Percaya

Gadis Pov

"Dis, pinjem buku Komunikasi Politik lo dong," pinta Anggun lalu aku memberikannya. Kami berempat dengan Vira dan Tania sedang mengerjakan tugas kelompok di bangku bundar dekat taman kampus.

"Nggun, ini gue masukin di slide no 5 ya?" Tanya Vira ke Anggun sambil menunjukan buku KomPol miliknya, dan Anggun meng-iya-kan.

"Dis, kemaren gue sempet lihat lo lagi nyeberang sama Bu Sekar deh. Kalian keliatan deket banget, emang udah kenal ya sebelumnya?" Pertanyaan Tania yang tiba-tiba itu sontak membuatku berhenti menulis, lalu Anggun langsung menoleh ke arahku.

"Sejak kapan lo kenal Bu Sekar, Dis? Kan lo gak diajarin sama dia?" Tanya Anggun merepet.

"Hah? Oh itu, gue gak sengaja ketemu di baksonya Babeh Jali terus yaudah bareng deh nyeberangnya," jawabku apa adanya.

"Emang lo pernah kenalan sama Bu Sekar?" Tanya Anggun lagi.

Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba Bu Sekar menghampiri meja kami dan memegang lembut bahu Anggun membuatnya langsung menoleh. "Iya, saya sempat diantar sama Gadis tempo hari. Kalian sedang apa?" Senyum Bu Sekar.

"Oh ini Bu, kita lagi ngerjain tugas," jawab Vira. Anggun dan Tania hanya senyum-senyum awkward ke Bu Sekar.

Lalu mata Bu Sekar menangkap mataku, ia tersenyum masih dengan lesung pipinya yang membuat wajahnya semakin manis. Aku pun hanya menganggukan kepala dan membalasnya dengan senyuman juga.

"Yasudah kalau begitu, selamat belajar ya," Bu Sekar menatap kami satu-persatu dengan senyumannya. Dan ketika mata kami bertemu lagi, aku kembali menganggukan kepala dengan sopan padanya.

"Asli kaget gue tiba-tiba ada Bu Sekar," Anggun mengelus-elus dadanya setelah memastikan Bu Sekar sudah menjauhi tempat kami.

"Iya sama, gue juga," sahut Tania.

"Udah kerjain lagi yuk tugasnya," ucapku.

Anggun melihat jam tangannya tergesa-gesa. "Shit udah mau jam 5. Duh guys, udah selesei kan ya? Gue buru-buru nih janjian sama cowok gue."

"Iya udah, nanti kalau ada tambahan di email aja ya," balas Vira.

"Oke," sahut Tania. Dan aku pun hanya menganggukan kepala sembari memasukan laptop dan buku ke dalam tas.

"Gue cabut duluan ya, bye," Anggun izin pulang duluan lalu diikuti Tania dan Vira.

Tinggal lah aku sendiri di sini. Taman masih ramai dengan beberapa mahasiswa yang tengah duduk santai atau foto-foto dengan kamera dslr mereka, mungkin mereka sedang ada tugas fotografi. Aku pun akhirnya memutuskan untuk pulang, seperti biasa aku memakai earphone untuk mendengarkan lagu dari iPod-ku.

Aku berjalan menuju parkiran dengan melewati beberapa koridor dan ruang fikom. Lalu lagi-lagi seseorang menepuk bahuku dari belakang, sepertinya aku tahu dia siapa.

"Hai Gadis," sapa Bu Sekar.

"Ha-hai Bu," balasku.

"Kamu mau pulang?"

"I-iya Bu,"

"Hemmm, kamu sudah mau ke parkiran?"

"Iya Bu, Ibu mau saya temani ke parkiran mobil?"

"Kebetulan hari ini saya sedang tidak bawa kendaraan."

"Oh gitu, Ibu mau pulang sekarang?"

"Iya sih, tapi saya kepikiran pengen makan sesuatu dulu. Hemmm, kamu sibuk?"

