9. Permulaan

"Jangan takut akan gelap."

"Karena gelap melindungi diri kita."

"Dari kelelahan."

"Dudududu."

"Karena semakin cepat kita tidur, semakin cepat kita bertemu kembali."

Eriana menjinjitkan kedua kakinya. Lalu mengangkat satu kakinya ke belakang dengan kedua tangan yang saling bertemu di atas kepala dengan posisi melingkar. Layaknya balerina yang memainkan pentas Angsa Putih, ia berputar setengah lingkaran. Lalu merebahkan tubuh di atas kasur dengan tawa yang berderai.

"Semakin cepat aku ketemu dengan Pak Bos."

Sebelum Eriana benar-benar tidur malam itu, ia memutuskan untuk menyalakan alarm. Tidak hanya alarm di ponselnya, melainkan dua jam weker pun sudah ia atur waktunya. Jam setengah lima pagi ia akan bangun. Dan Eriana yakin dengan penuh kepercayaan diri bahwa ia tidak akan terlambat. Tapi ....

Ketika ketiga dering alarm itu berbunyi, Eriana yang baru tidur ketika sudah lewat tengah malam itu, bergerak dengan lemas. Setengah bangkit setengah merayap di atas tempat tidurnya, ia meraba benda yang pertama. Yaitu, ponselnya. Mata Eriana membuka sedikit. Lalu, tangannya bergerak. Menyentuh sekilas layar ponselnya. Tepat di tulisan: tunda.

Nasib yang serupa pun dialami oleh jam weker yang ia biarkan berdering selama semenit lamanya. Hingga pada akhirnya dering itu berhenti. Kemudian, dering itu berbunyi lagi lima menit kemudian. Dan nasibnya tak berbeda jauh dengan dering yang pertama. Eriana tetap meneruskan tidurnya.

"Eri!"

Intan masuk setelah membuka pintu kamar Eriana dengan cepat. Mulut gadis itu menguap dengan rambut yang acak-acakan. Menyalakan lampu dan tanpa basa-basi menarik satu kaki Eriana hingga gadis itu terlonjak kaget.

"Titan makan orang!!!" jerit Eriana spontan. Panik dan refleks berusaha menarik lepas tangannya.

Intan beralih mengambil guling. Memukul benda itu ke badan Eriana seraya berseru.

"Bangun, Ri! Ya ampun. Kamu yang masang alarm, tapi malah aku yang kebangun. Tau nggak? Itu alarm kamu bisa ngebangunin semua penghuni di gedung ini!"

"Ehm ...." Eriana melenguh panjang di antara suara alarm tersebut. "Bentar lagi, Tan. Aku masih ngan ... tuk."

Intan meraih satu jam weker. "Tapi, seenggaknya ya alarmnya dimatiin dulu. Lagipula kan---" Mata Intan melotot. "Eri! Ini udah jam lima lewat sepuluh menit!"

"What?!"

Super sekali. Ternyata seruan Intan lebih ampuh dari tiga buah jam weker. Buktinya, Eriana langsung meloncat turun dari tempat tidur. Gelabakan. Nyaris terjerembab, tapi beruntung kakinya mampu memijak lantai dengan baik.

"J-j-jam berapa?"

Intan mengucek matanya sekilas. Meyakinkan diri kalau ia tidak salah melihat. "Tadi sih jam lima lewat sepuluh menit. Tapi, kok sekarang udah jam lima lewat lima belas menit ya?"

"Ya Tuhan."

Eriana memucat. Terutama ketika dengan mata kepalanya sendiri ia melihat jam di layar ponselnya. Menyadari bahwa detik demi detik terus berjalan.

"Be-bentar lagi kamu dijemput kan,Ri?"

Mengabaikan pertanyaan retoris Intan, Eriana justru menutup matanya sejenak. Menghirup napas dalam-dalam, Eriana lantas mengambil keputusannya.

"Eh? Eri?"

Intan melongo melihat Eriana yang langsung berlari. Meraih handuk dan berlari keluar dari kamarnya. Intan tak perlu bertanya, tapi ia tau bahwa Eriana pasti ke kamar mandi.

"Dia pasti man---"

"Braaakkk!"

Intan melotot melihat Eriana yang kembali masuk ke dalam kamar tak sampai lima menit. Handuk menggantung di seputaran lehernya.

Itu bukan penampilan orang yang baru selesai mandi. Intan tidak akan meragukan penilaian singkatnya. Ya kali. Dengan handuk di leher dan hanya ada sebercak air di wajah?

"Kamu nggak mandi?" tanya Intan histeris.

Eriana melempar handuk ke atas tempat tidur. Dengan sigap melepas kaos dan celana pendek yang merupakan seragam tidurnya. Tampak biasa-biasa saja melenggang di depan Intan hanya dengan menggunakan sepasang pakaian dalam yang menutupi area intim atas bawahnya. Lantas beranjak ke meja rias.

