Dua : Pinangan

Selamat malam untuk penggemar Sekar. Saya hadirkan kegundahan Sekar untuk malam minggu anda ...

Special komentator di part sebelumnya : ElisIrasiska918cincayyjoulee30, saya tunggu kritik dan sarannya...

* * *

Pagi ini, usai sarapan pagi, Raden Suryo mengajak Faisal berbincang mengenai rencana semalam di ruang tengah.

"Jam berapa pacarmu akan menemui Bapak dan Ibu?" Pak Suryo bertanya setelah menyeruput kopi panas kental namun tidak terlalu manis itu.

"Dia tak akan datang." Faisal menjawab murung.

Raden Suryo terkejut, karena semalam Faisal mengatakan bahwa pacarnya akan datang menemui beliau. Apalagi ternyata Bu Suryo tidak mengatakan apapun mengenai pembicaraan Faisal semalam.

"Apa Ibu tidak bilang sama Bapak?"

Raden Suryo mengerutkan keningnya.

"Ibu tidak mengatakan apapun. Memangnya apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa Bapak tidak tahu?"

"Semalam panjenengan sudah sare, Pak. Jadi Ibu tidak berani membangunkan," Bu Suryo datang dari dapur sambil membawa secangkir jamu hangat yang selalu beliau konsumsi, resep ayu dan awet muda warisan leluhur.

"Dita tidak jadi datang menemui kita, Pak," Bu Suryo memberitahu.

Pak Suryo terdiam, tak menjawab karena menunggu Faisal yang mengatakan sendiri berikut alasannya.

"Katanya hubungan kalian serius? Mengapa tidak berani menemui Bapak dan Ibu jika memang kalian ingin melanjutkan pada jenjang yang lebih serius?" Raden Suryo bertanya santai.

"Dita masih ingin mengejar karier. Dan sejujurnya, saya juga masih belum siap untuk menikah, Pak." Akhirnya Faisal angkat bicara dengan suara rendah.

Raden Suryo tersenyum.

"Kamu bisa menunda waktu, Faisal. Tapi siapa yang tahu usia Bapak akan sepanjang yang kita inginkan?"

Faisal menunduk.

"Bapak tak akan memaksa. Kau sudah dewasa dan punya pilihan. Jika kau lebih berat pada pacarmu, maka kau berhak menolak keinginan Bapak dan Ibu untuk menikahkan kamu dengan segera. Tapi jika kau lebih berat pada Bapak dan Ibu, yang usianya tak sepanjang usiamu, tentunya kau akan mempertimbangkan keinginan Bapak." Kalimat Pak Suryo pagi ini santai dan datar tanpa emosi, tapi sangat telak menohok hati Faisal.

Laki-laki itu mendongak, menatap Raden Suryo yang meski masih tersirat aura ningratnya, namun gurat-gurat tua mulai kelihatan menghiasi wajah beliau.

"Pak, jangan terlalu terbawa perasaan. Nanti kesehatan njenengan turun lagi," Bu Suryo mendekat, duduk di samping Raden Suryo. Mengelus lengan lelaki tua itu dengan lembut.

Faisal terkesiap. Kesehatan Bapak turun lagi? Bukankah itu berarti sudah pernah turun sebelumnya?

Raden Suryo menggeleng.

"Insya Allah, Bapak akan baik-baik saja, Bu," Pak Suryo tersenyum arif melihat kekhawatiran Bu Suryo.

"Bapak nggak harus memikirkan masa depan Faisal terlalu dalam. Biarkan Faisal memilih masa depannya sendiri," Bu Suryo berkata lirih.

Pak Suryo mengangguk.

"Faisal memang anak kita ketika dia masih kecil dan menjadi tanggung jawab kita. Tapi sekarang, bagaimanapun dia sudah dewasa dan manusia yang merdeka dalam menentukan masa depannya, Pak," Bu Suryo kembali berkata lembut.

Lagi-lagi Pak Suryo mengangguk.

"Tidak, Pak, Bu. Saya tetap anak Bapak dan Ibu. Saya akan menerima keputusan Bapak dan Ibu, apapun itu."

Jawaban Faisal yang tegas itu membuat Raden Suryo dan istrinya menatap Faisal penuh tanda tanya, lalu saling pandang.

"Bapak tak ingin memaksakan kehendak padamu, Sal. Kamu berhak memilih." Raden Suryo

"Tidak! Bapak dan Ibu lebih penting buat saya," Faisal kembali menjawab tegas.

"Ibu tidak butuh jawabanmu sekarang, Sal. Kau bisa memberi jawaban jika memang kamu siap dengan segalanya. Termasuk siap menikah dengan perempuan yang Bapak dan Ibu pilihkan untukmu." Bu Suryo

Faisal mengangguk meski hatinya bergolak oleh banyaknya hal yang dipikirkannya. Mengenai permintaan Bapak dan Ibunya yang tak mungkin dia tolak, tentang Dita yang dia pikir akan menyambut dengan senang proposal pernikahan yang ditawarkan Bapak dan Ibu, juga tentang siapa gadis yang dipilihkan Bapak dan Ibu untuknya.

