37
"Lelaki mana lagi yang pantas kujadikan panutan? Sebab orang terdekatku saja bahkan terjerat kasus kriminal."
***
Sedang sibuk memecahkan tugas sekolah dengan Chia, seseorang datang memijat kepalanya sekali, lantas pijatan itu berhenti sebab orangnya beralih pergi.
"Bang Cakra! Lagi!" Teriaknya. Cakra suka bermain-main dengan kepalanya. Entah itu sekedar mengelus, memijit atau bahkan menoyor.
"Ih, lagi! Kepala Alin lagi mumet banget nih."
Cakra kembali mendatanginya lantas memijit kepala Alin hingga membuat gadis itu memejamkan matanya sembari tersenyum. Chia yang melihat keharmonisan abang beradik itu hanya bisa diam.
"Udah ya. Abang mau pergi dulu."
"Titip brownies ya?"
"Gak ada duit."
"Bohong. Itu dompetnya tebel gitu. Mau jajanin cewek ya? Alin bilangin Mama nih."
"Hust!"
"Makanya, brownies."
Cakra mengacungkan jari jempol sebelum akhirnya beranjak pergi. Alin tak akan lupa dengan senyum abangnya yang dulu.
"Bang Cakra udah punya pacar ya, Lin?" tanya Chia.
Alin mengedikkan bahunya tak acuh.
"Siapapun yang dapetin abang lo, fix dia gadis yang paling beruntung."
Alin akui, bahwa dia pun membenarkan hal itu. Alin sendiri merasa beruntung terlahir menjadi adiknya Cakra. Ia malah merasa tak pantas, sebab ia tak sepopuler abangnya. Saat itu Alin tak peduli dengan laki-laki di sekitarnya. Kasih sayang dan perhatian yang Cakra berikan benar-benar membuatnya merasa cukup.
Cakra, dia laki-laki yang sempurna. Baik, perhatian, hangat dan selalu punya hal-hal kecil yang bikin mood kembali, Alin tak butuh laki-laki lain. Alin pikir tadinya ia yang paling beruntung. Tapi faktanya tak ada manusia yang sempurna. Malam itu dia minta izin pada Mama-Papa untuk menikah. Ara, dia perempuan lain yang beruntung. Dia hamil...
Namun hari itu, Alin merasa hancur. Malam yang seharusnya tenang, malah dihiasi oleh teriakan dan tangisan penuh emosi. Alin mencubit tubuhnya sendiri, sakit. Sialnya ini fakta.
Cakra memutuskan untuk menikah dengan alasan ia telah menghamili mantan adik kelasnya.
Alin tadinya tak ingin percaya. Ia kenal abangnya. Lelaki itu tak pernah bertingkah kurang ajar padanya bahkan di hadapannya. Tapi saat melihat wajah menyedihkan Ara, Alin tak bisa berkutik.
Dari Cakra, Alin tak lagi menjaga batasan pada laki-laki lain. Semenjak Cakra menikah dan keluar dari rumah, Alin sempat merasa hilang. Perhatian serta kasih sayang dulu sudah tak ada lagi. Tanpa sadar Alin malah terbuai oleh perhatian kecil yang Wisnu berikan padanya.
Cakra mungkin tak bisa menjadi contoh laki-laki baik untuk Alin. Tapi mungkin Wisnu bisa menggantikan posisi itu.
"Will be my girl friend?"
"Ya!"
"Eh! Itu Alin udah sadar ya?"
Alin mengerjapkan kedua matanya. Kepalanya masih terasa berat. Ada sebuah ponsel yang membelakanginya saat ini. Ponsel itu malah dibalik, menampilkan gambaran wajah Naumi di sana.
"Lin, lo udah bangun? Gimana keadaan lo?"
"Nau, udah dulu ya. Nanti dihubungin lagi." Alin kenal suara itu.
Sadam kini sedang berada di sampingnya. Alin mengalihkan wajahnya ke sisi lain.
Lelaki itu berdehem pelan. "Mau gue panggilin suster?"
Alin beralih menatap Sadam. "Gue mau ketemu bang Cakra." Ujarnya dengan nada tercekat.
