10
"Kebahagiaan tersendiri bagi seorang jomblo adalah saat menyaksikan pertengkaran pasangan lain sambil membatin 'Ayo putus, jangan baikan.'"
***
Demi menutupi lukanya, Alin sengaja memakai pakaian serba panjang dan tertutup saat di rumah. Seperti biasa Alin juga selalu bersemedi di kamarnya. Untungnya tak ada pertanyaan dari Cakra maupun Ara.
Paginya, Alin menahan sakit di lutut ketika mengendarai motor. Benda itu sudah diperbaiki kemarin. Untung saja Sadam bisa diandalkan, meski banyak imbalannya.
Sebenarnya Alin masih takut dan agak trauma ketika di lampu merah. Terlebih ketika ia melewati lokasi kecelakaannya semalam. Tapi syukurlah hari ini berjalan dengan lancar.
"Gimana kemarin?" tanya Naumi ketika ia baru saja datang bersama Sadam. Naumi mengangkat kursinya dan duduk di sebelah Alin. "Gimana pas gak ada gue kemarin?"
"B aja," ujar Alin apa adanya.
"Gimana-" Naumi memberi kode dengan menunjuk Sadam menggunakan dagunya. "Aman kan? Dia macem-macem gak?"
Alin mengangguk seadanya.
"Bohong!" tuduh Naumi. Gadis itu mendekatkan diri pada Alin lantas berbicara dengan nada berbisik, "Dulu, sehari aja gue gak dateng, pasti ada aja yang ngelapor kalau Sadam ngedeketin cewek lain. Sekalipun itu bener, tapi ya gue tetep gak percaya. Kan gue gak liat langsung."
Alin mengembuskan napas panjang. Sebenarnya pipinya saat ini sedang berdenyut ngilu. Harusnya ia beristirahat di rumah saat ini. Tapi Alin tak mau mengambil resiko jika sampai Cakra dan Ara curiga dengannya.
"Tapi kemarin Sadam dateng kan?" Oke, pertanyaan Naumi kali ini sontak membuat Alin tak berkutik. "Lin? Jadi kemarin Sadam gak dateng?"
Volume suara Naumi membesar ketika menanyakan itu. Sadam bahkan sampai menoleh ke belakang sekilas. Padahal tadinya lelaki itu sedang sibuk dengan ponselnya. Untung saja Naumi beralih dengan memberikan cengiran lebar, dan gelengan kuat, hingga Sadam kembali meneruskan aktivitasnya yang sempat tertunda.
Tapi untunglah orang-orang di sekitar mereka sibuk dan tak mendengar ucapan Naumi.
"Dateng kok," balas Alin akhirnya.
"Jadi bener kan, kalau dia gak ganjen?"
Alin mengembuskan napas panjang. "Enggak, Naumi."
"Oke. Btw, pipi lo kenapa? Abis dicium siapa tuh, sampai memar gitu."
Alin memalingkan wajahnya ke samping. Bersamaan dengan itu, guru mereka masuk, dan Naumi akhirnya pindah kembali ke kursinya.
***
Jam istirahat berbunyi, seperti biasa Naumi ikut menarik Alin untuk ikut ke kantin bersamanya. Mereka jalan beriringan. Naumi menggandeng tangan Sadam di sebelah kanan, dan tangan Alin di sebelah kiri.
"Jadi, siapa yang pesan makanannya?" tanya Naumi ketika mereka sudah duduk di meja biasa. Kedua matanya menatap Alin dan Sadam bergantian. Sementara yang ditatap, tetap bungkam sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Kamu yang pesan ya?" ujarnya pada Sadam. Lelaki itu hanya menatapnya saja. "Aku lagi mager. Si Alin kesian, pipinya abis dicium."
Alin yang duduk di hadapan Naumi lantas menendang pelan kaki gadis itu. Sadam akhirnya bangkit.
"Bentar!" Naumi menahan pacarnya. "Lin, lo mau pesan apa?"
"Ba-" Belum sempat Alin menyelesaikan ucapannya, Sadam keburu pergi.
"Yah, malah pergi. Sabar ya, Lin," ujar Naumi.
Alin lagi-lagi mendengkus pasrah. "Pacar lo ngeselin!"
Naumi malah tertawa ngakak. "Kalau gak ngeselin, bukan Sadam namanya."
Sadam datang sembari membawa nampan berisi tiga mangkuk soto. Oke, padahal tadinya Alin mau memesan bakso. Tak masalah. Hanya beda sedikit saja.
"Pinjem HP," ujar Naumi. Sadam langsung memberikan tatapan tajam pada gadis itu. Naumi malah nyengir. "Kuahnya masih panas, sayang."
Sadam tak memperpanjang hal kecil ini. Lelaki itu lantas memberikan ponselnya begitu saja. Saat Alin dan Sadam sibuk dengan makanan mereka, Naumi sibuk menelusuri ponsel pacarnya.
