Empat : JEJAK KISAH LAMPAU

Selamat malam, reader. Maafkeun jika ada yang nungguin tapi saya lambat update. Maklum karena kerjaan sejak lebaran sampai saat ini sangat padat merayap. (Ups, perasaan ada yang nungguin.?

BTW, selamat menikmati. Saya tunggu kritik dan sarannya.

* * *

Dita merelakan paginya dengan bangun lebih cepat dari biasanya karena ada yang harus dia kejar hari ini. Faisal. Ya, Dita bertekad untuk mendapatkan jawaban dari Faisal, mengapa laki-laki itu tidak mau menghidupkan telepon genggamnya, membalas semua chat-chat yang dia kirim, bahkan membiarkan waktu libur yang diambilnya tanpa sebuah pertemuan.

Tapi yang lebih penting dari semua itu adalah Faisal harus memberinya penjelasan mengenai siapa gadis yang mengantarnya ke bandara siang itu dan apa hubungan antara dirinya dengan gadis itu.

Dita menempuh perjalanan macet Jakarta dan langsung menuju ke kantor Faisal. Gadis itu sengaja tak menemui Faisal di apartemennya, karena jelas Faisal sudah berangkat sepagi ini.

Tiba di halaman gedung bank tempat Faisal bekerja, Dita memarkir mobilnya dan menunggu karena sepertinya dia tak melihat ada mobil Faisal di area parkir.

Dita jengah.

Dia menghubungi Faisal sekali lagi, setelah berpuluh-puluh kali dia melakukan hal yang sama namun sia-sia. Panggilan pertama tak tersambung. Dita kesal sehingga dia kembali menghubungi lelakinya yang sedang merajuk itu. Tapi tidak di telepon genggamnya, melainkan di telepon kantor yang ada di ruangannya.

Suasana mulai ramai di halaman bank itu. Dan Dita nyaris putus asa ketika spanggilannya sia-sia.

Tapi senyum gadis itu terbit ketika sebuah mobil hitam memasuki pelataran kantor ini. Dan gadis itu tahu, bahwa itu adalah mobil Faisal. Dita memutuskan untuk tetap menunggu di dalam mobilnya karena jelas Faisal akan melakukan apel paginya sebelum perkantoran mulai di buka.

Dari dalam mobilnya, Dita mengamati Faisal dengan sebuah kerinduan yang tiba-tiba mencuat bersama penyesalannya karena mengabaikan undangan Faisal yang ingin membahas hubungan mereka, kemarin lusa.

"Maafkan aku, Sal," Dita bergumam lirih ketika dilihatnya lelaki itu keluar dari dalam mobilnya dengan gerakan yang sangat manis dan luwes.

Sebuah jas berkelas warna hitam terlihat begitu pas dikenakan Faisal, semakin mempermanis kemeja biru telor bebek yang dipadunya dengan dasi hitam itu.

Seperti biasanya, Faisal datang ke kantor sengan tepat waktu. Masuk ke dalam dengan sebuah senyum semringah yang selalu tersuguh untuk pak satpam yang selalu standby di depan pintu. Bahkan setiap OB yang berpapasan dengannya selalu kebagian senyum dan sapa ramah Faisal.

Dengan sebuah lift, Faisal menuju ke lantai tiga, dimana ruangannya berada. Kegiatan rutinnya sebelum apel pagi adalah meletakkan tas kerjanya di atas meja, kemudian membuka tirai jendela ruangannya agar cahaya matahari pagi bisa masuk maksimal. Menatap ke jalanan bawah yang ramai oleh para pekerja, ke manapun tujuan mereka. Yang jelas, kepadatan jalan menjadi pemandangan rutinnya setiap pagi.

Laki-laki itu baru saja menghenyakkan tubuhnya pada kursi hitam itu ketika telepon kabel yang terletak rapi di atas mejanya berdering. Faisal sedikit bertanya dalam hati, siapa penelepon tersebut.

"Halo, selamat pagi."