Apakah gadis itu dewasa, cantik, modern? Atau malah sebaliknya? Polos bahkan terkesan ndeso, yang mungkin saja Faisal tak akan percaya diri membawa perempuan itu ke dalam berbagai acara yang biasa dia ikuti, baik acara kantor maupun acara di luar kantor.

Di antara suasana ruang makan yang mendadak hening karena mereka larut dalam pikiran masing-masing, terdengar suara orang berbincang yang berasal dari depan. Sepertinya suara wanita.

"Kulonuwun, Pak Puh, Bu Dhe," seorang gadis dengan suara riang namun penuh kesopanan muncul dari depan dan menyapa.

"Eh, Sekar. Dari mana, Nduk?" Bu Suryo menyambut uluran tangan gadis bersama Sekar itu, setelah menyalami dan mencium tangan Raden Suryo dengan takzim.

"Dari rumah, Bu Dhe. Tadi Ibu menyuruh saya mengantar jenang ketan." Sekar menjawab gamblang sembari meletakkan bungkusan di atas meja kemudian duduk di lantai yang beralaskan karpet beludru yang halus dan tebal.

"Jenang? Memangnya Ibumu membuat jenang?" Bu Suryo bertanya.

"Ndak, Bu Dhe. Ibu juga dapat dari diantar sama tetangga. Katanya mau buat lamaran Mas Budi, Bu Dhe."

"O, Budi yang rumahnya di ujung gang rumah kalian?" Raden Suryo menimpali.

"Inggih, Pak Dhe," Sekar mengangguk.

Bu Suryo tersenyum melihat Sekar yang selalu riang namun tetap sopan. Bahkan kalau datang ke rumah ini, Sekar tak pernah duduk di kursi. Gadis itu selalu duduk di bawah, di atas karpet.

"Sekar, itu Mas Faisal. Salim dulu sama masmu," Bu Suryo menoleh pada Faisal yang sejak tadi melihat kedekatan Sekar dan ibunya, layaknya seorang Ibu dan anak.

Sekar menoleh pada Faisal yang duduk di ujung sofa. Sekar mencoba tersenyum pada Faisal yang disambut dengan senyum kecil oleh Faisal.

Sekar kemudian bangkit sambil berjalan membungkuk dan menyalami Faisal, masih dengan mencium tangannya.

"Sugeng rawuh, Mas," Sekar menyapa sopan sembari mengulurkan tangan dan menciumnya takzim.

Faisal tersenyum dan mengangguk menyambutnya, meski sedikit janggal dengan gaya salaman Sekar. Karena biasanya hanya anak kecil yang mau mencium tangannya jika bersalaman. Dan itupun sudah mulai jarang dia temui di tempat tinggalnya di Jakarta, karena tentu saja Faisal jarang berada di rumah. Tapi yang menyalaminya kali ini adalah Sekar, adik sepupunya yang sudah seorang mahasiswi, namun masih tetap pada anggah-ungguh dengan menghormati yang lebih tua.

"Ini maaf, Bu Dhe dan Pak Puh. Saya ndak bisa lama-lama berada di sini, karena Panca sudah menunggu saya." Sekar berpamitan.

"Panca?" Raden Suryo mengerutkan keningnya.

Sekar tersenyum dengan muka memerah mendengar pertanyaan Raden Suryo yang seakan mengandung suatu maksud.

"Inggih, Pak Puh. Teman sesama penari di sanggar."

Raden Suryo tersenyum melihat Sekar bersemu merah karena malu.

"Berangkatlah, Sekar. Nanti terlambat," Bu Suryo menengahi agar Sekar tidak semakin malu.

Sekar tersenyum dan berpamitan, masih dengan kesopanan dan anggah ungguh sebagaimana biasa. Sementara Faisal hanya memperhatikan tanpa komentar sama sekali.

"Adikmu itu sekarang sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik, Sal. Apakah kau ingat, bagaimana dia dulu menangis hanya karena selendangnya ketinggalan ketika akan pentas di pagelaran keraton?" Raden Suryo menatap Faisal.

Faisal tersenyum hambar.

"Ya, saya masih ingat. Ketika itu saya yang akhirnya ngonthel pulang ke rumah Bulik Rahmi untuk mengambil selendang itu, padahal saya sudah mahasiswa waktu itu," Faisal menjawab sambil menerawang.

Raden Suryo tersenyum.

"Dan itu sudah beberapa tahun yang lalu. Sekarang, adikmu itu menjadi kembang kedaton. Bukan sebagai putri keraton, tapi parasnya yang ayu dan ceria itu, serta kebolehannya menari menjadi buah bibir para pemuda di lingkungan keraton."

Faisal hanya mendengarkan penuturan Bapaknya.

"Bahkan, beberapa waktu lalu Bulik Rahmi datang menemui Bapak karena Raden Ayu Candraningsih datang menemuinya. Beliau meminta Sekar untuk menjadi menantunya, tapi bulikmu menolak, karena ada amanah dari eyang kakungmu mengenai Sekar."

