Tiga : SISI-SISI YANG TERLUKA

Selamat siang... saya datang dengan Sekar dan Faisal.

Special mbak lindast1 saya tunggu koreksinya.


***

Senin pagi, Faisal berkemas.

"Lho, kok sudah berkemas, Sal?" Raden Suryo bertanya ketika dilihatnya anak laki-lakinya itu bersiap.

"Saya harus kembali ke Jakarta, Pak. Besuk sudah mulai kerja. Cuti yang saya ajukan sudah habis."

Raden Suryo menatap Faisal yang wajahnya tidak terlalu ceria pagi ini.

"Bapak minta maaf jika lamaran semalam terkesan memaksamu, Sal. Ini Bapak lakukan karena ini amanah," Raden Suryo berkata dengan nada rendah.

Faisal menatap bapaknya, lalu menggeleng tegas. Lelaki itu lantas mendekati bapaknya yang sedang duduk di teras kecil belakang rumah berstruktur kuno itu.

"Bapak nggak bersalah. Kakek juga jelas nggak bersalah karena beliau tentu menginginkan yang terbaik untuk anak cucunya. Mungkin saya yang kurang pandai menyikapi keadaan saat ini. Mungkin saya butuh waktu, Pak," kata Faisal.

Raden Suryo mengangguk.

"Saya minta maaf, jika masih belum bisa menerima semua ini. Ini terlalu cepat dan mendadak buat saya. Saya butuh waktu untuk menyesuaikan diri, Pak. Saya tidak menolak, makanya saya harus belajar menerimanya." Faisal kembali berkata lirih.

Raden Suryo mengangguk tipis. Sementara Bu Suryo yang menyaksikan kedua laki-laki yang dia sayangi itu menjadi terenyuh. Beban suaminya tidak ringan dalam mengemban amanah itu. Dan kini Faisal yang harus memikulnya.

"Apakah kau tidak pamit dulu pada Bulik Rahmi dan Sekar, Sal? Meski kalian belum menikah, tapi sudah ada kesepakatan semalam. Jadi akan lebih baik jika kamu pamit ke sana," Bu Suryo menghampiri mereka untuk mencairkan keharuan yang melingkupi keduanya.

"Apakah saya harus ke sana, Bu?" Faisal memastikan.

Bu Suryo tersenyum, kemudian duduk di bangku di depan mereka. "Tidak harus, Sal. Tapi sebaiknya."

Faisal mengangguk.

"Baiklah, saya akan mampir sebentar."

Dan Faisal berpamitan untuk kembali ke Jakarta.

* * *

Faisal menyusuri kembali kota dimana dulu dia tumbuh dari kecil hingga dewasa sebelum merantau ke Jakarta. Masih seperti dulu, tak banyak yang berubah. Bahkan jalanan menuju rumah Bulik Rahmi yang baru dia telusuri kembali setelah beberapa tahun tak pernah berkunjung.

"Lho, Sal? Sini masuk," bulik Rahmi menyambut Faisal yang datang atas anjuran ibunya.

Faisal mengangguk dan menjabat tangan buliknya, sebelum kemudian duduk di kursi ruang depan.

"Mau ke mana ini, Sal? Kok sudah sangat rapi? Lha itu Pak Man kok nggak disuruh turun?" bulik Rahmi melongok pada Pak Man, sopir keluarga Raden Suryo.

"Saya akan kembali ke Jakarta, Bulik. Jadi saya kesini buat pamit sama bulik dan Sekar."

Bulik Rahmi tersenyum.

"Baiklah. Sebentar Bulik panggilkan Sekar."

Bulik Rahmi tersenyum ketika berjalan ke dalam, mencari Sekar yang pagi ini sepertinya malas-malasan untuk bergerak kemana-mana. Gadis itu hanya tiduran di kamarnya, sambil sesekali memegang handphone.

"Sekar, ada Mas Faisal di depan." Suara bu Rahmi meskipun pelan dan lembut tapi mampu membuat Sekar terkejut.

"Mas Faisal?" Sekar mengerutkan keningnya.