"Hei, Sal. Ini Dita," terdengar jawaban di seberang yang membuat Faisal tiba-tiba merasa marah sendiri. Laki-laki itu menghembuskan napas kesal.

"Ada apalagi, Ta? Kamu tahu kan ini jam kantor, dan juga fasilitas kantor yang seharusnya hanya untuk orang yang berkepentingan." Kalimat Faisal terdengar kesal yang tak mampu ditutupinya.

"Sal, aku tahu ini telepon kantor. Tapi aku terpaksa menghubungimu di sini karena kau mematikan teleponmu sehingga aku tak bisa menghubungimu," Dita melakukan pembelaan diri.

Faisal mendengus.

"Maaf, Ta. Aku rasa semua sudah harus berakhir ketika kau memutuskan untuk lebih meniti kariermu daripada hubungan kita. Aku tak punya alasan untuk mempertahankan hubungan kita di depan Bapak dan Ibu ketika kau mengabaikan undangan beliau." Faisal berharap penjelasan gamblangnya itu bisa membuat Dita mengerti.

"Sal? Apa yang kau katakan? Kau ingin kita putus begitu saja setelah semua yang kita lalui beberapa tahun ini?" Dita bertanya dengan nada tinggi, tak mau menerima keputusan Faisal.

Faisal kembali mendengus kesal.

"Ta, bukankah ini yang kau inginkan?"

Dita tersenyum kering.

"Aku curiga, jangan-jangan acara undangan bapak dan ibumu hanya sebuah alasan yang kau gunakan untuk lari dari aku hanya untuk bersama perempuan muda yang mengantarmu ke bandara itu?" Dita tak bisa lagi menyembunyikan uneg-unegnya. Gadis itu spontan mengatakan apa yang ada di kepalanya saat ini sehubungan kejadian kemarin di bandara.

Faisal terkesiap. Menyadari bahwa ternyata Dita tahu lebih banyak tentang dirinya dan gadis muda yang mengantarnya ke bandara kemarin. Dan Faisal yakin bahwa yang dimaksud oleh Dita kali ini adalah Sekar.

"Jangan salahkan aku kalau aku akhirnya menerima perempuan yang dijodohkan denganku, Ta. Karena kau yang memulai mengabaikan hubungan kita." Faisal menjawab dengan nada tenang, seolah hubungan yang mereka bina beberapa tahun ini tak memberi pengaruh apapun padanya.

Di dalam mobilnya, Dita melotot dengan kesal mendengar bagaimana tenangnya sikap Faisal padahal hubungan mereka terancam buyar berantakan.

"Sal! Apa maksudmu dengan perjodohan itu? Aku tak ingin mendengar penjelasan kamu di telepon. Aku akan menunggumu di apartemenku, nanti malam. Aku tak mau tahu, pokoknya kamu harus datang!"

Klik!

Dita mematikan sambungan teleponnya dengan kesal. Wajahnya memerah, hingga dilemparnya telepon genggam itu ke jok sebelahnya. Tangannya mengepal geram dan memukul kemudi dengan tak kalah kesal.

"Aku tak akan membiarkan kau memperlakukan aku seperti ini, Sal! Tidak! Selamanya kau hanya untukku. Bukan orang lain," Dita bergumam lirih namun masih tetap dengan nada marah yang nyaris tak bisa dibendung.

Kemudian dengan geram, dia mengemudikan mobilnya keluar dari area kantor Faisal. Melaju pelan dan berbaur kembali dengan lalu lintas Jakarta yang padat merayap. Hari ini pasti akan berjalan sangat lamban buat Dita.

* * *

Pulang dari kampus, Sekar langsung ke sanggar. Sore ini gladi bersih terakhir sebelum pentas di aloon-aloon dalam rangka gebyar ulang tahun kota. Panasnya matahari terasa menyengat kulit Sekar yang kuning langsat. Tapi itu tak menyurutkan semangatnya untuk tampil dengan sempurna.

