2
"Pelan-pelan, ya. Move-on juga butuh proses."
***
Anda
Aku liat akhir-akhir ini
kamu dekat sama Cia.
23.39pm•
+628523748XXXX
Jangan mancing ribut lah, yang.
•23.40pm
Anda
Kalian ada hubungan?
23.40pm•
Anda
Di read?
Yang?
23.45pm•
Anda telah memblokir kontak ini. Ketuk untuk membuka blokir.
Air mata Alin jatuh kesekian kalinya. Pindah sekolah, pindah kota, menghapus Instagram, bahkan WhatsApp, tapi satu yang tidak dihapusnya. Screenshot percakapan terakhirnya dengan si mantan.
Followers Alin yang lumayan banyak di Instagram, kini hilanglah sudah semenjak keputusan gegabahnya malam itu. Tadinya dia berniat untuk memblokir si mantan pacar beserta mantan sahabatnya di sana, namun mengingat Alin banyak mengunggah foto kebersamaan mereka di Instagram, terpaksa ia menghapus total akun lamanya dan beralih membuat akun baru serta diprivat.
Sakit, saat mengetahui fakta bahwa pacar sendiri memiliki hubungan diam-diam dengan sahabat dekat. Orang yang tadinya kita percayai tak akan pernah berkhianat. Finally, aib mereka malah terbongkar sebangsat itu.
Maaf, Alin jadi curhat. Tapi ini benar-benar sakit. Lelaki itu adalah pacar sekaligus mantan pertamanya. Wajar jika Alin menyimpan sakitnya sedalam ini. Ditambah pula ia juga baru dikhianati oleh sahabatnya sendiri. Ah, lengkaplah sudah.
Bolehkah Alin trauma dengan hubungan pacaran dan persahabatan?
Oke, itu lebay. Alin menghapus air matanya. Saat ini, ia sedang berbaring di kamar. Kebetulan, ranjangnya berhadapan langsung dengan jendela kamar. Kegiatan rebahan Alin benar-benar terasa memuaskan.
Tiba-tiba, fokusnya kini beralih pada sebuah motor yang lewat di depan rumahnya. Alin seperti tak asing dengan sepasang muda-mudi yang lewat tadi. Sebenarnya ia penasaran, tapi rasanya ia terlalu mager untuk membuka jendela, dan memastikan langsung mereka dari luar jendela.
Tak lama kemudian, motor tadi kembali lewat. Hanya saja, kini mereka tidak berdua, hanya si perempuan saja yang mengendarai motor itu. Sedetik kemudian, Alin baru sadar, jika perempuan yang baru saja lewat itu adalah Naumi.
***
Paginya, Alin tergesa-gesa karena bangun terlambat. Dilihatnya sang Abang baru saja hendak sarapan sementara jam hampir menunjukkan pukul tujuh. Itu artinya lima belas menit lagi bel masuk berbunyi.
"Duduk dulu yuk, sarapan," ujar Cakra yang menyadari keberadaannya. "Masuk jam delapan kan?"
Alin menggeleng cepat. "Jam tujuh lewat lima belas, bang. Aku gak usah masuk aja ya?"
Cakra terbelalak kaget. "Kenapa gak bilang!" Lelaki itu bangkit dan langsung menyambar kunci mobilnya di samping televisi. Ia bahkan meninggalkan aktivitas makannya. Alin bergegas menyusul sang Abang keluar rumah.
Begitu tiba di depan pintu, Alin kembali melihat sebuah motor yang ditumpangi oleh dua orang yang ia kenal. Alih-alih memikirkan hal tak penting itu, ia malah terfokus pada abangnya. Cakra menepuk dahinya saat ia baru saja membuka pintu mobil. Lelaki itu lantas kembali masuk ke dalam rumah sembari memanggil istrinya.
Alin mendengkus pasrah. Padahal dia lebih suka jika tidak hadir ke sekolah hari ini.
Tak lama kemudian, Cakra kembali keluar bersama sang istri.
"Kamu berangkat sama Kak Ara ya. Ayo cepat, masuk ke mobil. Nanti telat."
