25

"Bodoh rasanya jika kau pikir aku merebut kekasihmu. We just friend! Tak lebih."

***

Di jam istirahat kali ini, Alin sengaja tak memesan makanan. Ia hanya memesan minuman. Saat ini ia sedang duduk semeja dengan Sadam dan Naumi, seperti biasa.

Setelah meliburkan diri kemarin, hari ini Sadam sudah mulai masuk. Tak ada cedera serius di tubuhnya, paling hanya sedikit goresan di tangan akibat jatuh tertimpa motornya.

Alin tahu bahwa Sadam tak suka jika seseorang memainkan ponsel saat makan di depan matanya. Oleh sebab itu, Alin tak memesan makanan. Sadam tak akan menegurnya yang sedang sibuk memainkan ponsel, sebab Alin tak makan. Dia hanya sedang minum.

Sebenarnya bukan itu saja alasannya. Saat ini, Alin sedang sibuk mendengarkan curhatan Chia seputar masalah gadis itu selama Alin pindah sekolah.

Perlahan, rasa benci Alin mulai hilang pada gadis itu. Walau bagaimanapun, Chia ada sahabat masa kecilnya. Satu kesalahan yang dibuatnya tak akan mampu menghapus beribu kenangan baik mereka sebelumnya.

Alin menggerakkan kedua jempolnya, guna membalas pesan dari sahabatnya. Tiba-tiba, sebuah gumpalan tisu melayang mengenai tangannya. Alin sontak mendongak, dan mendapati Sadam yang juga sedang menatapnya.

"Lo sengaja?!" tegas Alin dengan nada tak santai.

Naumi sebagai saksi mata yang melihat kejadian itu secara langsung kini beralih menatap pacarnya.

"Kenapa iseng banget sih?" tegurnya. Naumi lantas mengambil tisu bekas yang dilempar Sadam dan meletakkannya di pinggir.

Tak mau memperpanjang masalah, Alin memilih untuk fokus kembali memainkan ponselnya.

"Saus," ujar Sadam, mampu membuat Alin dan Naumi kembali menoleh pada lelaki itu.

Sekali lagi, Sadam kembali menatapnya. Alin tahu, bahwa itu adalah sebuah perintah dari lelaki itu untuk mengambilkannya botol saus yang kebetulan memang terletak di depan Alin. Namun Alin bersikap seolah tak peduli, dan tetap membalas tatapan menantang pada Sadam.

Naumi berdehem, dan memilih untuk mengambilkan botol saus itu untuk Sadam.

"Lain kali kalau mau minta sesuatu sama Alin, ngomong yang jelas!" ujar gadis itu dengan nada tak santai.

Alin merasa puas sebab dibela oleh Naumi. Tapi di sisi lain, ia tahu bahwa Naumi pasti mulai beroverthingking tentangnya.

***

Feeling Alin benar. Naumi jadi jarang bicara padanya semenjak kejadian di kantin tadi. Dan Alin juga memilih untuk menghabiskan waktu kosongnya dengan bertukar pesan dengan Chia, sahabatnya.

"Lo gak bawa motor lagi kan?" Ini obrolan pertama yang Naumi layangkan padanya sejak tadi. Saat ini mereka sedang bersiap-siap pulang.

Alin menggeleng.

"Yaudah, lo bareng gue aja," ujarnya langsung dibalas oleh tatapan penuh tanya Sadam. "Aku mau ngajak Alin jalan. Gak boleh?"

Sadam membalas dengan deheman pelan. Lelaki itu mengambil kunci motor Naumi, lantas berlalu begitu saja.

Saat di parkiran, seperti biasa Sadam mengeluarkan motor Naumi lebih dulu. Begitu Alin duduk di belakangnya, tanpa menunggu, atau berangkat beriringan dengan Sadam, Naumi melajukan motornya tanpa basa-basi.

Alin tak banyak tanya. Ia tahu Naumi tak akan memulangkannya begitu saja. Tapi ia tak tahu, kemana Naumi akan membawanya.

Hingga akhirnya, Alin berhenti di sebuah jembatan layang. Tempat yang pernah mereka gunakan saat malam Minggu dan makan jagung bakar. Saat ini belum ada satupun pedagang yang keliatan. Oke, lupakan itu.

Naumi turun dari motor, dan berdiri tegak menatap langit serta sungai. Alin menyusul di sebelahnya.

"Sadam akhir-akhir ini kelihatan nyaman sama lo," ujar Naumi, sontak membuat Alin panik.

"Nau!" bentak Alin tanpa bisa membantah lebih.

"Nggak sih. Gue cuma menduga aja. Soalnya gue ngeliat, Sadam memperlakukan lo, nyaris sama kayak memperlakukan gue."

Alin bungkam.

"Gue gak pernah punya sahabat dekat sebelumnya, semenjak pacaran sama Sadam."

"Beda, Nau. Perlakuan dia ke gue, gak sama kayak lo. Lo tau kan, paling dia memperlakukan gue kayak babu. Ah, udahlah. Gausah terlalu dipikirin."

Naumi mengangguk. Pandangannya tak pernah lepas menatap ke depan.

"Lo suka sama Sadam?"

Alin berdecak. "Ngaco sumpah. Sadam bukan cowok kriteria gue, Nau. Lagian gue gak bakal mau sama cowok gak modal, nyusahin, kayak dia. Emang lo pikir selera gue serendah lo."

Bukannya tersinggung, Naumi malah ngakak.

"Besok gue mau izin selama tiga hari. Kakak gue sakit, gue sama nyokap mau jengukin ke sana."

Alin memasang wajah sendu. "Jadi untuk tiga hari ke depan, gue sendirian dong? Jahat lo, Nau."

Naumi merangkul Alin. "Ntar gue bawain oleh-oleh."

Alin hanya berdehem pelan.

"Tapi gue mau, lo jadi cctv gue."

***

Tak lama setelah itu, Naumi mengantar Alin pulang. Namun begitu tiba di halaman rumah, Alin kaget saat mendapati Sadam yang sudah menunggu di atas motornya. Motor Alin terparkir di depan rumah, hanya saja mobil milik Cakra tidak terlihat.

"Kamu ngapain?" tanya Naumi lebih dulu.

Pandangan Sadam beralih menatap Alin. "Kak Ara masuk rumah sakit."

Alin membulatkan matanya tak santai. Ia panik seketika.

"Bang Cakra nyuruh gue bawa lo kesana."

"Yaudah, gue ikut!" ujar Naumi. Sementara Alin, sudah lebih dulu menaiki motor Sadam.

"Pulang!" balas Sadam, mampu membuat Naumi terdiam. Sadam menghela napas pelan. "Kasian, orang rumah nungguin."

Naumi menurut. Keduanya lantas beriringan, meski selepas jalan utama, mereka akan berpisah sesuai dengan arah tujuan masing-masing.

***

TBC!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top