50
"Lebih baik gagal karena prestasi daripada gagal karena percintaan."
***
Paginya, Alin diantar sekolah oleh Cakra menggunakan mobil mereka, persis seperti pertama Alin pindah ke tempat ini.
"Mama Papa udah tau?" Tanya Cakra ketika keduanya sudah masuk di dalam mobil.
Alin menggeleng. "Kak Ara bilang jangan sampai Mama sama Papa tau. Aku udah berusaha tutupin ini dari mereka."
"Makasih, dek."
"Aku gak abis pikir kenapa abang bisa terjerat sama kasus itu."
"Abang gak make sama sekali. Abang cuma disuruh ngasih barang itu ke pelanggan. Itu pertama kalinya, dan abang langsung ketauan." Jelas Cakra.
"Abang tau gak, aku sampe gak ngenalin abang lagi. Bahkan aku gak tau sosok siapa lagi yang aku jadiin panutan."
Mendengar perkataan adiknya, Cakra sukses dibuat bungkam.
"Tanpa abang sadari, sejak abang hancur, aku juga ikut hancur."
Cakra mengembuskan napas pasrah. "Abang emang gak pantas untuk kamu jadikan panutan. Tapi abang bisa jadi pelajaran hidup buat kamu."
Alin memalingkan wajahnya ke samping.
"Lin, abang sama kak Ara kasih kepercayaan penuh buat kamu. Jangan sampai salah langkah. Abang lebih bangga liat kamu gagal karena prestasi, daripada gagal karena hal lain. Kamu paham maksud abang kan?"
Nada suara Cakra terdengar tegas. Alin sukses dibuat mati kutu. Bahkan untuk menoleh saja ia takut.
"Abang sama sekali gak mendukung kalau kamu mau coba untuk pacaran di masa-masa sekolah. Abang tegaskan ke kamu, kalau sempat kamu ketauan pacaran, abang kembalikan kamu ke mama papa!"
Alin meremas kedua tangan di pangkuannya.
"I-iya, bang."
***
Pukul 7 pagi, Naumi yang masih lengkap dengan selimutnya masih betah berbaring di ranjang. Sebab menangis seharian kemarin, Naumi tak nafsu makan. Entah juga karena efek beban pikiran, jadilah hari ini dia drop.
Sang Mama masuk ke kamar sambil membawakan nampan berisi sarapan.
"Ini karena kamu gak dengerin omongan Mama." Itu kalimat pertama yang dilayangkan Mamanya sebelum akhirnya mengambil kursi dan duduk di sebelah putrinya.
Naumi tak menghiraukan sang Mama. Bahkan kedua matanya sengaja tak berkedip karena masih kesal dengan omongan buruk Mamanya tentang Sadam kemarin.
Vinda berniat mengelus kepala Naumi, namun gadis itu langsung menepisnya.
Dahi Vinda berkerut tak suka. "Kamu kenapa jadi kasar sama Mama? Kamu marah karena omongan Mama kemarin? Nyatanya Mama benar kan? Minimal dia berani datang langsung ke Mama. Tapi kemarin apa? Dia gak datang kan?"
Setelah beberapa saat tak berkedip, Naumi kini menutup matanya sebentar, tapi sialnya air mata malah jatuh.
"Sadam datang hujan-hujanan kemarin, tapi Mama gak ada di rumah. Mama terlalu sibuk sama temen-temen Mama yang gak jelas itu. Ngurusin arisan, inilah-itulah, sampai Mama lupa punya keluarga!"
Vinda membulatkan matanya tak santai. Ia bahkan menaruh nampan di hadapannya dengan kasar.
"Aku udah mikirin mateng-mateng, setelah lulus nanti, aku bakal keluar dari rumah ini kayak Kak Nada."
Vinda tersenyum sinis. "Kamu pikir dengan keluar dari rumah ini, hidup kamu akan damai? Banyak hal bahaya di luar sana. Apalagi kamu menjalin hubungan sama laki-laki gak jelas. Mau jadi apa kamu?"
Naumi menarik rambutnya frustasi. "Lama-lama aku bisa gila di sini!"
"Dengerin Mama baik-baik. Kalau Sadam lahir dari keluarga berada, percaya sama Mama, bukan kamu yang dijadikannya pacar." Tepat setelah mengatakan itu, Vinda melangkah keluar dari kamar anaknya.
Naumi merasa dadanya semakin sesak. Tangannya bergerak mengambil garpu di atas meja, lantas mengarahkannya pada pergelangan tangan kirinya.
Air matanya kembali jatuh. Tangannya bahkan bergetar.
Detik selanjutnya, Naumi melempar garpu itu ke dinding.
Garpu tak ada gunanya. Lagipula dia sudah tak ada tenaga untuk menusukkan benda itu. Ia butuh sesuatu yang lebih tajam. Naumi lantas mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamarnya.
