[1]
Awan hanya punya dua. Putih dan abu-abu. Sementara pelangi punya tujuh. Mejikuhibiniu.
###
Mata Zifa terbeliak dengan jantung berdesir. Mimpinya sangat buruk. Firasatnya pun demikian. Bulu kuduknya seketika meremang. Jangan-jangan Zifa mau dibunuh seseorang!? Kan Virgo sering bilang, kalau nyawa itu bisa diambil kapan pun Tuhan mau. Bagaimana kalau Zifa bakal menemui ajalnya hari ini!?
Ya ampun, Zifa melantur kejauhan.
Eh, tapi kalau teringat Virgo, kok Zifa seperti teringat sesuatu juga ya? Seperti ada sebuah hal dalam kepalanya yang mengiang-ngiang, namun tak tercerna oleh pikirannya sendiri.
Apaan, ya?
Dia lalu menoleh ke arah jam dinding. Kembali matanya membulat kaget. Dia pasti akan dimarahi Virgo!
●●●
Tergopoh-gopoh Zifa menuntun sepedanya keluar. Dia sesekali berdesis, merutuki tas yang pundi-pundinya melorot atau ban sepeda yang terjepit di antara gerbang.
Terdengar decakan dari belakangnya. Dia meringis jengah kemudian menoleh ke sumber suara. Mendapati cowok berkacamata duduk di atas sadel sepeda lipat, yang sepertinya masih baru. Mukanya kelihatan gusar. Mata di balik kacamata itu seolah ogah-ogahan menatap ke arahnya.
"Fa, kalau lagi males, tolong i-nget kata-kataku waktu itu, ya," suruhnya datar setengah menyindir. Lalu membuang muka karena muak.
Zifa ingat sekali bagaimana dia sering gelisah tiap malam hari waktu itu. Waktu di mana Virgo akan meninggalkannya jauh. Berdoa pada Tuhan sepanjang bulan menyinari bumi hanya agar sahabatnya tidak jadi mengambil undangan beasiswanya ke Jepang lebih awal. Namun begitu harapan itu terwujud, Zifa malah menjadi pribadi yang tidak bersyukur seperti ini. Ckckck .... Padahal demi dirinya, Virgo sudah sangat ikhlas menahan keinginannya untuk kuliah, kemarin.
"Iya, iya. Janji deh nggak bakal ngulang," katanya dengan nada sesal. "Lo tahu enggak? Gue tuh tadi habis mimpi buruk tau! Masa gue mimpi lo mau bun-"
"Hush! Mimpi buruk itu enggak bagus diomongin. Ayo berangkat!"
Zifa mengerucutkan bibir begitu cowok itu meninggalkannya lebih dulu. Padahal biasanya dia selalu mengiringi dari belakang untuk menjaganya, terutama saat melewati jalan raya.
Atau jangan-jangan, habis dari Jogja, pribadi Virgo yang dulu kembali ke tempatnya semula?
Virgo itu tipe orang disiplin dan selalu memanfaatkan waktu dengan hal-hal berguna-bagi dirinya sendiri. Kadang sampai egoismenya membengkak. Sangat berbeda dengan kepribadian Zifa yang ekstrovet dan lebih suka kumpul-kumpul dengan temannya menghabiskan waktu bersama.
Bahkan pernah suatu kali ketika hendak berangkat sekolah, Virgo menggertak seperti ini kepadanya, "Ngomong aja terus! Waktu yang kamu buat ngomong itu bisa bikin aku sampai di kelas sampai baca novel Harry Potter seri satu sampai tujuh, tahu!"
Tempe.
Huh, menyebalkan sekali bukan? Ngomong sering pendek, tapi begitu panjang nyelekitnya minta ampun. Virgo pikir celotehan Zifa itu sepanjang sungai Nil dilipatgandakan apa? Zifa kan cuma pengin curhat.
Yah, walau sifat dingin Virgo tak pernah berubah, setidaknya dia senang bila menyadari bahwa dia berada di posisi yang membuat orang lain iri. Bahwa hanya kepadanya Virgo membuka diri, meruntuhkan dinding tebal dan dingin yang dulu sangat tinggi. Sampai Zifa berpikir seolah tak akan pernah bisa masuk ke dalamnya. Menggapainya seperti saat ini.
