40
"Di nomor duakan? Padahal aku pacarnya."
***
"Malam ini temenin aku belanja ya."
Alin dapat mendengar percakapan Naumi dan Sadam dari kursinya. Tentu saja. Sebab pasangan itu memang sedang duduk di hadapannya saat ini.
Sadam tampak menimbang-nimbang ajakan pacarnya. Sesekali Alin melirik keduanya, kepo. "Jangan malam ini ya. Besok gimana?"
"Emang kenapa sih? Kamu mau kemana nanti malam? Futsal?"
"Aku udah janji masakin pizza buat kak Ara."
Oh ya? Alin bahkan tak tahu akan hal ini. Ara tak mengatakan hal ini padanya.
"Kita kan bisa beli. Pulangnya kita bawain pizza, yakan?"
"Kak Ara lagi hamil, Naumi. Tolong pahamin kondisinya lah." Sadam kukuh menolak ajakan Naumi.
Naumi tak lagi bersuara. Gadis itu beralih mencatat materi di papan tulis. Dia pasti tersinggung.
***
Pulang sekolah, seperti dugaan Alin, Naumi ngambek. Dia tak memberikan kunci motornya pada Sadam seperti biasanya, dan memilih mengeluarkan motornya sendiri meski kesulitan. Sadam yang peka hanya bisa membantu menggeser motor di sebelahnya agar Naumi mudah mengeluarkan motornya. Selanjutnya, gadis itu pergi tanpa sepatah katapun.
"Kenapa lagi Naumi?" Tanya Alin berpura-pura tak tahu.
Sadam tak menjawab apapun. Ia fokus mengeluarkan motornya dan bergegas keluar dari gerbang sekolah.
Keduanya tak langsung pulang. Mereka mampir ke supermarket. Sadam mengambil trolly dan mulai memilah bahan apa saja yang ia perlukan.
"Ada yang bisa gue bantu gak?"
"Lo gak tau apa-apa." Balas Sadam ketus.
Sembari mengecek ponselnya, Sadam berjalan ke rak tepung. Alin mengikutinya dari belakang. Tampaknya lelaki itu ragu memilih tepung.
"Biasanya Mama pakai tepung ini kalau mau bikin kue." Alin menunjuk salah satu tepung yang sudah dipegang Sadam sebelumnya. Dahi Sadam tampak mengernyit tak suka. "Apa? Lo mau bilang gue sok tau lagi?"
Tanpa menjawab apapun, Sadam mengambil tepung yang ditunjuk Alin dan memasukkannya ke dalam trolly.
Setengah jam berlalu, keduanya baru selesai belanja dan kembali ke parkiran. Alin berjalan di belakang Sadam. Entah Alin harus menilai Sadam baik hari ini? Padahal bisa saja dia melakukan apa yang dikatakan Naumi tadi. Menemani Naumi belanja dan membelikan pizza untuk Ara. Daripada harus repot membeli bahan dan membuatnya seharian.
"Dam..." Panggil Alin. Sadam menoleh dengan ekspresi datar. Alin lantas menggeleng. "Gak jadi."
***
Pukul sepuluh malam, Alin, Sadam dan Ara baru bisa menikmati pizza buatan mereka. Rasanya memang jauh dari kata sempurna, tapi selagi masih bisa tertelan, mereka tak akan membuangnya begitu saja.
Ini pizza pertama yang Sadam buat, dibantu oleh Ara dan juga Alin.
"Udah lama Kak Ara gak makan pizza homemade." Ujar Ara sambil tersenyum menikmati pizza nya.
Alin paham arti kalimat Ara. Ini pasti perihal ekonomi yang membuat Cakra memberikan uang belanja pas-pasan untuk Ara.
Ara bangkit lantas mengambil kotak nasi berukuran sedang dan memasukkan beberapa potong pizza ke dalamnya.
"Buat ngemil malem." Ujar Ara sambil memberikannya pada Sadam.
Sadam merogoh sakunya, lantas memberikan uang pecahan serta struk belanja pada Ara. "Ini yang tadi kak."
Ara tersenyum sekilas dan mengambil uang itu. "Makasih ya, Dam."
Ara bergerak menuju wastafel. Alin dan Sadam yang memantau pergerakan wanita itu menduga bahwa ia pasti akan membereskan peralatan masak mereka tadi.
Alin bangkit menyusul wanita itu. "Kak, biar Alin aja yang beresin. Kak Ara istirahat aja di kamar."
"Beneran gapapa?"
"Gapapa kak."
"Yaudah, kakak istirahat dulu ya." Ara akhirnya berjalan pelan menuju kamarnya.
