24

"Pada akhirnya memaafkan merupakan solusi terakhir. Memilih damai dari masalalu, tak ada salahnya kan?"

***

Cakra kembali meminjam motor Alin pagi ini. Dan pria itu juga mengantarnya sampai sekolah. Alin tak bertanya lebih. Namun Cakra mengatakan akan menjemputnya sore nanti.

Bel masuk sudah berbunyi. Naumi datang terlambat pagi ini. Namun bangku di sebelah gadis itu masih kosong. Sadam tak terlihat, bahkan hingga bel istirahat berbunyi.

Seperti biasa, Naumi tampak cerewet. Menceritakan hal apapun, namun bukan tentang Sadam. Bukannya apa, namun Alin hanya penasaran mengapa lelaki itu tidak masuk hari ini.

Ketika sedang melahap makanannya, ponsel Alin berbunyi. Tertera sebuah panggilan masuk dari mantan sahabatnya. Alin mematikan panggilan masuk itu tanpa mengangkatnya.

Namun panggilan masuk itu kembali berbunyi. Alin mematikan nada dering ponselnya, dan memilih untuk kembali mendengarkan cerita Naumi.

"Lo kok gak bales chat gue kemarin?" tanya Naumi, setelah puas menceritakan perihal dirinya.

"Gue ketiduran," balas Alin bohong.

"Padahal gue mau cerita banyak."

"Lo udah cerita banyak hari ini, Nau," balas Alin menohok.

Naumi tertawa. "Sadam ke rumah kemarin."

Alin kaget, sebab sebelumnya Naumi pernah mengatakan bahwa Sadam tak berani mendatangi rumahnya. Itu artinya, seseorang yang menelpon Sadam ketika mereka di pinggir jalan tak lain adalah Naumi.

"Ketemu sama nyokap lo?" tanya Alin excited.

Naumi menggeleng. "Karena nyokap gak ada, makanya dia berani jemput gue ke rumah."

Alin mengembuskan napasnya pelan. Padahal ia sudah menduga-duga tadinya.

"Trus?"

"Nothing. Jalan-jalan biasa, kayak di story WhatsApp gue."

Alin hanya merespon dengan anggukan pelan.

"Lo gak bawa motor, Lin?" tanya Naumi, Alin menggeleng. "Yaudah, pulang nanti bareng gue aja."

"Tumben? Rumah kita kan gak searah."

Naumi berdecak. Itu kata-kata andalannya untuk Sadam. "Gue sekalian mau jenguk Sadam."

"Memangnya dia kenapa?"

Naumi membulatkan matanya tak santai. "Sadam kecelakaan kemarin, Lin. Padahal kalian tetangga, tapi lo sama sekali gak tau?"

Alin kaget. Padahal seingatnya kemarin Sadam masih baik-baik saja.

"Pas nganterin gue pulang, katanya motornya mogok, dan gak sengaja ditabrak dari belakang sama kendaraan lain. Gak ada yang parah. Cuma bang Al langsung pulang pas tau itu."

Alin turut prihatin pada lelaki itu. Walau bagaimanapun, Sadam sudah membantu mendengarkan keluh-kesahnya kemarin.

"Bukannya lo gak mau ke rumah Sadam kalau lagi ada bang Al?"

Naumi mengembuskan napas pasrah. "Kali ini gue gak peduli, Lin. Gue cuma pengen lihat keadaan Sadam."

Alin tak merespon lagi. Terserah Naumi saja.

Tak ada perbincangan lagi setelah itu. Tiba-tiba fokus Naumi beralih pada ponsel Alin di atas meja. "Chia itu siapa sih? Dari tadi nelponin lo mulu tuh."

***

Pulang sekolah, Alin benar-benar diantar oleh Naumi. Kebetulan sejam yang lalu Cakra juga mengiriminya pesan, bahwa pria itu masih ada urusan dan tak bisa menjemputnya.

Naumi berhenti di depan rumah Alin. "Oh, motor barunya udah sampe," ujar gadis itu.

"Hah?" Alin yang belum mencerna maksud ucapan Naumi, lantas mengikuti arah pandang gadis itu. Tepat di hadapan rumah Sadam, terparkir sebuah motor sport berwarna hitam.

"Itu motor barunya Sadam?" tanya Alin, ikut kaget.

Naumi mengangguk. "Bang Al tau keadaan motor lama itu makin rusak setelah ditabrak. Pelakunya ganti rugi, walaupun sedikit. Sisanya Bang Al pakai tabungannya buat beliin Sadam motor baru."