"Saya? Engga kok, saya gak ada kegiatan apa-apa lagi. Ibu mau saya temani?" Aku kembali menyadari kenapa aku selalu menawarkan diri.

Bu Sekar diam sejenenak. "Kamu gak keberatan?"

"Eng-engga kok Bu. Ibu mau makan di mana?"

"Saya mau coba kafe baru di daerah Gunawarman. Kejauhan tidak untuk kamu? Atau kamu punya suggestion lain?"

"Emmm, yaudah di situ aja Bu. Tapi saya kan bawa motor, Ibu gak apa-apa?" Aku melihatnya dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Ia pun mengikuti tatapanku melihat dirinya sendiri, "gak apa-apa kok Dis."

"Yauda kalau gitu, berangkat sekarang?"

"Yuk," ia tersenyum. Dan kami pun mengobrol ringan menuju parkiran. Kali ini aku sudah mulai bisa terbiasa berbicara dengannya tanpa kikuk seperti kemarin, tapi ia tetap mendominasi obrolan kami.

Sampai di parkiran aku baru teringat kalau aku hanya membawa satu helm.

"Kenapa Dis?" Tanyanya melihatku kebingungan.

"Emmm sebentar ya Bu, saya cari pinjaman helm dulu," jawabku dan aku melihat Dito sedang ingin mengeluarkan motornya, aku pun berlari menuju tempatnya.

"To tunggu To, gue pinjem helm dong," aku menahan Dito.

"Hah? Tumben banget, buat apaan? Gue kan mau jemput cewek gue Dis."

"Yah please To, lo pinjem sama anak-anak kosan aja gih."

"Buat apa sih? Lo mau boncengin siapa?"

Belum sempat aku menjawab, Bu Sekar sudah memotong pembicaraan kami. "Buat saya Dito, saya ada urusan dengan Gadis. Maaf merepotkan," ucapnya tersenyum ramah pada Dito. Aku pun langsung menoleh ke arahnya yang kini berdiri di sampingku.

"Oh ma-maaf Bu kalau gitu, i-ini pakai saja helm saya. Dis, lo bukannya bilang sama gue daritadi," bisik Dito dengan suaranya yang masih bisa terdengar dari jarak 10 meter.

Aku pun tertawa kecil melihat muka Dito yang merah padam melihat Bu Sekar, lalu aku mengambil helm pemberiannya. "Thanks ya To, hati-hati lo," ucapku padanya lalu kami kembali ke motorku lagi.

"Ini Bu helmnya, hemmm Ibu bawa kain atau semacamnya?" Tanyaku melihat ke arah rok Bu Sekar.

"Oh tenang, aku bawa pashmina kok," jawabnya. Dan hey, dia memanggil dirinya dengan sebutan 'aku' lagi.

"Oke Bu,"

"Sekar, Dis. Panggil saya Sekar," pintanya tersenyum.

"Iya, Sekar," dan kami pun pergi meninggalkan kampus. Aku bisa merasakan banyak pasang mata yang melihat ke arah kami. Bu Sekar pun hanya tersenyum sambil memegang pinggangku.

Selama di perjalanan kami hanya terdiam dengan pikiran kami masing-masing. Sempat beberapa kali Sekar bertanya padaku, tapi karena keadaan jalan yang sangat bising aku tidak bisa menjawab pertanyaannya dengan jelas.

"Akhirnya sampai juga," Sekar melepaskan helmnya lalu menguncir rambut panjangnya yang dilipat kebagian belakang. Dia jadi tampak lebih muda dan lucu. Duh, kenapa aku terus memerhatikan dirinya.

"Yuk masuk Dis," mungkin tanpa ia sadari, ia menarik lenganku dan memegangnya.

Kami pun memilih tempat di lantai dua. Kafe ini berkonsep hipster, mulai dari pemilihan bangku, meja, dan semuanya sangat kekinian. Tembok-temboknya pun digambar dengan lukisan surrealism, menarik.