"Ya. Dia akan kembali ke Jakarta. Jadi ke sini untuk pamit sama Ibu dan juga kamu. Temuilah."

Sekar bangkit. Hatinya berdebar, antara rasa segan dan malu yang tiba-tiba menghampiri ketika menyadari bahwa Faisal, kakak sepupunya itu semalam melamarnya.

Sampai di ruang tamu, Sekar melihat laki-laki itu duduk dengan sangat pantas dalam balutan t'shirt berkerah warna putih. Bentuk tubuhnya tercetak jelas, terlihat besar dan kokoh. Tiba-tiba hati Sekar berdesir. Untuk menghalau kecanggungannya, Sekar menghampiri Faisal dan menjabat tangannya dengan sebuah ciuman takzim. Sesungguhnya Sekar merasa malu karena merasa bahwa tangannya sangat dingin dan berkeringat.

"Sugeng rawuh, Mas. Dari mana tadi?" Sekar bertanya sebagai kalimat untuk menyambut.

"Aku dari rumah. Rencananya mau balik ke Jakarta."

Sekar hanya manggut-manggut.

"Bisa mengantarku ke bandara?" tiba-tiba Faisal bertanya kesanggupan Sekar untuk mengantarnya ke bandara.

Sekar terkejut.

"Ke bandara?"

"Ya. Ada Pak Man. Nanti kamu pulang sama Pak Man."

Sekar terlihat ragu.

"Biar aku yang minta ijin sama bulik kalau kamu tak berani bilang."

"Tidak, jangan! Biar saya yang bilang sama ibu." Sekar lalu buru-buru bangkit.

Faisal hanya menatap Sekar yang berjalan terburu-buru ke belakang dengan senyum tertahan.

'Masih juga seperti beberapa tahun lalu ketika masih duduk di bangku SMP. Ceria dan santun. Tapi untuk membina rumah tangga dengan dia yang baru lulus SMA dan baru masuk kuliah?' Faisal mengeluh dalam hati ketika di kepalanya berkelebat bagaimana jika nanti Sekar manja dan tak bisa mengurus rumah tangga.

"Benar kamu mau mengajak Sekar ke bandara, Sal?" bulik Rahmi tiba-tiba sudah berada di ruang tamu dan bertanya, membuat Faisal terkejut karena sejak tadi melamun.

"Iya, Bulik. Kalau Bulik tidak keberatan," jawab Faisal.

Bulik Rahmi menggeleng.

"Separuh hidup Sekar kini hampir menjadi tanggung jawabmu. Bulik percaya kamu akan menjaga Sekar. Dia harta warisan Bapaknya yang paling berharga buat bulik, Sal." Bulik Rahmi berkata aneh, membuat Faisal mengerutkan keningnya.

"Ya. Saya akan menjaga Sekar," jawab Faisal mantab, meski dalam hatinya gamang.

"Terima kasih, Sal."

Tak lama Sekar muncul dan siap berangkat.

"Sudah siap, Sekar?" tanya Faisal sembari bangkit.

"Ya."

"Kami berangkat dulu, Bulik." Faisal menjabat tangan bulik Rahmi, begitupun dengan Sekar.

Ada kelegaan luar biasa di hati bulik Rahmi melihat Sekar mau memenuhi ajakan Faisal mengantar ke bandara.

"Amanah njenengan sudah hampir selesai, Pak. Saya akan tenang menitipkan Sekar pada Faisal, kapanpun waktunya," bu Rahmi bergumam lirih, sembari memegangi dadanya yang nyeri.

Sementara di luar, Faisal berjalan bersisihan dengan Faisal menghampiri mobil yang terparkir di pinggir jalan gang, dimana Pak Man sedang menunggu.

Sekar nyaris menggapai pintu mobil ketika dia mengurungkannya karena sebuah sepeda motor berhenti di dekat mobil Faisal terparkir. Tanpa melihat lebih lama Sekar akan mengenali dengan jelas, siapa pemilik sepeda motor itu.

"Sebentar, Mas. Ada teman saya." Sekar bilang pada Faisal yang sudah duduk di jok tengah, kemudian menghampiri Panca, si pemilik sepeda motor.