●●●
Cowok itu menuntaskan pukulan terakhirnya pada salah satu lawan yang kini telah ikut terkapar bersama temannya di tanah. Lalu menegakkan tubuh seraya mengelap darah yang menetes di sudut bibirnya itu dengan senyum remeh. Matanya turun melirik arloji di pergelangan tangannya. Dia sudah terlambat hampir satu jam ke sekolah.
"Dasar adek kelas goblok! Mau aja kalian jadi antek-anteknya Rahman! Rugi, kan?" oloknya.
Dia mengambil tas merahnya, menyelempangkannya pada setang motor.
"Bilang ke dia, entar malem jangan sampai telat!" ancamnya sebelum kepalanya tertutup helm. Dan Trillnya pun melaju cepat meninggalkan dua orang dengan rupa tak berbentuk itu.
●●●
"Terima kasih, Kak!"
"Kak, saya, Kak!"
"Saya, Kak!"
Cewek berkerudung itu kemudian berbalik meninggalkan si artis dadakan sekolah. Berjalan menerobos kerumunan anak berseragam sama yang mulai kembali berebut giliran. Seraya memeriksa daftar kakak pengampu yang harus dia mintai tanda tangan, diketuk-ketukkannya ujung pulpen itu pada dagu.
"Kurang siapa?" Seseorang sudah berdiri di depannya.
"Kurang ... kak Virgo!"
Cewek kuncir kuda itu mengernyit tertimpa cahaya matahari yang semakin tinggi sambil mengembangkan senyum. "Kita samaan, dong, Nis! Nyari bareng, yuk!"
"Kalo kata kakak kelas yang gue tanya sih, orangnya pake kacamata. Cuma itu clue-nya. Di sini kan, anak pake kacamata bejibun, Ra," terangnya putus asa.
"Kita coba carilah .... Yuk!" Rara menarik lengan temannya itu. Menuntunnya kembali pada tepi kerumunan.
"Eh, kacamata! Mungkin dia orangnya?" pekiknya tertahan.
Nisa yang dari tadi menoleh ke sana ke mari melihat apa yang ada di kantin itu. Matanya membulat.
Dia sekolah di sini?
"Sini, bi-" Rara hendak menarik kertas berisi tanda tangan dari Nisa.
"Tunggu, Ra!" cegahnya tanpa menarik pandangan dari cowok berkacamata yang tengah dikerumuni banyak siswa baru itu.
Rara mengerutkan kening. "Kenapa?"
"Bukan," jawabnya sambil menggeleng-geleng. "Itu kakak kelas gue waktu SMP. Namanya Oka."
Lubang kecil terbentuk di bibir Rara. "Ya udah, deh. Cari lagi, yuk!"
●●●
"Anjir!" umpatnya mendengar jawaban operator yang menyatakan bahwa nomor yang dia tuju berada di luar jangkauan. Mungkin sudah hampir lima kali Roni menelpon Oka. Tapi tak juga terjawab.
"Ron, mana tuh, si Oka? Koor sie keamanan, kok, berangkatnya telat!" hardik Yusuf yang mulai geram dengan telatnya Oka yang sudah hampir satu jam.
"Tau nih, si Bos. Ditelpon nggak diangkat."
Jauh dari sana, Oka sedang berjalan santai di tengah-tengah kerumunan anak-anak kelas dua yang masih menempati kelas di ruang bawah. Keramaian koridor mendadak disekap hening seiring Oka melangkah. Cowok-cowok menatapinya takluk dan segan, sementara cewek-cewek menatapinya terkesima.
Sembari terus berjalan, dia memakai dasi dan merapikan seragam. Lalu dia berhenti ketika diketahuinya bahwa tak ada topi upacara di dalam tas. Saat itu juga, seorang cowok setinggi bahunya menabrak dirinya.
Cowok pendek itu langsung merendahkan badannya ketika mendapati bahwa yang ditabraknya adalah pentolan sekolah yang sangat terkenal sejagad SMA Tarumanegara. Dia mulai cemas dan takut, takut diapa-apakan oleh cowok yang disegani oleh hampir seluruh anak di sekolah tersebut.
"Ma-maaf, Kak. Ng-nggak s-se-seng-ngaja," kata cowok itu terbata dan begitu takut seperti mau dilahap oleh Oka. Anak-anak di sekitarnya cuma menatapinya seram seakan menganggap bahwa itu adalah hal terkutuk yang tak pernah ingin mereka alami.
Oka melirik name-tag cowok di depannya dengan tatapan tajam
Namanya Aldiansyah Putra.