Faisal hanya terdiam, tak mau ikut campur dengan bermacam amanah yang dibicarakan oleh Raden Suryo. Karena jujur saja, Faisal sendiri sudah terbeban dengan amanah jodoh yang dibilang oleh Ibunya tadi malam.

* * *

"Kok lama, Yu?" Panca yang sudah menunggu di halaman rumah Raden Suryo bertanya ketika Sekar sudah tiba di dekatnya. Panca memang selalu memanggil Sekar dengan sebutan Ayu.

"Iya, tadi ngobrol sebentar sama Pak Puh dan Bu Dhe. Ada Mas Faisal juga yang khusus datang untuk hadir di pawiwahan kemarin," jawab Sekar sambil mengenakan helm.

"Mas Faisal?"

"Iya. Putra Pak Puh Suryo yang bekerja di sebuah bank swasta di Jakarta."

Panca hanya manggut-manggut.

"Ayo berangkat! Nanti Mbak Arini marah lagi kalau kita tidak tepat waktu," Sekar mengajak Panca segera berangkat ketika dia sudah duduk di belakang Panca.

Panca hanya mengangguk. Baginya, permintaan Sekar untuk segera berangkat ke sanggar atau permintaan apapun itu, selalu menyenangkan. Jangankan permintaan, berangkat dan pulang latihan menari di sanggar bisa bersama dengan Sekar saja sudah hal yang sangat indah bagi Panca.

Sepeda motor yang mereka kendarai melaju lancar, membelah jalanan kota menuju ke arah Selatan. Sementara panas yang menguap dari aspal terasa membakar kulit.

Sekar dan Panca memang menuju ke sanggar tempat mereka biasa menari. Tapi di kediaman Raden Suryo, Faisal duduk dengan satu tekad, bahwa dia akan lebih memilih Bapak dan Ibunya.

"Saya akan ikut dengan keinginan Bapak," akhirnya Faisal mengatakan tekadnya.

Raden Suryo menatap Faisal penuh tanda tanya.

"Meskipun kau belum tahu dengan siapa Bapak akan menikahkan kamu?"

Faisal mengangguk.

"Saya yakin dia gadis baik-baik."

Raden Suryo manggut-manggut.

"Lalu bagaimana dengan pacarmu?"

Faisal menghela napas berat.

"Dia sudah memutuskan untuk mengejar kariernya dari pada hubungan kami."

"Baiklah kalau kau sudah memutuskan untuk menerima usulan Bapak. Nanti malam kita akan melamar gadis itu, jadi kau bisa mengajukan cuti barang sehari lagi," kalimat Raden Suryo sukses membuat Faisal terkesiap. Secepat itukah?

"Nanti malam, Pak?" Faisal terkejut.

"Ya. Bukankah lebih cepat lebih baik?"

"Tapi...tapi saya bahkan belum tahu mengenai gadis itu, Pak. Apalagi kita belum memiliki apapun untuk dibawa melamar," Faisal kebingungan.

Raden Suryo tersenyum.

"Kamu tak perlu khawatir. Ibu sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Kamu hanya tinggal bilang setuju dan kita akan berangkat meminang gadis itu."

Faisal semakin terkejut, berarti...

"Berarti Ibu sudah merencanakan ini jauh-jauh hari?" Faisal tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

"Kamu putra satu-satunya keturunan Bapakmu, Sal. Ibu ingin yang terbaik untukmu. Dengan siapapun kamu hendak melamar, Ibu sudah mempersiapkannya. Bahkan jika pacarmu itu bersedia menikah denganmu, Ibu akan memberikan barang-barang lamaran itu untuknya. Sayangnya ... pacarmu lebih memilih kariernya daripada masa depan kalian."

Faisal terdiam.

Wajah Dita yang cantik kembali terbayang. Juga malam-malam yang mereka lewati dalam desah napas penuh nafsu. Dan sepertinya, Faisal harus mulai melupakan gadis modis fotomodel itu. Setidaknya mulai saat ini.

Sementara di kamar hotelnya, Dita baru saja bangun dari tidurnya karena semalam tak bisa tidur lelap. Permintaan Faisal untuk menemui orang tuanya guna mengukuhkan hubungan mereka demikian mengganggu pikirannya.

Sementara jawaban spontan yang terlanjur dia ucapkan justru diterima mentah oleh Faisal. Keinginannya untuk mengejar karier impiannya terlebih dahulu itu disimpulkan Faisal bahwa dia tak ingin menikah dengan laki-laki kerabat keraton itu. Padahal jujur saja, Dita tidak bermaksud seperti itu. Dia mencintai Faisal, hingga tak peduli bahwa mereka berbeda keyakinan.

Apalagi sejak itu, Faisal mematikan teleponnya. Beberapa panggilan yang dilakukannya mental oleh jawaban operator. Sementara pesan pendek yang dikirimnya berulang-ulang, serta room chat yang dilakukan oleh Dita hanya terkirim, tidak masuk sama sekali, sehingga membuat Dita frustasi.