Faisal hanya mengangguk dan membiarkan Sekar menemui temannya.

"Hei, Ca. Mau ke rumahku?" Sekar menyapa ramah.

"Ya. Tapi sepertinya kamu mau pergi?" Panca melongok ke arah mobil.

Sekar menoleh ke arah mobil dan mengangguk.

"Iya. Aku mau mengantar mas Faisal ke bandara."

Panca mengerutkan keningnya. "Mas Faisal? Putra Pak Puh kamu yang kemarin kan?"

Sekar mengangguk.

"Iya. Mas Faisal harus balik ke Jakarta. Apakah hari ini ada latihan?"

Faisal menggeleng. "Nggak. Rencananya aku akan mengajakmu melihat pameran buku."

"Wah. Sebenarnya aku mau, tapi maaf ya, aku ndak bisa ikut. Aku harus mengantar mas Faisal. Lain kali aku pasti ikut kalau kamu mengajakku lagi ke pameran buku."

Panca mengangguk.

"Aku pergi dulu ya?" Sekar kemudian meninggalkan Panca dan melangkah memasuki mobil Faisal.

Panca masih memandangi mobil itu sampai hilang di tikungan jalan besar di ujung gang.

Firasat tak baik tiba-tiba mengisi hati Panca. Hatinya mendadak kosong.

* * *

Sepeninggal Faisal, hampir satu jam sesudahnya rumah Raden Suryo kedatangan seorang tamu tak di kenal. Mbok Yem menghampiri si tamu yang jelas cantik dengan wajahnya yang bening.

"Maaf, benar ini rumah Raden Suryo, Mbok?" perempuan itu bertanya ketika Mbok Yem menyambutnya.

Mbok Yem mengamati perempuan itu, seolah meneliti siapa tahu mengenalnya.

"Injih, Bu. Maaf, mau mencari siapa nggih?" Mbok Yem masih bertanya dengan kesantunan khas dirinya.

Perempuan ayu dengan tubuh tinggi semampai itu tersenyum.

"Saya ingin bertemu dengan mas Faisal, Mbok. Apakah mas Faisal ada?"

"Ooo...ndoro Faisal?" Mbok Yem manggut-manggut.

"Siapa yang datang, Mbok?" tiba-tiba muncul Bu Suryo dari belakang, menghampiri mereka yang masih berdiri di rumah depan yang terbuka itu.

"Ini, Ndoro Putri. Ada yang ingin bertemu dengan ndoro Faisal," Mbok Yem menjawab santun lalu beringsut menjauh.

Bu Suryo mengamati gadis yang kini ada di depannya itu. Mengamati seperti yang dilakukan mbok Yem, tapi kemudian mempersilakan gadis cantik itu untuk duduk.

"Silahkan duduk, Nak," bu Suryo mengajak gadis itu duduk di kursi yang selalu rapi di rumah depan itu.

Perempuan cantik itu mengangguk dan mengikuti ajakan Bu Suryo. Keduanya duduk berhadapan dan saling mengamati.

"Kalau boleh tahu, siapa dan ada keperluan apa mencari Faisal, Nak?" bu Suryo bertanya santun.

Perempuan cantik itu tersenyum.

"Saya Dita, Bu. Teman dekat mas Faisal," perempuan itu menjawab.

Bu Suryo terkejut.

"Apakah mas Faisalnya ada, Bu?" Dita bertanya.

Bu Suryo tersenyum menenangkan, sembari menyusun kalimat yang paling tepat yang harus diungkapkannya pada Dita nanti.

"Maaf, kalau ibu boleh bertanya, apakah ada kepentingan, Nak? Sepertinya kok penting sekali." bu Suryo bertanya dengan lembut.

Dita tersenyum.

"Kemarin malam mas Faisal mengajak saya bertemu dengan Ibu dan Bapak di sini. Tapi kebetulan saya ada kerjaan di tabloid lokal, jadi saya tak bisa. Nah sekarang sedang senggang, saya sempatkan untuk menemui Bapak dan Ibu."

Bu Suryo mengehela napas berat, membuat Dita bertanya dalam hati.

"Ada apa, Bu?" Dita tak bisa menahan rasa ingin tahunya.

