8
"Aku benci selalu dipertemukan dengan orang baru yang sudah berpunya."
***
Kabar sakitnya Ara terdengar ke telinga orang tua Alin dan Cakra. Jadilah hari ini Mama mereka datang dan menginap di sini untuk merawat menantunya.
Sekalipun Ara bukanlah menantu yang mereka dambakan, tapi Sarah dan Gio selaku orang tua Cakra berusaha menerima wanita itu dengan baik.
"Ini pasti karena kamu terlalu ngerepotin kak Ara kan? Makanya kakak mu ini jadi sakit," omel Sarah pada Alin. Ngomong-ngomong Sarah datang ke sini tanpa suaminya. Pria itu sedang bekerja hingga tak bisa mengambil cuti hari itu juga.
Alin merenggut kesal. Ngomong-ngomong Ara hanya demam biasa. Namun karena bawaan hamil, jadinya wanita itu tak bisa melakukan pekerjaan rumah seperti biasa.
Ara diam saja. Paling wanita itu hanya membalas omongan sang mertua dengan senyum sekilas. Kentara sekali bahwa wanita itu tak nyaman dengan dua orang di hadapannya. Tapi memang, sejak awal menikah Ara sukar berbaur dengan keluarga Cakra.
"Ara mau makan apa? Bubur mau? Gak mual kan?" Lihatlah betapa ramahnya Sarah pada istri Cakra itu.
"Boleh, Ma," jawab Ara dengan suara lemah.
Sarah akhirnya bangkit, disusul dengan Alin, namun Alin lebih dulu keluar dari kamar.
"Ma..." panggil Ara ketika Sarah berada di pintu. "Maaf kalau Ara ngerepotin."
***
"Mama masih gak paham, kenapa tiba-tiba kamu mau tinggal sama Bang Cakra. Kamu kan tau, Bang Cakra udah punya istri," omel sang Mama. "Tiap malam Mama selalu kepikiran kamu di luar sana betah atau gimana? Ngerepotin gak ya?
"Alin pengen mandiri, Ma."
"Mandiri? Terakhir kali di rumah, kamu nangis-nangis loh. Logis gak tuh alasannya?"
Alin membantu sang Mama memasakkan makanan untuk Ara. Ini kali pertama ia mengotak-atik dapur di rumah ini, sebab biasanya Ara yang selalu menguasainya.
"Mama ih, tujuan anaknya baik bukannya didukung malah dicurigain mulu."
Sarah tertawa mendengar bantahan putri bungsunya. Setelah itu, ia menghela napas pelan. "Gimana suasana di sini? Nyaman? Tetangga, temen-temen sekolah?"
Alin hanya mengangguk, ia menyembunyikan pandangannya dengan cara menunduk.
"Papa titip salam. Dia minta maaf karena gabisa ngasih brownies nya secara langsung sama kamu. Papa kangen tau sama kamu. Setelah ini, sering-sering telpon Papa sama Mama ya. Jangan nunggu ditelpon! Anak jaman sekarang kebiasaan, suka bikin khawatir."
Lagi-lagi Alin hanya bisa mengangguk, sebab dia rindu mendengar omelan sang Mama yang sudah semingguan ini tak di dengarnya langsung.
"Lin..." panggil sang Mama ketika keduanya bungkam selama beberapa saat.
"Iya, Ma?"
"Kak Ara itu orangnya emang pendiem ya?"
"Memangnya kenapa, Ma?"
"Nggak, soalnya Mama gak pernah denger Ara ngomong banyak sama Mama. Ini perasaan Mama aja, atau dianya emang gitu orangnya?"
Alin sependapat dengan sang Mama. Ara terlalu tertutup dengannya. Wanita itu juga sering mengerjakan semua pekerjaan rumah, tanpa mau mengajak Alin untuk membantunya. Entahlah, Alin masih tak paham dengan sifat kakak iparnya itu.
"Atau mungkin bawaan hamil kali ya?" tebak sang Mama.
"Mungkin," balas Alin.
"Tapi hubungan Cakra sama Ara baik-baik aja kan? Mereka suka berantem gak?"
Alin bungkam. Jika dia mengatakan pernah mendengar pertengkaran Cakra dan Ara beberapa kali dan disebabkan olehnya, maka mungkin sang Mama akan membawanya pulang hari ini juga.
Lagipula di awal kepindahannya ke sini, Cakra pernah mengatakan untuk menjaga rahasia rumah tangganya bersama Ara dari orang tua mereka.
Alin hanya menggeleng berpura-pura tak tahu.
"Besok Mama mau pulang. Mungkin pagi setelah kamu berangkat sekolah."
"Ih, kok cepet?"
"Kasian Papa sendirian. Kamu jagain Kak Ara biar cepet sembuh. Jangan direpotin terus."
Alin sebenarnya ingin Mamanya berlama-lama di sini. Pasalnya, jika Cakra masih di luar rumah, Alin benar-benar merasa seperti orang asing di sini.
"Oh iya. Beberapa hari lalu ada temen kamu yang nyariin ke rumah."
Alin kaget, dan langsung antusias menatap sang Mama. "Siapa, Ma?"
Sarah tampak mengingat-ingat sesuatu. "Mama lupa siapa namanya. Tapi dia cowok."
***
Bunyi ketukan pintu di ruang utama membuat Alin semangat untuk membukanya. Ini sudah jam pulang Cakra. Alin tak bisa membayangkan bagaimana ekspresi pria itu saat melihat Mama mereka ada di rumah.
Saat Alin membuka pintu, ternyata orang itu bukanlah Cakra, melainkan Sadam.