"Nggak ada larangan yang nggak memperbolehkan kita untuk nggak mandi kalau dapat undangan sarapan."

Intan tak percaya. "W-wa-wah!"

Eriana dengan cepat melakukan ritual dandanannya. Membersihkan wajahnya dan memberikan serum vitamin C –walau tipis mengingat ia tak punya waktu banyak untuk menunggu skincare itu menyerap di kulit- di wajahnya. Lalu seraya menunggu serum itu terserap, ia meraih botol body lotion. Memoles ke kaki dan tangannya dengan sigap.

Setelah dari itu, Eriana langsung memoles pelembab di wajahnya. Selagi menunggu pelembab juga menyerap, ia mengenakan deodorant. Berpindah memoles BB Cream dan lantas ia membuka pintu lemarinya.

Tak berpikir dua kali, Eriana menarik selembar jeans longgar bewarna hitam. Mengenakannya dengan cepat dan memadukannya dengan sehelai kemeja setengah lengan bewarna merah muda yang juga tak terlalu ketat di tubuhnya.

Intan terbengong-bengong sementara Eriana kembali beranjak ke meja rias. Duduk dan langsung menuntaskan dandanannya dengan tepukan bedak tipis dan ulasan lipstik bewarna pink mauve di bibirnya yang berukuran sedang itu.

Sebagai sentuhan terakhir, Eriana menyisir rambutnya yang lurus sepunggung. Mengikatnya dengan satu ikat rambut dengan model ekor kuda.\

"Ah, lupa," lirih Eriana seraya mengambil satu botol dan menyemprotkan isinya berulang kali ke tubuhnya sendiri. "Parfum penyamar aroma belum mandi. Ha ha ha ha."

"Eri ...."

Eriana membalikkan badan dan menatap Intan dengan mata yang sedikit menyipit setelah melihat jam dindingnya. "Cuma perlu waktu sepuluh menit. Ha ha ha ha. Aku memang hebat banget."

"Pergi nggak pake mandi dibilang hebat?"

"Yang penting aku tetap kelihatan cantik kok."

Me e e,ooh ooh ooh ooh.

I'm the only one of me.

Baby, that's the fun of me.

Eriana langsung mengambil ponselnya dan mengangkat panggilan itu. Yang tentu saja itu adalah panggilan dari Satria.

"Ehm ... halo, Pak."

Intan langsung menggembungkan kedua pipinya dalam menahan desakan mual yang mendadak muncul di dalam perutnya. Melihat temannya itu menjawab panggilan dengan suara mendayu-dayu saja sudah membuat ia pusing tujuh keliling, belum lagi ditambah dengan senyum malu-malu dan mata kedip-kedip genit. Komplit sekali.

Kenapa sih dari sekian banyak manusia di dunia, aku harus ketemu sama cewek salah perasaan kayak gini?

"Iya, Pak. Saya sudah siap." Eriana mengangguk-angguk bodoh. "Iya, Pak. Saya turun sekarang."

Eriana melihat sekilas pada layar ponselnya yang telah menggelap. Tanda bahwa panggilan itu telah berakhir.

Ia beranjak. Meraih tas ransel berukuran kecil yang selalu ia gunakan saat pergi jalan-jalan. Meletakkan ponsel dan dompetnya di dalam sana. Pada Intan, Eriana berkata dengan nada manja.

"Kak, dedek pergi kencan dulu ya .... Jangan nakal ya di rumah."

Intan bergidik. Persis seperti ketika ia memaksakan diri untuk menonton film Suzzanna. Terutama ketika sebelum pergi meninggalkan dirinya, Eriana melayangkan kiss bye manja pada dirinya.

Ya Tuhan!

Intan benar-benar hampir muntah karenanya.

Eriana bergegas keluar, tak mengacuhkan wajah Intan yang benar-benar terlihat seperti membutuhkan pertolongan pertama pada perasaan mual.

Di luar, Eriana yang segera berlari ketika lift berhenti, mendadak saja menghentikan langkah kakinya tepat di pelataran gedung apartemennya. Menatap lurus ke depan dan ---

Gila!

Kok masih sepagi ini udah ada yang menyilaukan mata?

Ugh!

Eriana menyipitkan matanya. Melihat pada Satria yang terlihat bersedekap, berdiri dengan posisi bersandar pada badan mobil. Satu sweater rajut terlampir di punggungnya dengan kedua lengan pakaian itu yang mengikat longgar di sekitar lehernya, menjuntai lemas hingga ke dadanya.

Cuma make kaos polo putih dan celana dasar gitu aja, tapi kenapa dia bisa keliatan kayak model pakaian da---

Eriana mengerjap sekali.

Model pakaian dalam dari mana judulnya?

Dan selagi Eriana terpana di tempatnya, Satria mendengkus. Memperbaiki posisi berdirinya, lantas berkata.

"Hayo."