"Kamu mau pesan apa Dis?"

"Hemmm, Ibu pesan apa?"

"Saya mau pesan caramel macchiato dan fish and chips, kamu?"

Aku melihat daftar menu, harganya lumayan juga ya.

"It's my treat," ucap Sekar padaku sembari tersenyum, dan aku membalasnya dengan senyuman tidak enak hati.

"Pesan aja yang kamu Dis," ucapnya lagi.

"Saya mau lemond squash dan salad," dan seorang pelayan menacatat pesanan kami.

"Hemmm, so how is it?"

"Maksudnya Bu?"

"Ck masih aja panggil saya Ibu,"

"Oh iya maaf, maksudnya Sekar?"

"Menurutmu gimana kafe ini?"

Aku melihat sekeliling, "emmm menarik, kekinian, dan saya suka gambar surrealism nya."

"Kamu bisa painting?"

"Engga sih, cuma suka aja ngeliatnya."

"Kamu suka datang ke pameran lukisan?"

"Beberapa kali, saya lebih seringnya sih datang ke acara di Ruang Rupa."

"Oh kamu suka ke sana?"

"Ka-kamu juga suka ke sana?"

Sekar tertawa kecil, "Gadis, gak perlu sungkan untuk berbicara gak formal sama aku. Kita lagi gak di kampus, dan anggep aja aku teman kamu, ya?"

"Iya Sekar," sahutku sambil garuk-garuk.

"Kamu suka ke sana?" Tanyaku lagi.

"Emmm gak sering sih tapi pernah beberapa kali, kebetulan temanku salah satu pengurus di sana."

"Oh gitu,"

"Dis, hobi kamu apa?"

"Hobi saya nulis, saya suka nulis."

"Puisi?"

"Puisi dan cerita, saya suka membuat tokoh atau karakter yang bisa saya mainin alurnya."

"Wow, aku boleh baca salah satu cerita kamu?"

"Emmm, tapi masih jelek banget."

"It's okay, I would love to read your story."

"Nanti saya kirim ke email aja ya?"

"Oke, nanti aku text kamu email aku ya." Dan makanan pun datang, kami segera menyantap makanan ini dengan diselingi obrolan ringan.

"Kamu kenapa cuma makan salad?"

"Diet,"

"Diet? Badan kamu udah proposional gitu kok, apa yang perlu didietin lagi?"

"Saya lagi mau makan yang sehat-sehat aja,"

"Hahaha, kamu tuh ada-ada aja," aku hanya tersenyum menyahutinya.

"Dis, you remind me of someone."

"Emmm? Siapa?"

"I will tell you someday. Mungkin karena itu kali ya aku jadi penasaran sama sosok kamu."

"Am I weird?"

"Haha why are you asking me that question? Emang kalau aku bilang kamu ingetin aku sama seseorang, itu maknanya aneh?"

"Ya-ya gak sih, hehehe,"

"Kamu tuh ada-ada aja. So, kenapa kamu pilih jurusan HI?"

"Karena kemauan Papa."

"Emm? Maksudnya?"

"Aku dulu pengennya ambil jurusan sastra, tapi gak dibolehin sama Papa," tanpa kusadari, aku mulai memanggil diriku 'aku' dengannya.

"Kenapa?"

"It's complicated, I will tell you someday," aku mengulangi ucapnnya.

"Haha is that a sweet revenge?"

"Haha no,"

"Aku penasaran sama sesuatu, tapi kalau kamu gak mau jawab pertanyaan aku ini gak apa-apa kok aku gak akan maksa."

"Pertanyaan apa?"

"Waktu di kelas tempo hari, aku ngeliat kamu lagi natap ke arah langit dengan ekspresi sendu, kenapa?"

"Aku lagi kangen seseorang,"

"Udah lama gak ketemu dia?"

"Aku gak tau malahan sekarang dia di mana."

"Oh sorry,"

"It's okay. Aku boleh tanya balik ke kamu?"