***
Makin ke sini, Alin semakin merasa sendiri. Hari ini Naumi tidak hadir. Entahlah apa alasannya. Biasanya saat mereka masih dekat dulu, gadis itu pasti mengabarinya duluan bahwa dia tidak masuk besoknya.
Tapi sekarang, hubungan keduanya tidak dekat lagi.
Kelas masih terdengar bising meski Bu Fau sedang mengabsen murid di depan sana.
"Dwianaumi Fasha?" Tibalah saatnya giliran absen Naumi.
"Naumi gak ada kabar buk." Ujar salah satu murid.
"Tanya aja sama Alin, dia kan bestienya."
"Ngapain tanya Alin. Sadam dong. Kan pacarnya."
"Sadam, kemana Naumi?" Bu Fau yang nyaris dua setengah tahun mengajar di sini jelas sudah tahu mengenai hubungan pacaran antara Sadam dan Naumi.
Sadam menggeleng.
"Katanya pacar, masa kabar cewenya sendiri gak tau." Sindir seseorang. Dapat Alin tebak bahwa itu adalah suara Abi. "Makanya, punya pacar satu aja cukup. Gausah nambah."
Sadam tiba-tiba saja berdiri sambil menghentakkan kursi dengan kasar. Bunyi decitan itu sontak membuat suara bising di kelas mendadak diam. Alin yang duduk di belakang Sadam tak kalah terkejutnya. Tiba-tiba lelaki itu berjalan ke belakang kelas, lebih tepatnya ke kursi Abi.
Melihat aksi Sadam, Bu Fau lantas berteriak. "SADAM!"
Tak menghiraukan panggilan wali kelasnya, Sadam mengambil ancang-ancang untuk melayangkan tinju pada Abi. Sementara Abi malah terkesan santai.
"Kalau gak benar, kenapa marah?" Ucapannya sontak membuat Sadam semakin emosi. Abi kembali bersuara. "Anak sekelas juga tau, lo pasang dua."
Bugh!
"Lo semua bangsat!" Sadam terlihat kesetanan sekarang.
Bugh!
Abi sama sekali tak melawan saat Sadam menghajarnya dua kali. Selanjutnya, anak laki-laki lain turun tangan untuk menahan Sadam dan mengamankan Abi yang kini sudah terjatuh di kursinya.
"Asal kalian tau, si bangsat itu sering ngelecehin cewek-cewek gym!" Ungkap Sadam sambil menunjuk Abi dengan emosi.
Abi yang tadinya diam saja, kini tak lagi bisa menolerir. Ia bangkit, lantas melayangkan tendangan pada wajah Sadam.
Sadam sontak terjatuh, bahkan mampu membuat orang-orang yang menahannya juga ikut jatuh.
"KALIAN BERDUA, IKUT SAYA KE RUANG BK!" Bu Fau datang membawa Bu Wardani, guru BK.
Kondisi Sadam jauh lebih parah dari Abi. Sudut bibir Sadam robek hingga darahnya menetes ke lantai.
Lelaki itu bahkan dipapah salah satu murid ke ruang BK.
Sementara Alin, sejak tadi dia sama sekali tak melirik ke belakang. Mulai saat ini, apapun yang terjadi pada lelaki itu kedepannya, ia tak akan peduli.
***
Jam istirahat kali ini, hanya Alin yang berada di kelas. Alin menatap ponselnya dengan serius. Sesekali mengetik balasan pesan, lantas menunggu balasan selanjutnya dari seseorang.
Ia sedang berkirim pesan dengan Ara. Wanita itu tiba-tiba saja mengirimkan pap bertiga bersama Cakra dan juga Mamanya. Alin jelas kaget saat melihat sang Mama yang tiba-tiba datang.
Ternyata Ara yang menyuruh mertuanya datang, sebab ia ingin ditemani menjelang lahiran.
Alin mengembuskan napas lega. Tapi tetap saja dia merasa gelisah.
Seseorang tiba-tiba masuk dengan tergesa. Alin kembali merasa was-was. Sadam datang dengan sudut bibir yang masih luka. Refleks, tangan Alin bergerak menempelkan ponsel pada telinganya.
"Bang Cakra? Nanti jemputnya jangan telat ya. S-soalnya Alin gak sabar ketemu Mama."
Beruntungnya, bel masuk berbunyi. Sadam tadinya sempat duduk di kursi, namun tak lama, lelaki itu kembali keluar kelas.
Bersamaan dengan Sadam yang keluar kelas, Alin akhirnya bisa mengembuskan napas lega. Saat ini ia sedang berusaha menjaga interaksi dengan Sadam. Jujur saja, obrolannya dengan Cakra barusan hanya sekedar tipu dayanya. Nyatanya Alin sama sekali tak menghubungi pria itu. Hal ini semata-mata ia lakukan agar membuat Sadam tak mendekatinya.
***
TBC!
Yuhuu!
Jangan lupa tinggalkan jejak🐾
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top