.

Kalau Zifa tak segera diberitahu, maka dia pasti akan salah paham terus.

Virgo menarik napas. "Aku bakal kasih tahu semuanya kalau kaki kamu udah sembuh. Dengan syarat, kamu nggak boleh ngomong ke siapapun."

Awalnya Zifa tak paham dengan apa yang Virgo katakan. Tapi berhubung cowok itu sudah berjanji, maka akan dia pegang janji itu. Diangkatnya jari kelingking itu tinggi-tinggi.

Dengan wajah lempeng Virgo mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking kecil Zifa. Cewek itu sudah bisa tersenyum lagi sekarang. Malahan dia mencubit gemas pipi Virgo yang tak berisi itu. Kembali bercerita hal-hal gila dengan senyum yang seolah tak mau lepas sampai mereka tergelak puas.

"Itu ada kans buat lo deketin Zifa, lhoh, Ren. Malah Virgo yang lo biarin deket. Hati-hati lhoh, adik lo itu sama-sama cowok," adu Bagas yang duduk di ambang jendela kamar sahabatnya yang memang berbatasan langsung dengan halaman belakang.

Rendra yang tadi tengah mengotak-atik remot televisi kamar beralih duduk di samping Bagas. Mengambil keker di laci lemari kecil. Mengamati Zifa dan adiknya yang duduk berduaan di saung.

"Jangan salah, Gas. Adik gue itu cowok gentle dan sangat gue percaya. Nggak mungkin dia bakal nikung gue," ocehnya tanpa berhenti mengintai dua sahabat itu.

"Ya udahlah, Ren. Jangan nunggu lama-lama! Keburu ditembak cowok lain lagi, adik gue"

"Emang Zifa udah putus dari Dika?"

Bagas terdiam. Iya juga. Zifa kan masih pacaran sama Dika, batinnya.

Sebenarnya pun Bagas mengatakan hal itu agar Naura tidak lagi menaruh harapan pada Rendra. Sama halnya dengan Zifa yang tadi sore ngebet memohon Naura mendekati Rendra supaya Virgo tetap menjadi miliknya.

Ya, tanpa ada yang tahu maupun memberi tahu, sebenarnya Zifa sudah tahu bagaimana perasaan Rendra terhadap dirinya.[]

●●●

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top