Hanya itu, tapi itu justru membuat Eriana membeku. Apalagi alasannya kalau bukan karena suara Satria yang terasa membelai gendang telinganya. Dan seakan godaan pagi itu belum cukup untuk mengganggu kewarasan otaknya, ia justru terpaku ketika Satria membalikkan badan. Berniat untuk membuka pintu mobil dan membuat Eriana meneguk ludah dengan gugup.

Siapa pun yang mendesain celana dasar itu, pikir Eriana, aku ucapkan terima kasih.

Karena berkat celana itu, maha karya Tuhan menjadi semakin menonjol.

Waw!

*

Mobil Satria melaju dengan mulus di jalanan pagi itu. Lumayan lenggang, hingga Satria nyaris mampu menahan laju kecepatan mobilnya dengan stabil di atas aspal. Sementara itu, di dalam mobil Satria terlihat menghela napas berulang kali. Tanpa menoleh pada Eriana ia berkata.

"Saya harap kamu bisa menjaga sikap kamu dengan baik sewaktu sarapan nanti."

Meremas sabuk pengaman yang melintang di dadanya, Eriana mengerjapkan mata berulang kali. Mengangguk sekali.

Aku makannya rapi kok. Nggak berantakan sama sekali.

Memikirkan hal tersebut, Eriana meyakini dirinya sendiri kalau ia tidak akan membuat malu nenek moyang yang telah mendahuluinya.

"Iya, Pak. Saya akan menjaga sikap saya."

Satria menghela napas lagi. "Jangan melakukan atau mengatakan hal yang nggak perlu."

"Baik, Pak." Eriana mengangguk.

Tepat ketika Satria membawa mobilnya sedikit menanjak tatkala melewati pintu pagar besar yang membuka, pria itu kembali berkata.

"Dan saya nggak mau mendengar segala macam keluhan, Eri."

"Ya?"

Satria menghentikan laju mobilnya. Melepas sabuk pengaman dan untuk pertama kalinya ia membawa matanya untuk menatap Eriana.

"Menurut kamu," lanjut Satria. "Menerima lamaran ibu saya adalah keberuntungan kan?"

Mata Eriana mengerjap. Terutama ketika wajah Satria terlihat mendingin.

"Kamu yang memulai semua masalah ini, jadi jangan sampai kamu lepas dari tanggungjawab."

Glek.

Entah mengapa, tapi melihat ekspresi Satria saat itu membuat tubuh Eriana seperti mati rasa. Untuk beberapa alasan yang tak mampu ia jabarkan, sensor keamanan mendadak berdering di kepalanya. Tubuhnya meremang.

Perasaan ini sama persis kayak waktu aku menjalani tes wawancara dengan empat orang penguji pas pengajuan beasiswa dulu.

Tapi, Eriana belum mengerti mengapa ia bisa merasakan sensasi itu. Jantungnya berdebar dengan jenis detakan kewaspadaan. Dan ketika Satria membawa dirinya masuk ke rumah megah itu, Eriana meneguk ludah. Pelan-pelan mulai menyadari rumah seperti apa yang ia masuki sekarang.

Ada sepasang pelayan menyambut kedatangan mereka. Salah satunya mengulurkan tangan. Meminta dengan sopan untuk menyimpan tas yang dibawa oleh Eriana. Tatapan mata Satria menyiratkan pesan pada gadis itu untuk melakukan hal tersebut.

Pelayan seorang lagi mempersilakan mereka. "Silakan Tuan Muda dan Nona."

Satria melangkah dan Eriana buru-buru mengikuti langkah pria itu. Mereka bersama-sama masuk dan menuju ke dalam dengan diiringi oleh pelayan tersebut. Menuju ke ruang makan. Di mana semua orang sudah menunggu kehadiran mereka.

Tunggu.

Semua orang?

Eriana membeku ketika melihat keadaan di ruang makan tersebut.

Semua orang?

Bukan tiga orang –ayah, ibu, dan Satria- seperti yang Eriana pikir sebelumnya. Namun, ada empat belas orang yang telah duduk di meja makan berbentuk persegi panjang tersebut.

Eriana membeku. Mendapati bagaimana setiap mata mereka menatap lurus pada dirinya. Tanpa kedip. Dengan wajah tanpa ekspresi.

I-ini undangan sarapan atau undangan rapat pleno KPK?

Lalu, ketika Satria menatap pada matanya, entah mengapa ia merasa seperti Satria berkata.

Ini belum seberapa. Tunggu tanggal mainnya dan jangan berpikir untuk kabur dari kekacauan ini.

Alarm peringatan tidak lagi berbunyi di benak Eriana. Bagaimanapun itu karena Eriana menyadari sesuatu. Alarm peringatannya sudah meletus sejak empat belas pasang mata itu menatap tanpa kedip pada dirinya.

Meneguk ludahnya, Eriana bertanya-tanya keluarga macam apa yang ingin ia masuki saat itu.

Mampuslah aku.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top