Setibanya di sanggar, gadis itu melihat Panca sudah stand by di sana. Panca terlihat sedang berbincang akrab dengan Rini, gadis manis yang masih duduk di bangku SMA yang selama ini terkenal menyukai Panca. Dengan senyumnya yang semringah, Sekar menghampiri mereka.

"Hei, Ca? Sudah lama datang?" Sekar menyapa ramah, sementara para penari lain yang sore ini juga mengikuti gladi bersih mulai berdatangan.

"Lumayan. Aku keluar dari kampus lebih awal."

Panca menoleh sesaat dan tersenyum. Tapi senyuman Panca kali ini terlihat sangat hambar dan aneh, tidak seperti biasanya. Sekar mampu merasakannya, mengingat mereka sudah sangat lama berteman. Sementara Rini yang melihat kedatangan Sekar sedikit mencelus karena merasa bahwa kebersamaannya dengan Panca terganggu.

Mendengar jawaban singkat dari Panca, Sekar hanya tersenyum tipis dan mengangguk dengan canggung, kemudian berjalan meninggalkan mereka untuk berganti baju dengan kostum latihan sebagaimana biasa.

Sepeninggal Sekar, diam-diam ekor mata Panca melirik ke arah Sekar meski celotehan Rini masih terdengar riang di telinganya. Pikiran Panca tidak lagi terfokus pada celotehan Rini. Di kepalanya hanya ada satu hal, dia harus bertanya mengenai lelaki yang beberapa waktu lalu diantarnya ke bandara.

Gladi bersih siang ini berjalan dengan baik dan lancar. Pementasan dipastikan akan berjalan dengan lancar dan baik.

Sanggar sudah sepi, seluruh penari sudah pulang karena mendung mulai menggayuti langit kota. Panca mendatangi Sekar yang masih berada di ruang ganti.

"Bisa kita bicara sebentar, Sekar?" Panca mendekati Sekar ketika mereka selesai gladi bersih. Nada suara Panca terdengar sangat serius kali ini.

Sekar tersenyum menatap Panca, sementara mata Sekar celingukan mencari seseorang.

"Rini di mana?" Sekar bertanya ketika mendapati Panca sendirian, tanpa Rini.

"Dia sudah pulang duluan. Ada kepentingan mendadak katanya," Panca menjawab acuh.

"Ooo.." Sekar menjawab singkat, mengangguk mengerti.

"Kau belum menjawab pertanyaanku." Panca kembali mengulang kalimatnya.

"Apa yang ingin kau tanyakan?" tanya Sekar sembari melangkah pelan meninggalkan gedung sanggar.

"Apakah ada hubungan antara kalian?"

Sekar mengerutkan keningnya. "Siapa yang kau maksud?"

"Kamu." Panca menjawab dingin.

Sekar menggeleng tak mengerti dengan sikap aneh Panca kali ini.

"Aku nggak ngerti dengan apa yang kau katakan," Sekar tak habis pikir dengan apa yang dikatakan Panca.

"Aku mengikutimu sampai ke bandara waktu itu," kalimat Panca sontak membuat Sekar terkejut dan menatap Panca dengan pandangan aneh. Untuk apa lelaki itu mengikutinya sampai ke bandara waktu itu, tentu saja itu pikiran pertama yang menghambur di kepala Sekar.

"Untuk apa kau melakukannya?"

Sekar berjalan meninggalkan ruang ganti, menyusuri lorong sanggar yang menghubungkan antara ruang ganti dengan aula utama tempat para penari berlatih.

Panca mendengus.

"Tanpa bertanya seharusnya kau tahu apa yang membuatku melakukannya, Sekar." Panca menjawab dengan nada murung.

Sebenarnya Sekar tahu kemana arah pembicaraan Panca, tapi jelas dia tak mau mengotori persahabatannya dengan Panca.

"Seharusnya kau tak melakukannya." Hanya itu jawaban singkat Sekar.

Tiba-tiba tanpa diduga, Panca menyentakkan bahu Sekar dan membuat gadis itu mau tak mau menghadap ke arah panca yang wajahnya kali ini sangat tidak ramah.