"Eh, Bontot, lo pasti bawa topi, kan? Sini deh, gue pinjem," paksa Oka sambil melotot dan memaju-mundurkan jari-jarinya di udara.
"I-ini, Kak." Aldi langsung sigap mengambilkan topi upacara dari dalam tasnya dan memberikannya pada Oka.
"Yah, topi coret-coretan tipe-ex gini mau lo pinjemin ke gue!" Oka menimpuk Aldi dengan topi di tangannya membuat adik kelasnya itu meringis takut. "Topi kek gini udah waktunya dibuang, tau?!"
Aldi hanya bisa pasrah melihat cowok bengal di depannya itu melempar topinya ke tempat sampah. Bisa-bisanya si Nisa suka ma cowok beginian, batin Aldi.
Oka balik badan dan melihat sejumlah anak sedang berkumpul jadi satu memandanginya ngeri.
"Siapa lagi yang bawa topi?" tanyanya galak sambil memajukan dagu.
Anak-anak itu langsung saling menunjuk satu sama lain. Dan ujung-ujungnya, Oka malah melakukan razia topi mendadak pada anak-anak kelas dua yang tak berdosa itu.
●●●
Nisa dan Rara ngos-ngosan begitu sampai di tempat mereka berdiri semula lagi.
"Aduh, mau cari kemana lagi, nih? Waktunya hampir habis lhoh, Ra."
"Ya udah sih, Nis. Siapa tau lo salah lihat. Bisa aja itu kak Virgo yang kita cari, kan?" Rara merasa seperti ingin menyalahkan Nisa. Tapi sayangnya Nisa juga tidak bersalah dalam hal ini. Cewek berkerudung itu hanya pemalu.
"Tapi gue kenal banget sama wajahnya, Rara. Itu kak Oka." Matanya melirik gelisah cewek yang kini ada bersama cowok berkacamata itu. Yang tengah bercanda dengan cowok lain di seberang meja, dan tampak tak acuh dengan keberadaan Oka.
"Ya kalo lo emang kenal, tanya dong, yang mana kak Virgo. Siapa tau lo dapet dispen karena kalian dari SMP yang sama, kan?" kata Rara setengah geram.
Perkataan itu membuat Nisa bergeming. Gue? Nanya sama kak Oka? Jantungnya dag-dig-dug. Tatapan Rara yang begitu mengintimidasi membuat Nisa hanya bisa meneguk ludah secara pasrah. Perlahan kakinya melangkah pada cowok berkacamata yang tengah duduk anteng membaca buku itu.
Wajahnya menunduk ketika sampai di sisi meja kantin yang Oka tempati. "Kak Oka, sa-"
Belum sampai Nisa merampungkan kalimatnya, kedua teman cowok itu kontan terbahak.
"Eh? Lo ganti nama?! Kapan? Kok nggak bilang-bilang?!" Ekspresi cewek itu tampak dibuat-buat terkejut. Lalu tertawa lagi. Karenanya hati Nisa tersinggung.
"Tumpengan! Tumpengan!" sahut cowok bermata bulat sambil menggebrak-gebrak meja seperti anak kecil minta disuap.
Sementara itu, wajah si cowok berkacamata benar-benar datar. Bahkan terkesan dingin. Tampak tidak memedulikan kehebohan dua temannya sama sekali. Meski cukup heran kenapa adik kelas itu memanggilnya dengan nama lain, dia tak mau ambil pusing. Bisa saja, kan, dari belakang dia mirip orang lain?
"Tanda tangan?"
"I-iya, Kak." Langsung diletakkannya pulpen dan kertas berisi sejumlah tanda tangan. Lalu melirik Rara di kejauhan sana dan melambaikan tangan lewat bawah mengajaknya ikut merapat.
"Saya juga, Kak."
Virgo hanya menggerakkan bola matanya sekilas ketika satu lagi adik kelas menghampiri, tanpa mengangkat wajah sedikit pun.
"Peh, Bren cemberut aja kenapa, tuh?"
"Tau, nih! Habis pulang dari Jogja kena sawan jutek lagi kayaknya," jawab cewek itu sekenanya.
Virgo melirik dengan pandangan letih. Mungkin mereka berdua belum pernah mengalami bagaimana rasanya dikerumuni puluhan anak yang meminta tanda tangan.
"Sudah." Virgo memberikan kedua kertas dan pulpen itu pada pemiliknya secara acuh tak acuh. Sementara kedua anak di sampingnya masih mengoceh tanpa arah.