"Sebelumnya Ibu minta maaf, Nak Dita. Tapi Faisal baru saja berangkat. Mungkin sekarang sudah check in."

Hati Dita mencelos mendengar jawaban Bu Suryo.

"Apa...apa mas Faisal sudah kembali ke Jakarta, Bu?"

"Benar, Nak Dita. Dia bilang cuti yang diajukannya hari ini berakhir. Jadi besok sudah harus kembali bekerja. Mungkin Nak Dita bisa menghubunginya melalui telepon?"

Dita seperti kebingungan, gamang. Dia mengangguk dan buru-buru menghubungi telepon Faisal, tapi lagi-lagi tak bisa dihubungi karena tidak aktif.

"Sejak kemarin malam mas Faisal tak bisa dihubungi, Bu." Dita mengeluhkan nomor telepon Faisal yang tak bisa dihubungi.

Bu Suryo tersenyum.

"Barangkali baterainya sedang habis. Atau mungkin sedang dicas?"

Dita mengangguk dan kembali menghubungi Faisal. Namun seperti sebelumnya, tidak tersambung. Dita menatap Bu Suryo dengan pandangan berkaca hendak menangis.

"Mungkin...mungkin mas Faisal marah sama saya karena kemarin menolak permintaannya."

Bu Suryo menggeleng.

"Kalian bisa menyelesaikannya nanti setelah bertemu."

Dita mengangguk. "Terima kasih, Bu. Saya akan menemui mas Faisal nanti setelah tiba di Jakarta. Saya permisi dulu, Bu," Dita bangkit berpamitan setelah menjabat tangan Bu Suryo.

"Hati-hati di jalan, Nak Dita."

Dita mengangguk kemudian bergegas meninggalkan rumah Bu Suryo. Hatinya risau, ketika tiba-tiba muncul niat untuk datang ke bandara. Maka dia mengajak Wawan yang sedari tadi menunggu di dalam mobilnya untuk langsung ke bandara.

* * *

Sementara di bandara, Faisal dan Sekar duduk menunggu jam terbang.

"Kamu nggak keberatan dengan apa yang akan kita jalani, Sekar?" Faisal membuka percakapan.

"Entahlah, Mas. Ini diluar perkiraan saya." Sekar menjawab lirih.

"Seharusnya kamu bisa menolaknya kalau kamu tidak ingin menjalani semua ini," kata Faisal rendah.

"Saya pasti akan menolaknya kalau saya tak ingat kesehatan ibu dan perasaan ibu." Sekar menjawab dengan rendah.

Faisal terdiam mendengar penuturan Sekar. 'Kalau Sekar akhirnya menerima ini demi ibunya, pasti tak ringan dengan beban hatinya. Kalau Sekar yang seorang perempuan mau mengabdi dan berkorban demi ibunya, mengapa aku tidak mau melakukannya?' Faisal membathin.

"Mas sendiri kenapa ndak menolak? Mas bisa menolak kalau memang njenengan sudah punya calon." Sekar membalikkan pertanyaan.

Faisal menatap sekilas ke arah Sekar, kemudian menghela napas berat.

"Aku tak mau dibilang anak durhaka, Sekar."

Sekar diam, tak menimpali sama sekali.

"Tapi kebebasan njenengan dalam menentukan pilihan akan terpenjara," Sekar menatap lelaki tampan berkulit bersih yang kini ada di sampingnya itu. Hatinya kembali berdesir.

Faisal menghela napas berat, kedua tangannya lantas bersedekap.

"Hanya ini kesempatanku membalas kasih sayang bapak dan ibu. Makanya aku ingin mengajakmu bekerjasama, Sekar."

Sekar menolehkan kembali wajahnya, menatap Faisal dengan penuh tanya.

"Maksud njenengan?"

Faisal menatap Sekar membuat gadis itu memalingkan wajahnya, menghindari tatapan Faisal.

"Aku ingin kita jalani dulu pernikahan ini nanti. Akan seperti apa kedepannya, kita tak pernah tahu. Apakah kau mau membantuku, Sekar? Menjalani pernikahan ini sesuai dengan apa yang bapak dan ibu inginkan? Setuju?"