"Panca?!" Sekar terpekik terkejut.

Dan sikap tak terduga selanjutnya adalah ketika Panca mendorong Sekar ke arah dinding lorong dengan sebuah paksaan. Lalu dengan sekonyong-konyong mencium bibir Sekar tanpa permisi, membuat Sekar gelagapan tak karuan hingga dengan sekuat tenaga dia mendorong Panca.

Namun tenaga Sekar jelas tak sebanding dengan tenaga Panca, karena dorongan Sekar sama sekali tak berarti apa-apa buat Panca. Bahkan lelaki itu semakin brutal dengan ciumannya. Terus mencoba mencari bibir Sekar dengan bibirnya, mencoba menyecap rasa manis dan lembutnya yang selama ini selalu menghantui pikiran Panca siang dan malam.

Sekar panik. Sangat panik karena sanggar ini sudah sepi, sehingga praktis tak ada yang melihat kelakuan urakan yang dilakukan Panca padanya.

Dan ketika Sekar merasa ada sedikit kans untuk lepas dari Panca, dia menginjak keras kaki Panca membuat lelaki itu terkejut dan kesakitan dalam waktu bersamaan. Lelaki itu terpaksa melepas pelukan penuh pemaksaannya dan meringis kesakitan.

Tak menunggu lama, dengan napas ngos-ngosan dan juga rasa takut, Sekar berlari meninggalkan Panca yang memanggilnya berulang kali. Gema suara Panca masih terdengar ketika Sekar mencapai pintu pagar halaman sanggar, membukanya dengan tergesa kemudian berlari. Tanpa terasa air matanya menetes jika mengingat bagaimana terhinanya dirinya dengan perlakuan Panca senja ini.

Sebuah taksi yang kebetulan lewat segera distop oleh Sekar. Gadis itu menyebutkan alamatnya dan taksi segera melaju meninggalkan jalan sekitar sanggar. Dari kaca spion, Sekar masih bisa melihat Panca yang mengejarnya, namun Sekar tak mau melihat lagi.

Cukup sudah perlakuan Panca yang mengkhianati persahabatan mereka.

* * *

Senja semakin temaram ketika Sekar sampai di rumah. Gadis itu mencoba menampilkan wajah sumringahnya ketika berpapasan dengan ibunya yang sudah berpakaian rapi.

"Ibu mau pergi?" tanya Sekar setelah mencium tangan ibunya.

"Ya." Rahmi mengangguk dengan wajah mendung.

"Ibu kelihatan bersedih? Ada apa, Bu?" tanya Sekar penuh selidik.

Rahmi menggeleng, tapi kemudian menatap Sekar.

"Mandilah. Nanti usai maghrib, kita harus ke rumah sakit, Sekar." Rahmi berkata dengan wajah sedikit mendung.

"Rumah sakit? Siapa yang sakit, Bu?" Sekar terhenyak.

"Pak Puh Suryo kembali harus masuk rumah sakit, Sekar." Rahmi menjawab dengan suara bergetar. Bagaimanapun, sebuah ketakutan besar kini melanda hatinya. Karena entah mengapa, perasaan tak lumrah itu masih bertahta di hatinya.

"Baiklah. Sekar akan berkemas, Bu." Sekar segera melupakan kelakuan menjijikkan yang dilakukan Panca padanya tadi, dan segera ke belakang untuk berkemas.

Rahmi tak menjawab kalimat Sekar, karena yang ada di kepalanya hanya rasa gelisah yang semakin menjadi-jadi. Kelebat bayangan Suryo yang terbaring sakit, seperti beberapa waktu lalu, segera membayang di matanya. Juga ingatan-ingatan yang sangat jelas tentang seorang Suryo muda yang demikian gagah dan tampan, juga masih terbayang jelas di ingatan Rahmi.

Kala itu ...

Pemuda berdarah biru yang setiap hari ditemuinya karena mereka tinggal dalam rumah yang sama. Sebagai seorang saudara tiri, Suryo merupakan lelaki terbaik yang pernah ditemuinya. Sikap sabar dan ngemongnya membuat Rahmi merasa sangat aman dan nyaman jika bermain bersama.