Hari ini dia memutuskan untuk mencari rumah Faisal dan mengajaknya membicarakan ulang apa yang diminta laki-laki itu semalam. Kalau Faisal ngotot mengajak menikah, maka Dita memutuskan untuk menerimanya dengan satu syarat bahwa mereka harus menyembunyikan status pernikahan mereka dari kalangan publik demi karier yang dirintisnya.

Ya, Dita berharap bahwa mereka akan menemukan titik temu dari permasalahan itu sekarang. Dan langkah awal yang harus ditempuh Dita untuk mencari rumah Faisal adalah menghubungi Wawan, teman Faisal yang menjemputnya di bandara dan mengantar sampai ke hotel.

Sebelum mandi, Dita menghubungi Wawan. Namun belum lagi dia mendial nomor Wawan, tiba-tiba ada panggilan masuk. Wajah Dita berbinar, dan berharap bahwa yang menghubunginya itu adalah Faisal. Namun gadis itu harus kecewa karena nama kontak yang tertera dalam panggilan masuk itu adalah nama Nonik, manajer yang mengatur jadwal dan kontrak kerjanya sebagai seorang model.

"Halo, Nik? Ada apa?" Dita menjawab dengan lesu.

"Maaf mengganggu, Ta. Tadi ada tabloid lokal yang mengetahui keberadaanmu di situ. Jadi mereka menghubungiku dan meminta untuk melakukan pemotretan dan sedikit wawancara. Bisa kan?"

Dita berdecak kesal.

"Nonik, aku ke sini untuk liburan. Kamu kan tahu aku tak mau diganggu kalau sedang liburan dengan Faisal?"

"Dita, mereka mengetahui keberadaanmu juga karena mereka melihatmu berada di sana. Plis ya, hanya beberapa jam kurasa tak akan mengganggu liburanmu dengan Faisal. Faisal pasti mengerti dengan hal ini. Harga yang mereka tawarkan juga lebih tinggi dari tabloid lokal lainnya, Ta."

Dita kembali mendesah kesal.

"Baiklah. Tapi usai kali ini aku tak mau menerima job apapun ketika sedang liburan."

"Oke..oke. Aku akan memberitahu mereka dimana kamu menginap, agar mereka menjemputmu ke hotel."

Klik.

Nonik menutup sambungan telepon. Dita kembali menghempaskan tubuhnya yang rasanya demikian penat, sambil mencari nomor Wawan kemudian menghubunginya.

"Hallo," terdengar sahutan di seberang.

"Halo, Wan."

"Ya, ada apa, Dit?"

"Jadi begini, aku ada sedikit salah paham sama Faisal. Jadi aku harus menjelaskan padanya. Bisakah kau membantuku mengantar ke rumah Faisal?"

"Hari ini?"

"Tidak, hari ini aku ada pemotretan untuk tabloid lokal. Kalau besok, apakah kau sibuk?"

"Tidak. Pekerjaanku tidak mengharuskanku stand by di kantor. Jadi aku bisa mengantarmu ke sana."

"Oke, aku tunggu di lobby besuk jam delapan pagi ya, Wan."

"Oke."

"Terima kasih sebelumnya, Wan."

"Ya, sama-sama."

Dan Dita tak pernah merasakan kelegaan seperti yang kini dia rasakan. Lalu dengan sigap dia bangkit untuk mandi. Kali ini dia semangat untuk pemotretan, agar bisa mengisi waktu sebelum bertemu dengan Faisal, besok pagi.

* * *

Jam empat sore, Sekar baru pulang dari sanggar diantar oleh Panca.

"Sepertinya ada sedikit kesibukan di rumahmu, Yu?" Panca bertanya ketika melihat sebuah mobil catering berhenti di depan rumah Sekar dan beberapa pegawai menurunkan makanan yang terbungkus kotak-kotak.

Sekar mengerutkan keningnya.

"Paling acara yasinan Ibu. Biasanya kalau Ibu malas memasak, selalu pesan catering," Sekar menjawab asal, padahal pikirannya bertanya-tanya.

Panca mengangguk, kemudian pamit pulang.

Setelah melambaikan tangan pada Panca, Sekar masuk ke dalam rumah. Dua orang pegawai catering terlihat tersenyum ketika berpapasan dengannya.

Memasuki rumah, Sekar mencari Ibunya yang sedang mengarahkan pegawai catering itu dalam menyusun makanan yang dipesan.

"Ada acara apa, Bu? Kok Ibu ndak bilang kalau mau ada acara di rumah?" tanya Sekar sambil meletakkan tas berisi kain panjang dan selendang, peralatannya berlatih menari.

"Ini mendadak, Sekar." Bu Rahmi menjawab.

"Acara apa ya, Bu?"

"Nanti Ibu bilang. Sekarang kamu mandi dulu sana."

Sekar mengangguk kemudian melangkah menuju ke kamarnya, meski dalam hati bertanya-tanya acara apa yang akan Ibu selenggarakan.

