13

"Hubungan antar keluarga saja aku masih merasa asing. Apalagi sebatas ipar."

***

Baru saja memasuki rumahnya, Alin mendengar suara tangis seseorang. Dengan panik, Alin bergegas mencari sumber suara.

Dan ya, Ara sedang duduk meringkuk di sofa ruang tengah. Suara tangis wanita itu tercekat. Alin mempercepat langkahnya guna menyusul sang kakak ipar.

Dengan hati-hati, Alin menyentuh lengan Ara, pelan. Namun di luar dugaan, Ara mendongak, dan membuat Alin kaget.

"Kak Ara ke-"

Belum sempat Alin menyelesaikan ucapannya, Ara bangkit dan beranjak menuju kamarnya. Alin termangu. Ara tampak seperti orang stres. Tapi tangis wanita itu belum juga berhenti.

Alin jelas tak bisa diam saja. Hari ini Cakra sedang lembur kerja. Alin takut menghubungi abangnya. Bagaimana jika nantinya mereka malah bertengkar? Tapi Alin juga tak bisa membiarkan kakak iparnya menangis begitu saja. Bagaimana jika terjadi apa-apa dengan kandungan wanita itu?

Tanpa pikir panjang, Alin segera keluar rumah. Tak peduli jika seragam sekolahnya belum diganti saat ini.

Hanya ini jalan satu-satunya. Orang yang bisa membantunya sekarang hanya Sadam.

Ketika tiba di hadapan rumah Sadam, kebetulan pintu rumah lelaki itu memang sedang terbuka, menampilkan Sadam dan seorang lelaki yang tadinya berdiri menunggu Sadam di depan rumah. Keduanya sontak menoleh kala Alin berdiri di depan pintu.

Hening, selama beberapa saat.

"Sadam, Kak Ara nangis!"

Mendengar nama Ara, Sadam langsung bangkit, bahkan langkahnya malah mendahului Alin.

"Kak Ara kenapa?" tanya lelaki itu tanpa menoleh sedikitpun.

Di belakangnya, Alin berusaha mensejajarkan langkah mereka. "G-gak tau."

"Kok bisa gak tau?!" Ucapan lelaki itu terdengar penuh penekanan.

"Ya, gue-"

"Dimana Kak Ara?" Keduanya kini baru saja memasuki rumah.

"Di kamar."

Tak butuh waktu lama, Sadam mengetuk pintu kamar Ara. Ia sempat memanggil nama wanita itu beberapa kali, hingga akhirnya pintu dibuka. Sadam masuk, dan menutup pintu itu kembali.

Alin mendengkus pasrah. Beberapa menit berlalu, Alin masih menunggu di depan kamar. Ia bahkan bisa mendengar suara Ara yang sedang bercerita dengan nada parau.

Alin tersenyum miris. Ara tampak lebih percaya pada Sadam dibanding dirinya.

Pintu kamar tiba-tiba dibuka. Keduanya saling bersitatap hingga beberapa saat.

Bosan terus menerus dalam keheningan, Alin langsung angkat suara, "Kak Ara kenapa?"

"Janinnya kembar," ujar Sadam sembari berlalu.

"Hah?" Alin masih tak paham dengan ucapan lelaki itu. "Trus kenapa Kak Ara nangis?" Alin bahkan mengejar langkah Sadam hingga di pintu rumah.

Sadam mendadak berbalik badan. Untung saja jarak keduanya tidak terlalu dekat, dan Alin bisa dengan sigap menahan langkahnya.

"Pinjem kunci motor," ujar lelaki itu.

"Hah?"

"Pinjem kunci motor," ulang lelaki itu.

Alin bergeming sembari mengernyit heran. Lengkap sudah rasa ketidaksukaannya pada lelaki itu. Salah satu list yang membuat Alin gampang ilfeel dengan laki-laki adalah jika orang itu tak bermodal. Sadam misalnya.

"Gue yang ngambil, atau lo?" Lelaki itu berujar tenang.

"Kok lo maksa?!"

"Gue yang ngambil-" Belum sempat Sadam mengulang ucapannya, Alin beranjak dan mengambilkan kunci motornya di dalam rumah. Dalam hati, Alin sangat tak ikhlas meminjamkan motornya pada lelaki itu.

"Yuk!" Sadam malah menarik tangannya saat Alin memberikan kunci motor. Sialnya, perlakuan mendadak itu malah sukses membuat Alin tak berkutik. "Temenin gue cari makan."

***

"Janin yang ada di perut kak Ara kembar," ujar Sadam ketika mereka tiba di lokasi. Lelaki itu turun dan langsung memesan makanan, lantas duduk sembari menunggu. Mau tak mau Alin ikut duduk di sampingnya.

"Bagus dong. Trus kenapa kak Ara malah nangis?"

Sadam malah menatapnya dengan heran. "Bukannya lo adik iparnya?"

Alin mendengkus pasrah. "Kalau gue tau jawabannya, gue gak bakal nanya! Nyesal gue pinjamin motor kalau gini!" Alin berniat hendak kembali ke motornya. Kalau bisa, dia akan meninggalkan Sadam sendirian di sini!

"Bang Cakra belum tau," ujar lelaki itu, mampu membuat Alin kembali duduk di sampingnya.