Sekar menatap Faisal dengan pandangan memaku. Tidak menyangka akan mendapat tawaran tak masuk akal itu. Karena yang ada di hati Sekar sebelumnya adalah bahwa Faisal akan menentang pernikahan mereka.

"Setuju, Sekar?" Faisal kembali mengulang pertanyaannya sembari mengulurkan jari kelingkingnya.

Sekar menatap ragu jemari Faisal yang terulur di depannya. Tapi entah apa yang ada dalam pikirannya, yang pasti Sekar kemudian mengulurkan kelingkingnya dan mengaitkannya dengan kelingking Faisal.

Faisal tersenyum. "Deal?"

"Deal." Sekar menjawab dengan senyuman kecil.

"Kita bisa memulainya dengan sebuah pertemanan. Oke? Aku akan menganggapmu seperti teman, bukan sebagai calon istri, agar kita tidak terlalu aneh dan canggung. Oke?"

Sekar mengangguk, mencoba mendamaikan hatinya yang tiba-tiba berdebum oleh debaran tanpa tahu apa dan mengapa. Wajah Sekar bersemu merah ketika menyadari bahwa debarannya terjadi setiap kali dia dan Faisal bersirobok pandang. Apalagi ketika tadi mereka sepakat dengan saling mengaitkan jari kelingking, Sekar mendadak panas dingin karenanya.

"Oke, Sekar. Aku harus berangkat ke Jakarta." Faisal bangkit.

Sekar mengangguk.

"Terima kasih untuk kesepakatannya, Sekar. Sering-seringlah main ke rumah ibu, agar beliau tidak kesepian," Faisal berpesan.

Sekar mengangguk, tak bisa mengeluarkan kalimat apapun karena hatinya tiba-tiba merasa risau dan kosong.

"Aku berangkat, Sekar."

Sekar mengangguk dan menjabat tangan Faisal, menciumnya dengan takzim, membuat Faisal tersenyum kecil.

"Sugeng tindak, Mas."

Faisal mengangguk lalu berangkat meninggalkan Sekar yang berdiri sendiri di ruang tunggu.

Tapi mereka tak menyadari, bahwa interaksi dan perpisahan mereka diawasi oleh dua pasang mata yang memandang mereka dengan hati berdarah penuh luka. Dua pasang mata itu ...

* * *

Hati Dita gerimis ketika dia bergegas meninggalkan bandara dan memenui Wawan yang sejak tadi menunggunya. Matanya tak mampu menyembunyikan air mata yang hendak menyeruak dan mengalir.

"Ketemu, Mbak?" tanya Wawan ketika Dita memasuki mobil dengan wajah sembab tak sedap dipandang.

"Ketemu. Tapi nggak sempat lagi karena dia sudah berngkat ke pesawat," Dita menjawab dengan berbohong.

"Mbak Dita bisa menyusulnya segera ke Jakarta." Wawan menjawab santai sembari menghidupkan mesin mobilnya dan mengemudikannya keluar dari area bandara.

"Ya. Aku akan berkemas, dan akan segera kembali ke Jakarta," jawab Dita dengan suara serak.

"Perlu saya tunggu dan antar kembali ke bandara?"

"Tidak, Wan. Terima kasih. Aku bisa memakai taksi."

Wawan mengangguk.

Sementara dalam kepala Dita berkecamuk bermacam pikiran yang membuatnya ingin marah dan berteriak lantang. Sungguh dia merasa sangat sakit ketika melihat Faisal ke bandara dengan diantar oleh seorang gadis yang bahkan sangat mudah.

Dan interaksi kedekatan mereka membuat Dita dibakar cemburu. Dita menyadari bahwa secara fisik, dia jelas lebih indah dibanding perempuan muda yang mengantar Faisal ke bandara tadi. Tapi entah mengapa, sikap Faisal yang tak mengaktifkan teleponnya sejak malam itu membuat Dita merasa bahwa Faisal melakukan kesengajaan.

Dita akan menuntut jawaban Faisal, nanti setelah tiba di Jakarta.

* * *

s

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top