Sementara Sekar mandi, Bu Rahmi duduk di kursi ruang makan setelah pegawai catering pulang. Bu Rahmi terlihat membuka telepon genggamnya dan menghubungi seseorang.

"Ning, acaranya malam ini. Bisa kan kamu bantu mbakyu untuk mempersiapkan acara nanti malam?" Bu Rahmi berbicara dengan seseorang yang diapnggil dengan nama Ning.

"Bisa, Mbakyu. Saya dan Mas Adib akan datang sebelum maghrib."

"Baiklah. Terima kasih ya, Ning."

Bu Rahmi menutup teleponnya, tepat pada saat Sekar tiba di hadapannya dengan rambut basah usai keramas.

"Sekar, duduk di sini, Nduk."

Sekar duduk di salah satu kursi makan masih sambil mengeringkan rambutnya yang panjang dengan handuk kecil.

"Ya, Bu?"

Bu Rahmi menghela napas berat, seolah tak tahu dari mana harus memulai mengatakan semua yang akan diselenggarakan malam ini.

"Jadi begini, Sekar. Makanan ini Ibu pesan bukan untuk acara yasinan Ibu."

"Jadi buat apa, Bu?"

"Ini untuk acara lamaran kamu."

Deg!!

Jantung Sekar berdetak lebih keras dengan intensitas yang lebih lambat. Sekar menajamkan telinga, berharap salah dengar.

"Lamaran Sekar, Bu?" Sekar masih berharap bahwa Ibunya salah ucap, atau paling tidak telinganya yang salah mendengar.

"Ya, Sekar." Bu Rahmi menjawab dengan nada datar dan rendah, sementara matanya mengawasi perubahan raut wajah Sekar, menanti reaksi anak gadisnya itu.

"Tapi, Bu? Bukankah Sekar belum pernah menjalin hubungan dengan siapapun?" Suara Sekar tercekat, seolah pita suaranya terjepit.

"Ibu minta maaf jika ini mendadak, Sekar. Tapi sebenarnya ini tidak mendadak. Ini rencana dan amanah dari Eyang Kakung yang sudah beliau katakan sama Ibu dan mendiang ayahmu, serta Pak Puh Suryo."

Sekar menggeleng tak mengerti.

"Kok Pak Puh Suryo, Bu? Bisa kan Ibu menjelaskan dengan lebih gamblang?" suara Sekar terdengar bergetar. Matanya mulai kabur oleh air mata yang mendadak ingin hadir dalam percakapan mereka sore ini.

Bu Rahmi menghela napas kembali. Menahankan hati agar tidak terlalu larut dalam suasana hati Sekar.

"Kamu mungkin tak terlalu mengenal eyang kakung. Tapi beliau orang yang sangat baik. Beliau yang seorang duda dengan anak satu, bersedia menikahi eyang putrimu yang seorang penari keraton, berstatus janda dan juga beranak satu. Eyang kakung membawa anak lelakinya, yaitu Pak Puh Suryo, dan eyang putrimu dengan anak satu yaitu Ibu."

Sekar terkejut demi mendengar kenyataan bahwa sebenarnya tak ada pertalian darah antara Ibunya dan Pak Puh Suryo.

"Karena besarnya rasa sayang eyang kakung dengan eyang putrimu, maka beliau tak ingin hubungan pertalian kami putus oleh apapun. Maka untuk menguatkan pertalian tersebut, beliau mengamanahkan pada Ibu dan Pak Puh Suryo, untuk menikahkan kamu dengan putra Pak Puh Suryo jika kalian dewasa. Dan sekarang kalian sudah dewasa, maka Ibu dan Pak Puh Suryo ingin mengemban amanah itu, Sekar."

Kalimat panjang dan datar yang diucapkan Bu Rahmi dengan suara lirih itu berhasil membuat Sekar lemas dan gemetar dalam waktu bersamaan. Tangannya saling meremas penuh keringat dingin.

Putra Pak Puh Suryo? Bukankah putra beliau cuman satu? Dan bukankah itu adalah Mas Faisal yang tadi pagi tanpa sengaja ketemu di rumah Pak Puh Suryo? Napas Sekar menderu, tersengal antara rasa tak percaya dan ingin menolak karena dia masih ingin kuliah, ingin menari, dan yang jelas dia masih terlalu muda untuk semua ini.

"Bu..." Sekar tak bisa mengungkapkan apa yang ada di hatinya. Gadis itu menahan napasnya yang rasanya hendak meledak. Gadis itu kemudian berdiri dan bergegas meninggalkan Bu Rahmi.

"Sekar! Sekar!" Bu Rahmi memanggil anak gadisnya itu, namun Sekar tak menghiraukannya dan terus berlari menuju ke kamarnya.

Sampai di sana, Sekar menghempaskan dirinya di atas kasur ranjang kanthil yang terbuat dari kayu berukir itu. Menyembunyikan wajahnya yang penuh tangis di atas bantal berwarna putih. Tangisnya tenggelam, redam dalam bantal.