Alin masih tak percaya, mengingat harga motor itu bukanlah murah. "Itu berlebihan gak sih?" tanyanya. Sedangkan Alin dan Naumi saja memilih menggunakan motor matic yang harganya terjangkau, padahal orang tua mereka bisa dikatakan mampu.

"Berlebihan dimananya, Lin? Udah sepantasnya Sadam dapetin ini dari abangnya," ujar Naumi. Gadis itu kembali bersuara, "Lo mau temenin gue gak?"

"Sorry, Nau. Gue juga lagi ada urusan setelah ini." Alin tak berbohong, dia memang memiliki urusan. Lagipula, dia tak akan mau membuang waktu menjadi nyamuk saat di rumah Sadam nanti.

"Ah, lo mah gak asik." Meskipun kesal, Naumi tetap menjalankan mesin motornya untuk berangkat ke rumah Sadam.

Alin langsung memasuki kamarnya, lantas mengecek ponsel. Tak ada lagi panggilan masuk dari Chia setelah jam istirahat tadi. Hanya saja, gadis itu mengirimkan pesan untuknya.


Tepat setelah Alin membaca pesan itu, panggilan masuk dari Chia kembali muncul. Ada rasa emosi di dalam dadanya. Tapi di sisi lain, Alin juga tak bisa berlama-lama menghilang seperti ini.

Setelah mengembuskan napas pasrah, akhirnya Alin mengangkat panggilan masuk itu.

"Alin? Sumpah, thanks banget lo mau angkat telpon gue."

Alin sengaja bungkam, mendengarkan mantan sahabatnya mengoceh di seberang sana.

"Gue tau, kesalahan gue bikin lo sakit hati, bahkan trauma sampai lo mutusin pindah. Maaf dari gue juga gak bakal bisa pulihin sakit hati lo. Tapi... gue udah ninggalin Wisnu."

Terdengar helaan napas berat di seberang sana.

"Lo harus tau, Lin. Gue gak bermaksud untuk ngambil Wisnu dari lo. Kita bertiga deket. Dia deket sama lo, lo deket sama gue, dan gue juga deket sama dia. Gue kira, gue bisa ngejalanin hubungan persahabatan sama pacar sahabat gue. Tapi... nyatanya gak bisa. Gue kebawa suasana. Kalau lo mau marah, lo pantes marah sama gue."

"Mungkin ini terdengar sakit bagi lo, tapi, Wisnu memang bukan yang terbaik buat lo. Gue tau, lo suka sama Wisnu. Wisnu juga suka sama lo, tapi dia gak cuma suka lo. Banyak perempuan yang dia suka. Setelah lo pindah, gue juga putusin dia. Hari itu juga, dia udah dapetin pengganti kita."

"Gak cuma lo yang sakit hati, Lin. Sekarang, gue harus siap nerima kenyataan bahwa gue masih sekelas sama mantan gue yang brengsek, sekaligus kehilangan bestie gue."

"Tapi lo tenang aja, gue udah luapin kekesalan gue ke dia, dan nyuruh dia minta maaf langsung sama lo."

Dahi Alin mengernyit heran. Jika semua yang dikatakan Chia adalah benar, maka laki-laki yang pernah berkunjung ke rumahnya saat itu adalah Wisnu. Tapi sayang, saat itu Alin sudah pindah.

"Gue tau ini udah terlambat buat bikin lo balik lagi ke sini, Lin. Tapi semuanya belum terlambat untuk perbaiki hubungan persahabatan kita lagi kan?"

"Gue emang egois, Lin. Tapi gue gak bohong, gue bener-bener kehilangan lo. Mungkin masih berat buat lo nerima gue lagi. Mungkin lo merasa kita asing. Tapi gue bersedia, buat jadi tempat curhat lo lagi. Kita mulai persahabatan kita dari awal. Meskipun sekarang, jarak kita udah gak deket lagi."

Sial! Alin tak bisa menahan air matanya. Semua yang dikatakan Chia tampak nyata dan tak dibuat-buat. Tak bisa dipungkiri bahwa Alin juga rindu dengan sahabat lamanya itu.

"Yaudah, kita sahabatan lagi," ujar Alin akhirnya.

***

TBC!

Hallo!

Coba luapkan kekesalan kalian terhadap orang ketiga.

Sebelumnya, maaf untuk keterlambatan update nya ya:)

Terimakasih banyak untuk yang masih stay❤️

See you next part:)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top