"Terus Abang gimana?" tanyanya heran. Abangnya hanya memiliki satu kendaraan. Kemarin, Alin berangkat sekolah bersama kakak ipar dan juga abangnya. Setelah mengantarnya ke sekolah, sang Abang akan berangkat ke kampus dan mobil akan dibawa pulang kembali oleh Ara. Alasannya karena Cakra memiliki jam pulang yang random, dan ia takut tak sempat untuk menjemput Alin pulang sekolah.
"Abang bisa naik gojek. Udah, ayo berangkat sana. Kak Ara udah nunggu." Cakra menyodorkan punggung tangannya, dan langsung disambut oleh Alin. "Rajin-rajin belajarnya. Jangan kayak Abang. Oke?"
***
Alin berlari sekuat tenaga, menyusuri lorong kelas. Dia sudah terlambat lima menit. Setibanya di kelas dua belas IPS, Alin mengetuk pintu dan langsung membukanya. Sialnya, sang guru sudah masuk lebih dulu.
"Permisi, Bu," ujarnya dengan kikuk.
"Masuk."
Alin bernapas lega saat diizinkan masuk oleh gurunya. Namun ada hal lain yang membuatnya sedikit terganggu. Kursinya kini kembali diduduki oleh Sadam. Lelaki itu bahkan menyatukan kembali mejanya dengan Naumi.
Terpaksa, Alin duduk di bangku nomor dua. Naumi sempat menoleh padanya, namun gadis itu tak berkata apapun dan kembali menghadap ke depan.
Tanpa peduli dengan hal itu, Alin memilih untuk fokus pada penjelasan guru di depannya. Dulunya Alin merupakan anak rajin yang selalu menempati peringkat tiga besar. Dia juga masuk di kelas IPA, namun saat pindah ke sini, ia malah ditempatkan di kelas IPS. Its okay. Dia tak mempermasalahkan hal itu.
"Yang bisa menyelesaikan soal ini, Ibu kasih poin sepuluh untuk ulangan Minggu depan."
Tanpa basa-basi, Alin mengangkat sebelah tangannya.
"Ya. Silakan maju ke depan," ujar guru Matematikanya. Ketika Alin bangkit, sontak seluruh pandangan kini tertuju padanya.
Tak butuh waktu lama, Alin telah menyelesaikan soal di hadapannya. Bu Sukma yang sedari tadi memang memperhatikannya lantas mengangguk beberapa kali.
"Jawabannya benar. Kamu murid baru? Siapa namamu?"
"Alin, Bu."
"Oke, Alin silakan duduk. Poin yang bagus untuk pertemuan pertama kita. Tingkatkan."
Alin kembali duduk di kursinya dengan rasa bangga. Tak sedikit tatapan kagum yang ditujukan untuknya. Mungkin mereka tak menyangka jika Alin cukup pandai dibidang hitung-hitungan. Lagipula sejak awal, Alin memang tak pernah berbicara dengan teman-teman lainnya. Ia bahkan tetap duduk di kelas saat bel istirahat berbunyi.
Pelajaran matematika ini akan berlangsung selama dua jam ke depan. Di tiga puluh menit terakhir Bu Sukma memberikan tugas yang jika tidak selesai hari itu juga, maka akan dijadikan pr.
Saat sedang serius menyelesaikan tugasnya, tiba-tiba sebuah buku diletakkan dengan sengaja di atas mejanya. Alin mendongak, dan ternyata orang itu adalah Naumi.
"Boleh ajarin gue gak?" tanyanya dengan nada sopan. Alin mengangguk, dan gadis itu lantas tersenyum senang. Naumi beralih memindahkan kursinya dan duduk di sebelah Alin. Ia juga membawa satu buku yang lain.
Bukannya meminta penjelasan materi kepada Alin, gadis itu malah dengan santai menyalin hasil jawabannya. Alin tak keberatan akan hal itu. Kebetulan dia juga sudah menyelesaikan jawaban dari lima soal yang diberikan Bu Sukma.
Naumi juga tak kalah cepat menyalin tugas itu.
"Udah selesai? Yuk kumpul," ajak Alin.
"Hm, lo duluan deh. Gue masih nyalin yang ini." Naumi membuka buku lainnya yang ia bawa tadi. Diam-diam, Alin sempat melihat bahwa buku itu tertulis nama Sadam.