***
Tempat ini... Alin tak membayangkan bahwa ia akan menginjakkan kaki di sini. Gelap. Bukan tempatnya, tapi nuansanya. Sesak. Udara seolah menipis di tempat ini. Atau hanya perasaan Alin saja?
Selanjutnya Cakra datang, mengenakan pakaian normal sepertinya dan sedang dikawal oleh polisi.
Air mata Alin jatuh saat melihat kondisi Cakra yang tidak baik-baik saja. Sontak, Alin menggenggam tangan Sadam, erat.
"Dek..." Cakra tak berani menatapnya. Sebelah mata lelaki itu lebam. Sudut bibirnya robek. Terdapat bercak darah di bajunya, entah itu berasal darimana.
Alin menggeleng. "Ini bukan bang Cakra."
Lagi, Cakra masih tak berani menatapnya. Lelaki itu hanya menunduk.
"Maafin abang, Lin."
"Bang Cakra yang gue kenal bukan ini. K-kita kayaknya salah, Dam." Alin beralih menatap Sadam dengan keadaan mata yang sedang banjir. Ia berusaha menarik Sadam untuk pergi dari tempat itu namun Cakra berhasil menahannya.
"Ini Bang Cakra, dek." Akhirnya, Cakra memberanikan diri untuk menatap adiknya. Tangis Alin pecah saat ditatap oleh abangnya.
Merasa keduanya butuh privasi, Sadam perlahan melepas genggaman tangan Alin dan sedikit menjauh.
"Jahat! Dulu bang Cakra gak pernah bikin Alin sedih! Bang Cakra yang selalu ngehibur Alin apapun masalahnya. Tapi kenapa sekarang beda?"
"Alin pikir dengan Alin pindah ke sini, kita bisa sama-sama kayak dulu. Banyak hal yang pengen Alin certain ke Bang Cakra, tapi semuanya butuh waktu. Tapi kalau bang Cakra di sini, Alin cerita sama siapa? Kak Ara gimana? Anak-anak bang Cakra? Bentar lagi mereka lahir bang. Alin bakal dipanggil tante sebentar lagi loh."
Ini moment kedua kalinya Alin melihat Cakra menangis. Itu tandanya dia benar-benar merasa bersalah.
"Maaf ya, dek. Abang gak bisa ngasih contoh yang baik buat kamu."
"Bang Cakra seneng ya liat Alin nangis? Seneng ya, bikin Alin makin trauma sama laki-laki?"
Cakra tak berkutik.
"Asal bang Cakra tau, semenjak bang Cakra keluar dari rumah, Alin buka hati untuk laki-laki lain. Alin berusaha cari orang yang kayak bang Cakra. Orang yang selalu ada dan bikin Alin merasa gak kurang sama sekali. Tapi..."
Alin menarik napas, lantas mengembuskannya dengan kasar. "Tapi gak ada yang kayak bang Cakra. Bahkan bang Cakra sendiri juga udah beda."
Cakra tak membantah sama sekali.
Alin menghapus air matanya dengan kasar. "Kalau gak bisa bahagiain Alin, Mama sama Papa, paling nggak jangan bikin Kak Ara sedih. Dia perempuan yang abang pilih."
Alin pergi tanpa pamit. Padahal jam besuknya masih ada beberapa menit lagi. Sadam sedikit bimbang. Merasa paham akan hal itu, Cakra memberi kode agar ia pergi. Sadam mengangguk dan bergegas menyusul Alin.
***
"Mau gue anter ke rumah Naumi?" ujar Sadam pertama kali saat melihat Alin yang sudah menunggunya di parkiran. Melihat tak ada reaksi dari gadis itu, Sadam kembali bersuara. "Siapa tau lo lagi butuh teman cerita."
"Gue mau ke rumah sakit, temenin kak Ara." Jawab Alin tanpa pikir panjang.
"Oke." Sadam bergegas menaiki motornya.
Tapi sebelum itu, ponsel Alin bergetar dan menampilkan sebuah pesan dari Naumi.
Ah, iya Sadam. Alin baru ingat, bukankah lelaki itu sedang ngambek padanya? Tapi baguslah. Setidaknya dengan keberadaan Sadam di sini bisa membuatnya tidak merasa sendiri. Alin juga sedang butuh seseorang saat ini.
***
TBC!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top