Nisa menatap nanar nama Virgo yang ditulis besar-besar di bawah tanda tangannya. Seolah-olah menyiratkan peringatan agar tidak salah panggil lagi.
"Sebelumnya maaf, Kak. Terima kasih. Permisi," Rara menarik lengan Nisa yang masih mematung. Bergegas angkat kaki lalu menceramahi temannya itu selama berjalan.
Yang diceramahi justru tak mengindahkan. Pandangannya tak mau lepas dari cowok dingin bernama Virgo itu. Ini mustahil ...
●●●
Masih lengkap dengan jas laboratoriumnya, Naura menghampiri Rendra yang duduk di bawah pohon kerai payung taman kampus, tengah memenceti keyboard laptopnya.
"Hai, Ren ...," sapanya selembut mungkin agar tak membuat Rendra terkejut. Dia meletakkan buku-buku tebal di tangannya di samping Rendra.
Rendra menoleh. Wajahnya kelihatan berseri dengan tersenyum menyeringai. Tampak sedang cukup bahagia.
"Baru dari lab, ya?"
Naura terkekeh. Dia sengaja tidak langsung melepas jasnya hanya karena ingin segera bertemu dengan Rendra.
"Iya. Kelihatan seneng banget, sih? Kenapa?" Hatinya berdesir menunggu alasan kenapa wajah temannya seceria itu. Ada satu harapan tersembul; bahwa dirinyalah alasan itu.
"Ah, iya! Gue mau ngasih liat lo sesuatu! Sini, deh!"
Naura mendekatkan wajah ke arah layar laptop Rendra. Menyelipkan sejumput rambut sebahunya yang berjuntaian di balik daun telinga. Seketika, harapan itu luruh.
"Inget Zifa-Zifa yang pernah gue ceritain itu?" Mata yang ada di balik kacamata itu berbinar melihat potret cewek yang sedang berkacak pinggang dalam laptopnya.
"Adiknya Bagas, kan?" Senyumnya yang tadi rekah kini layu.
Resah meruap melihat Rendra yang mengangguk semangat. Cowok berkacamata itu pernah bercerita segala hal tentang Zifa. Bahkan tentang perasaannya terhadap cewek tersebut.
"Cantik kan, Ra?" Yang Rendra tahu, Naura belum pernah melihat Zifa sama sekali. Padahal sejak Rendra memberitahu kalau dia suka pada Zifa, Naura sering diam-diam mencari foto cewek itu di akun media sosialnya.
Oleh karena itu, senyum itu dia paksa mengembang demi membuat Rendra tak menaruh curiga.
"Lo kan cewek. Cewek itu suka cowok yang gimana, Ra?"
Ah, dasar cowok polos yang belum pernah pacaran.
Naura mengerti bagaimana Rendra. Tipikal cowok yang tak mudah menyerah meraih apa yang diinginkan, meski cuma lewat usaha kecil-kecilan. Rendra cerita soal Zifa itu sudah dua tahun yang lalu. Dan hatinya masih saja terpagut dengan Zifa meskipun cewek itu sudah pacaran dengan adik tingkatnya. Tapi Naura sengaja melupakannya. Dia tak pernah suka Rendra menyinggung suatu hal soal cewek lain.
Benar-benar cowok setia dan tak mudah tergoyahkan pendiriannya. Kalau sudah A, ya A. Tidak mau sampai berubah B.
Mungkin ada pengecualian. Jika barangkali mereka memang tidak ditakdirkan bersama.
"Cewek itu kan banyak, Ren. Beda-beda, lagi."
"Kalau Nona Naura sendiri? Hm?"
Duar! Naura bingung mau jawab apa. Tapi melihat Rendra terkatung-katung dengan wajah polos yang sarat akan keingintahuan, dia pun tak tega membiarkannya.
Senyumnya merebak membuat matanya menjadi lebih sipit, "Gue suka cowok yang peka."
Tanpa Naura tahu, ada hati lain yang juga tengah tenggelam dalam kecemburuan. Hati cowok berambut jabrik yang kini tengah memandanginya muram dari kejauhan.[]
●●●
A/n : Duh, saya nggak jadi bikin teka-teki deh. Tapi nggak pa-pa, meski dari awal udah kelihatan, yg penting bukan itu kejutannya. Ada kejutan di bagian klimaks ya gaes (masih panjang) jadi kalau mau tau baca terus. Semoga seru, aamiin...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top