"Ini Lita, adik kelas?" Oke, interogasi dimulai. Ini momment pertama bagi Alin melihatnya.
"Iya," balas Sadam dengan tenang.
"Kenapa dibales?" Naumi tampak tak main-main.
"Dia nanya, makanya dibales."
"Chat yang lain juga pada nanya, tapi gak kamu bales. Kenapa dibedain?"
Sadam berpura-pura tak peduli. Ia mengambil alih botol saus, dan menuangkannya ke mangkuk soto.
Naumi lantas merampas botol saus itu. "Jangan banyak-banyak! Nanti sakit perut."
Sadam pasrah. Tak melawan ataupun menjawab.
"Jawab aku!"
"Apasih?" Sadam akhirnya buka suara.
"Gausah pura-pura bego lah. Jawab pertanyaan yang tadi!"
Situasi mulai menegang. Alin selaku nyamuk di antara mereka semakin cepat menghabiskan sotonya meskipun keadaan makanan itu sedang panas-panasnya.
"Karena aku tau, makanya aku jawab!" tegas Sadam. Jika dilihat-lihat, isi percakapannya dengan si adik kelas itu juga hanya seputar ekskul dance. Gadis itu awalnya menanyakan kenapa Naumi tak hadir semalam.
"Bohong! Bilang aja karena dia cantik!"
Alin mengambil sebuah tisu di tengah meja. Ia sempat bersitatap dengan Naumi. Alin beralih menggeleng, berniat untuk menyuruh gadis itu menyudahi pertengkaran tak penting mereka.
Naumi berdecak, "Gak bisa, Lin! Dia udah sering kayak gini!"
Alin memutar bola matanya dengan malas. Memang apa pedulinya? Sadam juga tampak memasang wajah tak suka.
"Gue duluan ya," ujar Alin lantas meninggalkan mereka tanpa menunggu balasan dari Naumi.
Beberapa menit berlalu, Alin kini keluar dari toilet. Yang dilakukannya di toilet hanya mencuci muka. Ia beralih pergi dari kantin karena tiba-tiba teringat lagi dengan sang mantan.
Entahlah, momment pacaran Naumi dan Sadam selalu mengingatkannya pada Wisnu, mantannya.
"Oh iya. Beberapa hari lalu ada temen kamu yang nyariin ke rumah."
Alin kaget, dan langsung antusias menatap sang Mama. "Siapa, Ma?"
Sarah tampak mengingat-ingat sesuatu. "Mama lupa siapa namanya. Tapi dia cowok."
"Ciri-cirinya gimana? Dia bilang apa aja?"
"Ganteng sih. Sopan. Dia nyariin kamu."
"Trus, Ma?"
"Ya Mama bilang aja kalau kamu udah pindah. Trus dia minta nomor kamu. Dia gak hubungin kamu?"
"Ih, Mama. Kenapa dikasih?"
"Emang apa salahnya? Dia kan temen sekolah kamu. Gak boleh sombong dong. Lagian kamu aneh-aneh aja. Pindah mendadak tanpa alasan. Dicariin kan jadinya."
Alin sempat berpikir bahwa yang mencarinya waktu itu adalah Wisnu. Tapi ngomong-ngomong, lelaki itu bahkan tak tahu dimana rumahnya. Mereka memang pacaran, tapi Alin selalu pulang-pergi dijemput oleh Papa atau Mamanya. Tak ada sedikitpun celah untuk Wisnu mengantarkannya pulang.
Dan kalaupun itu benar-benar Wisnu, lantas mengapa lelaki itu tak menghubunginya?
Rambut Alin tiba-tiba ditarik oleh seseorang. Alin yang saat itu sedang melamun sembari menatap layar ponsel di depan toilet, sontak tersadar.
Ternyata orang itu adalah Sadam.
"Pulang nanti bareng gue," ujar lelaki itu sembari berlalu.
"Hah?" Alin tak paham dengan ucapan lelaki itu. "Kayak biasa kan?" Alin berpikir mungkin maksud Sadam adalah pulang beriringan dengannya dan Naumi seperti kemarin-kemarin.
"Gue nebeng. Gak bawa motor."
"Trus Naumi?" Alin sedikit membesarkan volume suaranya sebab Sadam terus saja melangkah padahal mereka masih bicara.
"Bawa motor sendiri."
Alin berdecak kesal. Iya, dia tahu. Maksud Alin, biasanya kan lelaki itu selalu diantar-jemput oleh Naumi.
"Kenapa gak sama Naumi?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja olehnya.
Alih-alih menjawab, Sadam hanya menggedikkan bahunya tak acuh dan terus melangkah tanpa peduli apapun.
***
TBC!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top