"Terus?"

"Kak Ara gak mau nambah beban Abang lo."

"Kenapa malah jadi beban? Gue yakin bang Cakra bakal senang dengar kabar ini. Apa gue aja yang ngasih tau bang Cakra?"

"Bego!" umpat lelaki itu. Alin dibuat terdiam. Sadam bangkit dan mengambil pesanannya. Detik selanjutnya, Sadam beralih menuju parkiran. Demi apapun, Alin pikir tadinya lelaki itu akan makan di sini, dan menraktirnya. Oke, mulai saat ini Alin akan mengenyahkan pikiran positifnya terhadap Sadam.

Tak ada percakapan apapun selama di perjalanan. Bahkan saat mereka sudah tiba pun, baik Sadam maupun Alin masih sama-sama diam.

"Thanks," ujar lelaki itu dan pergi begitu saja.

"Sadam!" Panggilan Alin mampu membuat Sadam menghentikan langkahnya.

Sebenarnya Alin masih belum puas dengan alasan mengapa kakak iparnya menangis. Tapi tampaknya Sadam belum mau terbuka dengannya perihal ini. Alih-alih menanyakan itu, Alin malah dibuat kelimpungan.

"Hm, cowok yang nungguin lo tadi siapa?" Sumpah! Alin rasanya ingin menghilang. Bukan itu yang harusnya ia tanyakan.

"Abang gue."

***

Sebenarnya Alin masih kepikiran dengan ucapan Sadam waktu itu. Ara merasa sedih dengan janin kembarnya. Malamnya, Ara berhenti menangis dan tampil seolah baik-baik saja di depan Cakra. Entah beban apa yang sedang dipikul wanita itu, Alin tak pernah tahu.

Saat ini Alin sedang bersiap-siap hendak berangkat sekolah. Dapat dilihatnya bahwa Cakra sedang memeriksa sesuatu pada mobilnya.

"Abang boleh pinjam motor kamu gak?" tanya lelaki itu. "Ban mobilnya bocor. Setengah jam lagi toko bakal buka. Gak keburu mau bawa ke bengkel."

Alin tak masalah jika harus meminjamkan motornya. Namun bagaimana dengan nasibnya?

"Tenang aja. Nanti kamu berangkat bareng Sadam. Biar Abang yang ngomong."

Bersamaan dengan itu, pintu rumah Sadam juga tampak terbuka. Bukan Sadam yang keluar, melainkan seorang lelaki yang katanya adalah abangnya. Lelaki itu mengeluarkan motor Sadam, lantas mulai memanaskan mesinnya. Sudah sangat lama Alin tak melihat Sadam mengendarai motor itu.

"Loh? Abangnya Sadam udah balik ya?" gumam Cakra. Saat itu juga, Cakra beranjak menuju rumah itu. Keduanya tampak saling sapa dan mengobrol beberapa saat, hingga akhirnya Sadam keluar. Lelaki itu sudah mengenakan pakaian lengkap. Cakra tampak mengatakan sesuatu, hingga akhirnya membuat Sadam mengangguk.

Sadam mulai menjalankan mesin motornya, selang beberapa saat ia lantas berhenti di hadapan rumah Alin.

"Motor lo kenapa?" tanyanya.

"Mau dipakai sama bang Cakra."

"Gue gak tanggung jawab, kalau sampai motor gue kenapa-kenapa pas di jalan."

"Hah?" Alin tak mengerti dengan maksud lelaki itu. Namun belum sempat menjawab pertanyaannya, Sadam sudah lebih dulu menjalankan mesin motornya.

***

Setengah perjalanan lagi menuju sekolah, motor Sadam mendadak mati. Dengan pasrah, lelaki itu turun dari motor.

"Udah gue peringatin tadi," ujarnya saat melihat tanda tanya dari ekspresi Alin.

"Trus sekarang gimana dong? Lima menit lagi bel masuk," keluh Alin.

Sadam mengangkat bahunya tak acuh.

Alin turun dari motor, lantas menatap sekeliling. Seingatnya tak ada bengkel terdekat di sini.

"Kok lo malah diem? Cari cara kek!"

"Berisik!" Sadam beralih mendorong motornya.

"Gue pesan ojek online aja kalau gitu."

Sadam menghentikan langkahnya. "Pesan aja."

"Trus lo gimana?"

"Bolos," ujar lelaki itu dengan tenang.

Alin berdecak kesal. "Kok lo sepasrah itu?"

Sadam tak lagi menjawab. Lelaki itu kembali fokus mendorong motornya.

"Gue telpon Naumi, suruh jemput lo."

"Jangan."

"Kenapa?"

Sadam kembali berhenti. "Kalau gue pergi, motor gue gimana?"

Rasanya Alin ingin sekali mengumpat dan mengatakan secara gamblang bahwa motor Sadam adalah beban.

"Kalau lo mau sekolah, pergi aja."

Alin sudah membuka aplikasi ojol. Tapi melihat Sadam yang berjuang sendirian mendorong motor hingga menemukan bengkel, membuat Alin merasa kasihan. Walau bagaimanapun, dia juga ikut nebeng dengan motor itu dari rumah.

Alin menutup ponselnya, lantas mengejar langkah Sadam.

"Gue ikut lo."

***

TBC!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top