Bu Rahmi bergegas menyusul dan hatinya menganga melihat Sekar yang terlihat sedih dengan apa yang tadi diungkapkannya. Perempuan itu kemudian duduk di sisi ranjang dengan pelan.

"Maafkan Ibu jika kamu tidak berkenan dengan hal ini, Sekar. Ibu hanya mengemban amanah orang yang sudah meninggal, yang telah mengangkat derajat kehidupan eyang putri dan juga Ibu. Kalau kamu memang tidak ingin menjalani perjodohan ini, kamu boleh menolaknya. Biar Ibu yang nanti bilang sama Bu Dhe dan Pak Puh Suryo," Bu Rahmi berkata lembut sambil mengusap pelan rambut Sekar yang masih basah.

Sekar diam tak menjawab. Tangisnya masih terlihat dari guncangan bahunya.

"Jangan menangis, Sekar. Kalau memang kamu menolak, Ibu akan mengatakannya nanti. Ibu tak mau memaksamu. Bagaimanapun, kamu yang menjalaninya. Bukan Ibu," Bu Rahmi membujuk agar Sekar tak menangis.

Sekar bergerak kecil, kemudian terlihat bangun dan duduk di atas kasurnya.

"Benarkah Sekar boleh menolaknya, Bu? Sekar hanya masih ingin menari, masih ingin tetap kuliah, masih ingin menjadi guru sesuai keinginan Sekar." Gadis itu berkata masih dengan wajah sembab.

"Ibu akan katakan nanti pada Pak Puh Suryo."

Sekar ragu, menatap Ibunya.

"Bagaimana jika nanti Pak Puh Suryo marah?"

Bu Rahmi tersenyum sedih, menunduk untuk menyembunyikan kekhawatirannya akan ungkapan Sekar yang bisa saja terjadi.

"Kebahagiaanmu lebih penting buat Ibu, daripada kemarahan Pak Puh Suryo. Kita berdoa saja semoga beliau tidak marah seperti yang kita bayangkan. Dan jikapun marah, tetap akan Ibu terima."

Hati Sekar tersayat mendengar kalimat ibunya. Kalimat yang meski diucapkan dengan tegar penuh keyakinan, tapi seianya penuh rasa gentar dan ketakutan bilamana nanti Pak Puh Suryo marah dengan penolakannya.

"Apakah Ibu juga akan marah dengan Sekar?" Sekar bertanya hati-hati.

Bu Rahmi menatap Sekar dengan pandangan penuh dilema.

"Kamu anak Ibu satu-satunya, Sekar. Dan sebesar apapun kesalahanmu, akan selalu ada maaf Ibu untukmu. Ini bukan salahmu, Sekar."

Sekar menatap Ibunya yang berlalu dari kamarnya dengan pandangan penuh beban. Pernikahan yang direncanakan oleh Eyang Kakung ini terlalu berat untuk Sekar jalani. Apalagi Faisal adalah kakak sepupunya, meski tak ada pertalian darah diantara mereka. Tapi Sekar terlanjur beranggapan bahwa Faisal adalah kakaknya.

Sekar kembali menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Hatinya rusuh.

* * *

Di ruang tamu, terdengar perbincangan gayeng. Jelas saja mereka adalah rombongan yang dibawa oleh Pak Puh Suryo. Juga terdengar tawa renyah Pak Hadi yang ketua RT serta beberapa tetangga yang senagaj diundang oleh Bu Rahmi untuk ikut menyaksikan acara lamaran tersebut.

Sekar masih menelungkupkan wajahnya di atas bantal ketika di luar terdengar suara mobil memasuki halaman rumahnya yang tak seberapa luas itu. Bulik Aning terdengar memasuki kamarnya setelah tadi menyambut kedatangan keluarga Pak Puh Suryo bersama beberapa tetangga.

"Sekar, Bulik dengar kamu akan menolak lamaran mereka?" Bulik Aning bertanya lirih sembari duduk di sisi ranjang kanthil kuno itu.

Sekar diam tak menjawab.

"Sekar, Sekar mendengar apa kata Bulik kan?"

Gadis itu mengangguk.

"Kalau Bulik boleh bicara, Bulik akan mengatakan yang sebenarnya."

Sekar mendengarkan dengan seksama. Lalu untuk menghormati buliknya itu, Sekar bangun dari telungkupnya dan duduk bersila di atas ranjang.

"Bulik tahu sekarang bukan lagi jaman kuno, dimana jodoh ditentukan oleh orang tua. Tapi harap Sekar tahu, bahwa ini bukan sekedar perjodohan, Sekar. Ini adalah amanah dari Eyang kakungmu. Seorang kerabat keraton yang disegani pada eranya. Bukan tanpa pertimbangan jika beliau melakukannya."

Sekar masih mendengarkan.

"Tapi beliau ingin menjaga agar garis keturunan beliau tidak menyimpang dari ugeman bibit, bebet, dan bobot. Eyang kakung ingi tetap agar pertalian persaudaraan kita tidak putus oleh jaman, karena keluarga kalian pada dasarnya tidak ada hubungan trah, tidak ada hubungan darah. Semua karena rasa sayang eyang kakungmu pada eyang putrimu. Kamu mungkin tak mengenal eyang kakungmu dengan baik karena kamu masih kecil ketika beliau mangkat. Tapi bulik tahu dan mengenal beliau dengan baik."