"Boleh kok Dis, kamu mau tanya apa?"

"How old are you?"

"Hahaha, are you asking me about my age?"

"Ya, is it wrong?" Aku menatapnya bingung.

"Haha engga kok engga, ternyata aku gak seterkenal itu ya di kampus. Aku pikir aku jadi buah bibir mahasiswa."

"Emmm maksudnya?"

"Haha never mind. Umurku baru 24 tahun," Sekar tersenyum lebar.

"No wonder sih,"

"No wonder gimana?"

"Haha never mind."

"Heeey, are you revenge me again?"

"Haha no, I'm not Miss," aku mulai nyaman mengobrol bersamanya. Rasanya sudah gak canggung lagi, malah aku sudah mulai bisa bercanda dengannya. Sudah lama sekali aku tidak merasakan perasaan seperti ini.

"Kamu udah mulai bisa bercandain aku ya?"

"Hahaha,"

"Semester ini kamu ambil kelas hari apa aja?"

"Aku yang gak ada kelas cuma di hari Rabu, selebihnya ada kelas semua."

"Oh pantesan aku gak lihat kamu."

"Kamu nyariin aku?"

Sekar terlihat canggung, "ah engga kok."

Aku hanya tertawa kecil menanggapinya, bisa juga dia canggung seperti itu.

Tak terasa sudah dua jam kami berbincang-bincang di sini. Sekarang sudah pukul 8 malam.

"Rumah kamu di mana Dis?"

"Rumah aku di Kebayoran, kamu?"

"Rumah aku di daerah Senopati, nanti aku biar pulang naik taksi aja dari sini. Aku minta bill dulu ya," lalu Sekar membayar semua makanan kami malam ini.

"Aku anterin aja," untuk kesekian kalinya aku menawarkan diri.

"Gak usah, jangan, kasian kamu nanti kecapean."

"Engga kok, lagi pula gak jauh-jauh amat dari Senopati ke rumahku."

"Serius?"

"Yes,"

"Makasih ya," senyum Sekar lagi. Dan kami berdua pun menuju parkiran, kami baru menyadari kalau sepertinya tadi sempat hujan karena jalanan terlihat basah. Untung saja tadi kami sempat menitip helm ke tempat penyimpanan security jadi tidak kebasahan.

Aku mengambil handuk kecil dari dalam tas ranselku mengelap jok motor yang basah. Lalu aku teringat sesuatu.

"Oh ya, sapu tangan kamu masih di aku," ucapku masih dengan mengelap jok.

"Kamu simpen aja, untuk kamu," sahut Sekar, dan aku hanya tersenyum.

Aku menatap langit, sepertinya akan hujan lagi. Aku kemudian melihat ke arah Sekar yang sedang mengelus-elus lengannya, mungkin dia kedinginan. Wajar saja karena ia hanya memakai kemeja loose yang bahannya aku rasa tipis. Aku pun kemudian membuka jaketku.

"Kamu pakai aja nih jaket aku," ucapku memberikannya jaket.

Sekar terlihat bingung, "terus kamu pakai apa?"

"Kaos aku bahannya tebel kok, yuk jalan pakai helmnya."

"Gak ah, kan kamu yang di depan pasti kamu nanti kedinginan. Ini kamu aja yang pakai jaketnya," ia menyodorkan kembali jaketku.

Aku tersenyum padanya, "aku udah biasa naik motor, dan aku tau kok kalau kamu gak terbiasa angin-anginan kayak gini. Dipake ya, atau gak aku gak akan mau anterin kamu lagi."

"Hemmm okay," Sekar akhirnya menurut.

Aku melajukan motorku perlahan karena kondisi jalan yang licin. Yang tadinya Sekar hanya memegang pinggangku dari samping, ia kini tiba-tiba memelukku. Ia mengeratkan pegangannya, mungkin ia takut terjatuh.