Hingga tanpa disadari, perasaan tak wajar itu muncul begitu saja di hati Rahmi. Perempuan berparas anggun itu tak tahu kapan perasaan itu mulai muncul di hatinya. Yang Rahmi tahu adalah ketika dia merasa berdebar setiap kali mereka berdekatan karena mereka terbiasa belajar bersama. Juga perasaan tak nyaman ketika lelaki itu tak berada di rumah dalam waktu yang agak lama.

Lalu puncaknya adalah ketika Rahmi merasa tak suka saat Suryo pulang ke rumah bersama seorang perempuan muda, yang jelas demikian ayu di jamannya. Dan Suryo memperkenalkan perempuan ayu itu sebagai pacarnya, yang diterima dengan senang hati oleh keluarga mereka karena perempuan itu juga seorang gadis keturunan darah biru. Rahmi muda merasa hatinya tercubit nyeri.

Semenjak saat itu, Rahmi menjaga jarak dengan Suryo karena dia merasa bahwa perasaan yang dipendamnya itu memang salah dan tidak sepantasnya ada. Rahmi akan menjadi perempuan tak tahu diri jika dia menurutkan perasaannya.

Suryo muda yang kala itu mulai merasa aneh dengan sikap Rahmi, sengaja menemui gadis itu. Ketika itu, Suryo pulang dari sekolah menengah atasnya ketika rumah sepi. Bapak dan Ibu tirinya, yang adalah ibu kandung Rahmi, sedang menghadiri pawiwahan yang di gelar salah seorang tumenggung keraton.

"Rahmi?" Suryo menyapa Rahmi yang sedang memasak di dapur, membuat gadis itu terkejut.

Rahmi menoleh dan hatinya kembali melonjak ketika didapatinya Suryo sedang berada di belakangnya.

"Astaga, sampean mengejutkan saya, Mas." Rahmi memegang dadanya yang berdebar.

Suryo tersenyum.

"Masak apa?"

"Sedang pengen masak bakmi. Njenengan purun?"

"Boleh."

Kemudian Suryo duduk di kursi makan sambil membuka kembali buku sekolahnya, sementara Rahmi sibuk memasak sambil sibuk menenangkan hatinya yang gelisah.

Bakmi buatan Rahmi mereka santap dalam diam. Lalu Suryo tak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya ketika kemudian dia bertanya.

"Aku merasa beberapa hari ini kau menghindariku, Rahmi. Apakah ada sesuatu yang membuatmu tak ingin bertemu denganku?"

Rahmi muda terkesiap. Wajah merah Rahmi segera disembunyikannya dengan menunduk dalam. Dia tak ingin Suryo mengetahui perubahan wajahnya.

"Nggak ada, Mas. Kebetulan saya sedang banyak PR dari sekolahan." Rahmi menunduk.

Suryo menatap perempuan di depannya dengan sorot mata meneliti, mencoba mencari kejujuran dari wajah ayu Rahmi.

Lalu ketika kemudian Suryo membuang pandangannya karena Rahmi mendadak mendongak, itu semata-mata karena Suryo juga tak ingin kepergok sedang menatap gadis itu.

"Maaf. Mas. Saya ada PR," Rahmi kemudian bangkit dari duduknya.

Suryo lalu bergegas berdiri dan mencehag Rahmi meninggalkannya. Tangan kokohnya mencekal lengan Rahmi, memaksa gadis itu berhenti.

"Ada apa sebenarnya, Rahmi. Kamu bilang tak mengindari aku tapi kali ini bahkan kau kembali menghindariku. Ada apa, Rahmi?"

Lagi-lagi Rahmi menggeleng dan berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Suryo.

"Apakah kau cemburu dengan Ratri?" pertanyaan Suryo membuat Rahmi terkejut dan menatap Suryo dengan pandangan horor.

Rahmi kembali menggeleng.