Sekar masih menunduk tak berani menatap Bulik Aning.

"Tapi Sekar tidak mencintai Mas Faisal, Bulik. Sekar rasa Mas Faisal juga tak menyukai Sekar. Kami tidak pernah menjalin hubungan, meski hanya komunikasi," Sekar mengungkapkan isi hatinya.

Bulik Aning tersenyum.

"Kamu percaya dengan kalimat witing tresni jalaran soko kulino? Kalian akan bisa saling mencintai hanya dengan kebersamaan. Kalian akan merasakan saling membutuhkan satu sama lain."

"Tapi...Sekar masih ingin menari, masih ingin kuliah, masih ingin menjadi guru," Sekar kembali ngotot.

"Siapa bilang sudah menikah tak bisa menari dan kuliah? Kamu masih bisa kuliah meski sudah menikah. Kamu masih bisa tetap menari meski sudah menikah, bahkan meskipun suatu saat kalian memiliki anak."

"Tapi bulik, Sekar masih muda. Baru dua puluh tahun, dan Sekar tak ingin menikah muda." Raut wajah Sekar tak bisa menyembunyikan kesedihannya.

"Dua puluh tahun bukan usia muda, Sekar. Atau barangkali kamu sudah memiliki teman laki-laki?" Bulik Aning bertanya penuh selidik.

Sekar menatap Bulik Aning dan segera menggeleng dengan tegas. Bagaimanapun dia memang tak memiliki hubungan dengan siapapun saat ini.

"Nah, jadi silahkan Sekar berpikir. Mas Faisal mungkin juga sedang memiliki pacar. Tak mungkin laki-laki mapan dengan wajah bagusnya, juga trah ningrat yang dia sandang itu tidak memiliki kekasih. Jadi kalau Mas Faisal mau menekan egonya untuk sebuah amanah yang dibebankan Eyang kakungnya kepada Bapak dan Ibunya, mengapa tidak mencoba untuk sedikit merendahkan egomu. Penolakanmu akan membuat Ibu menanggung beban seumur hidup karena tidak bisa mengemban amanah sekaligus akan menyandang gelar tak tahu terima kasih, Sekar."

Sekar terdiam.

Bulik Aning benar, bahwa Faisal memang mapan dan berparas bagus. Tapi bagaimana mungkin mereka akan melaksanakan acara lamaran yang tentu saja berujung pada pernikahan jika mereka tidak pernah dekat sebelumnya.

"Yang Bulik tahu, Faisal adalah laki-laki yang baik dan berasal dari trah yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi."

Sekar diam.

"Pikirkan dan putuskan dengan pikiran yang baik, Sekar. Tapi jika kau masih menolak juga, Bulik dan juga ibumu tak mungkin memaksa." Bulik Aning berkata lirih, lembut namun sarat makna, membuat Sekar tak bisa menjawab apapun.

Bagaimanapun, keputusannya akan menyangkut Ibu dan juga keluarga besar mereka. Tapi menikah dengan Mas Faisal? Ya, Tuhan...Sekar mengacak rambutnya yang tidak gatal hanya karena pikirannya yang terlalu kalut malam ini.

Tapi...

Kalau dia menolak, tentu Ibu akan sangat tidak enak hati dengan Pak Puh Suryo dan Bu Dhe Suryo. Padahal keluarga mereka sudah sangat baik selama ini. Meski tak ada pertalian darah antara mereka, dan hanya karena kakek dan nenek menikah, nyatanya keluarga Eyang Kakung yang seorang kerabat keraton tetap menjadikan eyang putri yang seorang penari menjadi perempuan bermartabat tinggi, tanpa merendahkan, bahkan tetap ingin menjadikan kekerabatan mereka semakin kental dengan pernikahan antara dirinya dan Faisal.

Tapi kalau Sekar menerima...bukankah tak semudah yang mereka bayangkan? Bagaimana jika mereka tak bisa saling mencintai? Bagaimana jika nantinya memang Faisal memiliki pacar? Apakah Sekar tidak melukai perasaan perempuan itu?

Lalu?

"Sekar, Pak Puh dan Bu Dhe Suryo memintamu ke depan," bulik Aning tiba-tiba muncul di pintu kamar Sekar.

Sekar terkesiap. Jantungnya kembali berdetak kencang.

"Bulik, bagaimana ini?" Sekar terlihat panik.

Bulik Aning tersenyum menenangkan.

"Ungkapkan dan katakan apa yang Sekar mau. Jika Sekar tak menerima perjodohan ini, Sekar bisa mengatakannya."

Sekar bingung, tangannya meremas tangan yang lain karena mendadak terasa berkeringat.

"Berhias yang pantas, Sekar. Dan segera ke depan." Bulik Aning kemudian berlalu meninggalkan kamar Sekar menuju ke ruang tamu kembali.