Akhirnya gerimis pun turun, untung saja sudah mau sampai ke arah rumahnya setelah ia menunjukan jalan padaku. Kami akhirnya sampai di depan rumahnya, seseorang seperti security membukakan pintu gerbang besar berawaran hitam itu.

Hujan semakin turun dengan deras, dan Sekar memintaku untuk memasukan motor ke parkiran dalam. Aku pun menurutinya.

"Kamu masuk dulu ke dalam ya, hujannya deras banget," ucap Sekar sedikit berteriak padaku karena suara hujan dan petir yang saling bersautan, aku pun hanya menganggukan kepala.

"Non, non gak kehujanan?" seorang ibu-ibu yang aku tafsir umurnya pasti sudah 40 tahun ke atas menghampiri Sekar dengan wajah khawatir.

"Engga kok Bi, Sekar baik-baik aja. Oh iya Bi, tolong buatin cokelat hangat ya dua gelas untuk Sekar dan teman Sekar," jawab Sekar pada Ibu yang dipanggil Bi itu dengan ramah. Aku pun tersenyum padanya.

"Ayo Dis masuk," ajak Sekar. Rumah ini sangat besar sekali, guci-guci besar ada di sudut-sudut ruangan. Lemari kaca berisikan gelas-gelas antik juga ikut menghiasi ruangan yang aku yakini ialah ruang tamu. Aku pikir Sekar akan mengajakku duduk di sini, tapi ia justru menuntunku ke ruang tv. Di sana telihat ada seorang bapak-bapak yang sedang berpelukan dengan seorang ibu-ibu sambil menonton tv, dan ada anak laki-laki yang aku rasa masih SMA juga sedang melihat ke arah tv.

"Sekar pulaaang," ucapan Sekar menggema di ruangan ini. Lalu ibu-ibu yang aku yakini ialah Ibu Sekar langsung menghampirinya.

"Anak Mama sudah pulang, kamu kehujanan nak? Pulang naik apa tadi? Tumben jam segini pulangnya?"

"Duh Mama, aku kan bukan anak SMA lagi. Aku gak kehujanan, tadi aku pulang bareng temenku naik motor. Dis, sini," Sekar melambaikan tangannya memanggilku.

"Ma, ini kenalin teman Sekar," Mamanya Sekar melihatku dari atas sampai bawah.

"Malam Tante, aku Gadis," lalu aku menyalami tangannya.

"Halo Gadis, nama yang bagus," sahut Mamanya ramah.

Kemudian seorang laki-laki sangat gagah menghampiri kami, "teman Sekar toh? Siapa namanya tadi?"

"Aku Gadis, Om," aku kemudian menyalaminya.

"Ryan, sini kenalan sama teman kakakmu sebentar," panggil Mamanya Sekar.

Dan anak laki-laki yang ternyata tingginya melebihiku itu kemudian menyalimi tanganku, "Ryan." Ucapnya singkat lalu ia kembali lagi duduk di sofanya.

"Dasar anak laki," sahut Mamanya Sekar.

"Kamu udah makan Nak?" Tanya Mamanya ke Sekar.

"Udah Ma tadi sama Gadis. Ma, Pa, Sekar izin ke kamar ya. Yuk Dis," ajak Sekar menarik tanganku menuju kamarnya di lantai dua.

Saat aku masuk ke kamarnya, kesan feminine langsung muncul di otakku. Cat tembok berwarna merah jambu yang sangat soft dengan sentuhan wallpaper bergaris senada membuat kamar ini terasa nyaman. Jajaran beberapa foto siluet terpampang di dinding kamarnya. Ada sebuah meja belajar yang sangat rapi dengan sebuah laptop yang mimiliki icon apel tergeletak di sana. Beberapa majalah fesyen juga ada sampingya.

"Dis, ngapain diam aja di situ? Sini duduk," Sekar memanggilku untuk duduk di atas tempat tidur king size miliknya.

"Iya," aku akhirnya duduk di sampingnya.

Sekar berdiri menuju ke lemari pakaian, "kamu mau ganti baju?"