"Tidak. Saya tidak cemburu sama Ratri." Rahmi menjawab dengan suara bergetar menahan tangis yang tiba-tiba ingin keluar.

"Tapi kau tak bisa membohongiku, Rahmi. Aku melihat rasa cemburu dalam sikap dan tatapan matamu," Suryo berkata lirih tanpa melepas cengkeraman tangannya pada lengan Rahmi.

"Mas salah menilai," Rahmi menjawab dengan suara bergetar.

Suryo menggeleng.

"Tidak, Rahmi. Aku tidak salah menilai," ujar Suryo lirih sambil tangannya memegang sisi wajah Rahmi. Mendongakkan wajah Rahmi, sementara gadis itu tak berani menatap Suryo.

"Lihat mataku, Rahmi."

Dengan ragu, Rahmi mengalihkan pandangan matanya dari bawah untuk menatap Suryo.

"Tatap mataku, Rahmi. Apakah kau tak merasakan apa yang sebenarnya kurasakan?" pertanyaan Suryo jelas membuat Rahmi menggeleng tak mengerti.

"Apa maksud njenengan, Mas?" Rahmi memaksakan bibirnya untuk bertanya.

"Aku tak tahu kapan rasa ini mulai ada di hatiku, Rahmi. Tapi yang pasti, aku selalu bahagia bila di rumah ini ada kamu. Aku senang melihatmu sibuk berada di dapur, dan merasa rindu jika kau tak kelihatan."

Jantung Rahmi bergejolak dengan ungkapan jujur Suryo.

"Aku mencintaimu, Rahmi."

Dan seketika Rahmi merasakan bahwa dunia ini mengecil, hingga menyisakan dirinya dan Suryo seorang. Sebelum sebuah kalimat menyadarkan perempuan itu dari tingginya lambungan.

"Dan aku tahu kau juga menyimpan perasaan yang sama denganku. Tapi kita tahu, kita tak boleh menurutkan perasaan, bukan?" kalimat Suryo yang realistis dan sangat benar itu telah berhasil melempar Rahmi pada bebatuan cadas bernama kecewa.

"Ya. Mas benar." Sahut Rahmi dengan nada kecewa.

Perempuan itu lalu melepas cengkeraman tangan Suryo dan bergegas meninggalkan laki-laki itu untuk memasuki kamarnya dengan sebuah luka yang menggores hatinya.

Suryo diam, membiarkan Rahmi meninggalkannya. Suryo tahu Rahmi sakit hati. Tapi itu lebih baik. Jauh lebih baik daripada mereka terus menerus memupuk perasaan mereka hanya untuk sebuah kecewa yang semakin besar karena jelas-jelas hubungan mereka tidak akan mendapat restu dari siapapun.

Dan sejak itu, Rahmi selalu berusaha menghindari semua persinggungan dengan Suryo. Hingga ketika lulus sekolah menengah atas yang kala itu hanya beberapa kalangan yang bisa sekolah, Rahmi berpamitan untuk meneruskan sekolahnya di sebuah akademi tari dan tinggal kost hanya untuk menghindari Suryo.

Tidak. Rahmi tidak ingin semakin kecewa ketika melihat Suryo tak bisa dimilikinya. Biarlah Rahmi yang menghindar, selagi dia bisa menghindar.

...

"Bu?" panggilan Sekar yang sudah siap untuk berangkat ke rumah sakit berhasil menyeret lamunan Rahmi untuk kembali ke alam realitas.

Rahmi tergagap.

"Ya, Sekar?"

"Ibu melamun?"

Rahmi menggeleng. "Kita berangkat?"

Sekar mengangguk. Keduanya lantas bergegas meninggalkan rumah sore ini.

Selama dalam perjalanan, hati dan pikiran Rahmi selalu penuh pertentangan. Di satu sisi dia tak mungkin menghindar dari menjenguk Suryo, tapi di sisi lain, dia tak ingin rasa kecewa yang dulu menerpanya, kini harus kembali terulang.

Tapi Rahmi tak punya pilihan. Ini etika berkeluarga.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top