Di kamarnya, Sekar bimbang.

* * *

Sudah lima menit Sekar berdiri di dekat pintu, di balik tirai yang menjulang tinggi. Hatinya berdebar. Antara masuk ke ruang tamu atau tidak. Sejujurnya dia ingin menolak lamaran Pak Puh Suryo, tapi kelebat wajah Ibunya yang harus menahan malu karena menolak lamaran Pak Puh Suryo membayang jelas di mata Sekar. Apalagi selama ini Bu Dhe Suryo sangat baik dan sudah menganggap Sekar seperti anaknya sendiri.

Sekar seakan lemas, ingin menangis atau berteriak dalam waktu bersamaan. Tapi itu jelas bukan sikap yang pantas dan bermartabat. Hingga Sekar memutuskan untuk keluar menemui mereka dengan satu keputusan bulat.

Pandangan mata semua yang hadir dalam acara lamaran itu terfokus pada kedatangan Sekar yang malam ini keluar dengan wajah sedikit sembab. Meski sudah memoles wajahnya dengan sedikit bedak, namun kesan muram masih terlihat di wajah gadis itu.

Sekar menunduk dalam duduknya. Tangannya gemetar dan saling meremas.

"Sekar, mungkin Ibumu sudah mengatakan maksud kedatangan Pak Puh dan Bu Dhe Suryo ke sini. Yaitu untuk memenuhi amanah Eyang Kakung dan juga Eyang Putri, bahwa agar garis keluarga kita tidak terpecah, maka kalian akan kami persatukan dalam sebuah pernikahan. Tapi kami tidak memaksa, Sekar. Kamu berhak memutuskan. Untuk Faisal, kami sudah berbicara dan dia menerima perjodohan ini. Jadi keputusan hanya tinggal ada di tanganmu, Nduk," Pak Dhe Suryo mengatakan maksud kedatangan mereka pada Sekar.

Jleb.

Jantung Sekar seakan berhenti berdetak mendengar pinangan tak langsung yang dikatakan Pak Puh Suryo. Sekar menunduk dan matanya sekilas melirik pada ibunya yang juga sedang duduk.

Suara-suara Ibunya dan Bulik Aning terdengar kembali bagai lebah yang menghantui telinganya.

"Bagaimana, Sekar?" kali ini suara lembut Bu Dhe Suryo terdengar bagai sebuah hipnotis yang menggiring logika Sekar pada ruang tanpa pola, hingga gadis itu memberikan jawabannya.

"Ya, saya bersedia, Bu Dhe," Sekar menjawab gemetar, sembari mengangguk dengan suara datar.

Lalu yang kemudian terdengar adalah helaan napas lega dari para tamu yang hadir dalam acara lamaran tersebut.

"Alhamdulillah," terdengar suara Pak Puh Suryo yang diiringi senyum bahagia Bu Dhe Suryo.

Namun di sisi lain, sebuah beban seperti menghimpit dada Faisal ketika mendengar jawaban Sekar. Setelah tadi dibuat shock karena ternyata yang akan mereka pinang adalah Sekar, putri tunggal Bulik Rahmi, adik sepupu yang tadi pagi datang mengantar jenang ketan ke rumahnya, kini Faisal dikejutkan oleh jawaban Sekar. Jika sebagian besar laki-laki akan bahagia jika lamarannya di terima, tapi Faisal merasa bahwa sebuah amanah terbeban di bahunya.

Ini bukan hal mudah.

Tapi bukankah Faisal sudah bertekad untuk menerima dan menjalani semuanya dengan alasan apapun? Dan Faisal jelas tak akan mencabut kembali keputusannya, karena ini menyangkut hidup dan harga diri orang tuanya.

Biarlah.

Mungkin ini saatnya bagi Faisal untuk membalas air susu ibunya. Ya, hanya ini yang bisa Faisal lakukan.

Faisal menatap Sekar yang masih menunduk. Sejujurnya Faisal mengakui bahwa Sekar bukanlah gadis yang buruk rupa. Gadis itu cantik dengan sikap santun dan penuh anggah-ungguhnya. Kalau dibandingkan dengan Dita, mereka memiliki nilai yang sama untuk kategori yang berbeda. Dan kalau boleh memilih, Faisal tentu akan memilih Dita.

Tapi sayangnya Faisal tak punya pilihan, karena Dita sudah menolak permintaan nikahnya secara tidak langsung. Dan wajah cantik modis Dita kembali berkelebat ketika Faisal diminta untuk maju untuk menyematkan cincin pengikat itu ke jari manis Sekar.

Faisal maju dengan hati berdebar, begitupun Sekar.

Sembari menyematkan cincin belah rotan dengan inisial nama masing-masing itu Faisal masih berharap bahwa yang kini dia pegang tangannya itu bukanlah Sekar, melainkan Dita.

Malam ini, Faisal dan Sekar sama-sama membuang ego masing-masing untuk sebuah amanah. Tidak mudah tapi mereka tak bisa menolak.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top