"Buat Kak Ara," ujar lelaki itu sembari menyodorkan sekantung plastik seperti kemarin.
"Thanks," balas Alin dan menerima pemberian lelaki itu. Seperti biasa Sadam pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun lagi.
Alin masuk sembari membawa pemberian Sadam untuk Ara. Kadang dia bingung, apa hubungan Ara dan Sadam sedekat itu? Tapi Alin tak pernah melihat keduanya berdekatan kecuali saat Ara menumpangi Sadam ketika menjemputnya waktu itu.
Hal anehnya, Ara bisa dekat dengan anak tetangga, tapi tak bisa dekat dengan adik iparnya sendiri.
Oke, lupakan. Ngomong-ngomong Sadam membawakan dua porsi seblak seperti kemarin. Makanan itu tak serta-merta dimakan oleh Ara seluruhnya. Wanita itu memberikan seporsi lainnya pada Alin.
Lagipula Sadam itu aneh-aneh saja. Ara memang sedang hamil. Tapi bukan berarti dia rakus. Satu porsi saja itu sudah lebih dari cukup.
Alih-alih memedulikannya, Alin segera beranjak menuju kamar Ara.
***
"Gimana rasa buburnya?" tanya Sarah saat Ara baru saja menelan bubur pertama buatan ibu mertuanya.
"Enak, Ma," jawab wanita itu dengan lemah.
"Kalau lagi pengen atau ngidam sesuatu jangan sungkan bilang ke Cakra ya. Jangan ditahan-tahan, gak baik untuk bayi kalian."
"Iya, Ma."
Jika dengan Cakra, Ara bersikap biasa. Dia bahkan sering memarahi pria itu karena hal kecil. Sama seperti dengan Sadam. Dua orang itu bisa membuat Ara bersikap bebas.
"Kamu kayaknya kecapean banget ya, Ra? Apa karena kamu ngurusin Alin? Harusnya di usia kehamilan yang sekarang, bb kamu mestinya nambah."
Ketika menyinggung masalah berat badan, wajah Ara mendadak berubah. Mereka pikir menjadi istri sekaligus ibu di masa muda itu menyenangkan? Tidak! Dia tertekan.
Sarah juga menyadari bahwa omongannya sudah berlebihan.
"Gini aja, Ra. Mama mau bantuin kalian. Itung-itung karena kalian udah jagain Alin di sini. Kamu mau dibeliin apa? Terserah apa aja. Mau make up, keperluan rumah atau apa. Terserah. Bilang aja ke Mama."
"Gak usah, Ma," tolak Ara dengan halus.
"Kalau kamu nolak, Mama tersinggung loh."
Ara bungkam. Ia tetap melanjutkan kegiatan makannya. Sementara Sarah masih tetap menunggunya. Ara kembali menatap ibu mertuanya.
"Beneran gak ngerepotin, Ma?"
Sarah tersenyum, sembari menggeleng.
"Ara mau minta tolong dibeliin..."
***
Tepat satu hari pulangnya ibu mertua, Ara merasa kondisinya lumayan membaik. Sore ini, sesuatu yang sedang ditunggunya sejak tadi akan tiba. Kebetulan Alin dan Cakra sudah pulang.
Bunyi mesin mobil serta ketukan pintu utama, membuat senyum Ara mengembang. Ia bergegas membuka pintu, dan ya pesanan yang dibelikan ibu mertuanya sudah tiba.
"Ara mau minta tolong dibeliin..."
Sarah masih terus menunggunya tanpa menyela sedikitpun.
"Ara mau minta tolong dibeliin motor, Ma. Boleh kan?"
Sarah tersenyum, "Loh? Buat apa? Kamu kan lagi hamil."
Ara menggeleng. "Buat Alin, Ma."
Selesai. Ara telah menandatangani sebuah surat kepemilikan motor itu. Dan benda itu juga sudah ditaruh di pelataran rumah mereka.
Tepat setelah kurir pengantar motor itu pergi, Cakra bersamaan dengan Alin keluar.
"Ini apa-apaan, Ra?" Cakra menatap motor itu dengan heran. "Ini motor siapa?"
Ara berusaha menenangkan suaminya. Wanita itu membawa Cakra masuk. "Itu motor Alin," ujarnya. Alin yang mengikuti mereka dari belakang sontak shock.
"Maksud kamu apa? Lagian uangnya dari mana? Kenapa gak diobrolin dulu?" Cakra jelas tak bisa diam saja jika sudah menyangkut masalah keuangan mereka.
"Aku yang minta sama Mama."
Mendengar itu, Cakra mengusap kepalanya dengan frustasi. Ara kembali membawa suaminya untuk memasuki kamar. Meskipun begitu, Alin masih bisa mendengar suara mereka secara samar.
"Jangan salah paham dulu, mas. Mama yang nanya ke aku tentang kebutuhan Alin. Dan motor itu salah satu kebutuhan penting Alin di rumah ini."
"Ya kamu mikir lah, Ra. Alin itu gak bisa bawa motor. Siapa yang ngajarin dia? Aku kerja, kuliah, kamu lagi hamil. Lagian kan aku masih mampu nganterin Alin sekolah." Cakra lagi-lagi membantah tak terima.
"Jemput? Alin naik gojek kan?" Cakra sontak dibuat bungkam oleh jawaban istrinya.
Melihat Cakra yang tak lagi berkutik, Ara lantas melanjutkan ucapannya. "Alin udah gede. Lagian dia bisa diajarin sama Sadam."
***
TBC!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top