Setelah Ara pergi, Alin kaget saat mendapati Sadam yang tiba-tiba ada di sampingnya.
"Mau ngapain lo?"
"Mau mastiin kalau gak ada lagi piring kaca yang lo pecahin." Sadam bahkan mengambil alih priing di tangan Alin dan mencucinya sendiri. Alhasil Alin jadi tak ada kerjaan saat ini.
"Dam, lo pasti capek. Lo pulang aja. Gue bisa kok."
"Hust!" Balas lelaki itu.
Akhirnya Alin bertugas untuk meletakkan alat dapur yang sudah di cuci oleh Sadam ke rak piring.
"Gue gak ngerti kenapa lo sebaik ini sama kami. Ya, mungkin karena Kak Ara. Tapi bukan berarti lo harus mengesampingkan urusan lo kan? Kak Ara pasti ngerti kok kalau lo juga butuh waktu untuk main."
"Alay lo." Balas Sadam.
"Gue serius. Kak Ara masih punya gue. Jangan paksain diri lo untuk terus-terusan ada buat kami. Gue gak mau nantinya malah ketergantungan sama lo."
"Lo ngomong apasih?" Sadam masih fokus dengan cuciannya.
"Gue gak mau munafik. Gue emang sempat down denger berita tentang Bang Cakra. Mungkin lo kasihan sama gue dan Kak Ara. Tapi gue gak mau bebanin orang lain. Gue gak mau hutang budi."
"Kebanyakan nonton sinetron lo! Kalau gue kerja tu perhatiin, biar bisa mandiri, gak nyusahin!" Ucapan Sadam sontak membuat Alin bungkam. Lelaki itu memang tak bisa diajak ngomong serius barang sedetik saja!
***
"Kenapa, Lin?"
"Kak Ara kenapa belum tidur?"
"Masih kenyang." Ara tersenyum, menampilkan matanya yang sayu.
Alin menatap perut Ara yang besar. Di dalam sana ada dua ponakan kembarnya yang akan lahir tak lama lagi.
"Pasti berat ya, Kak." Ujar Alin.
"Hm?" Ara tersenyum, lantas mengambil sebelah tangan Alin untuk mengelusnya. "Nggak kok."
"Aku kasih tau Mama aja ya kak. Kita gak bisa lama-lama nyimpan masalah ini sendirian."
Ara menggeleng. "Jangan, Lin. Kasian orang tua kamu."
"Mau sampai kapan, Kak? Kita juga gak mungkin terus-terusan bergantung sama Sadam kan? Sadam juga punya kesibukan lain di luar sana."
Ara bungkam.
"Kak Ara juga sebentar lagi mau lahiran. Gimana dengan biayanya? Kak, aku gak punya solusi lagi untuk masalah ini."
"Lin, Kak Ara nemuin uang di lemari. Itu pasti uangnya mas Cakra. Kak Ara bisa pakai itu untuk kebutuhan kita selama beberapa bulan ke depan."
"Apa uang itu cukup untuk bikin Bang Cakra keluar dari penjara?"
Ara lagi-lagi terdiam.
Alin kembali bersuara. "Aku gak bela bang Cakra. Tapi aku mikir, Kak Ara pasti lebih butuh bang Cakra daripada uang itu."
"Gak segampang itu, Lin."
Alin mengembuskan napas berat. "Kedepannya, kalau Kak Ara mau apa-apa, bilang ke aku aja ya. Jangan ke Sadam. Kak Ara gak perlu merasa gak enakan, karena aku yang bakal gantiin Bang Cakra selama dia gak ada di sini."
Ara mengangguk pelan. "Makasih ya, Lin."
***
Naumi adalah orang kedua yang membuatnya excited untuk mengucapkan kalimat ulang tahun yang panjang setelah Chia.
Akibat begadang, Alin jadi sulit tidur. Ia memilih untuk membuka tik-tok untuk mengundang rasa kantuk.
Lima menit kemudian, ada chat masuk dari Naumi. Alin tersenyum ketika membaca balasan chat gadis itu.
Belum sempat Alin mengirimkan pesan itu, Naumi lebih dulu mengirimkan pesan lain.
Alin lantas beralih melihat panggilan di whatsappnya. Dan benar saja. Tak ada panggilan masuk sama sekali dari Sadam. Naumi orang terakhir yang menghubunginya sekitar empat hari yang lalu. Itu tepat ketika Alin mendengar kabar bahwa Cakra ditahan polisi.
Alin merutuki kebodohannya waktu itu.
***
TBC!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top