"Eng-enggak usah, aku kan cuma nunggu hujan reda aja," jawabku.

"Tapi kalau hujannya gak reda-reda, kamu nginap di sini ya," pintanya.

"Hah? Gak usah, aku gak enak," sahutku.

Sekar mengerutkan dahinya, "gak enak kenapa?"

"Aku kan baru kenal sama kamu," jawabku apa adanya.

Kemudian Sekar berjalan menghampiriku dan duduk di depanku. "Kita ini teman, kalau udah di luar kampus, aku udah bukan lagi dosen kamu, dan kamu juga udah bukan lagi mahasiswi aku, oke?"

"Te-tep aja, emang kamu percaya sama aku? Bisa aja aku kan kalau aku orang jahat?"

"Aku yakin 100% kamu bukan orang jahat, kamu baik dan kamu tulus. Jadi gak ada excuse lagi ya,"

"Emmm tapi,"

"Gak ada tapi-tapian, pokoknya kalau hujannya gak berhenti kamu harus nginep di sini."

Tok..tok..tok "Non Sekar, ini cokelat panasnya," ucap seseorang dari balik pintu.

"Oh iya Bi, sini masuk aja," sahut Sekar lalu Bibi menaruh dua gelas cokelat hangat di atas meja belajar Sekar.

"Makasih ya Bi,"

"Iya Non, kalau butuh apa-apa panggil Bibi aja ya Non,"

"Iya Bi,"

Aku berjalan ke arah jendela lalu mengintip ke luar. Shit, hujannya semakin deras.

"Udah kamu nginep di sini aja, udah malem juga ini. Apa aku perlu izin ke orang tua kamu?"

Aku duduk kembali di atas kasur, "gak perlu, aku tinggal sendiri."

"Lho orang tua kamu ke mana emangnya? Adik atau kakak kamu?"

Aku menghela nafas, "Mama meninggal waktu aku SMA, adik cowok aku satu-satunya di penjara karena masalah narkoba. Dan Papa, hemmm Papa tinggal di rumah isteri barunya."

"I'm so sorry Dis, aku gak maksud untuk..."

"No, it's okay," aku tersenyum.

"Aku beneran minta maaf. Teman dekat kamu di kampus tahu tentang ini?"

Aku menggelengkan kepala, "gak ada yang tahu selain kamu dan sahabat aku dulu."

"Oh okay, I'm sorry, I'll keep your story by myself. Kenapa kamu bisa sepercaya itu sama aku?"

"Aku gak tahu, tiba-tiba aja itu keucap dari mulut aku."

"Okay, I'm sorry,"

"Gak usah minta maaf terus-terusan, emang kamu salah apa?"

"Hehe aku jadi gak enak."

"Ya kalau gak enak kasih kucing aja."

"Kamu lucu,"

"Haha engga, buktinya kamu gak ketawa,"

"Iya sih, garing abisnya."

"Iya lah, emang aku Komeng bisa bikin orang ketawa."

"Hahaha kamu nih. Ternyata kamu talk active juga ya, aku pikir kamu pendiam."

"Aku pendiam kok, aku jarang ngobrol di kampus. Temen deket aku aja cuma Anggun dan Dito."

"Terus kenapa sekarang kamu bisa banyak omong gini?"

Aku menaikan bahu, "entah."

Sekar kemudian berdiri lagi, lalu ia mengacak rambutku. "Aku ambilin baju ganti untuk kamu ya, kamu nginep malam ini."

Aku sedikit kaget dengan sikapnya barusan, "o-okay."

Dan akhirnya aku pun menginap di rumah Sekar, dosen muda yang baru saja aku kenal tapi rasanya seperti sudah mengenal ia sejak lama. Entah kenapa ada perasaan nyaman ketika aku bersamanya, sama seperti saat aku masih sering bercerita dengan dia, Windu Sekar Priandhita.


*Note

Part ini lumayan panjang, semoga gak bikin bosan ya :')

Happy reading all :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top