44
"Sebelum masuk terlalu jauh, aku pamit menjaga jarak tanpa bilang."
***
Alin memutuskan pulang dengan angkutan umum. Jujur saja, otaknya yang tadinya kacau saat mendengar omongan Alma rasanya menjadi berkali-kali lipat saat melihat Naumi dan Sadam ciuman di parkiran.
Sejak di angkutan umum, Alin mati-matian menahan tangisnya. Rasanya seperti sesak, hancur, patah, secara bertubi-tubi.
Begitu tiba di rumah, Alin langsung mengunci pintu kamar dan menjatuhkan dirinya di atas ranjang. Alin menangis tanpa suara.
Ia merasa seperti dikhianati. Tapi oleh siapa? Oleh Naumi yang begitu mudah luluh memaafkan Sadam? Atau karena Sadam yang begitu mudah memberikan bibirnya pada siapapun?
Bodoh!
Alin yang bodoh di sini! Dia yang murahan.
Pertama, Alin mencium pipi Abi begitu saja. Kedua, Alin mencium bibir Sadam dan dibalas lebih oleh lelaki itu.
Sudah jelas bahwa Alin yang salah di sini.
Alin menenggelamkan kepalanya di bawah bantal hingga pasokan oksigennya terasa menipis. Biar saja. Seberapa besarpun penyesalannya tak akan membuat bibirnya kembali suci.
Alin menyudahi kegiatan menyiksa dirinya dan menghirup udara sebanyak-banyaknya.
Lalu bagaimana sekarang? Alin ingin mengubah kembali tujuan hidupnya untuk pindah ke kota ini. Alasan utamanya dia memang ingin move on dari Wisnu. Tapi kenapa malah seperti ini? Kenapa dia malah terjebak dalam situasi banyak hati? Alin juga dengan mudah memberikan bibirnya secara cuma-cuma untuk orang lain.
Putus dari Wisnu bukannya membuat dirinya berubah menjadi wanita berkelas tapi malah sebaliknya.
Sekarang Alin bingung hendak berbuat apa. Dia malu dengan Naumi. Dia merasa bersalah. Sadam memang milik Naumi. Alin tak pantas berada di tengah-tengah hubungan mereka. Tapi untuk semua perlakuan Sadam yang tak wajar padanya membuat Alin berpikir dua kali untuk menyebutkan bahwa hubungan mereka hanya sebatas saling kasihan.
Alin juga tak bisa menjauh begitu saja dengan Sadam. Terlebih saat ini hubungan Naumi dan Sadam sudah membaik. Tak ada lagi alasan bagi Alin untuk menjauhi lelaki itu. Jika Alin ingin menjauhi Sadam, maka ia harus menjauhi Naumi.
Apa Chia juga merasakan apa yang dia rasakan?
Apa gadis itu juga merasa bersalah sebab sudah menjalin hubungan dengan Wisnu di belakang Alin?
Tapi kenapa Chia terlihat baik-baik saja? Malah Alin yang kerap dicap buruk oleh banyak orang. Oleh keluarganya, keluarga Chia dan juga keluarga Wisnu.
Alin seolah dicap sebagai pengaruh buruk terhadap hubungan Chia dan Wisnu, padahal jelas-jelas di sini Chia lah penjahatnya.
Bukan berarti Alin gagal move on dari Wisnu. Hanya saja ia masih merasa terzolimi saat ini. Ia dituduh sebagai penjahat, padahal dia hanya diam saja.
Tapi Alin berpikir, semua tingkah murah yang ia lakukan pada Sadam dan Abi semata-mata ingin melepaskan emosi yang ia pendam pada Wisnu dan Chia. Ia berpikir bahwa menjadi Chia itu enak. Mengetahui dirinya merebut Wisnu dari Alin, orang-orang hanya mencacinya sementara. Selanjutnya, hidupnya kembali normal dan bahkan hubungannya malah didukung oleh orang-orang terdekatnya. Chia memang sangat beruntung dari segi apapun.
Sementara Alin, mati-matian menstabilkan mentalnya akibat sakit hati dan dendam yang belum dibayar tuntas.
Alin mendengar deru mesin motor yang berhenti di depan rumahnya. Ia hapal suara itu.
Pintu utamanya diketuk beberapa kali. Alin tak ada niat beranjak sedikitpun. Selanjutnya, pintu kamarnya dibuka oleh Ara. Alin ketahuan sedang menangis oleh wanita itu. Ara mendekatinya, lantas memberi isyarat untuk diam.
"Pintunya jangan dibuka. Biarin sampai Sadam pergi." Ujar wanita itu sambil berbisik.
Alin menghapus air matanya lantas mengangguk.
Beberapa kali memanggil dan mengetuk pintu namun tak disahuti, akhirnya Sadam memilih untuk pergi bersama motornya.
Alin merasa janggal kenapa Ara tak membukakan pintu untuk adik kesayangannya itu.
"Sadam gak bisa terus-terusan baik sama kita. Kita harus mandiri." Ujar Ara.