"Itu bukunya-" ucapan Alin dengan cepat dipotong oleh Naumi.
"Buku cowok gue."
Alin tak menggubris lagi. Ia beralih untuk mengumpulkan tugasnya lebih dulu. Sebenarnya sejak awal Alin sudah menduga bahwa kedua pasangan itu pasti memiliki hubungan spesial. Ternyata memang benar. Tapi setelah melihat Naumi yang berbaik hati menyalinkan tugas untuk Sadam, Alin benar-benar tak habis pikir. Ternyata ada yang lebih bucin dari dirinya.
***
"Kenalin, gue Naumi." Naumi mendatangi meja Alin ketika bel istirahat berbunyi.
Alin tersenyum singkat. "Alin."
"Mau ke kantin kan? Bareng yuk," ajaknya.
Sadam yang duduk di depan mereka kini bangkit dan menggenggam tangan Naumi, berniat untuk mengajak gadis itu pergi.
"Bentar dulu," ujar gadis itu, namun tampaknya Sadam tak peduli dan tetap menarik tangannya. Tak tinggal diam, ia juga ikut menarik tangan Alin, hingga membuat Alin mau tak mau mesti ikut.
Ketiganya kini sudah tiba di kantin. Seperti kantin pada umumnya, tempat ini tentu ramai setiap jam pelajaran berbunyi. Namun, di tengah keramaian itu, mereka malah menyisihkan satu meja yang saat ini diduduki oleh Alin, Naumi dan Sadam.
"Yang biasa kan?" tanya Naumi pada Sadam. Lelaki itu mengangguk. Naumi lantas beralih pada Alin yang duduk di hadapannya. "Lo pesan apa, Lin?"
Alin bergumam beberapa saat, hingga akhirnya menjawab, "Ikut lo aja."
Naumi lantas beranjak guna memesan makanan, meninggalkan Alin dan Sadam berdua saja. Jujur, sejak kemarin, kesan pertama Alin pada lelaki di hadapannya adalah buruk. Entah apa alasan pastinya. Intinya semenjak diselingkuhi oleh sang mantan, Alin merasa bahwa semua laki-laki itu sama aja. Kecuali Papa dan abangnya.
Tak lama, Naumi lantas kembali. "Pulang nanti aku mesti ngajarin adik kelas di ruang ekskul. Kamu sendiri aja gapapa kan? Atau mau nunggu aku?"
"Liat nanti," jawab Sadam singkat.
"Mending kamu langsung pulang aja. Aku gak mau ya, adik-adik kelas itu malah kesempatan ganjen sama kamu."
Jujur, Alin merasa seperti nyamuk sekarang. Dulu, dia pernah ada di posisi Naumi, menjadikan sahabatnya sebagai nyamuk di momment indah mereka. Tapi sekarang Alin sadar, rasanya sesak. Ia memilih untuk bermain ponsel.
"Lo pindahan dari sekolah mana, Lin?" tanya Naumi.
"Dari SMA Bumi Pertiwi."
Naumi mengernyit heran. "Itu bukan dari daerah sini kan? Btw, kenapa lo bisa pindah?"
Nah ini! Pertanyaan seperti inilah yang membuat Alin bungkam, dan tak tahu hendak menjawab apa. Beruntungnya, pesanan mereka segera tiba. Dan masing-masing akhirnya sibuk dengan makanan mereka.
Sadam tiba-tiba berdehem dengan sengaja. Alin sontak mengangkat pandangannya. Lelaki itu menatapnya dengan tatapan tak suka. Alin balik menatapnya seperti itu.
"Lin, kalau makan jangan main hp," tegur Naumi, mampu membuat Alin menetralkan raut wajahnya. Meskipun Naumi mengartikan pandangan tak suka dari Sadam, Alin menurut dan menutup ponselnya. Bukannya apa-apa, lagipula sejak tadi dia memang tak memainkan ponselnya. Hanya menggenggam dalam posisi tegak, seolah dimainkan.
Setelah ponsel itu diletakkan di atas meja, Sadam tak lagi menatap tajam padanya. Dasar aneh...
***
TBC!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top