Alin tak membalas apapun. Jika saja sejak awal Ara memutuskan ini, mungkin tak akan ada perasaan lain yang tumbuh di antara Alin dan Sadam.
"Kakak tau, kakak bukan orang yang suci. Tapi pengalaman buruk kakak rasanya cukup untuk dijadikan pelajaran buat kamu. Jangan sampai masa lalu kakak dan Mas Cakra terulang lagi. Kakak tau apa yang kamu rasakan terhadap Sadam. Dia laki-laki baik. Tapi satu hal yang harus kamu ingat. Sadam udah punya pacar."
Itu fakta sekaligus tamparan keras untuk Alin. Lagi-lagi ia hanya mampu diam meski dadanya terasa bergemuruh saat ini.
"Kakak gak begitu dekat dengan Naumi. Tapi kamu sahabatnya. Sebelum semuanya terlanjur, kakak minta kamu untuk mikir dua kali. Pikir, gimana kalau seandainya kamu yang ada di posisi dia."
Alin kini membalas tatapan Ara. Mulutnya ingin membantah.
Pernah! Alin pernah merasakannya! Yang belum ia rasakan adalah bagaimana rasanya ada di posisi Chia.
Melihat Alin yang hanya diam saja, Ara tentu dapat mengartikan bahwa semua kalimat yang ia sampaikan tepat sasaran. Alin pasti menyimpan rasa pada laki-laki yang sudah ia anggap sebagai adik itu.
"Kalau Mas Cakra ada di sini semuanya gak akan kayak gini."
Sejak tadi Alin hanya diam. Tapi mendengar kalimat terakhir Ara rasanya ada sesuatu di dadanya yang membuatnya tak bisa terima.
"Kenapa ya kak? Padahal bukan aku yang nyuruh Sadam untuk bantuin kita. Tapi kenapa seolah cuma aku yang salah?" Alin akhirnya melepas kekesalan di dadanya meski tak seberapa.
Tapi Alin lupa bahwa lawan bicaranya saat ini adalah seorang ibu hamil.
Ara memandangnya dengan tatapan tak percaya.
"Oke! Biar kakak omongin ini sama Sadam sekarang juga!" Baru saja Ara hendak beranjak, namun Alin bergegas untuk menahan tangan wanita itu.
"Jangan kak!"
"Kenapa jangan? Bukannya kamu yang bilang gak mau disalahin? Kalau gitu sekarang kakak omongin ini sama Sadam supaya dia ngerti dan menjauh. Beres kan?"
Alin mengembuskan napas dengan berat.
"Aku gak mau urusan ini jadi panjang kak. Ini gak seperti yang Kak Ara pikirkan. Tapi kalau Kak Ara masih belum bisa percaya sama aku, mulai hari ini aku bakal jauhin Sadam." Putus Alin akhirnya. "Dan Naumi...."
***
Tak ingin lagi menyia-nyiakan detik-detik terakhirnya di SMA, Alin memutuskan untuk datang sekolah esoknya. Ia hanya akan peduli pada materi pelajaran, dan belajar cuek untuk siapapun. Alin sudah mengubah gaya hidupnya sejak tadi pagi.
Ia bangun lebih awal dan berangkat menggunakan angkutan umum sembari memasang handsfree di kedua lubang telinganya.
Pagi ini, seperti biasa, begitu tiba di kelas, Naumi pasti akan mengajaknya ngobrol. Namun Alin memilih untuk berpura-pura sibuk dengan ponselnya.
Topik gadis itu tak jauh-jauh dari membaiknya hubungan dirinya dengan Sadam kemarin.
Alin sama sekali tak merespon, bahkan saat Naumi menceritakan hal lucu dan tertawa, Alin hanya diam.
Ia tak membenci Naumi. Tapi seperti yang ia katakan pada Ara semalam, untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan, lebih baik Alin sendiri yang menjauh.
"Lo kenapa sih? Badmood ya? Dari tadi gue dikacangin mulu!" Sungut Naumi.
"Gue lagi gak mau diganggu." Ujar Alin datar. Kebetulan Sadam baru saja tiba dan duduk di kursinya saat itu.
"Dih, ekspresi lo datar gitu. Gak cocok tau!" Naumi lagi-lagi menggodanya. Tangan gadis itu bergerak mencubit pipi Alin, namun dengan cepat Alin menepisnya hingga menimbulkan suara nyaring. Sadam bahkan menoleh ke belakang. Jangankan itu, Naumi yang tangannya baru saja ditepis juga tak kalah shocknya.
Merasa jadi pusat perhatian teman-teman sekelas, Naumi memilih untuk kembali ke kursinya tanpa mengatakan apapun.
Alin mengembuskan napas pasrah.
Perlakuannya pada Naumi mungkin akan terkesan menyakitkan ke depannya. Tapi semua ini ia lakukan untuk kebaikan mereka. Menjauh mungkin adalah keputusan yang tepat untuk saat ini.
***
TBC!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top